Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hamed Oemara
Jakarta: UI-Press, 2003
PGB 0163
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Al Munar Munir
"ABSTRAK
Angka kejadian anemia defisiensi besi yang tinggi di Indonesia.
Soetejo dan Samsudin (1976) yang melakukan penelitian terhadap
penderita yang berobat jalan di Poliklinik Anak RSCM/FKUI, menemukan prevalensi anemia pada bayi dengan gizi baik sebesar 76,3% gizi kurang sebesar
79,4% dan gizi buruk sebesar 100 %. Pada golongan usia prasekolah,
prevalensi anemia pada gizi baik sebesar 68,9%, gizi kurang sebesar
76,8% dan gizi buruk sebesar 90,0%. Untuk golongan usia sekolah,
prevalensi sebesar 46,6% pada gizi baik dan 57,5 % pada gizi kurang.
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi beberapa perubahan-perubahan
elektrokardiografi, radiologis, fonokardiografi dan ekokardiografi serta
mencari hubungan keempat hasil pemeriksaan pada anak-anak yang men-
derita anemia defisiensi besi.

"
1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pudjo Rahasto
"ABSTRAK
Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat gangguan regulasi pejamu sebagai respons terhadap infeksi. Renjatan sepsis adalah subset sepsis dengan abnormalitas sirkulasi, selular, dan metabolisme yang berkaitan dengan risiko kematian. Penelitian ini bertujuan untuk menilai peran ekokardiografi, biomarker kardiovaskular, fungsi ginjal dan saturasi oksigen vena sebagai prediktor kematian pasien renjatan sepsis. Pada pemeriksaan ekokardiografi dinilai fungsi diastolik E/e rsquo;, Fraksi Ejeksi Bilik Kiri, Indeks Kardiak, TAPSE, sedangkan biomarker kardiovaskular dinilai Troponin I dan NT Pro BNP, dengan disain penelitian kohort prospektif. Tempat penelitian di Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang, Banten. Selama periode 2 tahun penelitian ada 111 pasien masuk dalam kriteria renjatan sepsis yaitu adanya infeksi, hipotensi MAP < 65 mmHg dan Laktat darah > 2 mmol/L. Pada hari pertama dan kelima dilakukan pemeriksaan ekokardiografi dan laboratorium darah pada semua pasien renjatan sepsis. Pada pengamatan selama 10 hari diperoleh pasien yang meninggal 64 58 dan yang hidup 47 42 . Rerata umur pasien 48 18 tahun. Analisis bivariat ditemukan Fraksi Ejeksi Bilik Kiri abnormal memiliki risiko kematian 1,6 kali dibanding normal RR 1,6; p = 0,034 . Biomarker Troponin I abnormal menunjukkan risiko kematian 1,6 kali dibanding normal RR 1,6; p = 0,004 . Pasien dengan gangguan fungsi ginjal memiliki risiko kematian 1,5 kali RR 1,5; p = 0,024 . Pasien dengan Troponin I abnormal dengan atau tanpa gangguan fungsi ginjal menunjukkan peningkatan risiko kematian, demikian pula pada pasien dengan Troponin I normal yang disertai gangguan fungsi ginjal. Hasil analisis multivariat menunjukkan prediktor kematian pasien renjatan sepsis adalah kadar Troponin I dan Fraksi Ejeksi Bilik Kiri RR 1,83; IK95 1,049 ? 3,215; p = 0,043 dan RR 1,99; IK95 1,009 ? 3,956; p = 0,047 Simpulan: Troponin I dan Fraksi Ejeksi Bilik Kiri merupakan prediktor kematian pasien renjatan sepsis. Kata kunci :Ekokardiografi, Kematian, NT Pro BNP, Renjatan Sepsis, Troponin I.

