Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Saskhya Aulia Prima
"Perceived self-efficacy merupakan keyakinan atau penialai seseorang bahwa dirinya mampu menguasai atau mengerjakan sesuatu. Perceived Selfefficacy yang baik dapat membantu seseorang, terutama remaja awal untuk memiliki daya tahan dan usaha yang keras dalam menyelesaikan suatu tugas. Anak atau remaja awal yang memiliki perceived self-efficacy rendah cenderung mudah menyerah dan menghindari tugas yang harus dihadapinya. Beberapa penelitian menunjukkan pentingnya seorang remaja awal untuk memiliki selfefficacy yang baik agar terus dapat mengembangkan bakat mereka serta mampu menghadapi tantangan-tantangan yang dalam kehidupan mereka sehari-hari. CBT atau cognitive behavior therapy merupakan intervensi yang memiliki fokus merubah persepsi negatif yang menjadi keyakinan seseorang mejadi lebih positif dan mampu mengubah perasaan, sensasi fisik, dan perilaku seseorang dalam menghadapi sesuatu.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas penerapan intervensi CBT dalam mengubah perceived self-efficacy negatif, terutama dalam kegiatan menggambar seorang remaja awal berusia 11 tahun. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa CBT efektif dalam mengubah pandangan negatif anak mengenai kemampuan menggambarnya dan juga mengubah perceived selfefficacy negatif anak dalam menggambar yang terlihat dari perubahan perilaku dan pandangannya terhadap kegiatan menggambar dan keinginan anak untuk terus mengembangkan bakat menggambarnya.

Perceived self - efficacy is a person's belief on his capability to do something well or to attain desired output from his action. Perceived self-efficacy can help someone, especially early adolescent to increase his endurance and effort on completing a task. Early adolescent who has low self-efficacy tend to give up easily and avoid challenges that must be faced. Several studies have shown the importance of an early adolescent to have positive perceived self-efficacy in order to continue to develop his talents and be able to face challenges in daily lives. CBT or cognitive behavior therapy is an intervention that can be useful to help changing a person?s negative perceptions or beliefs to be more positive and able to change feelings, physical sensations, and behavior of a person on facing a challenge or task.
This study aims to evaluate the effectiveness of CBT interventions in changing negative perceived self-efficacy, especially in drawing ability. The participant is an 11 years old adolescent. The results of this study shows that CBT is effective intervention in changing negative views regarding the drawing ability of an early adolescent and also on changing his negative perceived self-efficacy. It is shown from the change of his behavior to continue to develop his drawing talent after the intervention.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
T43144
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Meilani
"Akumulasi kasus HIV/AIDS di Provinsi Jawa Tengah, tahun 1993-2008 adalah pada usia 20-24 tahun sekitar 12,54% dan usia 25-29 tahun sekitar 37,31% merupakan kategori remaja dan dewasa muda. Di kabupaten Magelang kasus HIV positif pada remaja mulai muncul tahun 2008 dan selalu muncul pada tahun berikutnya. Remaja sangat membutuhkan informasi tentang seksualitas dan peran ibu sangat penting. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui determinan perilaku ibu yang meliputi umur, pekerjaan, pendidikan, pengetahuan kesehatan reproduksi remaja, persepsi kemampuan diri dan sikap dalam pendidikan seksualitas. Jenis penelitian adalah survei dengan pendekatan potong lintang. Populasi terjangkau adalah ibu yang mempunyai anak remaja berusia 10-14 tahun dan mengikuti program Bina Keluarga Remaja percontohan di Kabupaten Magelang. Pemilihan sampel menggunakan klaster sampling dan berjumlah 92 orang. Pengumpulan data menggunakan kuesioner. Analisis bivariat menggunakan uji kai kuadrat dan analisis mulitivariat menggunakan regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas ibu belum memberikan pendidikan seksualitas dengan baik. Variabel yang berhubungan adalah pendidikan ibu, pengetahuan ibu tentang kesehatan reproduksi remaja, persepsi kemampuan diri ibu dan sikap ibu. Persepsi kemampuan diri ibu merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam memberikan pendidikan seksualitas.

