Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ginting, Frimanda Pebrinta
"Dalam Putusan KPPU No. 02/KPPU-I/2016, memutus 12 Perusahaan bersalah melakukan kartel ayam. Dalam fakta persidangan terungkap bahwa pemerintah Direktur Jenderal PKH mengeluarkan inisiatif memerintahkan kedua belas pelaku usaha tersebut untuk melakukan afkir dini dalam rangka mengurangi over supply yang di formulasikan dalam Keputusan Tata Usaha Negara No. 15043/PK.010/F/10/2015 perihal Penyesuaian Populasi Parent Stock PS tertanggal 15 Oktober 2015 KTUN No. 15043 dan No. 23071/PK.230/11/2015 perihal Afkir Dini Bibit Ayam Ras tertanggal 23 Nopember 2015 KTUN No. 23071 . Terkait hal ini, Majelis Komisi berpendapat bahwa kesepakatan mengenai afkir dini PS secara jelas dilatarbelakangi dan diinisiasi oleh para pelaku usaha, dan bukan merupakan suatu kebijakan resmi dari Pemerintah karena tidak menemukan satu pun peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memberikan dasar bagi para Terlapor untuk melakukan afkir dini Parents Stock PS . Metode yang digunakan adalah pendekatan Hukum dengan tipe pendekatan kasus case study yudisial dengan karakteristik studi kasus tunggal, dengan bahan primer dan sekunder sebagai sumber data penelitian. Dari hasil penelitian, penulis menemukan penerapan pasal 50 huruf a dalam pertimbangan majelis komisi pada Putusan KPPU No. 02/KPPU-I/2016 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait Pengaturan Produksi Bibit Ayam Pedaging Broiler di Indonesia tepat. Hal ini dikarenakan dalam kasus ini tidak memenuhi unsur-unsur peraturan perundang-undangan pada pasal 50 huruf a dan instruksi afkir dini Parents Stock PS dari dirjen PKH bukan merupakan amanat langsung oleh undang-undang. Adapun Saran yang diberikan penulis adalah lebih ditegaskan dalam Pelaksanaan 50 huruf a ini.Kata Kunci: Pengecualian, Kebijakan Persaingan, Putusan KPPU

Verdict of KPPU No. 02 KPPU I 2016, decide 12 companies guilty of conducting chicken cartel. In facts, it was revealed that the government Director General of PKH issued an initiative to order the twelve business actors to conduct an early re evaluation in order to reduce the over supply formulated in the Decree of State Administration. However, the Commission Assembly is of the opinion that the agreement on the early reassessment of the PS is clearly motivated and initiated by business actors, and is not an official policy of the Government because it no finding any applicable legislation that provides the basis for the Reported Party To do early parent stock PS . The method used is the Law approach with the type of case study approach with the characteristics of single case study, with primary and secondary materials as the source of research data. From the results of the research, the authors found the application of article 50 letter a in the consideration of the commission assembly on Verdict No. KPPU. 02 KPPU I 2016 concerning Alleged Violation of Article 11 of Law Number 5 Year 1999 regarding the Regulation of Broiler Production of Broiler in Indonesia is appropriate. This is because in this case it does not meet the elements of legislation in Article 50 a and the Parents Stock PS early warning instruction from the PKH director general is not a mandate by law. The suggestion is more emphasized in the implementation of 50 letters a of this."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T48353
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khaerulnisa
"Tesis ini membahas mengenai pengaturan jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang menerapkan prinsip kepersertaan wajib bagi seluruh penduduk di Indonesia, sementara penyelenggara jaminan kesehatan di Indonesia, secara garis besar terdiri dari negara dan swasta. Selain itu, ketentuan kepesertaan wajib tersebut juga disertai dengan sanksi berupa sanksi administratif bagi pemberi kerja selain penyelenggara negara dan bagi setiap orang yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana ketentuan yang dimaksud. Ketentuan tersebut dianalisis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, salah satunya yaitu dengan paradigma hukum persaingan usaha, di Indonesia diatur dalam UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Berdasarkan ketentuan UU No. 5 Tahun 1999, maka BPJS kesehatan menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar jaminan kesehatan, namun monopoli BPJS tersebut berdasarkan pasal 50 dan pasal 51 UU No.5 Tahun 1999, tidaklah bertentangan dengan UU No.5 Tahun 1999 atau disebut state action doctrine, yang dimaksudkan untuk mewujudkan kesejahateraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