ABSTRACT
Sepsis is a life threatening organ dysfunction caused by host regulation disorder in response to infections. Septic shock is a subset of sepsis with circulatory, cellular, and metabolic abnormalities associated with the risk of mortality. The aim of this study is to assess the role of echocardiography, cardiovascular biomarker, renal function and oxygen vein saturation as predictors of mortality in patients with septic shock. In this study, echocardiography examination including diastolic function E e 39 , Left Ventricle Ejection Fraction LVEF , Cardiac Index CI , and TAPSE, whereas cardiovascular biomarker Troponin I and NT Pro BNP were assessed. Research design of this study is cohort perspective. The study took place in Tangerang Regional General Hospital, Banten Province. During two years of research, there were 111 patients included in septic shock category, which indicated by the presence of infections, hypotension MAP 65 mmHg and serum lactate 2 mmol L. On the first and the fifth day, examinations on echocardiography and laboratory blood test were conducted on each patient of septic shock. During ten days of observation, 64 patients died 54 and 47 patients were survived 42 . The mean age of the patients was 48 18 years old. Bivariate analysis showed abnormal LVEF had 1.6 times higher mortality risk than normal RR 1.6 p 0.034 . Abnormal Troponin I biomarker showed 1.6 higher mortality risk, compared to normal RR 1.6 p 0.004 . The patients with kidney function disorder had 1.5 times higher mortality risk RR 1.5 p 0.024 . Patients with abnormal Troponin I with or without kidney function disorder showed increase in mortality risk. Normal Troponin I with kidney function disorder also increase in mortality risk. Multivariate analysis showed Troponin I and Left Ventricular Ejection Fraction as predictors of mortality in patients with septic shock RR 1.83 CI95 1.049 3.215 p 0.043 dan RR 1.99 CI95 1.009 3.956 p 0.047 In conclusion, Troponin I biomaker and Left Ventricular Ejection Fraction are predictors of mortality in patients with septic shock. Keyword Echocardiography, Death, NT Pro BNP, Septic Shock, Troponin I "
2017
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kathrine
"Latar belakang: Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah kelainan kongenital dengan insidens tertinggi dan memerlukan pemantauan berkala. Pemeriksaan ekokardiografi memerlukan fasilitas dan tenaga ahli yang belum tersedia secara luas di Indonesia. Troponin I merupakan biomarker spesifik jantung yang terdeteksi pada awal terjadinya kerusakan miokardium. Data mengenai penggunaan biomarker jantung pada pasien anak dengan PJB masih terbatas.
Tujuan: Mengetahui korelasi antara kadar troponin I dengan parameter hemodinamik pasien PJB asianotik dengan pirau kiri ke kanan.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang terhadap 53 subyek dengan PJB asianotik pirau kiri ke kanan yang berobat di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan untuk menilai jenis PJB, ukuran defek, dan parameter hemodinamik yaitu Qp/Qs, tekanan sistolik arteri pulmoner, fraksi ejeksi ventrikel kiri, dan tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE). Kadar troponin I dinilai melalui enzyme linked fluorescent assay (ELISA) dengan sampel darah diambil pada hari yang sama dengan ekokardiografi..
Hasil: Median usia subyek adalah 16 (3-135) bulan dengan jenis kelamin perempuan 54,7% (n=53). Diagnosis PJB terbanyak adalah ASD (45,3%), dengan proporsi terbanyak defek berukuran sedang (43,4%). Peningkatan kadar troponin I didapatkan pada 7 (13,2%) subyek. Tidak ada perbedaan bermakna kadar troponin I pada berbagai jenis PJB. Ada korelasi negatif lemah antara kadar troponin I dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri (r=-0,391, p=0,002).
Kesimpulan: Terdapat korelasi negatif lemah antara kadar troponin I dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri, sementara tidak ada korelasi bermakna dengan parameter hemodinamik lainnya

Background: Congenital heart disease (CHD) is the most frequent congenital abnormality and requires regular monitoring. Echocardiographic examination requires facilities and experts which are not widely available in Indonesia. Troponin I is a heart-specific biomarker that is detected early in myocardial damage. Data regarding the use of cardiac biomarker in pediatric CHD patients are still limited.
Objective: To determine the correlation between troponin I level and hemodynamic parameters in acyanotic CHD patients with left-to-right shunts.
Methods: A cross-sectional study of 53 subjects with left-to-right shunt acyanotic CHD as inpatient or outpatient at dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Hospital. Echocardiography was performed to assess the type and size of CHD, as weel as hemodynanic parameters (Qp/Qs, pulmonary artery systolic pressure, left ventricular ejection fraction/EF, and tricuspid annular plane systolic excursion/TAPSE). Troponin I level was determined by enzyme linked fluorescent assay (ELISA) with blood samples taken on the same day as echocardiography.
