Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 26 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Boston: Litle Brown & Co, 1962
617.8 OTO
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sandy Sofian Sopandi
Abstrak :

Latar Belakang: Morfologi telinga bervariasi antarindividu bergantung pada berbagai faktor, di antaranya faktor geografis dan etnik. Indonesia yang dihuni beraneka ragam suku bangsa tidak memiliki data mengenai protrusi normal telinga. Studi ini bertujuan untuk menyediakan data dasar anthropometri protrusi normal telinga pada mahasiswa fakultas kedokteran subras Melayu.

Metode: Penulis melakukan sebuah studi potong lintang pada mahasiswa fakultas kedokteran Rumah Sakit Hasan Sadikin. Dengan subjek duduk tegak, penulis mengukur jarak antara mastoid dan heliks pada level superaurale dan tragal. Penulis menggambarkan karakteristik protrusi telinga menggunakan statistic deskriptif.

Hasil: Kami melibatkan 409 mahasiswa fakultas kedokteran yang terdiri dari 105 laki-laki dan 304 perempuan. Dari 326 subjek Melayu, 307 merupakan keturunan Deutero Melayu, sementara 19 Proto Melayu. Protrusi superaurale rerata untuk subras Deutero Melayu adalah 16,7 mm (SD = 2,9) untuk telinga kiri dan 16,6 mm (SD = 2,9) untuk telinga kanan. Protrusi tragal adalah 21,7 mm (SD = 3,5) untuk telinga kiri dan 21,7 mm (SD = 3,5) untuk telinga kanan. Protrusi superaurale rerata untuk subras Proto Melayu adalah 15,8 mm (SD = 2,6) untuk telinga kiri dan 15,5 mm (SD = 3,6) untuk telinga kanan. Protrusi rerata level tragal adalah 20,1 mm (SD = 2,4) untuk telinga kiri dan 20,4 mm (SD = 3,3) untuk telinga kanan. Sebanyak 36 subjek merupakan subras campuran, dengan protrusi superaurale rerata 17 mm (SD = 3,4) untuk telinga kiri dan 16,9 mm (SD = 3,2) untuk telinga kanan. Protrusi tragal rerata kiri dan kanan kelompok ini adalah 22,7 mm (SD = 3,6) dan 22,9 mm (SD = 4).  Sisa 47 subjek berasal dari subras lain, yaitu Cina, India, dan Arab, dengan protrusi superaurale rerata kiri 14,7 mm (SD = 2,8) dan kanan 14,1 mm (SD = 2,9). Protrusi tragal rerata kelompok ini adalah 20,2 mm (SD = 3,6) untuk telinga kiri dan 20,6 mm (SD = 3,9) untuk telinga kanan.

Diskusi dan Kesimpulan: Hasil studi penulis menunjukkan hasil serupa dengan studi Purkait pada dewasa India. Meskipun demikian, protrusi tragal rerata studi ini melebihi kriteria klasik telinga prominen Adamson dan Wright yaitu 20 mm. Studi ini memberikan data anthropometri dasar untuk protrusi telinga populasi Indonesia, khususnya subras Melayu.

 


Background: Ear morphology varies between individuals depending on many factors, the geographical and ethnic factors among others. While Indonesia is inhabited by diverse ethnic groups, data regarding normal ear protrusion is not available. This study aims to provide a baseline data on normal ear protrusion anthropometry among medical students of Malay subraces.

Methods: We conducted a cross-sectional study on Rumah Sakit Hasan Sadikin medical students. With the subject sitting upright, the distance between mastoid and the helix on superaurale and tragal level is measured. We depicted ear protrusion characteristics using descriptive statistics.

Result: We enrolled 409 medical students. There were 105 male and 304 female. From 326 Malay subjects, a total of 307 subjects were from Deutero Malay descent, while 19 were Proto Malay. The mean superaurale protrusion for Deutero Malay subrace was 16.7 mm (SD = 2.9) for the left ear and 16.6 mm (SD = 2.9) for the right ear. The tragal protrusion was 21.7 mm (SD = 3.5) for the left ear and 21.7 mm (SD = 3.5) for the right ear. The mean superaurale protrusion for Proto Malay subrace was 15.8 mm (SD = 2.6) for the left ear and 15.5 mm (SD = 3.6) for the right ear. Mean protrusion on the tragal level was 20.1 mm (SD = 2.4) for the left ear and 20.4 mm (SD = 3.3) for the right ear. Thirty six subjects were mixed subrace, whose mean superaurale protrusion was 17 mm (SD = 3.4) for the left ear and 16.9 mm (SD = 3.2) for the right. Their mean left and right tragal protrusion was 22.7 mm (SD = 3.6) and 22.9 mm (SD = 4).  The remaining 47 subjects belonged to other subraces, i.e. Chinese, Indian, and Arabic, with the left mean superaurale protrusion 14.7 mm (SD = 2.8) and the right 14.1 mm (SD = 2.9). Their mean tragal protrusion was 20.2 mm (SD = 3.6) for the left ear and 20.6 mm (SD = 3.9) for the right.

