Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Roby Aji
Abstrak :
Secara etimologis kata kafir, jimak, dan pelacur pada mulanya merupakan eufemisme. Namun dalam penggunaan bahasa Indonesia kontemporer, ketiga kata tersebut justru menjadi tabu. Hal tersebut karena kata kafir, jimak dan pelacur memiliki konotasi negatif yang berpotensi melukai, mengancam, dan menimbulkan perasaan tidak nyaman terhadap pendengarnya. Ketiganya berkaitan erat dengan isu kerukunan umat beragama dan maraknya ujaran kebencian di Indonesia. Adapun munculnya konotasi tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kata-kata yang sering muncul mendampinginya. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan kaitan antara kolokasi dengan pembentukan nilai tabu pada kata kafir, jimak, dan pelacur dalam konteks bahasa Indonesia. Sumber data dalam penelitian ini adalah teks berbahasa Indonesia dalam artikel berita dan keagamaan dalam jaringan internet. Korpus data terdiri dari 400 kalimat yang mengandung kata kafir, 307 kalimat yang mengandung kata jimak, dan 293 kalimat yang mengandung kata pelacur. Penelitian ini menggunakan teori kolokasi Sinclair 1991, semantik leksikal Cruse 2004 dan komponen makna Nida 1979. Data tersebut diolah secara manual dengan menggunakan perangkat lunak Ant-Conc kemudian ditelaah secara kualitatif. Hasil penelitian ini adalah kesimpulan bahwa kata kafir memiliki 22 kolokat, kata jimak memiliki 35 kolokat, sementara kata pelacur memiliki 21 kolokat. Kolokat-kolokat kata kafir, jimak, dan pelacur cenderung berkaitan dengan makna yang berkenaan dengan hal-hal tabu dalam kebudayaan Indonesia, yakni perbuatan melawan kekuatan transendental atau sistem religius dan perbuatan yang berkenaan dengan aktifitas seksual. Oleh karena itu kata kafir, jimak, dan pelacur dalam bahasa Indonesia menjadi kata yang kehilangan karakter eufemisitisnya, sebab konotasi positif lambat laun tergantikan oleh konotasi negatif yang dibawa oleh kolokat-kolokat berfrekuensi tinggi. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa secara semantis kolokasi merupakan donor utama dalam pembentukan kata kafir, jimak dan pelacur menjadi eufemisme yang ditabukan. ...... Etymologically the word kafir, jimak, and pelacur are originally euphemisms. However in the use of contemporary Indonesian language, these three words become taboo. This is because the word kafir, jimak and pelacur have negative connotations that potentially hurt, threaten, and cause feelings of discomfort to the listener. All three are closely related to the issue of religious harmony and the proliferation of hate speech in Indonesia. The emergence of the connotation can not be separated from the influence of words that often appear with it. Therefore, this study aims to reveal the relation of collocation and the formation of taboo values on the word kafir, jimak, and pelacur in the Indonesian context. Data sources in this study are the Indonesian texts in news and religious articles on the Internet. The data corpus consist of 400 sentences containing the word kafir, 307 sentences containing the word jimak, and 293 sentences containing the word pelacur. This study uses Sinclair's collocation theory 1991, the Cruse rsquo s lexical semantics 2004 and the Nida rsquo s componential analysis of meaning 1979. The data are manually processed using Ant Conc software and then analyzed qualitatively. The result of this study is the conclusion that the word kafir has 22 collocates, the word jimak has 35 collocates, while the word pelacur has 21 collocates. The collocates of kafir, jimak, and pelacur tend to be related to the meaning of taboos in Indonesian culture, that is, against the transcendental power or religious system and deeds of sexual activity. Therefore, the word kafir, jimak, and pelacur in the Indonesian language becomes words that lost its euphemism, because positive connotation gradually replaced by the negative connotation carried by collocates which have high frequency. Based on this it can be said semantically that collocation is the main contributor in the formation of the word kafir, jimak and pelacur into a tabooed euphemism.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
T50938
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Yulianti Rusdi
Abstrak :

ABSTRAK
Penelitian skripsi ini adalah mengenai eufemisme dalam bahasa politik. Sebagai data digunakan pidato Helmut Kohl pada tanggal 2 Oktober 1990. Pidato tersebut disampaikan dalam rangka menyambut penyatuan kembali Jerman. Landasan teori utama dalam skripsi ini adalah teori Leinfellner mengenai eufemisme dalam bahasa politik. Teori lainnya yang juga digunakan adalah teori dari Hannapel Melenk mengenai eufemisme. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui frase atau kata yang merupakan eufemisme dalam pidato berdasarkan analisis makna kontekstual eufemisme yang dikaitkan dengan konteks sejarah,dan menganalisis bentuk semantis serta tema eufemisme tersebut.

