Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hongky Juanda
Abstrak :
Rumah Detensi Imigrasi Jakarta adalah salah satu yang menjadi barometer bagi Rumah Detensi Imigrasi lainnya selain memang lokasinya di Ibukota Negara, wilayah kerjanya pun paling banyak dibanding dengan Rumah Detensi lain. Namun berdasarkan data yang ada bahwa tingkat penurunan penghuni bisa di bilang kurang signifikan sepanjang tahun 2007 hanya terjadi penurunan sebanyak 33 orang Deteni sehingga dipertanyakan oleh peneliti bagaimana dengan kuantitas pendeportasiannya. Dari hasil penelitian dan wawancara dengan para informan dalam pelaksanaan tugas tersebut dilapangan ada beberapa kendala yang menghambat suksesnya upaya deportasi pertama adalah biaya dan kedua peraturan. Faktor biaya memang adalah alasan yang paling klasik namun pada kenyataannya memang Deteni maupun kedutaannya sebagai stakeholders yang menurut peraturan bertanggung jawab untuk menyediakan biaya sering sekali tidak dapat menyediakannya, sehingga akhirnya harus mencari donatur. Sedangkan faktor peraturan adalah tidak adanya aturan yang jelas mengenai klasifikasi orang asing yang dapat didetensikan dan dideportasi. Kenyataan lapangan Rumah Detensi Imigrasi Jakarta selain fungsinya menampung orang asing yang terkena tindakan keimigrasian yaitu tindakan administratif, ternyata juga menampung orang asing dengan kualifikasi orang asing yang tidak dapat dideportasi, yang tentunya tidak terakomodir di dalam peraturan. Kendala ini secara langsung berpengaruh terhadap pencapaian tujuan dari Rumah Detensi Imigrasi untuk meningkatkan kuantitas deportasi karena ukuran tingkat efektifitas pendeportasian adalah tingkat pencapaian tujuan dari hasil pendeportasian tersebut. Kesimpulan yang didapat dari hasil wawancara dan studi dokumen serta analisa peneliti bahwa tujuan yang telah ditetapkan oleh Kepala Rumah Detensi Imigrasi yaitu peningkatan kuantitas pendeportasian tidak tercapai walaupun sepanjang tahun 2007 itu jumlahnya relatif banyak namun ternyata yang masuk pun tidak kurang banyaknya. Saran yang diberikan agar ada kajian terhadap kemungkinan penambahan status Rumah Detensi Imigrasi di tambah menjadi cabang Rumah Tahanan Negara sehingga dapat mengakomodir Deteni di luar klasifikasi yang telah ditentukan atau masukan aturan yang mengatur deteni diluar klasifikasi yang telah ditentukan tersebut. Untuk dana atau biaya memang tidak ada jalan lain selain pemerintah memang harus mengusahakan anggaran untuk dana deportasi atau pemulangan, karena memang pada akhirnya prioritas kepentingan tersebut lebih banyak di sisi Pemerintah Indonesianya karena dapat dibayangkan jika Deteni tidak dapat dideportasikan selama 1 (satu) tahun saja, biaya hidup Deteni tersebut yang ditanggung Pemerintah Indonesia jauh lebih besar dari biaya tiket pesawat.
