Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Roni Chandra
"Telah dilakukan penelitian laboratorium untuk mengetahui pengaruh pemberian β-Metildigoksin in vitro terhadap penetrasi spermatozoa manusia golongan astenozoospermia menembus getah serviks sapi masa estrus. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode tabung kapiler Kremer. Sampel semen diperoleh dari 30 pria pasangan ingin anak (PIA) yang datang ke laboratonium Biologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Persyaratan semen adalah: volume Iebih dari 2 ml, jumlah spermatozoa lebih dari 10 juta/ml semen, persentase spermatozoa bergerak maju (kategori a dan b menurut WHO) antara 40% sampai 50%. Sampel semen terlebih dahulu dicuci dengan menggunakan larutan Hank, kemudian dibagi menjadi
empat kelompok, dan ke dalam masing-masing kelompok ditambahkan 2 ml larutan Hank tanpa β-Metildigoksin (sebagai kontrol), 2 ml larutan β-Metildigoksin 10 pangkat minus 4, 10 pangkat minus 7, dan 10 pangkat minus 10 M. Dari setiap kelompok diambil ± 100 πl, dimasukkan ke dalam alat pengukur penetrasi spermatozoa dan diinkubasi pada temperatur 37°C selama satu jam. Pengamatan penetrasi spermatozoa ke dalam getah senviks dilakukan di bawah mikroskop medan terang dengan cara menghitung jumlah spermatozoa yang berpenetrasi pada jarak 1, 2, 3, 4, dan 5 cm. Hasil uji statistik Student Newman Keul (α= 0,05) menunjukkan bahwa pemberian 13-Metildigoksjn pada konsentrasi 10 pangkat minus 7 M meningkatkan secara nyata penetrasi spermatozoa ke dalam getah serviks sapi masa estrus, sedangkan pada konsentrasi 10 pangkat minus 10 M juga meningkatkan penetrasi spermatozoa walaupun tidak secara nyata. Sebaliknya konsentrasi 10 pangkat minus 4 M β-Metildigoksin menurunkan penetrasi spermatozoa ke dalam getah serviks sapi masa estrus, walaupun tidak secara nyata. Peningkatan penetrasi spermatozoa tertinggi terdapat pada semen dengan perlakuan larutan β-Metildigoksin 10 pangkat minus 7 M."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1999
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herfrika
"Telah dilakukan penelitian laboratorium untuk meningkatkan kemampuan penetrasi spermatozoa manusia golongan astenozoospermia pada getah serviks sapi masa estrus dengan menggunakan senyawa digoksin. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsentrasi terbaik dari ketiga konsentrasi digoksin in vitro yang digunakan; dan diharapkan dengan pemberian senyawa digoksin 10 pangkat -6M, 10 pangkat -8M, dan 10 pangkat -10M in vitro dapat meningkatkan jumlah spermatozoa yang dapat menembus getah serviks. Sebanyak 30 sampel semen pria golongan astenozoospermia pasangan infertil (jumlah spermatozoa > 20 juta/ml ejakulat, motilitas < 50%, dan morfologi kepala oval > 50%) diperoleh dari Bagian Biologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sampel-sampel tersebut dibagi dalam empat kelompok perlakuan, yaitu satu kelompok kontrol yang diberikan larutan Hanks dan ketiga kelompok lainnya diberikan larutan digoksin dengan masing-masing konsentrasi 10 pangkat -6M, 10 pangkat -8M, dan 10 pangkat -10M. Sebagai pengganti getah serviks wanita digunakan getah serviks sapi masa estrus. Sampel-sampel yang telah diberikan perlakuan dimasukkan ke dalam alat penetrasi Kremer, kemudian diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37 °C. Kemampuan penetrasi spermatozoa ditentukan dengan menggunakan metoda WHO, yaitu dengan menghitung jumlah spermatozoa yang mampu menembus getah serviks pada jarak 1-7 cm. Hasil uji Kruskal-Wallis (α= 0,05) menunjukkan bahwa penetrasi spermatozoa golongan astenozoospermia pada getah serviks sapi masa estrus dari kelompok sampel yang diberikan larutan digoksin 10 pangkat -6M, 10 pangkat -8M, dan 10 pangkat -10M in vitro berbeda nyata dengan kelompok kontrol."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1999
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adlina Nur Fakhrana
"Telah dilakukan penelitian pada kukang sumatra (Nycticebus coucang Boddaert, 1785) di Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI). Tujuan penelitian untuk mengetahui perilaku reproduksi N. coucang betina terhadap jantan di YIARI dengan pengamatan sepanjang siklus estrusnya. Penelitian dilakukan terhadap dua individu kukang sumatra betina dewasa (Ulul dan Lea) dengan perbedaan riwayat melahirkan. Metode penelitian yaitu All Occurrence Sampling dan Ad Libitum Sampling. Penelitian dilakukan selama bulan Oktober hingga November dari pukul 19.00--03.00 WIB. Perilaku reproduksi yang diamati meliputi tiga kategori yaitu atraktivitas, proseptivitas, dan reseptivitas.
