Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ramzi
Abstrak :
Tujuan Mengetahui efektifitas krim EMLA dalam mengurangi kekerapan dan derajat nyeri saat dilakukan pungsi epidural. Metode Up Klinik Acak Ganda Penelitian dilakukan di Insta1asi Bedah Pusat RSCM pada bulan Februari sampai dengan Maret 2006 dengan jumlah sampel 64 pasien dewasa yang menjalani operasi berencana dan anestesia epidural Pasien dibagi secara acak ke dalam 2 kelompok 32 pasien mendapatkan 2 5 gram krim EMLA dioleskan pada daerah L45 90 menit sebelum dilakukan pungsi epidural dan 32 pasien lainnya mendapatkan 20 mg Lidokain infiltrast 2 menit sebelum pungsi epidural Dilakukan pencatatan nilai Visual Analogue Scale dan derajat nyeri secara obyektifsaatjarum epidural mencapai kedalaman 0 5 1 cm dan permukaan kulit dan pada saat engaged Analisa statistik untuk melihat perbedaan kekerapan antara kedua perlakuan menggunakan up Chi Square sedangkan untuk membandingkan derajat nyeri kedua perlakuan menggunakan up Kolmogorov Smirnov. Hasil Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara kedua kelompok perlakuan dalam hal kekerapan dan derajat nyeri yang dihasilkan saat pungsi epidural.
Objective To observe the effectiveness of EMLA cream in reducing the frequency and degree of pain in epidural puncture Methods Non blinded randomized clinical trial The study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital Central Surgery Room from February until March 2006 to 64 adult patients who went to elective surgery and were planned to be under epidural anesthesia Patients were divided randomly into two groups The EMLA group was consist of thirty two patients rubbed with 25 gram EMLA cream on their L45 area ninety minutes before the epidural puncture began The other thirty two patients was infiltrated with 20 mg Lidocaine two minutes before the epidural puncture. When the epidural needle-puncture reached the depth 0f05 1 cm from the skin surface and when engaged Visual Analogue Scale and degree ofpazn was recorded objectively Chi Square method was performed to identify the frequency difference between the two groups While at the same time Kolmogorov-Smirnov method was also performed to identify the degree of pain difference between the two groups. Conclusion There were no significant statistical differences between the two groups in a matter offrequency and degree ofpazn in epidural puncture
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ikhsan Amran
Abstrak :
Latar Belakang : Penanganan nyeri pascabedah merupakan tantangan bagi dokter anestesi dan merupakan penyebab tersering pemanjangan lama rawatan pasien di ruang rawat. Pemantauan oleh tim Acute Pain Service (APS) dan penggunaan metoda analgesia modern sudah terbukti dapat mengurangi kejadian nyeri pascabedah. Masalah baru manajemen nyeri pada masa peralihan analgesia dari metoda modern ke analgesik dasar. Peningkatan nyeri akibat kesenjangan pada periode transisi ini disebut dengan analgesia gap. Saat ini faktor resiko kejadian analgesia gap belum jelas. Peneliti ingin mengetahui pengaruh jenis operasi, lama pemberian epidural, jenis obat analgesik dan kepatuhan pemberian obat analgesik sebagai faktor risiko terjadinya analgesia gap pada pasien pascabedah di RSCM. Metode : Penelitian ini uji kohort prospektif prediktif pada pasien pasca-APS di RSCM. Subjek penelitian 220 sampel. Semua sample diambil data kejadian analgesia gap, selain itu dicatat status data demografis, jenis operasi, lama pemberian epidural, jenis obat analgesik yang diberikan dan kepatuhan pemberian obat berdasarkan waktu pemberian. Hasil : Angka kejadian analgesia gap di RSCM sebesar 26.6%. Faktor jenis operasi dan lama pemberian epidural tidak memiliki hubungan bermakna terhadap kejadian analgesia gap (p 0.057 dan p 0.119). Faktor jenis obat analgesic yang diberikan dan kepatuhan waktu pemberian obat analgesic di ruangan bermana secara statistic bermakna secara statistik terhadap kejadian analgesia gap (p 0.016 dan p 0.00). Pemberian gabungan opioid dan OAINS/asetaminofen dapat menurunkan kejadian analgesia gap. Pemberian obat analgesik sesuai waktu pemberian dapat menurunkan kemungkinan terjadinya analgesia gap sebesar 4,5x dibandingkan dengan tidak diberikan obat (RR 0.22) dan menurunkan sebesar 3,33x dibandingkan dengan tidak diberikan obat (RR 0.3). Simpulan : Angka kejadian analgesia gap di RSCM sebesar 26.6%. Jenis obat analgesik dan kepatuhan waktu pemberian obat analgesik di ruang rawat