The Jakarta Immigration Detention House is one of benchmarks for other Immigration Detention Houses not only because it is located in the capital city but also it covers the most operating area compared to others. However, the existing data indicates that there is an insignificant decline on the number of the detainees held there throughout the year 2007. There is only a slight decline of 33 detainees in that year that the researcher questions the quantity of the deportation. Based on the result of the research and the interview with the sources performing the duty on the field, several hindrances that hamper the success of deportation have been identified, namely the cost and the regulation. The cost factor is indeed one most classic reason, yet the fact remains that both the detention house and the embassies as stakeholders which are responsible in financing the house as determined by the regulation often fail to provide it; as a result, donation must be sought elsewhere. On the other hand, the regulation factor refers to the absence of clear regulation regarding the classification of expatriates who can be either detained or deported. In reality, the Jakarta Detention House whose function is to hold expatriates subjected to Immigration act-which is administrative act in this case- in fact also holds expatriates who are qualified as cannot be deported; and this is surely not accomodated in the regulation. This hindrance directly affects the goal attainment of the Detention House which is to increase the quantity of deportation because the effectiveness level of deportation is determined by the level of the goal attainment in that deportation effort. The conclusion gained from the result of the interview, document study as well as the researcher?s analysis is that the goal set by the head of Jakarta Immigration Detention House, which is to increase the quantity of deportation, was not achieved ; despite the fact that throughout 2007 the number of the deported are quite many, those entering the House are also relatively similar in number. It is recommended that there be an analysis on the possibility of adding (more) status to Imigration Detention House as a branch of State Detention House so that it can accomodate the detainees outside the already determined classification. As for the financing problem, there is actually no other way but for the government to set a budget for deportation and extradition, since at the end the priority is more for the sake of Indonesian government as it is unimaginable if the detainees cannot be deported, let us say, for 1 (one) year alone.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25350
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Avianta
Abstrak :
Dalam suatu organisasi bisnis, komunikasi yang efektif sangat diperlukan guna mendukung berjalannya aktivitas kerja antar karyawan dan atasan. Efektif tidaknya suatu komunikasi akan sangat tergantung pada penerimaan pesan yang disampaikan. Penerimaan pesan masing-masing orang berbeda satu sama lain. Perbedaan ini akan semakin nyata jika pihak yang terlibat dalam komunikasi berasal dari lingkungan budaya yang berbeda. Bekerja dengan orang yang berasal dari budaya yang sama sekali berbeda sudah pasti akan menimbulkan banyak masalah. Beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan cara mengkomunikasikan pesan merupakan salah satu diantara banyak persoalan yang dihadapi oleh Expatriate di lingkungan kerjanya. Dalam memahami permasalahan komunikasi antar-budaya di atas, peneliti melihatnya dari sisi penerimaan pesan dengan cara mengukurnya melalui elemen-elemen Message Reception berupa (1} Selection (2) Interpretation (3) Memory (4) Awareness serta (5) Kemampuan berbahasa serta (6) Pemahaman terhadap perbedaan persepsi tentang budaya kerja dan hubungan kerja. Hasil wawancara dan observasi langsung ke lapangan menunjukkan bahwa efektif tidaknya komunikasi antar-budaya di lingkungan, lebih banyak dipengaruhi oleh perbedaan persepsi tentang hubungan kerja dan budaya kerja antara Expatriate dan Tenaga Kerja Lokal dibandingkan dengan elemen-elemen pengukur penerimaan pecan (Message Reception). Dari sisi Tenaga Kerja Lokal, diantara hambatan-hambatan yang dihadapi dalam menjalankan proses komunikasi dengan Expatriate, yang paling menonjol adalah kurangnya rasa percaya diri jika harus berhadapan dengan Expatriate walaupun yang bersangkutan sudah memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang cukup baik, sehingga terkesan Tenaga Kerja Lokal sangat menjaga jarak dengan Expatriate. Sedangkan Tenaga Kerja Acing lebih melihat permasalahan yang timbul dalam berkomunikasi diakibatkan oleh adanya kesenjangan dalam cara mengungkapkan diri dalam berkomunikasi. Dalam hal ini, Expatriate lebih mengharapkan komunikasi yang terbuka (direct), sementara Tenaga Kerja lokal bersikap sebaliknya. Hal ini terjadi karena budaya Indonesia lebih mementingkan kesopanan daripada keterbukaan dan kebiasaan untuk berkomunikasi secara tidak konfrontatif.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12381
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Utami Darma Setiawati
Abstrak :