Results: The median age of the subjects was 16 (3-135) months, with 54.7% female (n=53). Most prevalent of the CHD type was ASD (45.3%), most of the defect were medium-sized (43.4%). Increased troponin I levels were found in 7 (13.2%) subjects. There was no significant difference in troponin I level in various CHD types. There was a weak negative correlation between troponin I level and EF (r=-0.391, p=0.002).
Conclusion: There was a weak negatif correlation between troponin I level and EF, while there was no significant correlation with other hemodynamic parameters.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Rafika Nursyirwan
"Latar belakang Kardiotoksisitas subklinis merupakan kondisi yang sering terjadi pada anak dengan keganasan yang mendapat kemoterapi, tetapi belum dapat terdeteksi menggunakan pemeriksaan ekokardiografi konvensional. Pemeriksaan global longitudinal strain menggunakan ekokardiografi speckle tracking dilaporkan dapat mendeteksi disfungsi ventrikel kiri lebih awal dibandingkan ekokardiografi konvensional. Namun, belum banyak penelitian terkait pemeriksaan kuantitatif fungsi jantung dengan ekokardiografi speckle tracking pada anak dengan keganasan. Studi ini diharapkan dapat membantu deteksi dini gangguan fungsi jantung. Metode Penelitian ini merupakan studi potong lintang di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta terhadap 49 subyek anak berusia 6 bulan sampai 17 tahun 10 bulan pada September-November 2022. Subyek penelitian adalah anak yang baru terdiagnosis keganasan, tidak memiliki masalah jantung sebelumnya, dan mendapatkan kemoterapi kemudian dievaluasi pemeriksaan kuantitatif fungsi jantung dengan pemeriksaan kuantitatif ekokardiografi (konvensional, Doppler jaringan, speckle tracking) sebelum dan sesudah mendapat kemoterapi 3 bulan. Pasien yang mengalami reduksi relatif GLS >15% dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa biomarker jantung troponin I. Hasil ekokardiografi speckle tracking dapat dipertimbangkan untuk deteksi disfungsi sistolik ventrikel kiri lebih dini dengan sensitivitas 100% (IK 95% 82,35-100) dan spesifisitas 60% (IK 95% 40,60-77,34). Subyek yang mengalami kardiotoksisitas subklinis didapatkan sebanyak 63,3% ditandai dengan reduksi relatif GLS>15% setelah kemoterapi 3 bulan. Didapatkan penurunan bermakna nilai LPSS ventrikel kiri segmen mid dan segmen apikal serta GLS dari median -18,4 (RIK -17,3 sd. -19,6) % sebelum kemoterapi menjadi -15,3 (RIK -13,65 sd. -17,85) % (p<0,0001) sesudah kemoterapi 3 bulan dengan median dosis kumulatif antrasiklin 150 (RIK 120-300) mg/m2. Reduksi relatif GLS>15% ini ditemukan di saat yang bersamaan belum ditemukan penurunan EF/FS sampai di bawah batas normal. Tidak terbukti usia, jenis kelamin, status nutrisi, dan regimen kemoterapi memengaruhi kardiotoksisitas subklinis pada pasien anak dengan keganasan yang mendapat kemoterapi selama 3 bulan pada penelitian ini. Kesimpulan Pemeriksaan ekokardiografi speckle tracking dapat dipertimbangkan untuk dilakukan dalam mendeteksi kardiotoksisitas subklinis. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 100% (IK 95% 82,35-100) dan spesifisitas 60% (IK 95% 40,60-77,34).