Hasil penelitian menunjukkan N.coucang betina melakukan hampir seluruh perilaku yang diamati, yaitu vokalisasi (whistle call) (27%), solicit (6%), urine marking (58%), recipient genital sniffing/licking (3%), inverted embrace (1%), menolak kopulasi (5%), sedangkan perilaku menerima kopulasi (0%) tidak teramati. Selain itu terdapat perbedaan perilaku reproduksi antara Ulul dan Lea. Perilaku reproduksi Ulul lebih rendah dibandingkan Lea. Panjang periode estrus Ulul tidak diketahui, sedangkan Lea berkisar antara 10--11 hari dengan lama estrus satu hari.

Research on sunda slow loris (Nycticebus coucang Boddaert, 1785) has been carried out at the Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI). The aim of the study was to determine the reproductive behavior of N. coucang females against males at YIARI with observations throughout the estrus cycle. The study was conducted on two adult Sumatran slow loris individuals (Ulul and Lea) with differences in delivery history. The research method was All Occurrence Sampling and Ad Libitum Sampling. The study was conducted from October to November from 7:00 to 3:00 WIB. Reproductive behavior observed include three categories, namely attractivity, proceptivity, and receptivity.
The results showed that N. coucang females carried out almost all observed behaviors, namely whistle calls (27%), solicits (6%), urine marking (58%), recipient genital sniffing/licking (3%), inverted embrace (1%), refused copulation (5%), while the behavior of receiving copulation (0%) was not observed. In addition there are differences in reproductive behavior between Ulul and Lea. Ulul reproductive behavior is lower than Lea. The length of the Ulul estrus period is unknown, while Lea ranges from 10--11 days with one day long estrus.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elmas Ghita Ladia
"Pengelompokkan sosial dan kondisi lingkungan yang tercipta di kebun binatang dapat memengaruhi perilaku reproduksi gajah sumatra. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan menganalisis perilaku reproduksi tahap pre-copulatory sebagai perilaku diurnal pada gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus, Temminck 1847) jantan adolescence di Taman Margasatwa Ragunan. Penelitian dilakukan selama masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3 di DKI Jakarta. Waktu pengamatan dimulai pukul 08.00—14.00 WIB dengan interval waktu 15 menit selama 60 hari. Metode pengamatan yang digunakan adalah continuous focal sampling dan ad libitum untuk mengamati perilaku pre-copulatory meliputi flehmen, agonistic, reaching over, drive, erection, dan attempt mount. Penelitian pula dilakukan untuk mengamati perilaku harian dan perilaku interaksi sosial. Hasil penelitian menunjukkan perilaku harian dan interaksi sosial tertinggi gajah sumatra jantan adolescence di TMR yaitu makan (55,26%) dan conspecific play (0,96%). Gajah sumatra jantan adolescence hanya menunjukkan perilaku flehmen kepada gajah betina yang dikandangkan bersama dengan persentase sebesar 0,114% (0,107%: alpha female; 0,007%: betina subordinat). Perilaku flehmen ditunjukkan oleh gajah jantan adolescence saat betina urinasi di hari ke-11 hingga 14. Peneliti menyimpulkan bahwa gajah sumatra jantan adolescence yang terdapat di TMR sudah melewati inisiasi pubertas dengan menunjukkan perilaku reproduksi pre-copulatory yaitu flehmen kepada gajah betina dewasa.