berhubungan terhadap kejadian analgesia gap. Pemberian obat analgesik sesuai waktu pemberian dapat menurunkan terjadinya analgesia gap sebesar 4,5x dibandingkan dengan tidak diberikan obat dan menurunkan sebesar 3,33x dibandingkan dengan tidak diberikan obat. ...... Background : Post-operative pain management has been a challenged for anesthesiologist for decades and causes prolonged hospital stays for patients. The monitoring by acute pain service team and use of advanced analgesia clearly can reduce of analgesia pain. New challenge of post-operative pain managements is the management transition from advanced analgesic support to analgesic drugs. Increased pain during transition from post-epidural analgesia to oral analgesic, is defined as analgesic gap. Risk factors of analgesic gap are not clearly known. This study aims to observe the prediction of analgesia gap in RSCM based on type of surgery, duration of epidural, type of analgesic drugs and drugs administration adherence. Method : This study is a predictive prospective cohort in post-APS patients in RSCM. This research subjects were 220 samples. Samples were selected based on the analgesia gap occurrence data, as well as demographic data, type of surgery, duration of epidural analgesia, type of analgesic drugs, timing of drugs administration. Result : The Incidence of analgesic gap in RSCM is 26.6%. Types of operation and duration epidural analgesia administration are not statistically related to incidence of analgesic gap (p 0.057 and p 0.119). However, types of analgesic drugs in ward and timing of drugs administration are related to incidence of analgesic gap (p 0.016 and p.00). Combining opioid and NSAID/asetaminofen are recommended to reduce analgesic gap. Administering drugs on scheduled lowers the incidence of analgesic gaps 4.5 times un-administered (RR 0.22) and 3.3 times than if administering not on schedule (RR 0.3). Conclusion : The incidence of analgesic gap in RSCM is 26.6%. Types of analgesic drugs and timing of drugs administration are related to incidence of analgesic gap. Combining opioid and NSAID/asetaminofen and administering drugs on scheduled lower incidence of analgesic gap.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Prediksi kedalaman rongga epidural pada pediatrik untuk menghindari komplikasi tertusuknya dura. Rumus Bosenberg 1 mm/kgbb merupakan rumus yang sering digunakan untuk menentukan jarak kulit ke rongga epidural (loss of resistance) pada pasien pediatrik pada ras Kaukasia. Terdapat perbedaan anatomi antara ras Asia dan Kaukasia, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah rumus Bosenberg 1 mm/kgbb tepat digunakan untuk menentukan jarak kulit ke rongga epidural pada pasien pediatrik ras Melayu dan faktor apa saja yang berhubungan untuk menentukan kedalaman rongga epidural. Metode : Penelitian ini adalah uji Bland Altman dan analisis regresi dengan pengambilan data dari rekam medis pasien pediatrik ras Melayu yang menjalani tindakan anestesia epidural pada bulan Januari 2011-Juli 2015 di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Sebanyak 67 subjek yang menjalani tindakan anestesia epidural. Data yang diolah berupa usia, berat badan, tinggi badan dan loss of resistance (LOR). Dengan menggunakan SPSS 22, dilakukan uji Bland Altman terhadap LOR aktual dan LOR yang didapat berdasarkan rumus Bosenberg. Analisis regresi linear digunakan pada variabel usia, berat badan dan tinggi badan untuk menentukan hubungan antara ketiga variabel ini terhadap LOR. Hasil : Empat belas subjek dikeluarkan dalam penelitian karena data tidak lengkap dan terdapat kriteria ekslusi pada subjek. Tersisa 53 subjek yang masuk dalam penelitian ini. Uji Bland Altman menghasilkan rentang nilai limit of agreement -4,41 sampai 3,15. Nilai ini mempunyai rentang yang cukup lebar dari nilai limit of agreement yang diharapkan (-1,25 dan 1,25). Pada analisis bivariat diperoleh korelasi sangat kuat terhadap usia (r= 0,809), berat badan (r=0,966), dan tinggi badan (r=0,906). Analisis regresi linear menghasilkan tiga persamaan dari tiap-tiap variabel dengan nilai R 2 tertinggi adalah berat badan (92,7%) diikuti tinggi badan (75,9%) dan usia (57%). Simpulan: Rumus 1 mm/kgbb tidak tepat digunakan untuk menentukan jarak kulit ke rongga epidural pada pasien pediatrik ras Melayu di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Terdapat hubungan antara usia, berat badan, dan tinggi badan terhadap jarak kulit ke rongga epidural.