This thesis discusses the health insurance arrangements organized by the Social Security Administrators to apply the principle of compulsory membership for the entire population in Indonesia, while the insurance carrier in Indonesia, generally consist of state and private. In addition, the provisions of the membership shall also be accompanied by sanctions in the form of administrative sanctions for employers other than state officials, and for every person who does not carry out its obligations as the provisions in question. The provision is analyzed using juridical normative, one of them is the paradigm of Antitrust Law, in Indonesia as stipulated in Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices And Unfair Business Competition. Under the provisions of Law No. 5, 1999, the health BPJS controls more than 50% (fifty percent) share of the health insurance market, but monopoly BPJS under article 50 and article 51 of Law No. 5 of 1999, it is not contrary to the Law No. 5 of 1999 or the so-called state action doctrine, which is intended to achieve social welfare for all Indonesian people.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45993
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Priscilla Suri
"Setiap negara, termasuk Indonesia, memiliki otonomi dan kedaulatan dalam membentuk peraturan nasional untuk mencapai tujuan kebijakan yang bukan perdagangan atau non-trade policy objectives yang dikehendaki oleh negara tersebut. Pada praktiknya muncul sengketa-sengketa di hadapan Dispute Settlement Body World Trade Organization (DSB WTO) dimana justifikasi berdasarkan non-trade policy objectives atas klaim ketidakpatuhan terhadap komitmen liberalisasi dalam General Agreement on Tariffs and Trade 1994 (GATT) diuji keabsahannya, namun banyak negara gagal dalam menjustifikasikan non-trade policy objectivesnya, termasuk dalam hal ini, Indonesia. Terkait dengan hal tersebut, penelitian kritis mengenai pengaturan justifikasi berdasarkan non-trade policy objectives dalam GATT, praktik negara-negara, serta praktik justifikasi Indonesia berdasarkan non-trade policy objectives menjadi penting. Tesis ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. GATT pada dasarnya memiliki mekanisme justifikasi berdasarkan non-trade policy objectives sebagaimana diatur dalam Article XX GATT tentang General Exceptions. Praktik negara-negara dalam melakukan justifikasi menunjukan bahwa negara hanya dapat menjustifikasikan non-trade policy objectivesnya berdasarkan Article XX GATT apabila, berdasarkan bukti yang cukup, kebijakan negara tersebut secara murni dan berdasarkan itikad baik ditujukan untuk objectives yang tercakup dalam Article XX GATT seperti dalam Kasus EC - Asbestos. Praktik yang dilakukan Indonesia bahkan belum dapat menunjukan necessity dan keterhubungan antara non-trade policy objectives yang diadopsinya dengan objectives yang tercakup dalam Article XX GATT. Putusan DSB WTO cenderung menggunakan interpretasi dengan metode tekstual dan tidak menggunakan interpretasi berdasarkan pertimbangan deference to states yang mempertimbangkan Indonesia sebagai negara berkembang. Sehingga Indonesia tetap wajib menyesuaikan peraturan domestiknya dengan ketentuan-ketentuan GATT berdasarkan prinsip pacta sunt servanda dan menjalankannya dengan itikad baik.