Social groupings and environmental conditions in zoos can affect the reproductive behaviour of elephant. This study evaluated the pre-copulatory behaviour as diurnal pattern of adolescent male sumatran elephant (Elephas maximus sumatranus, Temminck 1847) at Taman Margasatwa Ragunan. Observations have been carried out sixty days during the implementation of the third level of community activity restrictions during the COVID-19 pandemic in the DKI Jakarta province, starting from 8 a.m. to 2 p.m. with an interval of 15 minutes. Continuous focal sampling and ad libitum were employed as study methods to observe the pre-copulatory behaviour, including flehmen, agonistic, reaching over, drive, erection, and attempt mount. Furthermore, the researcher observed daily and social interaction behaviour. Daily behaviour and social interaction behaviour of adolescent male sumatran elephant in TMR dominated by feeding (55.26%) and conspecific play (0.96%). The results showed that adolescent male sumatran elephant only performed flehmen behaviour to female elephant, caged together with 0.114% (0.017%: alpha female; 0.007%: subordinate female). Flehmen’s behaviour was shown by an adolescent male sumatran elephant when a female elephant urinated on days 11—14. Thus, this study reports that adolescent male sumatran elephant passed the initial of puberty by showing flehmen as precopulatory behaviour to female elephant."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Athyya Wulan Syafitri
"Gangguan reseptivitas endometrium telah diidentifikasi sebagai penyebab potensial infertilitas yang tidak dapat dijelaskan. Hewan model dapat menggambarkan patofisiologi terkait gangguan ini. Pembentukan hewan model gangguan reseptivitas endometrium sudah pernah dilakukan sebelumnya, tetapi belum pernah dilakukan di Indonesia. Konfirmasi dan validasi dibutuhkan untuk menilai reliabilitas pembentukan hewan model. Identifikasi siklus estrus penting untuk melacak fase sebagai variabel yang dapat mempengaruhi penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakter tiap fase siklus estrus untuk penentuan waktu awal pemberian perlakuan dan menganalisis pengaruh induksi hidroksiurea-adrenalin dalam pembentukan hewan model terhadap ketebalan endometrium. Tikus betina galur Wistar dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok model (hidroksiurea 450 mg/kgBB, adrenalin 0,3 mg/kgBB), kontrol normal (CMC Na 0,5%), dan kontrol positif (hidroksiurea 450 mg/kgBB, adrenalin 0,3 mg/kgBB, progesteron 0,9 mg/200gBB). Pemberian perlakuan dilakukan setelah fase statik teridentifikasi. Metode apusan vagina digunakan untuk mengidentifikasi siklus estrus. Hasil pengamatan apusan vagina menunjukkan ciri khas dari fase yang diketahui dari siklus estrus dan dapat dengan mudah diidentifikasi. Fase statik dapat diidentifikasi sebagai fase diestrus dari siklus estrus. Pemberian perlakuan dilakukan selama 10 hari, kemudian tikus betina dipasangkan dengan tikus jantan dan dikorbankan pada hari ke-8 kehamilan. Organ uterus diambil dan ketebalan endometrium dihitung dari pengukuran panjang rata-rata antara batas lumen uterus dan batas miometrium pada 4 kuadran. Hasil analisis menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik pada ketiga kelompok (F(2,15) = 1.584, p = 0.238). Sebagai kesimpulan, pembentukan hewan model dimulai setelah fase diestrus teridentifikasi dan pemberian hidroksiurea dan adrenalin tidak menyebabkan penurunan ketebalan endometrium.