Saat ini semakin banyak perusahaan yang melakukan aktivitas diluar negara asalnya. Peningkatan aktivitas internasional tersebut membuat perusahaan mengirimkan pegawainya ke luar negeri. Bekerja di lingkungan baru akan menimbulkan masalah jika pegawai tersebut-atau disebut ekspatriat-tidak dapat menyesuaikan diri. Hal tersebut dapat menyebabkan ketidakpuasan kerja dan kurangnya komitmen terhadap perusahaan sehingga pada akhirnya akan menimbulkan keinginan untuk meninggalkan negara tempatnya bekerja (Naumann, Widmier, & Jackson, 2000). Beberapa literatur menjelaskan bahwa faktor-faktor pekerjaan dan non¬pekerjaan dapat mempengaruhi kepuasan kerja, komitmen organisasi dan keinginan untuk meninggalkan negara tempat ekspatriat tersebut bekerja. Dengan kata lain, faktor-faktor tersebut dapat memoderasi hubungan antara ketiga variabel diatas. Faktor-faktor pekerjaan meliputi role conflict, role ambiguity, dan karakteristik pekerjaan (yang terdiri dari skill variety, task identity, task significance, dan autonomy). Sedangkan salah satu faktor non-pekerjaan adalah LMX yaitu hubungan antara ekspatriat dengan bawahan yang dikenal baik olehnya. Karya akhir ini membahas rnengenai efek moderasi faktor pekerjaan dan leader-member exchange (LMX) terhadap hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi dengan keinginan ekspatriat untuk meninggalkan Indonesia. Sampel yang diambil adalah ekspatriat yang bekerja di perusahaan perusahaan multinasional di Indonesia. Sekitar 25% kuesioner berhasil dikumpulkan kembali oleh penulis. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan general linear model (GLM) untuk mengetahui apakah terdapat efek moderasi terhadap hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi dengan keinginan ekspatriat untuk meninggalkan Indonesia. Hasil yang ditemukan dari pengujian hipotesis adalah role ambiguity memiliki efek moderasi terhadap hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi dengan keinginan ekspatriat untuk meninggalkan Indonesia. Role ambiguity juga berpengaruh langsung secara positif terhadap keinginan untuk meninggalkan Indonesia. Penemuan lainnya adalah adalah adanya efek moderasi role conflict terhadap hubungan antara kepuasan kerja dengan keinginan ekspatriat untuk meninggalkan Indonesia. LMX juga memiliki efek moderasi terhadap hubungan antara komitmen organisasi dengan keinginan ekspatriat untuk meninggalkan Indonesia. Saran yang dapat diberikan untuk perusahaan yang akan mengirimkan pegawainya untuk melakukan penugasan internasional adalah diperlukannya penjelasan terperinci mengenai pekerjaan di tempat baru, baik mengenai hak-hak yang akan diterima calon ekspatriat dan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukannya. Selain memberikan informasi yang relevan, perusahaan juga seharasnya memberikan pelatihan kepada calon pegawai yang akan dikirim ke luar negeri. Saran untuk penelitian yang akan datang adalah digunakannya faktor-faktor non-pekerjaan sebagai variabel moderasi antara hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi terhadap keinginan ekspatriat untuk meninggalkan Indonesia. Selain itu, didalam penelitian responden yang paling banyak ditemui adalah responden laki-laki (74%) sehingga sebaiknya untuk selanjutnya dapat memfokuskan pada keinginan ekspatrriat wanita untuk meninggalkan negara tempatnya bertugas.
Today many companies are having activities outside their home countries. The increasing international activities make those companies to send their employees abroad. Working in a new environment would be a problem if the employees-or expatriates-cannot adjust themselves. It will lead to job dissatisfaction and lack of commitment and at the end will initiate intention to leave the host country. Some literatures explain that job and non-job factors may influence the relationship among job satisfaction, organizational commitment, and expatriates' intention to leave. In other words, those factors may moderate the above mentioned variables. Job factors include role conflict, role ambiguity, and job characteristics (comprises skill variety, task identity, task significance, and autonomy). Meanwhile one of non-job factors is leader-member exchange (LMX) which is the relationship between expatriate and local employee. The thesis is discussing about the moderation effect of job factors and LMX on the relationship between job satisfaction and organizational commitment and intention to leave Indonesia. The sample of this research is expatriates who work in multinational companies in Indonesia. Around 25% questionnaires are completed and returned. Hypotheses test was conducted using general linear model (GLM) to find out the moderation effect of job factors and LMX on job satisfaction and organizational commitment and intention to leave. The results show that role ambiguity has a moderation effect in the relationship between expatriates' job satisfaction and organizational commitment and intention to leave as well as positively relates to intention to leave. Role conflict also moderates the relationship between expatriates' job satisfaction and intention to leave. Another finding that LMX has a moderation effect in the relationship between organizational commitment and expatriates' intention to leave There are some recommendations for companies which want lo send their employees abroad. First, they need to provide detail descriptions about the job in the new workplace, both rights and obligations. Next is employees' training prior to their international assignment. For future research, non job factors could be used as the moderator variable in the relationship between expatriates' job satisfaction, organizational commitment, and intention to leave. The respondent for this thesis is dominated by male expatriates. Future research should focus on predicting the intention to leave among female expatriates.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2007
T19697
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Lie
Abstrak :
This study has explored the role of cultural intelligence as a mediator in the relationship between the openness to experience personality trait and job satisfaction among expatriates. Expatriates were required to fill up online questionnaires to measure all the three variables. This study used a regression and bootstrapping analysis to test the hypothesis in a sample of 265 expatriates. The result indicates that the variance in job satisfaction accountable to the openness to experience personality trait is fully mediated through cultural intelligence. This finding provides evidence that possessing cultural intelligence acts as a mechanism in which an open expatriate could feel satisfied with his or her job. Moreover, this study discusses the practical implications especially for multinational companies and suggests some future research directions.

