Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Willy
"Latar Belakang: Pelepasan gelembung gas inert akibat supersaturasi jaringan dengan perubahan tekanan dipercaya sebagai penyebab decompression sickness. Gelembung gas dapat dideteksi melalui USG Doppler tetapi sensitivitas dan spesifisitas terhadap decompression sickness dipertanyakan. Perubahan fisiologis tubuh berupa peningkatan agregasi trombosit diduga berperan dalam terjadinya decompression sickness. Peningkatan agregasi trombosit terbukti pada penyelaman 60 msw.
Tujuan: untuk membuktikan penyelaman tunggal dekompresi 280 kPa dapat mengakibatkan peningkatan agregasi trombosit.
Metode: Penelitian eksperimental desain cross over dengan melibatkan delapan belas penyelam laki-laki dislambair. Semua penyelam akan melakukan penyelaman kering dengan udara pada tekanan 280 kPa selama 80 menit dengan kontrol masuk ke dalam RUBT tanpa ditekan pada periode pertama. Pada periode kedua kelompok perlakuan dan kontrol ditukar. Prosedur dekompresi disesuaikan dengan prosedur tabel dekompresi US Navy Revisi 6. Pengambilan darah dilakukan sebelum perlakuan, setelah periode pertama, dan setelah periode kedua. Pemeriksaan agregasi trombosit menggunakan induktor ADP, kolagen dan epinefrin.
Hasil: Setelah penyelaman tunggal dekompresi 280 kPa selama 80 menit secara signifikan meningkatkan persentase agregasi maksimal trombosit dengan induktor ADP dari 86.94 ± 4.11 menjadi 90.46 ± 3.41, dengan induktor kolagen dari 91.94 ± 2.62 menjadi 94.69 ± 2.25, dan induktor epinefrin dari 86.65 (22.10-93.8) menjadi 90.25 (31-95.9) pada kelompok sebelum perlakuan dan setelah perlakuan. Tidak ditemukan peningkatan signifikan persentase agregasi maksimal trombosit pada kelompok sebelum perlakuan dengan kontrol.
Kesimpulan: Penyelaman tunggal dekompresi 280 kPa selama 80 menit meningkatkan persentase agregasi maksimal trombosit dengan induktor ADP, kolagen, dan epinefrin.

Background: The release of inert gas bubbles due to changes in tissue?s supersaturating with pressure change is believed to be the cause of decompression sickness. Gas bubbles can be detected by Doppler ultrasonography but sensitivity and specificity is poorly defined. Increased of platelet aggregation is estimated have a role in DCS. Increasing platelet aggregation has been proved in dive with depth 60 MSW.
Aim: To prove that a single decompression dives 280 kPa can lead to increased platelet aggregation.
Methods: Experimental studies with a cross-over design involving eighteen male dislambair divers. All divers will dive in air compression chamber at a pressure of 280 kPa for 80 minutes with control entry into air compression chamber without pressure in the first period. In the second period, treatment and control group exchanged. Decompression procedures adapted to the US Navy decompression tables procedures 6th Revision. Taking blood performed before the intervention, after first period, and after second period. Examination of platelet aggregation using inductors ADP, collagen and epinephrine.
Result: A single decompression dive 280 kPa for 80 minutes significantly increased the percentage of maximal platelet aggregation with ADP inductor from 86.94±4.11 to 90.46±3.41, with a collagen inductor from 91.94±2.62 to 94.69±2.25, and epinephrine inductor from 86.65 (22.10-93.8) to 90.25 (31-95.9) in before and after treatment group. Increasing percentage of maximal platelet aggregation was not significant in the before treatment group and control group.
Conclusion: A single decompression dive 280 kPa for 80 minutes can lead to increase the percentage of maximal platelet aggregation with ADP, collagen, and epinephrine inductors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theddeus Octavianus Hari Prasetyono
"Rangkaian penelitian ini ditujukan untuk mengkaji alternatif operasi tanpa turniket melalui upaya untuk mengetahui efektivitas, keamanan, dan kemamputerapan larutan tumescent one-per-mil.