Impaired endometrial receptivity has been identified as potential cause of unexplained infertility. Animal models can provide depiction of the pathophysiology related to this impairment. The establishment of impaired endometrial receptivity animal models has been done previously, but has never been done in Indonesia. Confirmation and validation are required to assess the animal models reliabilities. Identification of the estrus cycle is important to track the phase as a variable that can affect the study. The present study aims to analyze the character of each estrous cycle phase to determine the initial time of treatment and analyze the effect of hydroxyurea-adrenaline induction on the animal models establishment on endometrial thickness. Female Wistar rats is divided into 3 groups, namely the model grpup (hydroxyurea 450mg/kgBW, adrenaline 0.3mg/kgBW), normal control (CMC Na 0.5%), and positive control (hydroxyurea 450mg/kgBW, adrenaline 0, 3 mg/kg, progesterone 0,9 mg/200gBW). Treatment is carried out after the static phase is identified. The vaginal smears method is used to identify the estrus cycle. The results of vaginal smears observations showed the characteristics of a known phase of the estrus cycle and can be easily identified. The static phase can be identified as the diestrus phase of the estrus cycle. The treatment was carried out for 10 days, then female rats were paired with male rats and sacrificed on the 8th day of pregnancy. Uterine organs were removed and endometrial thickness was calculated from the measurement of the average length between the inner and outer layers of the uterus in 4 quadrants. The results of analysis showed that there is no statistically significant difference in the three groups (F(2.15) = 1.584, p = 0.238). In conclusion, the animal models establishment begins after the diestrus phase is identified and administration of hydroxyurea and adrenaline did not cause a decrease on endometrial thickness."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shafar Nur Azzis
"Telah dilakukan pemeriksaan hormon kortikosteron pada tikus betina (Rattus norvegicus) menggunakan FTIR. Penelitian bertujuan mengetahui bilangan gelombang dan nilai absorbansi gugus fungsi spesifik kortikosteron dalam urine selama siklus estrus, dan mengetahui keabsahan FTIR dalam mengukur konsentrasi hormon kortikosteron. Sampel urine dari sepuluh ekor tikus pada saat estrus dan diestrus yang ditentukan melalui ulas vagina dianalisis melalui FTIR. Diperoleh hasil 3 gugus fungsi spesifik dari kortikosteron pada masing-masing bilangan gelombangnya berturut-turut sebagai berikut alkohol (CH2OH) pada 3552 cm-1, hidroksil (OH) pada 3201 cm-1 dan metil (CH3) pada 1375 cm-1. Nilai absorbansi gugus fungsi spesifik kortikosteron diperoleh dan dibandingkan dengan nilai absorbansi keton (C=O), gugus fungsi spesifik dari kreatinin pada bilangan gelombang 1730 cm-1 yaitu 0,24 %. FTIR mampu mendeteksi konsentrasi kortikosteron saat estrus pada 2,00 % ± 0,50 % / % Cr dan saat non estrus pada 1,94 % ± 0,54 % / % Cr. Tidak terdapat perbedaan antara kortikosteron pada kondisi estrus dan non estrus.

Research in determining corticosterone concentration on female rat (Rattus norvegicus) using FTIR has been conducted. The aim of this research was to determine the wavenumbers and absorbance values of corticosterone's functional groups in urine during estrous cycles, and to verify the FTIR's capability in measuring corticosterone concentration in urine. Urine samples from ten females which were taken at estrus and non estrus determined by vaginal smear, analyzed by FTIR. The results indicated three specific functional groups of corticosterone in each successive wave numbers as follows: alcohol (CH2OH) at 3552 cm-1, hydroxyl (OH) at 3201 cm-1 and methyl (CH3) at 1375 cm-1. Absorbance value of specific functional groups of corticosterone are obtained and compared with absorbance values of ketone group (C = O), specific functional groups of creatinine in the wave number 1730 cm-1 which is 0.24%. FTIR can detection corticosterone concentration at estrus was 2.00 % ± 0.50 % /% Cr and in non-estrus was 1.94 % ± 0.54 % /% Cr. There was no difference between corticosterone in estrus and non-estrus condition."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S43329
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Cheria Valentina
"Latar Belakang : Tanpa kita sadari, peningkatan pemajanan medan elektromagnet (extremely low frequency-electromagnetic field / ELF) pada kehidupan manusia semakin meningkat. Kejadian tersebut terjadi karena seiring dengan berkembangnya informasi dan teknologi di seluruh dunia, penggunaan tenaga listrik di berbagai negara, termasuk Indonesia, semakin meningkat. Fenomena ini tampak dari semakin banyaknya penggunaan alat-alat elektronik seperti hair dryer, oven, microwave, lemari es, televisi, komputer, dan sebagainya. Hal tersebut menyebabkan banyak kelainan pada tubuh kita, dan salah satunya adalah pengaruh terhadap sistem reproduksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pemajanan medan elektromagnet ELF dengan perubahan gambaran siklus estrus melalui mencit sebagai model.