ABSTRACT
Background : Skin-epidural distance prediction on pediatric patient undergoing procedure is necessary to prevent complication. Bosenberg prediction formula of 1 mm/kg of body weight is widely used in Caucasian pediatric patient. However, there is anatomical variation between Caucasian and Asian which created question on the accuracy of Bosenberg prediction formula if used on Malayan pediatric population and factors related to skin-epidural distance in these population. Methods : This study use cross-sectional design in which the data from medical record was used to collect information about age, weight, height and skin-epidural distance from pediatric (loss of resistance) patient undergoing epidural procedure. SPSS 22 was used to perform statistical calculation on this set of data. Accuracy of Bosenberg formula was analysed using Bland-Altman test in which the skinepidural distance measured using loss of resistance (LOR) compared with prediction from Bosenberg formula. Linear regression analysis was used to identify predictor variable for skin-epidural distance. Result : 67 subject was recruited for the study in which 14 was not included in analysis because the exclusion criteria. Bland-altman test reveal limit of agreement between -4,41 and 3.15 which is significantly larger than the expected limit of agreement (-1,25 to 1.25). There is strong corelation between age, weight and height to skin-epidural distance. The regression model derived from weight variable have the strongest power to predict skin-epidural distance (R value for weight, height and age based model is 92.7%, 75.9% and 57% respectively. Conclusion : The Bosenberg prediction formula of 1 mm/kg of body weight is not accurate to predict skin-epidural distance in Malayan pediatric population. There is relationship between age, height, and weight to skin-epidural distance in Malayan pediatric patient.
2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yulinda Abdullah
Abstrak :
Latar belakang : Kelemahan anestesia epidural adalah mula kerja yang lebih lama. Berbagai upaya dicoba dilakukan untuk mempercepat mula kerja anestesia epidural. Salah satunya adalah penambahan fentanil ke dalam obat anestesia lokal. Penelitian ini melihat pengaruh penambahan fentanil 100µg pada anestesia epidural ropivakain 0,75% terhadap mula kerja blok sensorik dan blok motorik. Metode : Penelitian ini dilakukan pada 28 subyek penelitian yang Akan menjalani anestesia epidural dengan ASA I-II dengan uji klinis tersamar ganda . Subyek penelitian dibagi dua kelompok. Kelompok A(fentanil) yaitu penambahan fentanil 100µg 2m1 dan kelompok B (kontrol) penambahan NaCl 0,9% 2 ml ke dalam ropivakain 0,75% 13 ml. Dilihat dan dicatat mula kerja blok sensorik dermatom setinggi T10, T8, T6, T5 dan T4 dengan tes Pinprick. Dan dilihat dan dicatat mula kerja blok motorik dengan skala Bromage 1 & 2. Perubahan hemodinamik dan efek samping infra operatif juga dilihat dan dicatat. Hasil : Mula kerja blok sensorik setinggi dermatom T10, T8, T6, T5 lebih cepat pada kelompok A (fentanil) dibanding kelompok B (kontrol) dengan p<0,001. Pencapaian blok sensorik setinggi dermatom T5 pada kelompok B (kontrol) hanya 85,7%. Pencapaian blok sensorik setinggi dermatom T4 hanya 14,3% pada kelompok A (fentanil) dan 21,4% pada kelompok B (kontrol), denganp>0,05. Mula kerja blok motorik dengan skala bromage 1&2 lebih cepat pada kelompok A (fentanil) dibanding kelompok B (kontrol), dengan p<0,001. Tidak ada perbedaan yang bermakna pada tekanan darah , laju nadi, laju nafas dan efek samping yang terjadi pada kedua kelompok selama penelitian. Kesimpulan : Penambahan fentanil 100 µg pada anestesia epidural ropivakain 0,75% mempercepat mula kerja blok sensorik dan blok motorik.