Setelah dilakukan analisis, didapatkan hasil bahwa ada tujuh buah frase yang merupakan eufemisme politis dalam pidato tersebut. Bentuk semantis eufemisme politis yang ditemukan ada tiga buah, yaitu pemakaian kata-kata yang kabur atau bermakna ambigu, metafer, dan penambahan kata-kata. Bentuk semantis yang tidak ditemukan adalah penggunaan kata-kata yang asing; penghilangan kata-kata yang penting, litotes; ungkapan yang terdiri dari gabungan kata yang saling bertentangan secara semantis dan deskriptif, dan pertentangan tersebut disembunyikan; serta pemakaian satu ungkapan dari banyak pilihan ungkapan. Konteks sejarah yang berperan dalam analisis penelitian ini adalah perbedaan sistem pemerintahan dan perekonomian di kedua negara Jerman. Oleh karena berada dalam satu konteks, seluruh eufemisme ini mempunyai tema yang sama, yaitu masalah politik dalam negeri Jerman yang berkaitan dengan politik, ekonomi, sosial, dan masyarakat.
1998
S14663
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghozi Djayu Kumolo
Abstrak :
Eufemisme dan disfemisme dapat digunakan dalam berkomentar mengenai isu yang sensitif di media sosial untuk menunjukkan sentimen dari sebuah komentar, baik positif maupun negatif. Hal ini terjadi pada kasus perobekan Al-Quran yang dilakukan oleh Edwin Wagensveld. Perkembangan kasus ini menuai banyak respons di media sosial mulai dari kasus perobekan Al-Quran hingga penetapan Edwin Wagensveld sebagai tersangka penghinaan kelompok. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh penggunaan eufemisme dan disfemisme yang ditemukan dalam kolom komentar twit NOS mengenai Edwin Wagensveld yang masuk dalam daftar tersangka penghinaan kelompok. Penelitian ini bertujuan untuk mendefinisikan, mengidentifikasi, dan menganalisis penggunaan eufemisme dan disfemisme mulai dari segi proses pembentukan, makna, dan fungsinya dalam kolom komentar twit NOS mengenai Edwin Wagensveld yang masuk dalam daftar tersangka penghinaan kelompok. Metode yang digunakan dalam jurnal ini adalah deskriptif kualitatif. Adapun korpus yang digunakan ialah twit akun Twitter NOS. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa eufemisme dan disfemisme dalam twit NOS ini dibentuk lewat penggabungan kata, modifikasi fonem, peminjaman kata, dan inovasi semantis. Dalam penggunaannya, eufemisme dan disfemisme memiliki pemaknaan yang memiliki hubungan makna asosiatif, yang terbagi menjadi makna konotatif, makna sosial, makna afektif, makna refleksi, dan makna kolokatif. Dari segi kuantitas, penggunaan disfemisme mendominasi penggunaan eufemisme dalam kolom komentar twit NOS tersebut. ......Euphemisms and dysphemisms can be used in commenting on sensitive issues on social media to show the sentiment of a comment, whether positive or negative. This happened in the case of Edwin Wagensveld's tearing of the Quran. The development of this case drew many responses on social media, from the case of tearing the Quran to the determination of Edwin Wagensveld as a suspect in group insult. This study is motivated by the use of euphemisms and dysphemisms found in the comments column of NOS tweets regarding Edwin Wagensveld who is included in the list of suspects for group insults. This study aims to define, identify, and analyze the use of euphemisms and dysphemisms in terms of the formation process, meaning, and function in the NOS tweet commentary column regarding Edwin Wagensveld who is included in the list of suspected group insults. The method used in this journal is descriptive qualitative. The corpus used is the NOS Twitter account tweets. The results of this study show that euphemisms and dysphemisms in NOS tweets are formed through word combinations, phoneme modification, word borrowing, and semantic innovation. In their use, euphemisms and dysphemisms have meanings that have associative meaning relationships, which are divided into connotative meaning, social meaning, affective meaning, reflection meaning, and collocative meaning. In terms of quantity, the use of dysphemisms dominates the use of euphemisms in the comments column of the NOS tweets.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library