Metode Penelitian : Penelitian ini menggunakan desain studi eksperimental deskriptif dengan hewan coba. yang digunakan tediri dari 6 kelompok yaitu kelompok control dan perlakuan yang masing-masing terdiri dari 3 generasi. Penelitian ini membandingkan perubahan siklus estrus antara mencit kontrol dan perlakuan dari generasi satu sampai generasi tiga. Data perubahan siklus estrus mencit diperolah dengan melihat sediaan di bawah mikroskop cahaya.
Hasil : Berdasarkan hasil penelitian ditemukan adanya efek pemajanan elektromagnet yang mengakibatkan perubahan siklus estrus, yaitu fase diestrus.

Background : Without realising it, the exposure of extremely low frequency-electromagnetic field (ELF) on human life is increasing rapidly. This is due to the fact that the development of information and technology around the world, including Indonesia, cause a continully increasing usage of electrical power. This phenomenon can be seen from the increasing usage of electrical devices such as hair dryer, oven, microwave, refrigerator, television, etc. This cause changes in our body and one of the changes effect on the reproduction system. This research aims to determine the relationship between ELFexposures on changes in estrous cycle through mice as model.
Methods : The design of this research was experimental descriptive study with laboratory animals. It used 6 groups which are group of control and treatment each consisting of 3 generations. It compares the change of estrous cycle between control and treatment mice from first generation to third generation. The change of estrous cycle data were obtained from observing the sample under light microscope.
Results : It was found that there was an electromagnetic radiation effect that can cause a change in estrous cycle, which was diestrous phase.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Septian
"Telah dilakukan pemeriksaan hormon progesteron pada tikus betina (Rattus norvegicus, Berkenhout 1769) menggunakan FTIR. Penelitian bertujuan mengetahui bilangan gelombang dan nilai absorbansi gugus fungsi spesifik progesteron dalam darah selama siklus estrus, dan mengetahui keabsahan FTIR dalam mengukur konsentrasi hormon progesteron. Sampel darah dari sepuluh ekor tikus pada fase estrus dan diestrus yang ditentukan melalui ulas vagina dianalisis melalui FTIR dan radioimmunoassay (RIA).
Nilai absorbansi dari gugus fungsi spesifik progesteron, yaitu keton (1724 cm-1), metil (1375 cm-1), dan metil-keton (1354 cm-1), dibandingkan dengan nilai absorbansi asam karboksilat (1425 cm-1) pada hemoglobin. Konsentrasi progesteron saat estrus melalui RIA dan FTIR berturut-turut adalah 17,593 ± 4,246 ng/ml dan 0,853 ± 0,310 %; saat diestrus adalah 76.218 ± 4.687 ng/ml dan 1,024 ± 0.268 %.

Research in determining progesterone concentration on female rat (Rattus norvegicus, Berkenhout 1769) using FTIR has been conducted. The aim of this research was to determine the wavenumbers and absorbance values of progesterone?s functional groups in blood during estrous cycles, and to verify the FTIR?s capability in measuring progesterone concentration in blood. Blood samples from ten females which were taken at estrus and diestrus phases determined by vaginal smear, analyzed by FTIR and Radioimmunoassay (RIA).
Absorbance values of progesterone's functional groups, such as ketone (1724 cm¬1), methyl (1375 cm-1), and methyl-ketone (1354 cm-1), were measured relatively to absorbance values of hemoglobin?s carboxylic acid (1425 cm-1). Progesterone concentration at estrus by RIA and FTIR are 17,593 ± 4,246 ng/ml and 0,853 ± 0,310 % respectively; at diestrus are 76.218 ng/ml and 1,024 ± 0.268 % respectively.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S825
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library