Background : We wanted to know the effect offentanyl 100 pg added to ropivacain 0, 75% to the onset of motor and sensory block in epidural anesthesia. Method : The study was done to 28 patients, ASR I II in a randomized double blind study. We randomly allocated them into two groups, the first group received fentanyl 100 pg and the second group received NaCl 0,9% added to ropivacaine 0,75% 13 ml. We observed the onset of sensory block to reach TI0, T8, T6, T5, and T4 by using pinprick test. The onset of motor block was observed using the bromage scale. We also took note of the hemodynamic changes and adverse effects that happened intro operative. Result : The fentanyl group reach sensory block as high as T10, T8, and T6 faster than the control group. Only 85,7% patients in the control group can reach sensory block as high as T5. In both groups less than 25% patients can reach sensory block as high as T4. Motoric block was faster in the fentanyl group than the control group. We didn't notice any difference in homodynamic profile nor adverse effects found in the two groups. Conclusion : The addition offentanyl 100 pg to ropivacaine 0,75% will speed up the onset of sensory and motor block in epidural anesthesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18004
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wismaji Sadewo
Abstrak :
Trauma atau kecelakaan di beberapa negara maju cenderung meningkat dari tahun ke tahun, bahkan merupakan penyumbang angka kematian dan kesakitan tertinggi menggantikan infeksi, penyakit cardio vaskuler, neoplasma dan carat bawaan. Di negara maju epidemiologi kecelakaan berubah seiring dengan perubahan masyarakat moderen dalam pandangan mereka tentang penggunaan helem, sabuk keselamatan, kebiasaan minum dan Cara mengendara; yang lebih penting lagi adalah peningkatan penanganan pra rumah sakit oleh masyarakat awam dan penanganan rumah sakit oleh tenaga medic. Hingga ini belum ada penelitian yang mencari kaitan kondisi klinis radiologis dan temuan operatif untuk membuat prediksi pada pasien dengan epidural hematoma traumatika dan hat ini berguna untuk edukasi dan persetujuan medis bagi keluarga pasien. Berdasar dari pemikiran inilah maka penelitian ini dilakukan dengan harapan bahwa hasil yang diperoleh dapat dipakai sebagai salah satu acuan ataupun menjadi rujukan dalam menentukan standar baku pengelolaan epidural hematoma akibat trauma kepala di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. RUMUSAN MASALAH Belum ada data karakteristik klinis, radiologis dan temuan operatif penderita dengan epidural hematoma traumatika di Bagian Bedah Saraf FKUI/RSUPNCM. Belum adanya acuan atau prosedur standar yang dtetapkan untuk membuat prediksi penderita dengan epidural hematoma baik yang perlu tindakan operasi maupun yang diiakukan konservasi.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
hapus4
Abstrak :
Epidural hematoma merupakan perdarahan yang terjadi antara tulang kranium dan duramater. Dua pertiga penderita epidural hematoma terjadi pada usia kurang dari 40 tahun, jarang terjadi pada usia diatas 60 tahun, hal ini disebabkan pada usia tua secara anatomis terdapat perlekatan-perlekatan antara kranium dan duramater. Usia kurang dan 40 tahun merupakan usia dengan aktivitas yang sangat tinggi, sehingga merupakan masa yang rawan terjadinya trauma kapitis akibat kecelakaan lalu lintas atau faktor trauma lain yang banyak menyebabkan terjadinya perdarahan epidural. Penegakan diagnosis perdarahan epidural selain dari anamnesis dan pemeriksaan klinis pasien, juga dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang seperti Brain CT-Scan sehingga dapat ditentukan kriter+a inklusi dan ekslusi penderita perdarahan epidural sesuai dengan tujuan penelitian. Tidak semua kasus epidural hematoma yang dibawa ke IGD RSUPN CM memerlukan tindakan operasi, hal ini disebabkan disamping karena memang tidak terindikasi juga disebabkan hal - hal lain yang berakibat batalnya tindakan operasi yang bersifat non medis. Berdasarkan data - data kasus perdarahan epidural yang datang ke bagian Gawat Darurat RSUPN CM selama periode tiga tahun ( 2001 - 2004) serta keterkaitannya dengan berbagai faktor yang berhubungan dengan kasus tersebut, kami membuat suatu penelitian bersifat retrospektif yang diambil dari rekam medik penderita perdarahan epidural yang datang ke IGD RSUPN CM selama tiga tahun. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menelaah berbagai faktor yang berhubungan dengan perdarahan epidural yang dibuat dalam bentuk variabel - variabel tertentu yang sangat berkaitan, sehingga diharapkan dapat membenkan masukan bagi pihak - pihak yang membutuhkan khususnya bagian bedah saraf RSCM guna menurunkan angka kecacatan dan kematian akibat kasus trauma kepala khususnya yang disebabkan oleh perdarahan epidural. Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Belum ada data penelitian penderita perdarahan epidural pada tiga tahun terakhir, di RSUPN CM, khususnya di Bagian Bedah Saraf 2. Belum ada data demografis penderita trauma kepala umumnya dan penderita perdarahan epidural khususnya, baik menyangkut umur, jenis kelamin, penyebab perdarahan maupun hal - hal lain yang berhubungan dengan kasus perdarahan epidural 3. Belum pemah diteliti faktor - faktor yang mempengaruhi prognosis penderita perdarahan epidural di RSUPN - CM.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Nur Sudarmi Wiratanoeningrat