Desain penelitian merupakan penelitian eksperimental, uji acak buta ganda dan seri kasus klinis penggunaan larutan tumescent yang mengandung epinefrin 1 : 1.000.000 dan lidokain 0,2% yang dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan RS Cipto Mangunkusumo selama periode Juli 2013-Desember 2017. Penelitian pada flap inguinal tikus Sprague-Dawley dilakukan untuk mengetahui kejelasan lapangan operasi, peran vasokompresi hidrostatik, dan kesintasan flap. Uji klinis dilakukan pada subjek normal melalui suntikan pada pulpa jari untuk mengetahui masa tunda optimal melalui pengukuran SpO2; serta mengenali peran vasokompresi hidrostatik. Terapan klinis operasi sadar penuh dikawal dengan uji klinis untuk mengetahui mula dan lama kerja lidokain. Kelompok seri kasus meliputi operasi tangan dan ekstremitas atas pada kelompok anak, operasi kontraktur pascaluka bakar, operasi yang melibatkan tulang dan sendi, operasi eksisi malformasi vaskular, rekonstruksi web dengan flap, serta operasi sadar penuh. Uji statistik dilakukan dengan metode Chi-square, Wilcoxon bertingkat, uji t-independen dan berpasangan, dan ANOVA. Tingkat kemaknaan ditetapkan sebagai p < 0,05.
Operasi pada flap inguinal tikus menghasilkan 63/63 lapangan operasi bebas perdarahan dengan 26/26 flap hidup walaupun diberi perlakuan iskemia sebelum disuntik. Tidak dijumpai perbedaan kesintasan flap antara teknik suntik acak dan teknik teratur. Walaupun kedua kelompok mengalami penurunan bermakna TcPO2, rerata TcPO2 pascaperlakuan iskemia kelompok tumescent lebih rendah daripada rerata kelompok kontrol. Hasil uji klinis menunjukkan rerata delta SpO2 pada kelompok epinefrin lebih besar secara bermakna daripada kelompok salin normal. Epinefrin menunjukkan masa tunda optimal 13,9 (SB 5,38) menit. Mula kerja lidokain 5 (1-9) menit dengan lama kerja 186,8 (SD 44.02) menit. Seluruh operasi pada 77 subjek bedah tangan dapat dikerjakan tanpa konversi turniket. Operasi sadar penuh efektif pada 20 dari 24 kasus. Lapangan operasi bebas perdarahan dapat dicapai sebesar 38,7%, baik pada subjek dewasa maupun anak.
Epinefrin bersama-sama dengan efek vasokompresi hidrostatik efektif dalam menghasilkan lapangan operasi bebas perdarahan pada tikus. Keberhasilan hidup 100% flap yang telah diberi perlakuan iskemia sebelumnya menunjukkan keamanan larutan one-per-mil. Nilai saturasi yang menurun namun masih dalam rentang normal menunjukkan tidak terjadinya efek iskemia pada jari. Hasil studi pada tikus maupun subjek normal menunjukkan bahwa epinefrin bersama-sama dengan efek vasokompresi hidrostatik berperan dalam penurunan perfusi tanpa mengakibatkan iskemia. Masa tunda optimal efek hiperfusi selama 14 menit menjadi referensi yang relevan untuk mendukung praktik klinis masa tunggu sebelum insisi selama 7-10 menit. Selain efektif, termasuk dalam operasi sadar penuh yang berlangsung tanpa konversi turniket, hasil pengamatan teknik tumescent one-per-mil pada operasi kontraktur pascaluka bakar mematahkan paradigma bahwa operasi harus dilakukan dengan turniket. Larutan one-per-mil juga aman diterapkan pada operasi kasus pediatrik dengan tidak dijumpainya nekrosis flap maupun jari anak. Berdasarkan evaluasi luaran fungsi pada seri kasus operasi pada kontraktur luka bakar dan spaghetti wrists, teknik tumescent one-per-mil menunjukkan potensinya untuk dapat diterapkan pada kasus-kasus kompleks.
Simpulan: Larutan tumescent one-per-mil aman, efektif, dan mampu terap untuk menggantikan turniket dalam operasi bedah tangan dan ekstremitas atas. Walaupun menyebabkan hipoperfusi, larutan one-per-mil tidak menyebabkan iskemia dan kematian jari. Masa tunda optimal sebelum insisi 13,9 menit, dengan mula dan lama kerja anestesi lokal masing-masing adalah 5 dan 186,8 menit.