Penelitian ini meneliti dampak dari peran kecerdasan budaya sebagai mediator dalam hubungan antara kepribadian openness to experience terhadap kepuasan kerja ekspatriat. Ekspatriat mengisi kuesioner secara online untuk mengukur ketiga variabel. Penelitian ini menggunakan analisis regresi dan bootstrapping untuk menguji hipotesis dari 265 ekspatriat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan budaya dapat memediasi dalam hubungan antara kepribadian openness to experience terhadap kepuasan kerja secara penuh. Hal itu berarti bahwa kecerdasan budaya adalah suatu mekanisme yang berperan pada ekspatriat yang memiliki kepribadian openness to experience untuk merasakan puas dengan pekerjaannya. Selain itu, penelitian ini membahas implikasi praktis terutama untuk perusahaan multinasional dan menyarankan beberapa penelitian selanjutnya.
Universitas Tarumanegara. Faculty of Psychology, 2016
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Permadi
Abstrak :
As it is stated at article 12 Law number 8 year 1971 about National Petroleum Company, Pertamina as the stockholder for mining oil and natural gas, then being changed by BP Migas as government authorized to sign and control management operation of mainstream business activity based on Law of Indonesian Republic about Petroleum & Gas number 22 year 2001, can cooperate with third party in the form of Production Sharing Contract, or other Contracts. Business activity in mainstream industry that is carried out by foreign companies cause expatriates mobilization according to the expertise and need of related companies to support their activities in Indonesia. Apart from high salary, they are also given various allowances to fulfill the expatriate's and their family?s need during their duties period in Indonesia, so that these expatriates can become very potential tax subject for the state revenue. This research aimed to get clearer description about imposing cost recovery and treating expatriates tax income in KPS according to the existing law. One of the dominant aspects in KPS is cost recovery spent first by contractor financed by government when contractor has successfully found petroleum reserve popularly known as cost recovery. Expatriates tax income treatment by doing gross-up and putting that tax allowance into cost recovery causes reduction to government share in Production Sharing Contract as much as these expatriates tax that should become the state revenue. From the result of research concluded that the treatment above is deviated from normative determination, but suitable with the prevailing determination of positive law, in this case contract and supporting rule. It is suggested that in KPS agreement contains more detail explanation about imposition of cost recovery components, and imposition of Income Tax Law for KPS can be more detailed and assertive so that it can give law certainty and reach agreement of Production Sharing Contract in Indonesia. Research methodology used in this research is descriptive analysis by using data collection such as field study through interview with PSG expert, VP finance, Tax advisor and HRD Manager, documentary data as well as library study. Biography : 50 Books (Tahun 1967 - 2001)
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13349
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salwa Kholifah
Abstrak :
Faktanya, kebutuhan pasar pasti meningkat dari tahun ke tahun, begitu pula dengan peluang dan risiko yang menyertainya. Seperti perusahaan yang melakukan ekspansi global dan menjadi perusahaan multinasional untuk memperluas pasarnya untuk memperoleh keuntungan sebanyak mungkin, mereka akan dihadapkan pada kompleksitas manajemen yang mungkin berbeda secara signifikan antara negara asal mereka dan negara tujuan akibat perbedaan budaya dan sistem regulasi. Salah satu kompleksitas manajemen dalam menangani sumber daya manusia secara global adalah mengenai kompensasi. India yang menyandang predikat sebagai negara dengan populasi ekspatriat terbesar di dunia juga menduduki peringkat keenam dengan populasi ekspatriat perempuan di antara beberapa negara Asia. Terkenal dengan biaya tenaga kerja yang rendah bagi penduduk lokalnya, sayangnya India juga terkenal dengan disparitas kesenjangan upah gender yang sangat besar yang terjadi karena budaya patriarkinya. Diperkirakan 67 persen perempuan lokal di India ditemukan mendapat upah lebih rendah dari pria dikarenakan adanya diskriminasi gender. Lingkungan kerja yang tidak nyaman tidak dapat disangkal akan terjadi antara perempuan ekspatriat dan perempuan lokal karena upah ekspatriat yang mungkin lebih tinggi daripada penduduk lokal sehingga menyebabkan kepuasan kerja yang rendah, kinerja yang buruk, dan berakhir dengan tingginya turnover rate. Dengan biaya tenaga kerja yang rendah di India dan seksisme di tempat kerja yang memperburuk disparitas upah antara perempuan ekspatriat dan penduduk lokal, lingkungan kerja yang beragam dan inklusif serta pencarian pendekatan kompensasi yang sesuai diperlukan bagi perusahaan multinasional di India