Abstrak :
ABSTRAK Latar Belakang: Manajemen nyeri pascabedah yang efektif dapat memberikan pemulihan cepat, mengurangi biaya perawatan dan tercapainya kenyamanan serta kepuasan pasien. Pemberian analgesia epidural dapat digunakan secara Continuous Epidural Infusion/ CEI. Epidural kontinu memberikan  derajat analgesia yang stabil, mencegah fluktuasi dalam meredakan nyeri dengan gangguan kardiovaskular minimal. Saat dilakukan chest physiotherapy pascabedah dengan pemberian CEI, pasien lebih kooperatif sehingga meningkatkan kepuasan pasien. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbandingan efektivitas antara teknik CEI dengan IEB pada pemberian morfin 4 mg dan bupivakain 0.125%  per 24 jam. Metode: Penelitian uji klinik acak tidak tersamar ini melibatkan 36 subjek pascabedah abdomen bawah, urologi dan ginekologi  dari Januari sampai Maret 2018. Dilakukan consecutive sampling kemudian dibagi melalui  randomisasi menjadi 2 kelompok CEI dan IEB. Pada kelompok CEI mendapatkan morfin 4 mg + bupivakain 0,125% 60 mg (total volume 48 ml) kecepatan 2 ml/jam drip selama 24 jam, tanpa inisial bolus. Kelompok IEB, mendapatkan morfin 2 mg + bupivakain 0,125% 5 mg (total volume 4 ml) tiap 12 jam. Penelitian ini Membandingkan derajat nyeri istirahat dan bergerak pada menit ke-0, jam ke-6, jam ke-12 dan jam ke-24, saat pertama kali pasien membutuhkan analgesik tambahan  dan jumlah pemberian ketorolak dan efek samping analgesia epidural pada kedua grup dalam 24 jam pertama. Hasil: Kedua kelompok sama efektif dalam  mengontrol nyeri pascabedah secara klinis. Saat menit ke-0, jam ke-6, jam ke-12 dan jam ke-24 berdasarkan rentang NPS termasuk nyeri ringan-sedang, dengan nilai median derajat nyeri bergerak 2-3 dan derajat nyeri istirahat 1-2, meski tidak  ada perbedaan bermakna secara statistik. Simpulan : Tidak ada perbedaan efektivitas antara teknik CEI dengan IEB pada pemberian morfin 4 mg dan bupivakain 0.125%  per 24 jam.
ABSTRACT Background: An Effective post-operative pain management can improve recovery period, reduce cost, and give comfort and satisfaction to the patient. Epidural analgesia can be given continuously (Continuous Epidural Infusion/ CEI) or intermittently (Intermittent Epidural Bolus/IEB). However, continuous epidural analgesia provides stable analgesia level. It prevents fluctuation in pain with minimal cardiovascular disruption. Patient with CEI is more cooperative in the effectiveness chest physiotherapy hence improve patient satisfaction. This study aims to compare the effectiveness between CEI and IEB for lower abdomen and urology post-operative epidural analgesia using of 4 mg morphine and bupivacaine 0125% in 24 hours. Methode: This study was a randomized control trial. 36 Subjects were taken from January to March 2018. Were selected consecutively randomized into two groups: In CEI group, morphine 4 mg + bupivacaine 0,125% 60 mg (total volume 48 ml) with speed 2 ml/hour in 24 hour) was given post-operatively, without initial boluses. In IEB group, morphine 2 mg + bupivacaine 0.125% 5 mg (total volume 4 ml)  was give every 12 hours. This study evaluate the degree of pain (rest and active condition) in 0 minute, 6 hour, 12 hour, and 24 hour post-operative, rescue analgesia time (ketorolac iv), and side effect of epidural analgesia in two groups within first 24 hour. Result: The effectiveness in controlling post-operative pain between two groups was similar. Clinically, pain in 0 minute, 6 hour, 12 hour, and 24 hour in two groups according to NPS range were classified as mild-moderate pain, with median value of pain degree (active condition) was 2-3 and pain degree (rest) was 1-2, although not statistically significant. Conclusion: There is no difference the effectiveness between CEI and IEB for lower abdomen and urology post-operative epidural analgesia using of 4 mg morphine and bupivacaine 0125% in 24 hours.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58585
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aritonang, Ronald Christian Agustinus
Abstrak :

Latar Belakang: Nyeri pascaoperasi pada laparotomi transplantasi ginjal dikategorikan pada nyeri sedang sampai berat. Tatalaksana nyeri yang efektif dapat membantu pemulihan yang lebih baik. Epidural kontinyu merupakan pilihan analgesia yang digunakan pada operasi laparotomi transplantasi ginjal di RSCM  namun ditemukan masih adanya pasien yang merasakan nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas antara blok Quadratus Lumborum (QL) bilateral dengan blok epidural kontinyu terhadap derajat nyeri dan kebutuhan morfin pascaoperasi.