Background Subclinical cardiotoxicity is a condition that often occurs in children with malignancy who receive chemotherapy, but it has not been frequently detected using conventional echocardiography. Global longitudinal strain examination using speckle tracking echocardiography is reported to be able to identify left ventricular dysfunction earlier than conventional echocardiography. However, there are not many studies related to quantitative examination of cardiac function by speckle tracking echocardiography in children with malignancy. This study is expected to help early detection of impaired heart function. Methods This research is a cross sectional study at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta on 49 child subjects aged 6 months to 17 years 10 months in September-November 2022. The research subjects were children who had just been diagnosed with malignancy, had no previous heart problems, and received chemotherapy. Then they were evaluated by quantitative echocardiography (conventional, tissue Doppler, speckle tracking) before and after 3 months of chemotherapy. Patients who experienced a relative reduction of GLS > 15% underwent further examination of troponin I.Results Speckle tracking echocardiography can be considered for early detection of left ventricular systolic dysfunction with 100% sensitivity (95% CI 82.35-100) and 60% specificity (95% CI 40.60-77.34). Children with subclinical cardiotoxicity were found to be 63.3% characterized by a relative reduction in GLS>15% after 3 months of chemotherapy, with a significant decrease in mid and apical segment left ventricular LPSS values and GLS from a median -18.4 (IQR -17.3 sd. -19.6) % before chemotherapy to -15.3 (IQR -13.65 sd. -17.85) % (p<0.0001) after 3 months of chemotherapy with a median cumulative dose of anthracycline 150 (IQR 120-300) mg/m2. This relative reduction of GLS> 15% was found at the same time that there was no decrease in EF/FS below normal limits. There was no evidence that age, gender, nutritional status, and chemotherapy regimen had an effect on subclinical cardiotoxicity in pediatric patients with malignancy who received chemotherapy for 3 months in this study. Conclusion Speckle tracking echocardiography can be considered for detecting subclinical cardiotoxicity. This examination has a sensitivity of 100% (95% CI 82.35-100) and a specificity of 60% (95% CI 40.60-77.34)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Charles Saputra
"Latar Belakang: Ablasi radiofrekuensi merupakan modalitas terapi dengan tingkat
keberhasilan yang tinggi pada aritmia jalur keluar ventrikel (AJKV). Menentukan
sumber aritma pratindakan penting dilakukan untuk membantu pemilihan tehnik ablasi, menghindari komplikasi, serta menghemat waktu fluoroskopi. Algoritma EKG
merupakan metode yang telah luas dipergunakan untuk memprediksi sumber AJKV,
namun memiliki nilai diagnostik yang sangat bervariasi. Studi sebelumnya
menunjukkan bahwa pengukuran sudut aortoseptal secara ekokardiografi dapat
memprediksi sumber AJKV. Diperlukan penelitian lanjutan untuk membuktikan
validitasnya, dengan urutan pengambilan data yang bersifat prospektif.
Tujuan : Untuk meneliti validitas hubungan antara sudut aortoseptal melalui
pemeriksaan ekokardiografi dengan sumber aritmia jalur keluar ventrikel.
Metode: Uji validitas pada penelitian diagnostik ini dilakukan pada Oktober 2020
sampai Juni 2021 pada pasien dengan TV / KVP dengan tipe EKG blokade cabang
berkas kiri dan aksis inferior yang menjalani terapi ablasi radiofrekuensi. Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan sebelum terapi ablasi radiofrekuensi. Sudut aortoseptal diukur pada pandangan parasternal long axis (PLAX) untuk mengukur sudut antara akar aorta dan septum interventrikular. Lokasi sumber AJKV ditentukan dengan pemetaan elektroanatomi pada saat tindakan ablasi radiofrekuensi dilakukan.
Hasil: Didapatkan sebanyak 41 subyek penelitian dengan rerata umur 44,7± 12,6
tahun. Sebagian besar subyek adalah pasien dengan sumber AJKV kanan (n= 34;
82,9%). Rerata sudut aortoseptal pada subyek dengan sumber AJKV kiri 127,2 ± 2,8
secara signifikan lebih kecil dibandingkan dengan sumber AJKV kanan 136,7 ± 5,7
(p<0.001). Pada subyek yang memiliki sudut <129,2o memiliki nilai sensitifitas 71,4 % dan spesifisitas 85,29% untuk memprediksi sumber AJKV kiri.
Kesimpulan : Studi validasi ini membuktikan bahwa sudut aortoseptal < 129,2o secara ekokardiografi merupakan alat diagnostik yang valid dengan OR 10,1 untuk
memprediksi sumber AJKV kiri.

Background: Radiofrequency ablation has become therapeutic modality with high success rate for outflow tract ventricular arrhythmia (OTVA.) Determining the origin of OTVA before ablation is important to choose the appropriate approach, avoiding multiple complications, and
saving fluoroscopy time. ECG-based criteria is a method that has been widely used to predict the origin of OTVA, but it oftenly has inconsistent diagnostic value to predict the location of OTVA. Previous study showed that aortoseptal angulation by echocardiography might be beneficial to predict the origin of OTVA. We need to validate the result in a prospective manner.