dan begitu pula dukungan dari keterlibatan pemerintah India dalam mengatasi diskriminasi gender di tempat kerja. ......In a point of fact, market needs inevitably increase throughout the years and so do the opportunities and the risks that follow. In the same way as companies going global and becoming a multinational enterprise to enhance their market size for they gain as much profit as possible, they are posed to the management complexities that might differ significantly between their home country and the host countries due to the difference of culture and system regulations. One of the management complexities in dealing with human resources globally is regarding compensation. India and its title as the world’s largest expatriate population also ranked in the sixth place with its female expatriate population among several Asian countries. Famous for its low labour costs for its locals, unfortunately, India is also famous for its huge disparity of the gender pay gap that occurs due to its well-known patriarchal culture. An estimation of 67 percent of local females in India found to get a lower wage compared to male due to gender discrimination. An uncomfortable work environment will undeniably occur between the female expatriates and locals as the expats wages might be higher than the locals for it leads to a low job satisfaction, poor performance, and subsequently results in high turnover rate. With India’s low labour cost and sexism in the workplace worsening the wage disparity between female expatriates and locals, a diverse and inclusive work environment along with seeking for an appropriate compensation approach are needed for MNEs in India and so do the support from India's government involvement in addressing gender discrimination in the workplace.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Atika Rachmawati Winardono
Abstrak :
Globalisasi mendorong perusahaan multinasional untuk berkompetisi dan ekspansi secara internasional. Akan tetapi, anak perusahaan luar negeri sering kali menghadapi kurangnya ketersediaan manajer lokal yang memenuhi kualifikasi dan oleh karena itu perusahaan- perusahaan multinasional harus menunjuk para pegawai mereka untuk penugasan internasional di luar negeri. Ekspatriasi, meskipun demikian, dapat menyebabkan masalah- masalah lainnya terkait dengan perbedaan kultur antara negara asal dan negara tujuan, sebagaimana latar belakang kultur yang berbeda dapat menghasilkan perbedaan gaya kepemimpinan ekspatriat yang dimana tidak selalu dapat diaplikasikan di kultur negara lain. Sehubungan dengan masalah tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti hubungan antara tipe tertentu dari gaya kepemimpinan ekspatriat, yang mana dipengaruhi oleh kultur negara asal, terhadap tingkat kesuksesan penugasan internasional mereka di negara tujuan seraya mempertimbangkan perbedaan kultur diantara kedua negara. Penilitan ini berfokus kepada latar belakang kultur di Korea Selatan sebagai negara asal dan Indonesia sebagai negara tujuan. Aspek kultur kedua negara juga dipersempit menjadi dua dimensi kultur dari Hofstede, yaitu Uncertainty Avoidance dan Long-Term Orientation. Selain itu, gaya kepemimpinan di penelitian ini terperinci kepada Autocratic Leadership dan Democratic Leadership. Tinjauan literatur dilakukan untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk melihat hubungan antara variabel-variabel tersebut dan wawancara terhadap sejumlah ekspatriat asal Korea Selatan akan dilakukan untuk mengklarifikasi informasi yang terkumpul. ......Globalization pushed multinational enterprises to compete and expand internationally. However, foreign subsidiaries often face the lack of availability of local qualified managers and thus MNEs have to appoint employees for international assignments abroad. Expatriation, however, may lead to other issues related to cultural differences between home and host country, as different cultural backgrounds may result in a different leadership style adopted by the expatriates that is not always applicable in other culture. In regard to that issue, the aim of this study is to investigate the relationship between a certain type of leadership style of expatriates, which is affected by the culture of the home country, to the success rate of their international assignments in a host country while also considering the cultural differences between the two countries. The study focused on the cultural backgrounds in South Korea as the home country and Indonesia as the host country. The cultural aspect of the countries is also narrowed down to two cultural dimensions from Hofstede, which are Uncertainty Avoidance and Long Term Orientation. Moreover, the leadership style in this study is specified between Autocratic Leadership and Democratic Leadership. The literature review is done to gather the information needed to see the relationship between these variables and interviews of a number of South Korean expatriates will also be conducted to clarify the information gathered.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library