Discussion and Conclusion: Our results showed comparable values to Purkaits similar study on Indian adults. However, our mean tragal protrusion exceeds Adamson and Wrights classic criteria of protruding ear, which is 20 mm. This study provided a baseline anthropometric data on ear protrusion of Indonesian population, especially Malay subraces.

 

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandy Sofian Sopandi
Abstrak :

Latar Belakang: Morfologi telinga bervariasi antarindividu bergantung pada berbagai faktor, di antaranya faktor geografis dan etnik. Indonesia yang dihuni beraneka ragam suku bangsa tidak memiliki data mengenai protrusi normal telinga. Studi ini bertujuan untuk menyediakan data dasar anthropometri protrusi normal telinga pada mahasiswa fakultas kedokteran subras Melayu.

Metode: Penulis melakukan sebuah studi potong lintang pada mahasiswa fakultas kedokteran Rumah Sakit Hasan Sadikin. Dengan subjek duduk tegak, penulis mengukur jarak antara mastoid dan heliks pada level superaurale dan tragal. Penulis menggambarkan karakteristik protrusi telinga menggunakan statistic deskriptif.

Hasil: Kami melibatkan 409 mahasiswa fakultas kedokteran yang terdiri dari 105 laki-laki dan 304 perempuan. Dari 326 subjek Melayu, 307 merupakan keturunan Deutero Melayu, sementara 19 Proto Melayu. Protrusi superaurale rerata untuk subras Deutero Melayu adalah 16,7 mm (SD = 2,9) untuk telinga kiri dan 16,6 mm (SD = 2,9) untuk telinga kanan. Protrusi tragal adalah 21,7 mm (SD = 3,5) untuk telinga kiri dan 21,7 mm (SD = 3,5) untuk telinga kanan. Protrusi superaurale rerata untuk subras Proto Melayu adalah 15,8 mm (SD = 2,6) untuk telinga kiri dan 15,5 mm (SD = 3,6) untuk telinga kanan. Protrusi rerata level tragal adalah 20,1 mm (SD = 2,4) untuk telinga kiri dan 20,4 mm (SD = 3,3) untuk telinga kanan. Sebanyak 36 subjek merupakan subras campuran, dengan protrusi superaurale rerata 17 mm (SD = 3,4) untuk telinga kiri dan 16,9 mm (SD = 3,2) untuk telinga kanan. Protrusi tragal rerata kiri dan kanan kelompok ini adalah 22,7 mm (SD = 3,6) dan 22,9 mm (SD = 4). Sisa 47 subjek berasal dari subras lain, yaitu Cina, India, dan Arab, dengan protrusi superaurale rerata kiri 14,7 mm (SD = 2,8) dan kanan 14,1 mm (SD = 2,9). Protrusi tragal rerata kelompok ini adalah 20,2 mm (SD = 3,6) untuk telinga kiri dan 20,6 mm (SD = 3,9) untuk telinga kanan.

Diskusi dan Kesimpulan: Hasil studi penulis menunjukkan hasil serupa dengan studi Purkait pada dewasa India. Meskipun demikian, protrusi tragal rerata studi ini melebihi kriteria klasik telinga prominen Adamson dan Wright yaitu 20 mm. Studi ini memberikan data anthropometri dasar untuk protrusi telinga populasi Indonesia, khususnya subras Melayu.


Background: Ear morphology varies between individuals depending on many factors, the geographical and ethnic factors among others. While Indonesia is inhabited by diverse ethnic groups, data regarding normal ear protrusion is not available. This study aims to provide a baseline data on normal ear protrusion anthropometry among medical students of Malay subraces.

Methods: We conducted a cross-sectional study on Rumah Sakit Hasan Sadikin medical students. With the subject sitting upright, the distance between mastoid and the helix on superaurale and tragal level is measured. We depicted ear protrusion characteristics using descriptive statistics.