Objective: To validate the association between aortoseptal angulation measurements by echocardiography and OTVA origin.
Methods: A validation of diagnostic study held in October 2020 until June 2021 involving patients VTs/PVCs with the ECG’s morphology of LBBB and inferior axis who underwent radiofrequency ablation (RFA) therapy. An echocardiography examination was held before RFA therapy. Aortoseptal angulation is measured on parasternal long axis (PLAX) view to measure the angle between the aortic root and interventricular septum. The origin of OTVA was determined by mapping during RFA. Results: There were 41 subjects with a mean age of 44.7±12.6 years. Majority of subjects were patients with right OTVA (n = 34, 82.9%). The mean aortoseptal angulation of the left OTVA 127.2 ± 2.8 was significantly smaller than the right OTVA 136.7 ± 5.7 (p<0.001). An angle below 129.2˚ has 71,4 % sensitivity and 85,29% specificity to predict an LVOT origin.
Conclusion: This validation study proved that ortoseptal angulation measurement by echocardiography <129,2o is a valid diagnostic tool to differentiate left OTVA origin with Odds ratio 10,1.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Destianti
"Latar belakang: Pemeriksaan cardiac siderosis dengan MRI T2 1,5 Tesla merupakan baku emas tetapi belum ada yang menggunakan MRI 3 Tesla. Provinsi Aceh merupakan daerah yang mempunyai banyak pasien thalassemia mayor di Indonesia, sampai saat ini belum ada data mengenai cardiac siderosis dan gangguan fungsi diastolik yang diperiksa dengan ekokardiografi tissue Doppler. Pemeriksaan cardiac siderosis yang tersedia di Aceh adalah MRI 3 Tesla.
Tujuan: Menilai korelasi antara gangguan fungsi diastolik dengan cardiac siderosis ekokardiografi tissue Doppler dan feritin serum pada pasien anak thalassemia major di Aceh.
Metode: Studi observasional dilakukan di Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh pada bulan Juli hingga September 2018. Dilakukan pencatatan data karakteristik, Hb pre-transfusi, feritin serum, data ekokardiografi dan nilai MRI T2 3 Tesla jantung. Korelasi antara MRI T2 jantung dengan ekokardiografi dan feritin serum dinilai dengan uji Pearson.
Hasil: Penelitian ini mengikutsertakan 34 subyek usia 8-17,5 tahun. Cardiac siderosis didapat pada 8 (23,5%) subyek. Gangguan diastolik didapati pada 10 (29,5%) subyek. Tidak dijumpai korelasi antara MRI T2 jantung dengan fungsi diastolik ETD (r= 0,086; p= 0,62). Terdapat korelasi signifikan antara MRI T2 dengan feritin serum (r= -0,537; p < 0,0001).
Simpulan: Terdapat korelasi kuat antara MRI T2 jantung dengan kadar feritin serum, tetapi tidak terdapat korelasi antara fungsi diastolik dengan MRI T2 3 Tesla jantung

Backgrounds: Cardiac T2 MRI at 1,5 T remains gold standard for cardiac siderosis. However in some centres only MRI 3 T is available. Aceh Province is the largest region with thalassemia careers in Indonesia, there are no data about cardiac siderosis and diastolic dysfunction in children with thalassemia major in Aceh. Thalassemia center in Aceh has only MRI 3 Tesla
Objectives: To study correlation diastolic function cardiac siderosis with cardiac T2 MRI 3 Tesla among Acehnesse children thalassemia.
Methods: Observational studies were conducted at Dr. General Hospital Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh from July to September 2018. Data on characteristics, pre-transfusion hemoglobin, serum ferritin, echocardiography and cardiac T2 MRI were recorded. Correlation between heart T2 MRI is carried out by the Pearson test as well as serum ferritin.