Accumulation of HIV/ AIDS cases in Central Java province in 1993-2008 is at the age of 20-24 years at 12.54% and aged 25-29 years at 37.31% is the category of adolescent and young adults. In Magelang district HIV positive cases in adolescents began to emerge in 2008 and always appeared the following year. Adolescent need information about sexuality and the role of the mother is very important. This study aims to determine the determinant factors of mother (age, employment status, level of education, level of knowledge about adolescent reproductive health, self-perception and attitude) in providing sexuality education. This study was surveyed with cross sectional model. The population is mothers of adolescents aged 10-14 years and as member of Bina Keluarga Remaja program pilot in Magelang. The selection of samples using cluster sampling and numbered 92 people. Collecting data using a questionnaire. Bivariate analysis used chi squared test and multivariate used logistic regression. The results showed the majority of mother have not provided good sexuality education. There were relations between mother's education level, mother's level of knowledge about adolescent reproductive health, mother's perception and mother's attitudes with mother's behavior in providing sexuality education. Mother?s perception is the most influential variable on mother's behavior in providing sexuality education."
Jakarta: Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta,, 2014
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Khuzaima Adyasti
"Latar belakang: Maloklusi merupakan kondisi penyimpangan dari oklusi normal yang dapat ditangani dengan perawatan ortodonti. Perawatan ortodonti untuk sebagian besar kasus maloklusi idealnya dimulai saat periode awal gigi tetap, yaitu pada usia remaja awal. Berdasarkan data Riskesdas 2013, prevalensi remaja usia 12-14 tahun di Indonesia dengan gigi berjejal adalah 14,5%, sedangkan remaja yang menerima perawatan ortodonti hanya 0,8%. Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya kesadaran mengenai perawatan ortodonti. Belum pernah dilakukan penelitian pada remaja awal di Indonesia tentang kesadaran perawatan ortodonti.
Tujuan: Mengetahui distribusi frekuensi tingkat kesadaran perawatan ortodonti pada siswa SMPN 111 Jakarta.
Metode: Studi deskriptif dengan desain penelitian potong lintang pada 107 siswa SMPN 111 Jakarta yang berusia 12-14 tahun. Pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner yang diadopsi dari penelitian Shekar et al. (2017). Digunakan analisis univariat untuk menggambarkan distribusi.
Hasil: Rata-rata skor total dari kuesioner kesadaran perawatan ortodonti siswa SMPN 111 Jakarta adalah 25,34 sehingga termasuk dalam kategori sedang. Tingkat kesadaran mengenai perawatan ortodonti paling banyak berada dalam kategori sedang (45,8%), diikuti dengan kategori tinggi (33,6%) dan rendah (20,6%). Rata-rata skor total kesadaran perawatan ortodonti pada siswa perempuan adalah 26,55, sedangkan pada siswa laki-laki 24,13.
Kesimpulan: Tingkat kesadaran perawatan ortodonti pada remaja awal di SMPN 111 Jakarta termasuk dalam kategori sedang. Tingkat kesadaran perawatan ortodonti pada siswa perempuan lebih tinggi dibandingkan siswa laki-laki.

