Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andita Dwiputeri Erwidodo
"Latar belakang: Microscopic Ear Surgery (MES) memiliki kelebihan berupa stereoskopis dan operator dapat menggunakan kedua tangan untuk memegang alat. Mikroskop memiliki karakteristik penglihatan sudut pandang lurus dan terbatas, sehingga mulai diperkenalkan Endoscopic Ear Surgery (EES) memiliki sudut pandang luas dan panoramik. Korda timpani berisiko mengalami cedera iatrogenik selama operasi yang mengakibatkan dysgeusia (sensasi logam, pahit, asin, perih, mulut kering atau lidah mati rasa). Penggunaan endoskop memungkinkan visualisasi nervus korda timpani lebih jelas, menghindari reseksi korda dan manipulasi. Tujuan: Mengetahui perbedaan prevalensi dysgeusia pasca-timpanoplasti pada kelompok endoskop dibandingkan dengan mikroskop, serta membuktikan bahwa tidak ada perbedaan antara keberhasilan tandur, perbaikan fungsi pendengaran dan durasi operasi pada kelompok mikroskop dibandingkan dengan endoskop. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif, melibatkan pasien yang merupakan pasien otitis media supuratif kronik dan sudah menjalani timpanoplasti transkanal, dengan kriteria inklusi dan ekslusi yang teKelompok terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok 1 menggunakan alat mikroskop dan kelompok 2 menggunakan alat endoskop. Pengambilan data berdasarkan rekam medis. Data bersifat dysgeusia subjektif berdasarkan keluhan pasien, diambil pada minggu 1, 2, 4, dan 6. Hasil: Pada penelitian ini didaptkan total subjek penelitian 62 pasien, terdiri atas 35 pasien kelompok 1 dan 27 pasien kelompok 2. Rerata usia pada masing-masing kelompok yaitu, 31,26±9,43 tahun pada kelompok 1 dan 33,81±9,17 tahun pada kelompok 2. Tidak terdapat perbedaan bermakna prevalensi komplikasi dysgeusia pasca-timpanoplasti transkanal pada kelompok endoskop dibandingkan dengan kelompok mikroskop. Total 21 pasien mengalami dysgeusia pada minggu pertama, p=0,94 (RR=1; 95% CI=0,64-1,61). Terdapat penurunan pada minggu ke 2,4 dan 6. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara keberhasilan tandur, perbaikan fungsi pendengaran, dan durasi pada kelompok mikroskop dibandingkan dengan kelompok endoskop. Kesimpulan: Penggunaan alat operasi endoskop dapat menjadi alternatif mikroskop. Dysgeusia akibat cedera nervus korda timpani inta-operasi bukanlah suatu kejadian yang mengancam nyawa dan tidak bersifat permanen, namun hal tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.

Background: Microscopic Ear Surgery (MES) has the advantage of being stereoscopic, and the operator can use both hands to hold the instrument. However, microscopes have the characteristics of a straight and limited viewing angle. This limitation led to Endoscopic Ear Surgery (EES), which offers a comprehensive and panoramic viewing angle. An endoscope allows for more precise visualization of the chorda tympany nerve, potentially avoiding cord resection and manipulation. Objective: To determine the difference in the prevalence of post-tympanoplasty dysgeusia in the endoscope group compared with the microscope and to prove that there is no difference between graft completion, improvement in hearing function, and duration of surgery in the microscope group compared with the endoscope. Methods: This study is a retrospective cohort study involving chronic suppurative otitis media patients who have undergone transcanal tympanoplasty, inclusion and exclusion criteria divided into two groups: group 1 using a microscope and group 2 using an endoscope. Data collection is based on medical records. Data are subjective dysgeusia based on patient complaints taken at weeks 1, 2, 4, and 6. Results: Study, 62 research subjects were obtained, consisting of 35 patients in group 1 and 27 in group 2. The average age for each group was 31.26 ± 9.43 years in group 1 and 33.81 ± 9.17 years in group 2. The prevalence of dysgeusia of post-transcanal tympanoplasty in the endoscopy group was no different compared to the microscope group. A total of 21 patients experienced dysgeusia in the first week, p=0.94 (RR=1; 95% CI=0.64-1.61). There was a decrease at weeks 2, 4 and 6. There were no differences between graft success, improvement in hearing function, and duration in the microscope group compared to the endoscope group. Conclusion: Using an endoscope operating tool can be an alternative to a microscope, offering potential patient outcomes and quality of life benefits. Dysgeusia due to injury to the chorda tympanic nerve during surgery is not a life-threatening event and is not permanent, but it can affect the patient's quality of life."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Iman Pradana Maryadi
"Anak sindrom Down memiliki risiko komorbiditas yang tinggi akibat silent aspiration yang persisten. Hingga saat ini, belum ada data secara khusus mengenai gambaran disfagia pada anak sindrom Down dengan menggunakan instrumen FEES.
Tujuan penelitian: Mengetahui gambaran disfagia pada anak sindrom Down dengan melihat prevalensi, karakteristik subjek dan gambaran disfagia berdasarkan parameter FEES.
Metode: Penelitian cross-sectional yang bersifat deskriptif terhadap 43 anak sindrom Down dengan kecurigaan disfagia di RSUPN Cipto Mangunkusumo dengan pemeriksaan FEES periode November 2019–Januari 2020.
Hasil: Prevalensi disfagia didapatkan 13 dari 43 subjek (30,2%). Gejala disfagia pada anak ≤6 bulan adalah apnea saat menyusu (2/2), pada anak >6 bulan adalah hanya makan makanan tertentu atau lebih menyukai cairan kental (8/11). Komorbid yang paling banyak menyertai adalah kelainan jantung dan tiroid (6/13). Komplikasi yang sering terjadi adalah pneumonia aspirasi (4/13). Pada pemeriksaan awal FEES didapatkan lip seal lemah (12/13). Pada pemeriksaan FEES, Preswallowing leakage, residu, penetrasi dan aspirasi paling sering terjadi pada konsistensi air dan susu. Standing secretion (6/13) dan silent aspiration (1/13).
Kesimpulan: Prevalensi disfagia sebesar 30,2% dan pada pemeriksaan FEES penetrasi dan aspirasi pada konsistensi cair terutama terjadi pada usia ≤24 bulan.

Background: Persistent silentaspiration is an often unrecognized comorbidity in children with Down syndrome. However, there is still limited study on the characteristic of dysphagia in children with Down syndrome using FEES.
Aim : To find the prevalence and the characteristics of the subjects and dysphagia in children with Down syndrome using FEES’ parameters.
Methods: This is a descriptive cross-sectional study involving 43 Down syndrome children with dysphagia suspicion in Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital from November 2019–January 2020.
Results: The prevalence of dysphagia was 13 out of 43 subjects (30,2%). Dysphagia symptom in children ≤ 6 months was apnoea while bottle/breast feeding (2/2). Meanwhile, in children > 6 months was food texture selectivity or liquid consistency food preferred (8/11). The comorbidities found mostly were heart anomaly and congenital hypothyroid (6/13). The complication mostly was aspiration pneumonia (4/13). In pre-FESS examination, poor lip sealed was dominant (12/13). In FEES examination, pre-swallowing leakage, residue, penetration, and aspiration were more common in thin and thick liquid. Standing secretion (6/13) and silent aspiration (1/13).
Conclusion: The prevalence of dysphagia was 30,2% and in FEES examination, penetration and aspiration were found mostly in thin liquid, ≤24 months of age predominantly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library