Any states, including Indonesia, has the autonomy and sovereignty to establish domestic regulations to achieve non-trade policy objectives which the states desired. In practices dispute appears before the Dispute Settlement Body of the World Trade Organization (DSB WTO) where justification based on non-trade policy objectives for claim of incompliances to liberalization commitment in the General Agreement on Tariffs and Trade 1994 (GATT) is being tested for its legitimation, however many countries failed to justify its non-trade policy objectives, including in this case, Indonesia. In relation to that, the critical research on the rules of justification based on non-trade policy objectives in the GATT, state practices, as well as Indonesia’s justification practices based on non-trade policy objectives is important. This thesis is written with doctrinal research method. Fundamentally, GATT have justification of non-trade policy objectives mechanism based on Article XX GATT on General Exceptions. State practices in justifying its non-trade policy objectives shows that a country can only justify its non-trade policy objectives based on Article XX GATT if, based on sufficient proof, the state’s measure purely and based on good faith is aimed to achieve the objectives covered in Article XX GATT as appeared in EC – Asbestos case. Indonesia practices has not shown necessity and interlinkage between the adopted non-trade policy objectives with the objectives stipulated in Article XX GATT. The DSB WTO tends to use interpretation using traditional-textual methods, nor does it use interpretation based on considerations of deference to states where Indonesia is a developing country. Thus, Indonesia is still obliged to adapt its domestic regulations in accordance with the GATT provisions based on the pacta sunt servanda principle and implement them in good faith."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Nicholas Putra
"Komitmen-komitmen WTO, khususnya terkait hak atas kekayaan intelektual dalam Perjanjian TRIPS, berpotensi menghambat peningkatan akses terhadap obat-obatan dan vaksin dalam situasi pandemi Covid-19. Dalam keadaan darurat, komitmen-komitmen tersebut dapat dikesampingkan menggunakan klausul security exceptions WTO. Penelitian ini menjelaskan (i) bagaimana pengaturan security exceptions WTO dibandingkan dengan general exceptions di Pasal XX GATT 1994 dan non-precluded measures di BIT Argentina-AS, BIT India-Jerman, dan BIT India-Mauritius; serta (ii) apakah pandemi Covid-19 merupakan alasan yang sah untuk mengesampingkan kewajiban dalam Perjanjian TRIPS menggunakan klausul security exceptions. Melalui penelitian dengan metode yuridis normatif dan pendekatan kualitatif, dapat disimpulkan bahwa: Pertama, klausul security exceptions WTO memiliki beberapa persamaan dan perbedaan dengan general exceptions dan non-precluded measures; klausul security exceptions WTO memberi ruang gerak yang lebih luas bagi negara dalam mengambil tindakan keamanan yang berpotensi melanggar kewajiban WTO asal dilakukan untuk meresponi sebuah “emergency in international relations”. Kedua, pandemi Covid-19 dapat dijadikan alasan untuk mengesampingkan kewajiban dalam Perjanjian TRIPS, sebab pandemi ini telah mengakibatkan sebuah “emergency in international relations” dan pengesampingan kewajiban-kewajiban dalam Perjanjian TRIPS bagi kesehatan dan keselamatan masyarakat memenuhi syarat sebagai “essential security interests”.

WTO commitments, particularly related to intellectual property rights in the TRIPS Agreement, could potentially hinder efforts to increase access to medicines and vaccines during the Covid-19 pandemic. In time of emergency, these commitments can be overridden using the WTO security exceptions clause. This study explains (i) how the WTO security exceptions are compared to general exceptions in Article XX of the GATT 1994 and non-precluded measures in the Argentina-US BIT, India-Germany BIT, and India-Mauritius BIT; and (ii) whether the Covid-19 pandemic is a valid reason to waive the obligations under the TRIPS Agreement using the security exceptions clause. Through research using normative juridical methods and qualitative approach, it can be concluded that: First, the WTO security exceptions clause has several similarities and differences with general exceptions and non-precluded measures clauses; the WTO's security exceptions clause provides wider latitude for countries to take security actions that otherwise would have violated WTO obligations as long as they are carried out in response to an “emergency in international relations”. Second, the Covid-19 pandemic can be used as an excuse to waive obligations under the TRIPS Agreement, because this pandemic has resulted in an “emergency in international relations” and the waiver of obligations in the TRIPS Agreement for public health and safety qualify as “essential security interests”."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silitonga, Helena Louise
"ABSTRAK
Dengan kemajuan zaman maka tindak pidana semakin berkembang. Contoh
berkembangnya Tindak Pidana itu adalah Tindak Pidana Pencucian Uang (Money
Laundering). Praktek Money Laundering sangat erat kaitannya dengan dunia
Perbankan. Karena Bank menyediakan fasilitas-fasilitas canggih dalam
melakukan transaksi-transaksi keuangan. Lebih diperkuat dengan adanya
ketentuan rahasia bank yang tidak dapat mengungkapkan informasi mengenai
nasabah dan simpanannya menjadikan money laundering semakin berkembang.
Atas dasar itu maka muncul pertanyaan apakah bank mempunyai pengecualian
atas pengungkapan informasi mengenai nasabah tersebut? Dimanakah diatur
rahasia bank tersebut dan bagaimanakah pengaturannya? Juga bagaimanakah
pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank ini?
Dalam pembahasan tesis ini dijelaskan bahwa dalam ketentuan UU No. 10 Tahun
1998 tentang Perbankan terdapat pengecualian dalam pengungkapan rahasia bank
ini apabila ada alasan yang dapat dibenarkan oleh undang-undang. Pengecualianpengecualian
terhadap ketentuan kerahasiaan bank itu sendiri diatur dalam UU
No. 7 Tahun 1992 jo. UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, UU No. 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Pengecualian yang diatur diluar UU
Perbankan, seperti pengecualian terhadap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),
PPATK (Pusat Penelitian dan Analisis Transaksi Keuangan), BNN (Badan
Narkotika Nasional) dll.
Hasil dari penelitian menyarankan agar pengecualian terhadap ketentuan rahasia
bank dapat diperluas lagi merambah ke lembaga-lembaga yang berhubungan
dengan Perbankan seperti BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), BPKP (Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan) Bapepam (Badan Pengawas Pasar
Modal), dan juga merambah dalam dunia Peradilan khusus seperti Peradilan
Militer dan Pengadilan Tata Usaha Negara. tidak hanya terhadap yang telah
dipaparkan saja. Mengingat Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan Tindak
Pidana yang bergerak dan selalu mengikuti zaman, maka dari itu hukum
hendaklah lebih dulu mengaturnya.