Background: Malocclusion is defined as the deviation of normal occlusion, which can be treated with orthodontic treatment. The orthodontic treatment for most of malocclusion cases are ideally initiated at the early permanent dentition period, that is around the age of early adolescence. According to Indonesian Health Survey 2013, the prevalence of adolescent aged 12-14 in Indonesia with crowded teeth is 14,5%, while those who received orthodontic treatment is only 0,8%. One of the reasons it happened is the lack of awareness regarding orthodontic treatment. The research has never been conducted to early adolescents in Indonesia regarding the awareness of orthodontic treatment.
Objective: To describe the distribution of the awareness level of orthodontic treatment in students of SMPN 111 Jakarta.
Methods: A descriptive study using cross-sectional design was held to 107 students of SMPN 111 Jakarta aged 12-14 years old. The level of awareness was measured using a questionnaire adopted from Shekar et al. (2017). This study was analyzed with univariate analysis.
Result: Mean total score of the questionnaire is 25,34, which fell into the moderate category. The awareness level of most students is moderate (45,8%), followed by high level of awareness (33,6%) and low level of awareness (20,6%). The mean total score of the questionnaire among female students is 26,55, while in male students is 24,13.
Conclusion: The awareness level of orthodontic treatment in early adolescents of SMPN 111 Jakarta is moderate. The awareness level of orthodontic treatment in female students is higher than male students."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tika Dwi Ariyanti
"ABSTRAK
Masa perpindahan dari SD ke SMP umumnya berkaitan dengan perubahan pada
lingkungan sekolah, aktifitas akademis, dan aktifitas sosial, perubahan-perubahan
tersebut dihadapi oleh siswa remaja awal bersamaan dengan perubahan yang
berasal dari dalam dirinya karena masa pubertas. Bagi kebanyakan siswa remaja
awal kondisi tersebut bisa menjadi pemicu munculnya stress (stressor). Dalam
menghadapi stress setiap siswa memiliki perbedaan karena disebabkan oleh
kemampuan coping yang dimilikinya dan dukungan sosial yang diterimanya.
Penelitian dilakukan pada partisipan sebanyak 106 orang yang berasal dari SMP N
2 Depok, dan memiliki karakteristik anak laki-laki maupun anak perempuan yang
sedang menjalani semester pertama sekolah. Seluruh partisipan diukur mengenai
pengalaman stress menggunakan Perceived Stress Scale (Cohen, Kamarck, &
Mermelstein, 1983), pengalaman stressor menggunakan lembar checklist,
penggunaan strategi coping menggunakan Cope Scale (Carver, Scheier, &
Weintraub, 1989), dan dukungan sosial menggunakan Social Support
Questionnaire for Children (Gordondise, 2011). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa semua partisipan mengalami stress namun pada tingkat yang berbeda-beda,
situasi khawatir dengan hasil raport jelek merupakan salah satu situasi yang
banyak dialami siswa sekaligus dianggap sebagai stressor, strategi coping terpusat
emosi sering digunakan oleh paling banyak partisipan, dan dukungan sosial yang
sangat sesuai ialah dari orang tua baik dalam bentuk instrumental maupun
emotional. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu seluruh pihak
yang terlibat dalam tumbuh kembang siswa remaja awal untuk bisa lebih
memahami pengalaman stress, stressor, strategi coping, serta dukungan sosial
pada siswa remaja awal di SMP.

ABSTRACT
The transition from elementary school to junior high school is generally
associated with changes in the school environment, academic activities, and social
activities, the changes faced by students in conjunction with the change that
comes from within him or her because of the onset of puberty. For most students
these conditions could trigger the emergence of stress (stressors). In the face of
stress every student has a different because their own capability of coping and
social support their received. Participants totaled 106 people from SMP N 2
Depok, and has the characteristics of boys and girls who are undergoing the first
semester of school. All participants were measured on experience of stress using
the Perceived Stress Scale (Cohen, Kamarck, & Mermelstein, 1983), the
experience of stressor using a checklist sheet, the use of coping strategies using
the Cope Scale (Carver, Scheier, & Weintraub, 1989), and social support using
Social Support Questionnaire for Children (Gordondise, 2011). The results
showed that all participants experienced stress but on a different level, the
situation concerned with the results of bad report cards is one of the situations
experienced by most students at once regarded as a stressor, coping strategies
centered emotions often used by most participants, and social support particularly
appropriate is from parents in the form of instrumental and emotional. From the
results of this research can help all parties involved in the development of early
adolescent students to better understand the experience of stress, stressors, coping
strategies, and social support on early adolescent students in junior high school."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S54496
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilmia
"Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara keterlibatan ayah yang dipersepsi oleh anak dan subjective well-being remaja awal. Partisipan dalam penelitian ini adalah 162 remaja awal yang berusia 12-15 tahun. Alat yang digunakan untuk mengukur keterlibatan ayah adalah Nurturant Fathering Scale NFS dan Father Involvement Scale-Reported FIS-R oleh Finley Schwartz 2004. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur SWB adalah Satisfaction With Life Scale SWLS dari Diener 1985 dan Positive and Negative Affect Schedule PANAS milik Watson, Clark dan Tellegan 1988 . Teknik analisis yang digunakan adalah pearson correlation. Hasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara domain father nurturance dan domain reported father involvement keterlibatan ayah dengan afeksi positif SWB. Hasil juga menunjukkan hubungan negatif yang signifikan antara domain father nurturance dengan afeksi negatif SWB.