The study series were aimed to delineate hand and upper extremity surgery without tourniquet by studying the efficacy, safety, and applicability of the one-per-mil tumescent solution.
Studies were designed as experimental studies, randomized clinical trials and clinical case series on the use of solution containing 1 : 1,000,000 epinephrine and 0.2% lidocaine. All the studies were conducted at Faculty of Medicine Universitas Indonesia and Cipto Mangunkusumo Hospital during the periode of July 2013-December 2017. Groin flaps in Sprague-Dawley rats were elevated to study the operative field clarity, the role of hydrostatic vasocompressive effect and flap survivals. Clinical trials were performed on normal subject’s fingers to know the optimal time delay by measuring SpO2, while also to delineate the role of vasocompressive effect. The practice of fully awake hand surgery was guided by clinical study to reveal the onset and duration of anaesthetic action. Case series were including grouped surgeries for the hand and upper extremity in children, post burn hand contractures, bone and joint related problems, vascular malformation, web reconstruction using flaps, and fully awake surgeries. Statistical analysis were performed using Chi-square test, Wilcoxon sign rank test, independent and pair t-test, and ANOVA. Significance was set at p < 0.05.
Studies on animal revealed 63/63 bloodless operative fields and 26/26 flaps survived even after given ischemic insult before injection. The random pattern injection technique was not significantly different from systematic pattern technique. The epinephrine group showed significantly lower TcPO2 than control group, although both experienced significant decrease of TcPO2. The mean delta of SpO2 of the epinephrine group was significantly higher than control group in the clinical study. Epinephrine showed optimal time delay 13.9 (SD 5.38) minutes. The average onset and duration of lidocaine actions were 5 (1-9) and 186.8 (SD 44.02) minutes respectively. Surgery on 77 subjects was successfully performed without tourniquet conversion. Fully awake surgery was effective in 20 out of 24 cases. Overall, bloodless operative field was achieved in 38.7%.
Epinephrine works together with hydrostatic vasocompressive effect in creating bloodless operative field in animal tissue. The safety was proven by the fact of 100% survival rate of flaps after surviving from ischemic insult. The decrease of SpO2, which was still within normal range, is an evidence of non-ischemic fingers. Both experimental and clinical studies showed that epinephrine and hydrostatic vasocompressive effect are responsible to create hypoperfusion without causing ischemia. The 14 minutes optimal time delay is relevant to the clinical practice of 7-10 minutes waiting time before incision. Besides its efficacy, the study outcome of one-per-mil tumescent technique to facilitate surgery on burn contracture breaks the old paradigm about surgery under tourniquet. The technique is also safe to be applied in paediatric patients as it showed no evidence of flap or finger necrosis. Based on the evaluation of functional outcome, one-per-mil tumescent technique is promising to be used in complicated surgeries.
In summary, one-per-mil tumescent solution is safe, effective and clinically applicable to substitute tourniquet in surgery for the hand and upper extremity. Although causing hypoperfusion, one-per-mil solution did not cause ischemia and subsequent finger necrosis. The optimal time delay is 13.9 minutes; the onset and duration of local anaesthesia is 5 and 186.8 minutes respectively.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puri Ambar Lestari
"ABSTRAK
Pendahuluan: Tujuan studi ini adalah untuk mengetahui awitan dan durasi kerja lidocaine dalam larutan one-per-mil tumescent.
Metode: Studi eksperimental dengan kontrol dan desain buta acak ganda (triple blind study) dilakukan pada 12 subjek sehat yang diinjeksikan larutan one-per-mil tumescent mengandung lidocaine 0,2% pada satu tangan atau lidocaine 2% pada tangan kontralateral. Awitan dan durasi kerja lidocaine diukur berkala dengan uji sensoris Semmes-Weinstein dan diskriminasi dua titik. Tingkat nyeri diukur dengan visual analogue scale (VAS)
Hasil: Awitan tercepat pada grup lidocaine 2% tercatat pada menit ke 1 (rentang: menit ke 1 hingga 6). Awitan rata-rata pada grup larutan one-per-mil tumescent adalah 4.67 menit (± 2.53 menit). Durasi kerja lidocaine 2% adalah 95.58 menit (± 29.82 menit), sedangkan durasi kerja larutan one-per-mil tumescent adalah 168.5 menit (± 45.1 menit) dengan uji diskriminasi dua titik dan 186.83 menit (± 44.02 menit) dengan uji sensoris Semmes-Weinstein. Terdapat perbedaan awitan dan durasi kerja yang signifikan pada kedua grup. Tidak ditemukan perubahan sensibilitas ujung jari yang signifikan pada kedua grup pada saat sebelum dan sesudah intervensi.