Metode: Penelitian ini merupakan uji kontrol acak pada 38 pasien yang menjalani operasi laparotomi resipien transplantasi ginjal di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Sesaat sebelum pasien diekstubasi, 20 subjek dalam kelompok blok QL bilateral mendapatkan ropivacaine 0,375% sebanyak 20 mL bilateral dan 18 subjek pada kelompok epidural kontinyu mendapatkan infus epidural ropivakain 0,2% 6 mL/jam. Hasil dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan uji statistik Mann Whitney. 

Hasil: Penelitian ini tidak menemukan perbedaan bermakna derajat nyeri VAS istirahat antara kelompok blok epidural dan kelompok blok QL pada saat di RR, jam ke-2, jam ke-6, jam ke-12, dan jam ke-24 (p = 0,228; 0,108; 0,224; 0,056 dan 0,179). Tidak terdapat perbedaan VAS bergerak antara kedua kelompok saat di RR, jam ke-2, jam ke-6, jam ke-12, dan jam ke-24 (p = 0,813; 0,865; 0,947; 0,063; dan 0,408). Kebutuhan morfin pada 24 jam pascaoperasi tidak menunjukkan perbedaan bermakna pada semua jam pengukuran (p = 0,380; 0,425; 0,664; 0,854). Waktu saat pertama kali menekan PCA morfin juga tidak bermakna dengan p 0,814. Ketinggian blok pada 1 jam pascaoperasi pada kedua kelompok sama, yaitu blokade 100% pada T10-L1. Tidak terdapat perbedaan dosis minimal dan maksimal dobutamin dan norepinefrin antara kelompok QL dan epidural kontinyu. Jumlah produksi urin 24 jam, skor Bromage, dan skor Ramsay tidak berbeda pada kedua kelompok.

Simpulan: Blok QL tidak memberikan efek analgesia yang lebih baik daripada blok epidural kontinyu.


Background: Postoperative pain in laparatomy for kidney transplant is moderate to severe. Effective postoperative pain promotes better recovery. Continuous epidural is the current analgesia of choice in laparatomy for kidney transplant in Cipto Mangunkusumo Hospital; however, undermanaged pain was still reported. This study aims to compare the effectivity between bilateral Quadratus Lumborum block and continuous epidural in managing pain and reducing morphine requirement.

Methods: This is a randomized controlled study on 38 patients undergoing laparatomy for kidney transplant in Cipto Mangunkusumo Hospital. Before extubation, 20 subjects in QL group received 20 ml 0.375% ropivacaine while 18 subjects in continuous epidural group received epidural infusion of 0.2% ropivacaine at 6 ml/hour. The result was analysed using Mann Whitney test.

Results: This study found no difference between resting VAS score of QL and epidural group in recovery room, at 2nd, 6th, 12th, and 24th hour (p = 0,228; 0,108; 0,224; 0,056 dan 0,179). There was no difference between moving VAS of both groups in recovery room, at 2nd, 6th, 12th, and 24th hour (p = 0,813; 0,865; 0,947; 0,063; dan 0,408). Morphine requirement on 24th hour post surgery showed no difference in all observed hours (p = 0,380; 0,425; 0,664; 0,854). Time to first PCA press was also insignificant (p 0,814). Block height at 1st hour post surgery was the same in both groups, with 100% blockade at T10-L1. There were no difference at minimal and maximal dobutamine and norepinephrine dose in between the two groups. Total 24 hour urine production, Bromage score, and Ramsay score was not different in both groups.