ABSTRACT
With the progress of time, the crimes are growing too. For example is the
development of the Crime of Money Laundering . Money Laundering Practice is
closely associated with the world of banking. Since the Bank provides advanced
facilities in conducting financial transactions. Further reinforced by the provisions
of the bank secrecy can not reveal the information about customers and their
savings, this situation support the money laundering destiny.
Based on that statement the questions are if the bank has an exception to the
disclosure of information about the customer? Where the regulated of bank
secrecy and how its settings? Also how exceptions to bank secrecy provisions of
this?
In the discussion of this thesis is explained that the provisions of Law no. 10 of
1998 there are exceptions to the disclosure of bank secrecy is if there is a reason
that can be justified by law. Exceptions to the confidentiality provisions of the
bank itself is set in the Law. 7 of 1992 jo. Act 10 of 1998, Law no. 21 Year 2008
on Islamic Banking and exclusions set out the Banking Law, as an exception to
the KPK (Corruption Eradication Commission), PPATK (Centre for Research
and Analysis of Financial Transactions), BNN (National Narcotics Agency) etc.
The results of this study suggest that exceptions to bank secrecy provisions could
be more extended, penetrated into the institutions related to banking such as CPC
(Audit Board), BPK (Financial and Development Supervisory Board) Bapepam
(Capital Market Supervisory Agency), and it also resulted in world special courts
such as Military Justice and the Administrative Court. not only the course that has
been presented. Given the Money Laundering is a Crime that moves and always
follow the times, then let the law of the first set."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39280
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Carolina Parera
"Ketentuan pengecualian dan pembatasan hak cipta dalam TRIPS Agreement membebaskan anggota untuk membuat pengaturannya sendiri, dengan syarat memenuhi tiga syarat dalam Pasal 13 TRIPS Agreement. Hal ini menimbulkan menimbulkan perbedaan pengaturan diantara anggota WTO. Skripsi ini hendak menjawab permasalahan mengenai pengaturan, penerapan dan keselarasan ketentuan pengecualian dan pembatasan hak cipta di Indonesia, anggota WTO lain dan TRIPS Agreement. Metode penelitian yang dilakukan adalah yuridis-normatif dengan menganalisis norma-norma hukum dan penerapannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat dua ketentuan pengecualian dan pembatasan hak cipta yang berbeda diantara anggota WTO.

Agreement membuat ketentuan three step test yang bersifat terbuka sebagai penengah dari perbedaan tersebut. Ketentuan pengecualian dan pembatasan yang berdasarkan doktrin fair use, maupun fair dealing perlu memenuhi ketentuan three step test. Indonesia sebagai penganut fair dealing memiliki beberapa ketentuan pembatasan hak cipta yang tidak sesuai dengan TRIPS Agreement, yakni ketentuan Pasal 43 huruf C, E dan Pasal 49 ayat (2) UU Hak Cipta.