Results: Thirty-four subjects participated in the study aged 8-17.5 years. Eight subjects (23.5%) experienced cardiac siderosis which was examined by cardiac T2 MRI T2 3 Tesla. Diastolic dysfunction examination by tissue Doppler echocadiography were found in 10 (29.5%) subjects. There was no correlation between MRI of heart T2 with diastolic function tissue Doppler echocardiography (r = 0.086; p = 0.62). There was a significant correlation between MRI T2 and serum ferritin (r = -0.537; p <0.0001).
Conclusion: There was no correlation between cardiac T2 MRI 3 Tesla and diastolic function ETD. There was a strong and significant correlation between MRI T2 and serum ferritin. Tissue Doppler can detect early diastolic dysfunction in thalassemia patients better than conventional.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Manullang, Indra Sihar M.
"Hipertrofi ventrikel kiri atau Left ventricle hypertrophy (LVH) adalah faktor risiko independen terjadinya gagal jantung pada pasien hipertensi. Diagnosis dini LVH diperlukan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada otot jantung. Cardiotropin-1 (CT-1) diproduksi oleh kardiomiosit dan fibroblas, yang kadarnya dilaporkan meningkat pada pasien hipertensi primer.
Tujuan : Membuktikan manfaat CT-1 serum untuk mendeteksi LVH pada pasien hipertensi primer.
Metode : Penelitian uji diagnostik dilaksanakan di RSCM Jakarta periode Februari s/d Maret 2013. Subyek penelitian adalah 75 pasien hipertensi primer dengan atau tanpa LVH. Diagnosis LVH dilakukan dengan ekokardiografi sebagai baku emas dan elektrokardiografi/EKG (kriteria Sokolow Lyon voltage, Cornell voltage dan Cornell product). Kadar CT-1 serum diperiksa dari sampel darah vena dengan metode ELISA.
Hasil : Berdasarkan ekokardiografi 46 orang (61,3%) LVH dan 29 orang (38,7%) tidak LVH. Kadar CT-1 subyek LVH adalah 82,96 ± 351,843 pg/mL dan subyek tanpa LVH 4,55 ± 1,281 pg/mL (p=0,01). Korelasi CT-1 dengan LVMI adalah tidak bermakna (p=0,1). Luas area dibawah kurva ROC CT-1 untuk diagnosis LVH adalah 0,67 (p=0,01). Nilai cut-off CT-1 adalah 4,45 pg/mL. Uji diagnostik CT-1: Sensitifitas 54,4%, spesifisitas 75,9, NDP 78,1%, NDN 51,2 dan akurasi 61,3%. Uji diagnostik kombinasi CT-1 dan EKG (salah satu kriteria positif LVH): sensitifitas 67,4%, spesifisitas 72,4% , NDP 79,5%, NDN 58,3% dan akurasi 69,3%.
Simpulan. CT-1 kurang sensitif namun cukup spesifik untuk diagnosis hipertrofi ventrikel kiri (LVH). Kombinasi CT-1 dengan EKG meningkatkan nilai diagnostik pemeriksaan untuk deteksi LVH pada pasien hipertensi primer.

Left ventricle hypertrophy (LVH) is independent risk factor of heart failure on hypertension patients. Early detection of LVH is necessary to prevent extensive damage of heart muscle. Cardiotropin-1 (CT-1) is produce by cardiomyosite and fibroblast, that the level of CT-1 has been reported increase on primary hypertension patients.
Aim : To prove the benefit of CT-1 serum to detect LVH on primary hypertension patients.
Methods : A diagnostic study has been conducted on RSCM Jakarta on the periode of February to March 2013. Research subjects were 75 primary hypertension patients with and without LVH. LVH diagnosis was performed by echocardiography examination as gold standard and electrocardiography/ECG (Sokolow Lyon voltage, Cornell Voltage and Cornell product criterias). CT-1 level was measured by ELISA method from vein blood sample.
Results : Based on echocardiography examination 46 patients (61.3%) were diagnosed as LVH and 29 patients (38.7%) without LVH. The level of CT-1 of patients with LVH was 82.96 ± 351.843 pg/mL and 4.55 ± 1.,281 pg/mL on patients without LVH (p=0.01). Correlation between CT-1 and Left Ventricular Mass Index was not significant (p=0.1). Area under the ROC curve was 0.67 (p=0.01). The cut-off of CT-1 level for diagnosis of LVH was 4.45 pg/mL. Diagnostic test yield the sensitivity of CT-1 for diagnosis of LVH was 54.4%, specificity 75.9%, PPV 78.1%, NPV 51.2% and accuracy was 61.3%. Diagnostic test of combination CT-1 and ECG (positive LVH by one or more ECG’s criteria) yield sensitivity 67.4%, specificity 72.4% , PPV 79,5%, NPV 58.3% and accuracy 69.3%.