 

Conclusion: QL block did not provide better analgesia compared to continuous epidural.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58711
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rialta Hamda
Abstrak :
Background. One way to reduce pain during epidural needle insertion is infiltration of lidocaine using a needle. However, infiltration of lidocaine using the needle alone is a painful process. Free needle infiltration of lidocaine can be an alternative to reduce epidural needle insertion pain. The study of Gozdemir et al. found that 10% lidocaine infiltration without needle was less painful than 2% lidocaine infiltration with a 27G needle with no significant difference in analgesia effect during epidural needle insertion. This study aimed to compare infiltration of lidocain with and without needle for epidural needle insertion in a double-blind study, using a Tuohy needle, Comfort-inTM injector, and wider surgical group as novelty from previous studies. Methods. This study was a double blind randomized controlled trial. Data collection was carried out consecutively on 84 subjects with 42 subjects in each group of lidocaine infiltration without needles and lidocaine infiltration with 23G needles. The effectiveness of analgesia was assessed from three variables like pain with a Numeric Pain Rating Scale (NPRS) of 0 to 10 during lidocaine infiltration, pain with NPRS during epidural needle insertion, and patient movement during epidural needle insertion. Results. Lidocaine infiltration without needle was less painful with an NPRS of 0 (0-6.0) than lidocaine infiltration with needle with an NPRS of 2.5 (0-7.0) with a p value of 0.0001. Epidural needle insertion was more painful for the lidocaine infiltration without needle group with an NPRS of 6.0 ± 3.1 than the lidocaine infiltration with needle group with an NPRS of 4.0 ± 3.6 with a p value of 0.007. There were 20 patients (47.6%) who moved during epidural needle insertion in the lidocaine infiltration without needle group and 12 patients (28.6%) in the lidocaine infiltration with needle group with a p value of 0.116. No patient experienced any side effects when lidocaine infiltration was performed. There was no significant difference between the two groups for satisfaction. Conclusions. Infiltration of lidocaine without needle was shown to be ineffective as analgesia in epidural needle insertion because only one of the three variables of analgesia effectiveness were met in this study ......Latar belakang. Salah satu cara untuk mengurangi nyeri saat insersi jarum epidural adalah infiltrasi lidokain menggunakan jarum. Namun infiltrasi lidokain menggunakan jarum sendiri adalah proses yang menimbulkan nyeri. Infiltrasi lidokain tanpa jarum dapat menjadi alternatif untuk mengurangi nyeri insersi jarum epidural. Penelitian Gozdemir menemukan bahwa infiltrasi lidokain 10% tanpa jarum lebih tidak nyeri dibanding infiltrasi lidokain 2% dengan jarum 27G dengan efek analgesia yang tidak berbeda bermakna saat dilakukannya insersi jarum epidural. Penelitian ini ingin meneliti perbandingan infiltrasi lidokain 2% tanpa jarum dan dengan jarum sebagai analgesia pada insersi jarum epidural dengan cara double blind, menggunakan jarum Tuohy, alat injektor Comfort-inTM, dan pada kelompok operasi yang lebih luas sebagai pembeda dengan studi yang sudah dilakukan sebelumnya. Metode. Penelitian ini merupakan randomized controlled trial dengan double blind. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif pada 84 subjek dengan 42 subjek pada masing-masing kelompok infiltrasi lidokain tanpa jarum dan infiltrasi lidokain dengan jarum 23G. Efektifitas analgesia dinilai dari tiga variabel yaitu nyeri dengan Numeric Pain Rating Scale (NPRS) 0 sampai dengan 10 saat dilakukannya infiltrasi lidokain, nyeri dengan NPRS saat insersi jarum epidural, dan gerakan pasien saat dilakukannya insersi jarum epidural. Hasil. Infiltrasi lidokain tanpa jarum lebih tidak nyeri dengan NPRS 0 (0-6,0) dibanding infiltrasi lidokain dengan jarum dengan NPRS 2,5 (0-7,0) dengan nilai p 0,0001. Insersi jarum epidural dirasakan lebih nyeri oleh kelompok tanpa jarum dengan NPRS 6,0 ± 3,1 dibanding kelompok dengan jarum dengan NPRS 4,0 ± 3,6 dengan nilai p 0,007. Pasien yang bergerak saat insersi jarum epidural pada kelompok tanpa jarum sebanyak 20 pasien (47,6%) dan kelompok dengan jarum sebanyak 12 pasien (28,6%) dengan nilai p 0,116. Tidak ada pasien yang mengalami efek samping saat infiltrasi lidokain dilakukan. Tidak ada perbedaan bermakna pada kedua kelompok untuk kepuasan. Simpulan. Infiltrasi lidokain tanpa jarum terbukti tidak efektif sebagai analgesia pada insersi jarum epidural karena hanya satu dari tiga variabel efektifitas analgesia yang terpenuhi pada penelitian ini.