Kesimpulan: Studi ini menunjukkan awitan dan durasi kerja lidocaine dalam larutan one-per-mil tumescent adalah rata-rata 4,67 dan 168,5 menit. Lidocaine 0,2% dalam larutan one-per-mil tumescent menghasilkan awitan yang lebih lambat dan durasi kerja yang lebih panjang dibandingkan dengan lidocaine 2%.

ABSTRACT
Background: We aimed to profile the onset and duration of action of the lidocaine in one-per-mil tumescent solution.
Methods: A controlled, prospective, and randomized triple blind study was conducted on both hand of 12 healthy volunteers who were injected in two consecutive days in his ring finger with either one-per-mil tumescent solution containing 0.2% lidocaine (experimental finger) in one hand or 2% lidocaine (control finger) in the contralateral hand. The onset and duration of action of lidocaine were measured over time by Semmes-Weinstein and two-point discrimination test. The level of pain was evaluated using visual analogue scale (VAS).
Results: The fastest onset of action in 2% lidocaine group was in the first minute (range, minute 1 to 6). Average onset of action of one-per-mil tumescent solution was 4.67 minutes (± 2.53 minutes). Duration of action of 2% lidocaine was 95.58 minutes (± 29.82 minutes), meanwhile the duration of one per-mil tumescent solution was 168.5 minutes (± 46.4 minutes) by 2PD test and 186.83 minutes (± 44.02 minutes) by SW test. There were significant difference of the onset and duration of action of both groups. Fingertip sensibility before and after the intervention did not change significantly in both group.
Conclusion: This study shows that the onset and duration of action of lidocaine in the one-per-mil solution injected in the finger using tumescent technique subsequently at 4.67 and 168.5 minutes in average. 0.2% lidocaine in one-per-mil tumescent solution produced slower onset and longer duration of action compared to 2% lidocaine."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Seivilia Artanti
"ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas dan keamanan pada pemberian midriatika injeksi epinefrin intrastroma kornea dengan intrakamera pada vitrektomi pars plana. Sebelum vitrektomi dilakukan pengukuran diameter pupil serta diameter pupil optimal yang diperoleh. Ketebalan sentral dan densitas kornea diukur menggunakan spekular mikroskop Non Conrobo Konan sebelum vitrektomi, saat follow-up 1 hari dan 1 minggu paska vitrektomi. Perbedaan bermakna p=0.015 untuk delta perubahan diameter pupil kelompok injeksi epinefrin intrastroma dibandingkan kelompok intrakamera. Rerata mean pada injeksi epinefrin intrakamera terhadap Central Corneal Thickness CCT awal, 1 hari dan 1 minggu terdapat perbedaan bermakna p = 0.041. Delta diameter pupil pada pemberian injeksi epinefrin intrastroma lebih lebar dibandingkan dengan intrakamera pada vitrektomi pars plana. Ketebalan CCT 1 minggu setelah tindakan pada injeksi epinefrin intrastroma kornea lebih rendah dibandingkan dengan intrakamera.

ABSTRACT
This thesis is to determine the effectiveness and safety of intrastromal epinephrine injection with intracameral injection on pars plana vitrectomy. The measurement of pupil diameter was done before vitrectomy and optimal pupil diameter is obtained. Central corneal thickness CCT and Endothelial Cell Density ECD were measured using a specular microscope Non Conrobo Konan before vitrectomy, at follow up 1 day and 1 week after vitrectomy. Optimal pupil diameter no significant difference p 0.05 . The difference was significant p 0.015 for the delta changes in pupil diameter intrastromal epinephrine injection group compared to the group intracameral. Average mean in epinephrine injection group intrakamera the initial CCT, 1 day and 1 week there is a significant difference p 0.041. Delta pupil diameter in epinephrine injection intrastromal wider than intracameral injection. CCT thickness 1 week after the epinephrine corneal intrastromal injection is lower than intracameral injection. "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library