Conclusion. CT-1 examination was not sensitive but specific for LVH diagnosis. Combination of CT-1 and ECG examination was improve diagnostic value of CT-1 for detection of LVH on primary hypertension patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laksmi Senja Agusta
"Latar belakang. Pada pasien yang menjalani pembedahan, penilaian volume intravaskular sangat penting dan prediksi respons terhadap pemberian cairan seringkali tidak mudah. Terdapat peningkatan signifikan resiko morbiditas dan mortalitas pascaoperasi pada pemberian cairan yang restriktif dan liberal. Evaluasi indeks distensibilitas vena jugularis interna merupakan alternatif untuk menentukan status volume intravaskular karena kemudahan akses dan visualisasi dengan ultrasonografi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian metode pengukuran indeks distensibilitas vena jugularis interna dengan pengukuran isi sekuncup dengan ekokardiografi Doppler transtorakal dalam penilaian respons terhadap pemberian cairan pada pasien pembedahan elektif.
Metode. Penelitian ini merupakan uji diagnostik dengan rancangan penelitian potong lintang dan melibatkan 79 subyek yang menjalani pembedahan elektif di RSCM dengan anestesia umum. Pascainduksi anestesia, pengukuran indeks distensibilitas vena jugularis interna dan isi sekuncup dengan ekokardiografi transtorakal dilakukan sebelum dan sesudah pemberian cairan. Subyek yang mengalami peningkatan isi sekuncup lebih dari 10% dikategorikan sebagai responder. Data kemudian dianalisis untuk menilai kesesuaian variabel dalam prediksi respons terhadap pemberian cairan.
Hasil. Sebanyak 45 subyek (57%) merupakan responder. Berdasarkan analisis kurva ROC indeks distensibilitas vena jugularis interna terhadap respons pemberian cairan, nilai AUC didapatkan sebesar 0,871 (95% CI: 0,790–0,951). Nilai ambang batas optimal didapatkan pada nilai indeks distensibilitas >12,62% dengan sensitivitas 84,4% dan spesifisitas 79,4%.
Simpulan. Metode pengukuran indeks distensibilitas vena jugularis interna memiliki kesesuaian dengan pengukuran isi sekuncup melalui ekokardiografi Doppler transtorakal dalam penilaian respons terhadap pemberian cairan pada pasien pembedahan elektif.

Background. In patients undergoing surgery, the assessment of intravascular volume is crucial, and predicting fluid responsiveness is often uneasy. There is a significant increase in postoperative morbidity and mortality risks associated with both restrictive and liberal fluid administration. Evaluating the internal jugular vein distensibility index is an alternative method to determine intravascular volume status due to its ease of access and visualization using ultrasonography. This study aims to determine the correlation between the measurement of the internal jugular vein distensibility index and the measurement of stroke volume using transthoracic Doppler echocardiography in assessing fluid responsiveness of patients undergoing elective surgery.
Methods. This study is a diagnostic test with a cross-sectional design involving 79 subjects undergoing elective surgery under general anesthesia at RSCM. After anesthesia induction, measurements of the internal jugular vein distensibility index and stroke volume using transthoracic echocardiography were performed before and after fluid administration. Subjects experiencing an increase in stroke volume of more than 10% were categorized as responders. The data were then analyzed to assess the suitability of variables in predicting fluid responsiveness.
Results. A total of 45 subjects (57%) were responders. Based on the ROC curve analysis of the internal jugular vein distensibility index in relation to fluid responsiveness, an AUC value of 0.871 (95% CI: 0.790–0.951) was obtained. The optimal cut-off value was found at an internal jugular vein distensibility index >12.62% with a sensitivity of 84.4% and specificity of 79.4%.
