Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Arif
Abstrak :
Artikel ini menjelaskan penetrasi industri gula swasta dan dampaknya bagi kehidupan masyarakat pedesaan di Probolinggo pada kurun waktu 1870 hingga 1908. Penelitian-penelitian terdahulu, baik yang dilakukan sarjana asing maupun Indonesia hampir tidak menyentuh wilayah Probolinggo sebagai ruang lingkup kajian mereka. Hanya R.E. Elson (1984) yang menyinggung Probolinggo dalam kajiannya mengenai industri gula di karesidenan-karesidenan di Ujung Timur Jawa. Setelah pemerintah kolonial Hindia-Belanda membuka Jawa bagi investasi swasta pada tahun 1870, Probolinggo hadir sebagai salah satu wilayah yang menjadi target ekspansi industri gula swasta. Kombinasi dari kesuburan tanah, ketersediaan sawah yang dapat dijadikan perkebunan tebu, dan jumlah penduduk yang besar menjadi alasan mengapa Probolinggo dijadikan salah satu wilayah target penetrasi industri gula swasta. Dengan menggunakan metode sejarah, artikel ini menemukan bahwa di tengah-tengah penetrasi industri gula swasta, masyarakat pedesaan di Probolinggo adalah pihak yang terdampak langsung kebijakan eksploitasi, sebagai akibat terserapnya tanah dan tenaga kerja mereka ke dalam sistem ekonomi perkebunan yang kapitalistik. Berbagai beban baru yang harus ditanggung oleh masyarakat pedesaan pada gilirannya menimbulkan gerakan protes di antara mereka yang ditandai dengan munculnya perlawanan dalam bentuk pembakaran perkebunan tebu. ......This article explains the penetration of the private sugar industry and its impact on the lives of rural communities in Probolinggo in the period 1870 to 1908. Previous research, both by foreign and Indonesian scholars, barely touched the Probolinggo area as the scope of their studies. Only R.E. Elson (1984) mentioned Probolinggo in his study of the sugar industry in residencies in the Eastern End of Java. After the Dutch East Indies colonial government opened Java to private investment in 1870, Probolinggo emerged as one of the areas targeted for expansion of the private sugar industry. The combination of soil fertility, availability of rice fields that can be used as sugar cane plantations, and a large population were the reasons why Probolinggo is one of the target areas for private sugar industry penetration. Using historical methods, this article finds that in the midst of the penetration of the private sugar industry, rural communities in Probolinggo were directly affected by exploitation policies, as a result of their land and labor being absorbed into the capitalist plantation economic system. The various new burdens that had to be borne by rural communities in turn gave rise to a protest movement among them which was marked by the emergence of resistance in the form of burning sugar cane plantations.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Asti Bektiningdyah
Abstrak :
Krisis ekonomi Asia 1997 merupakan momentum penting dalam sejarah pembangunan ekonomi Korea Selatan. Tidak hanya membawa kemunduran bagi perekonomian nasional, fenomena tersebut juga diikuti dengan perubahan orientasi kebijakan ekonomi dari bisnis besar atau chaebol menuju Foreign Direct Investment (FDI). Sebelum krisis, FDI merupakan hal yang dikontrol ketat oleh pemerintah. Perekonomian Korea Selatan sebelum krisis identik dengan nasionalisme ekonomi. Perubahan ini juga dianggap signfikan karena menjadi perwujudan proses liberalisasi ekonomi Korea Selatan. Oleh karena itu, kehadiran FDI dalam skema ekonomi Korea Selatan menghadirkan dinamika yang sama sekali baru. Masuknya FDI menjadi penanda bagi dimulainya dinamika baru dalam hubungan negara dan bisnis serta liberalisasi ekonomi Korea Selatan. Hal tersebut menunjukkan signifikansi topik ini dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional. Untuk itu, penulis melakukan tinjauan kepustakaan terhadap FDI Korea Selatan pasca krisis ekonomi Asia 1997. Penulis memetakan literatur dengan terlebih dahulu membagi waktu setelah krisis dalam dua periode. Periode pertama merujuk pada masa-masa awal krisis dimana FDI digunakan sebagai instrumen penanggulangan krisis. Periode kedua merujuk pada masa setelah tercapainya stabilisasi ekonomi ketika FDI menjadi bagian dari kebijakan ekonomi Korea Selatan. Pada masing-masing periode, penulis membahas aspek kebijakan, implementasi kebijakan, dan dampak yang ditimbulkan. Melalui tinjauan kepustakaan ini, penulis menemukan bahwa (1) pemberlakukan reformasi kebijakan FDI menghasilkan pergeseran power dari chaebol kepada pemerintah; (2) penguatan FDI sebagai komponen kebijakan ekonomi Korea Selatan menandai liberalisasi ekonomi Korea Selatan; (3) terjadi perubahan signifikansi FDI seiring dengan berakhirnya krisis. Kesenjangan literatur yang penulis temukan berkaitan dengan peran IMF dalam penyebaran liberalisasi ekonomi Korea Selatan, interaksi antar aktor, dan peran FDI dalam keterhubungan ekonomi antar negara.  ......The 1997 Asian economic crisis holds a significance in South Korea’s economic development history. Not only did it bring a setback to the economy, but the crisis also brought upon a change in South Korea’s economic policy orientation from the business conglomerates or chaebols to Foreign Direct Investment (FDI). Prior to the crisis, FDI had been put under the strict control of the government. South Korea’s economy has been known for its economic nationalism. Hence, the involvement of FDI in South Korea’s economy brought upon new dynamics. It portrayed the start of new dynamics in the state-business relations and embodies the liberalization process of South Korea’s economy. Overall, the effects created by the reform on FDI related policies shows the significance of this topic in international relations studies. To understand the topic better the author conducted a literature review on South Korea’s FDI post the 1997 Asian economic crisis. First, the author divides the time after the crisis into two periods. The first period refers to the early time of the crisis in which FDI was utilized as a countermeasure to the crisis. The second period refers to the time when economic stabilization post crisis had been achieved, in which FDI became an integral part of South Korea’s economic policy. The author then discusses the policy, the policy implementation, and the impact. Through the process of literature review, the author finds that (1) the implementation of FDI related policy reform has resulted in the shift of power from chaebols to the state; (2) the integration of FDI as a part of South Korea’s economic policy signified the liberalization process of South Korea economy; (3) a change of FDI significance to the economy occurred as the economy stabilized post crisis. The literature gap that the author finds is related to the role of the IMF as an international institution in spreading the ideas of liberal economy to South Korea, the interactions between actors, and the role of FDI in economic linkages between countries. 
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Rae Anjani
Abstrak :
Penelitian ini membahas mengenai dampak sosial dan ekonomi pembangunan jalur kereta api antara Panjang-Tanjung Karang, sebagai satu area baru, untuk memudahkan arus ekonomi dan juga perkembangan wilayah. Perkembangan pesat kapitalisme di Negeri Belanda mendorong pemerintah kolonial untuk menerapkan politik liberal di tanah jajahannya yaitu Indonesia. Penerapan politik liberal membawa dampak dengan banyak dibangunnya sarana prasarana termasuk jaringan kereta api. Di Wilayah Lampung, pembangunan jalur kereta api antara Panjang-Tanjung Karang merupakan salah satu proyek pembangunan jalur kereta api Sumatra bagian Selatan. Pembangunan jalur kereta api Sumatra bagian Selatan tersebut direncanakan dibangun membentang dari Lampung hingga Palembang. Penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan berfokus terhadap penelaahan arsip-arsip, surat kabar sezaman, buku, hingga artikel dari berbagai jurnal. Sumber-sumber ini diperoleh dari Arsip Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Nasional, laman delpher.id hingga google scholar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan jalur kereta api antara Panjang-Tanjung Karang, secara ekonomi telah menumbuhkan wilayah tersebut sebagai salah satu daerah jalur transportasi komoditas barang. Secara sosial, daerah ini berkembang menjadi wilayah pemukiman sebagai salah satu bagian dari upaya kolonisasi pemerintah colonial di wilayah Lampung. ......This research discusses the social and economic impacts of the construction of a railroad line between Panjang-Tanjung Karang, as a new area, to facilitate economic flows and also regional development. The rapid development of capitalism in the Netherlands encouraged the colonial government to implement liberal politics in its colony, namely Indonesia. The implementation of liberal politics has had an impact on the construction of many infrastructure facilities including the railroad network. In the Lampung Region, the construction of a railroad line between Panjang-Tanjung Karang is one of the projects for the construction of the southern part of the Sumatran railway. The construction of the Southern Sumatra railway line is planned to be built stretching from Lampung to Palembang. This research uses historical methods by focusing on examining archives, contemporary newspapers, books, and articles from various journals. These sources were obtained from the National Archives of the Republic of Indonesia, the National Library, the delpher.id page to Google Scholar. The results of the study show that the construction of a railroad line between Panjang-Tanjung Karang has economically grown the area as one of the areas for the transportation of commodity goods. Socially, this area developed into a residential area as part of the colonial government's colonization efforts in the Lampung region.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library