Exception and limitations regulations in TRIPS Agreement give leniency for contracting members, to regulate their own exception and limitations as long as they are in accordance to the three conditions in Article 13 of TRIPS Agreement. This has caused differences in regulations among WTO members. This thesis answers matters regarding regulations, applications and conformity of exception and limitations of copyright in Indonesia, WTO members and TRIPS Agreement. This research is conducted using juridical-normative method by analyzing legal norms and their implementation. The result of this thesis shows that there are two different doctrines used in exception and limitations regulations among the WTO members, fair use and fair dealing. TRIPS Agreement regulates an open-ended wording regulation called the three step test to intermediate the difference. Both exception and limitations regulations based on fair use and fair dealing must fulfill the three step test. Indonesia as a fair dealing adherent has a few copyright limitations that are not in accordance to TRIPS Agreement. They are article 43 C, E and article 49 (2) Indonesia Copyright Act."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Elizabeth Taruli Lestari
"Skripsi ini membahas mengenai doktrin experimental use, yang merupakan sebuah pengecualian dari pelanggaran paten terhadap pelaksanaan paten oleh pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, percobaan, atau analisis, dengan memberikan gambaran konsep melalui kasus-kasus tertentu yang menimbulkan suatu penafsiran hukum terhadap keberadaan doktrin experimental use. Doktrin experimental use dalam hukum paten melindungi pelaksana paten yang diduga melanggar hak-hak dari Pemegang Paten karena melaksanakannya tanpa adanya izin, dimana pelaksana paten tersebut menggunakan invensi yang dipatenkan untuk murni kegiatan eksperimen.
Tujuan dari skripsi ini adalah memberikan gambaran tentang kegiatan penelitian yang dikecualikan dari pelanggaran paten dan sejauh mana kepentingan komersial yang dimaksud dalam Undang-Undang Paten Indonesia, yakni Undang-Undang No. 14 tahun 2001 tentang Paten.

This thesis elaborates the experimental use exception to patent infringement. The experimental use doctrine in patent law protects alleged infringers who use patented inventions solely for experimental purposes, such as testing whether a device functions as claimed or re-creating a process to observe its effects from scientific perspective.
The purpose of this thesis are analyzing in which research activities are exempt from patent infringement and as well analyzing the state regulation regarding the experimental use exception to patent infringement under patented subject matters can be used without a license for research purposes. Experimental use exemption was born from Case Law in the United States Patent Law. In Indonesian Patent Law, the experimental use concept should be interpreted according to the article 16 (3) Law No. 14 of 2001 regarding to Patent Law.
"
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S1520
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Elizabeth Putri Anne A.G.H.K.
"Kewajiban internasional yang terdapat dalam GATT 1994 dapat menghambat Negara Anggota dalam memerangi Pandemi Covid-19. Mengingat adanya peningkatan permintaan global terhadap produk medis dan alat pelindung diri, Negara-Negara Anggota harus menerapkan kebijakan untuk memastikan bahwa pasokan produk tersebut, serta bahan untuk memproduksinya cukup untuk kebutuhan dalam negeri. Walaupun pembatasan ini merupakan pelanggaran terhadap GATT 1994, kewajiban tersebut dapat dikesampingkan menggunakan klausul general exceptions dan carve-out method. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa agar dapat dijustifikasi, suatu kebijakan harus memenuhi beberapa elemen atau unsur yang terdapat dalam pasal pengecualian. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan unsur-unsur yang harus dipenuhi dan memberikan analisis tentang kesesuaian kebijakan pembatasan ekspor yang diterapkan Indonesia dan India terhadap bahan baku masker selama Pandemi Covid-19. Menggunakan metode normatif yuridis dan pendekatan kualitatif, penelitian menyimpulkan dua hal. Pertama, terdapat perbedaan antara carve-out method dan general exceptions, seperti objektif dari kebijakan, penggunaan necessity test, dan durasi kebijakan. Akibatnya, kebijakan yang konsisten dengan salah satu pengecualian dapat tidak sesuai dengan pengecualian yang lainnya. Kedua, Indonesia telah memenuhi unsur-unsur dalam kedua pengecualian tersebut, sedangkan India tidak memenuhinya.

The international obligations under GATT 1994 could pose as an obstacle to Member States in fighting the Covid-19 Pandemic. Given the rise in the global demand for medical products and personal protective equipment, Member States must take measures to ensure the availability of these products, as well as the factors of production required to manufacture it. As a result, numerous states have imposed export restrictions on the raw materials of masks. Despite the fact that these restrictions may be a violation of GATT 1994, these measures could be exempted from liability through the use of the WTO general exceptions clause and the carve-out method. However, it must be noted that in order to be exempted, the measure in question must fulfill several cumulative criterion or elements. This study aims to elaborate the criterion that must be fulfilled and provide an analysis on the consistency of the measures imposed by Indonesia and India towards the raw materials of masks as a response to the Covid-19 Pandemic. Using a normative-juridical method and a qualitative approach, this study resulted in two conclusions. First, there are several differences between the carve-out method and the general exceptions clause, such as the objective of measure, the use of the necessity test, and the duration of the measure. As a result, a measure that is justifiable using one clause may not be justifiable by the other. Second, Indonesia has fulfilled the elements required in both clauses, while India has failed to do so."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library