Conclusion. Internal jugular vein distensibility index correlates with the measurement of stroke volume using transthoracic Doppler echocardiography in assessing fluid responsiveness in elective surgery patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Sejati
"Latar Belakang: Keparahan stenosis pada penyakit jantung koroner (PJK) stabil berkaitan erat dengan prognosis. Dalam memprediksi keparahan stenosis dapat digunakan beberapa faktor klinis dan ekokardiografi. Akhir-akhir ini berkembang speckle tracking echocardiography yang mampu menilai strain miokardium dan baik untuk memprediksi stenosis. Penilaian faktor-faktor klinis dan ekokardiografi strain bersama-sama diharapkan mampu memprediksi lebih baik keparahan stenosis. Tujuan: Mengetahui apakah faktor-faktor klinis (usia, jenis kelamin, diabetes, angina tipikal, riwayat infark) dan global longitudinal strain (GLS) pada ekokardiografi strain dapat memprediksi keparahan stenosis pasien PJK stabil yang dinilai dengan skor Gensini. Membuat model prediktor dari parameter yang bermakna. Metode: Studi potong lintang dilakukan di RSCM pada periode Maret-Mei 2019. Pengambilan sampel secara konsekutif pada pasien PJK stabil yang menjalani angiografi koroner. Analisis bivariat dilakukan dengan chi-square, dilanjutkan analisis multivariat dengan regresi logistik metode baickward stepwise pada variabel yang bermakna. Hasil: Terdapat 93 subjek yang masuk dalam penelitian. Pada analisis bivariat faktor-faktor prediktor yang bermakna adalah diabetes melitus (OR 2,79; IK95%:1,08-7,23), riwayat infark (OR 4,04; IK95%:1,51-10,80), angina tipikal (OR 5,01; IK95%:1,91-13,14), dan GLS ≥-18,8 (OR 30,51; IK95%:10,38-89,72). Pada analisis multivariat faktor-faktor prediktor yang bermakna adalah angina tipikal (OR 4,48; IK95%:1,39-14,47) dan GLS ≥18,8 (OR 17,30; IK95%:5,38- 55,66). Tidak dilakukan pembuatan model prediktor karena hanya 2 faktor prediktor yang bermakna. Simpulan: Angina tipikal dan GLS merupakan faktor-faktor prediktor keparahan stenosis pada pasien PJK stabil, sedangkan faktor usia, jenis kelamin, diabetes, dan riwayat infark bukan merupakan prediktor keparahan stenosis pasien PJK stabil. Model skor prediktor tidak dikembangkan karena hanya 2 faktor prediktor yang bermakna.

Background: In patient with stable coronary artery disease (CAD), severity of stenosis is closely related to prognosis. It is known that several clinical and echocardiographic parameters can predict severity of stenosis. Recently a new method in echocardiography called speckle tracking echocardiography can be used to asses myocardial strain, which is a good predictor of stenosis severity. Assessment of clinical parameters together with strain echocardiography parameter is expected to make better prediction. Objective: To determine whether clinical factors, i.e. age, sex, diabetes, typical angina, and history of myocardial infarction, and strain echocardiography parameter, i.e. global longitudinal strain, can predict severity of coronary artery stenosis measured with Gensini score. To further develop a prediction model based on significant parameters. Methods: This is a cross-sectional study taken at Cipto Mangunkusumo Hospital during period March-May 2019. Patient with stable CAD scheduled to undergo coronary angiography is recruited consecutively. Bivariate analysis using chi- square is performed to each predictor. Significant predictors are further analysed using backward stepwise logistic regression. Results: The study group include 93 subjects. Significant predictors on bivariate analysis include diabetes melitus (OR 2.79; CI95%:1.08-7.23), history of myocardial infartion (OR 4.04; CI95%:1.51-10.80), typical angina (OR 5.01; CI95%:1.91-13.14), and GLS ≥-18.8 (OR 30.51; CI95%:10.38-89.72). Significant predictors on multivariate analysis are typical angina (OR 4.48; CI95%:1.39-14.47) and GLS ≥18.8 (OR 17.30; CI95%:5.38-55.66). Predicton model is not developed because there are only two significant predictors. Conclusions: Typical angina and GLS are predictors of stenosis severity in patient with stable CAD. Age, sex, diabetes, and history of myocardial infarction are not significant predictors. A prediction model can not developed because there are only 2 significant predictors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57613
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>