The aim in this research is to investigate the relationship between perceived father involvement with early adolescent rsquo s subjective well being. Participant in this research were 162 early adolescents 12 15 years old. Nurturant fathering Scale NFS dan Father Involvement Scale Reported FIS R by Finley Schwartz 2004 is used to measure father involvement. For measure subjective well being we used Satisfaction With Life Scale SWLS from Diener 1985 and Positive and Negative Affect Schedule PANAS by Watson, Clark and Tellegan 1988. We used the pearson correlation to measure correlation between variables. Result indicated that domain father nurturance and domain reported father involvement is positively significant related with positive affect, and also found that domain father nurturance is negatively significant related with negative affect.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S69001
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Camilla Jasmine Silvana
"ABSTRAK
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk melihat apakah keterlibatan ayah perceived father involvement memengaruhi Identity Processing Style yang dimiliki oleh remaja awal. Partisipan dalam penelitian ini yaitu 178 remaja SMP di daerah dengan status sosial ekonomi yang rendah yaitu Tanjung Priok, Jakarta Utara. Identity Processing Style remaja diukur dengan Identity Style Inventory-5 dan keterlibatan ayah diukur dengan Nurturant Fathering Scale serta Reported Father Involvement Scale. Penelitian ini menggunakan teknik multinomial logistic regression dalam mengolah data. Dalam penelitian ini didapatkan hasil yaitu terdapat pengaruh keterlibatan ayah dalam aspek afektif yang signifikan terhadap Normative Processing Style B=0,787.

ABSTRACT
The aim of this study is to examine the effect of perceived father involvement toward early adolescent rsquo s Identity Processing Style. Participants used in this study is 178 Junior High School rsquo s Adolescent in low social economic status region in Tanjung Priok, North Jakarta. Identity Processing Style was measured by Identity Style Inventory 5 and father involvement was measured by Nurturant Fathering Scale and Reported Father Involvement Scale. This study used multinomial logistic regression technique to process data. The result of this study shows that there is a significant effect from affective aspect of father involvement to Normative Processing Style B 0,787."
2017
S67379
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wulan Ireka Farida Suprianto
"1 dari 3 remaja di 30 negara di dunia pernah mengalami perundungan maya, di Indonesia 49% pengguna internet di Indonesia pernah mengalami perundungan maya. Batas durasi penggunaan gawai yang aman untuk remaja adalah < 2 jam/hari, tapi saat ini banyak remaja yang menggunakan gawainya melebihi batas durasi penggunaan gawai yang aman. Remaja yang menggunakan gawai dalam durasi lebih lama berisiko lebih tinggi untuk mengalami adiksi gawai dan terlibat dalam perundungan maya, baik sebagai korban atau pelaku. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya korelasi antara adiksi gawai dan perundungan maya baik pada korban ataupun pada pelaku. Desain penelitian ini adalah studi cross sectional, dengan melibatkan 394 sampel remaja awal yang tersebar di seluruh wilayah DKI Jakarta. Pemilihan sampel dilakukan secara convenience. Pengambilan data dilakukan secara online Analisis data menggunakan uji korelasi Spearman. Hasilnya menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan antara adiksi gawai dan kejadian perundungan maya pada korban (p= 0,124). Namun, terdapat hubungan signifikan antara adiksi gawai dan kejadian perundungan maya pada pelaku (p=0,018). Berdasarkan hasil penelit ian ini, penelit i merekomendasikan agar adanya pengawasan yang dibarengi dengan pendekatan kepada remaja oleh orang tua. Pendekatan ini perlu dilakukan dengan memosisikan diri orang tua seperti teman bagi remaja dengan cara menjalin komunikasi yang tepat, disesuaikan dengan remaja. Pengawasan ini dilakukan guna menghindari dampak buruk dari penggunaan gawai, seperti adiksi gawai dan perundungan maya.

One in three adolescents in 30 countries around the world has experienced cyberbullying, and, in Indonesia, 49% of Internet users have experienced this problem. The length of time during which adolescents can safely use their communication devices is less than two hours per day, but currently most youths overuse their smartphones. Adolescents who are on these devices regularly for longer periods are at a higher risk of experiencing smartphone addiction and being involved in cyberbullying, either as a victim or bully. This study sought to measure the correlations between smartphone addiction and cyberbullying, from both the victims and perpetrators’ perspectives. The research had a cross-sectional design and involved a sample of 394 early adolescents who lived in Jakarta. The participants were selected by applying convenience sampling. The data were collected online, which were analyzed by conducting Spearman’s correlation test. The results show no significant correlation exists between smartphone addiction and cyberbullying from the victims’ perspective (p = 0.124). However, a significant correlation was found between smartphone addiction and cyberbullying from the perpetrators’ point of view (p = 0.018). This study’s implications include that all parents need to supervise their children when they use smartphones. Parental supervision should be combined with building a close parent-child relationship so that parents can position themselves as their children’s friend. This kind of protection is required to prevent the negative impacts of using these devices, such as smartphone addiction and cyberbullying."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library