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Banyak keuntungan yang ditawarkan pada penggunaan tehnik anestesi epidural, namun dibalik itu terdapat pula beberapa masalah, diantaranya mula kerja yang relatif lama (lebih-lebih bila menggunakan bupivakain); padahal kasus-kasus emergency yang membutuhkan tehnik anestesi dengan mula kerja cepat semakin meningkat akhir-akhir ini. Dilandasi upaya memecahkan masalah tersebut, yaitu mempercepat mula kerja bupivakain, dilakukan uji klinis potong lintang acak buta ganda pada 40 penderita yang akan menjalani bedah abdomen dan ekstremitas bagian bawah dengan blok epidural, untuk mempelajari mula kerja bupivakain dengan penambahan natrium bikarbonat. Subyek diambil secara consecutive sampling dengan kriteria seleksi ASA I – II, umur 20-60 tahun, berat badan 50-60 kg, tinggi badan 150-170 cm. Secara acak subyek tersebut dialokasikan ke dalam 2 kelompok, dimana kelompok perlakuan mendapatkan blok epidural (penusukan pada L3 – 4, posisi tidur miring ke kiri) menggunakan campuran 20 cc bupivakain 0,5 % + 0,5 cc natrium bikarbonat 1,4 %, sedangkan kelompok kontrol mendapatkan 20 cc bupivakain 0,5 % + 0,5 cc aquabides. Waktu untuk mencapai blok sensorik setinggi dermatom torakal 10 diukur berdasarkan hasil “pin-prick” dan waktu untuk mencapai blok motorik berdasarkan “Skala Bromage”. Hasil penelitian menunjukkan pemendekan mula kerja blok sensorik yang sangat bermakna (p<0,01) pada kelompok perlakuan (10,2 + 1,4 menit) dibanding kelompok kontrol (19,5 + 1,3 menit). Demikian pula mula kerja blok motorik juga mengalami pemendekan yang sangat bermakna (p<0,01) pada kelompok perlakuan (13,3 + 1,6 menit) dibanding kelompok kontrol (23,0 + 1,2 menit). Disimpulkan bahwa penambahan natrium bikarbonat dapat mempercepat mula kerja bupivakain pada blok epidural. (Med J Indones 2004; 14: 7-10)
There are many advantages in using epidural anesthesia technique. However, there are also some constraints, such as the relatively long onset, particularly in the case of bupivacaine. Whereas the need of a rapid onset of anesthesia technique for emergency cares is increasing lately. The objective of this study was to find a method to hasten the onset of bupivacaine. This is a cross sectional randomized double blind controlled clinical trial performed on 40 patients who would undergo lower abdomen and extremity surgery with epidural block. We evaluated the onset of action of bupivacaine which has been added with sodium bicarbonate. Consecutive sampling method was applied to get the sample. The criteria of sample are ASA I – II patient, aged of 20-60 years old, 50-60 kg of weight, 150-170 cm of height. Patients were allocated randomly into two groups. The treatment group would get epidural block using mixture of 20 cc of bupivacaine 0,5 % + 0.5 cc of sodium bicarbonate 1.4 %, whereas the control group received 20 cc bupivacaine 0.5 % + 0.5 cc aqua bides. Time to reach sensoric block at the level of thoracal 10 dermatome using the pinprick method and time to reach motoric blockade using the bromage scale was recorded. The result of this study showed a significant shortening of the onset of sensory blockade (p<0.05) in the treatment group (10.2+1.4 minutes) compared with the control group (19.5+1.3 minutes). The onset of motor blockade had also a significant shortening (p<0.05) in the treatment group(13.3+1.6 minutes) compared with the control group (23.0+1.2 minutes). It was concluded that the addition of sodium bicarbonate can hasten the onset of bupivacaine on epidural block. (Med J Indones 2004; 14: 7-10)
Medical Journal of Indonesia, 14 (1) January March 2004: 7-10, 2004
MJIN-14-1-JanMar2005-7
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>