Result: We enrolled 409 medical students. There were 105 male and 304 female. From 326 Malay subjects, a total of 307 subjects were from Deutero Malay descent, while 19 were Proto Malay. The mean superaurale protrusion for Deutero Malay subrace was 16.7 mm (SD = 2.9) for the left ear and 16.6 mm (SD = 2.9) for the right ear. The tragal protrusion was 21.7 mm (SD = 3.5) for the left ear and 21.7 mm (SD = 3.5) for the right ear. The mean superaurale protrusion for Proto Malay subrace was 15.8 mm (SD = 2.6) for the left ear and 15.5 mm (SD = 3.6) for the right ear. Mean protrusion on the tragal level was 20.1 mm (SD = 2.4) for the left ear and 20.4 mm (SD = 3.3) for the right ear. Thirty six subjects were mixed subrace, whose mean superaurale protrusion was 17 mm (SD = 3.4) for the left ear and 16.9 mm (SD = 3.2) for the right. Their mean left and right tragal protrusion was 22.7 mm (SD = 3.6) and 22.9 mm (SD = 4). The remaining 47 subjects belonged to other subraces, i.e. Chinese, Indian, and Arabic, with the left mean superaurale protrusion 14.7 mm (SD = 2.8) and the right 14.1 mm (SD = 2.9). Their mean tragal protrusion was 20.2 mm (SD = 3.6) for the left ear and 20.6 mm (SD = 3.9) for the right.

Discussion and Conclusion: Our results showed comparable values to Purkaits similar study on Indian adults. However, our mean tragal protrusion exceeds Adamson and Wrights classic criteria of protruding ear, which is 20 mm. This study provided a baseline anthropometric data on ear protrusion of Indonesian population, especially Malay subraces.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Likhachov, A.G.
Moscow : Foreign language Publ. House, T.t.
618.921 LIK d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Geneva: World Health Organization, [Date of publication not identified]
362.197 8 WOR s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jenny Endang Bashiruddin
Depok: UI-Press, 2010
PGB 0054
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Yorva Sayoeti
Abstrak :
ABSTRAK
Mastoiditis masih dipandang sebagai penyakit yang serius karena setiap saat dapat mengancam kehidupan penderita atau penyakit yang berpotensi menyebabkan kematian (Rosen dkk., 1986). Ancaman kehidupan tersebut disebabkan karena timbulnya komplikasi, terutama komplikasi intrakranial seperti meningitis, abses otak, abses subdural, trombosis sinus lateral dan lain-lain.

Dalam kepustakaan negara maju dikatakan kejadian mastoiditis disertai komplikasi sampai saat ini telah banyak menurun sejak dimulainya penggunaan antibiotika pada pengobatan otitis media sebagai penyakit awal mastoiditis (Zoller dkk., 1972; Ginsburg dkk., 1980; Hawkins dan Dru, 1983; Ogle dan Lauer, 1986). Di negara berkembang mastoiditis dengan komplikasi intrakranial masih merupakan masalah yang berkepanjangan seperti yang dilaporkan oleh Samuel dkk. (1986). Dari 334 penderita mastoiditis dengan komplikasi, 224 di antaranya dengan komplikasi intrakranial, terutama terjadi pada anak dan dewasa muda (74%), dengan angka kematian seluruhnya 14%. Selain itu mastoiditis juga menyebabkan kerugian karena dapat menyebabkan cacat pendengaran yang mengganggu masa depan pendidikan maupun pekerjaan penderita (Djaafar, 1980).

Mengingat bahaya dan kerugian yang ditimbulkan mastoiditis seperti di atas, maka untuk mengetahui bagaimana aspek mastoiditis pada anak, khususnya di RSCM/FKUI Jakarta, dilakukan penelitian ini. Hal ini penting karena merupakan tantangan dan tanggung jawab kita sebagai dokter dalam usaha penanggulangan dan pencegahan mastoiditis pada anak.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58517
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robert Mars
Abstrak :
Latar Belakang: Selain fungsi telinga berfungsi penting sebagai organ pendengaran, telinga bagian luar juga berperan penting secara estetika dalam penampilan diri seseorang.1 Salah satu dari dua kelainan tersering di telinga luar adalah mikrotia.2 Mikrotia merupakan keadaan dimana daun telinga atau bagian telinga luar tidak berkembang atau tidak sempurna. Berbagai penelitian melaporkan dampak psikososial pada pasien mikrotia sebelum dan sesudah rekonstruksi telinga. Operasi rekonstruksi mikrotia berdampak pada kualitas hidup, interaksi sosial, mood serta citra diri pasien anak maupun dewasa. Tujuan: meningkatkan kualitas hidup pasien mikrotia, penelitian ini akan memaparkan profil pasien mikrotia dan juga mencari hubungan faktor operasi rekonstruksi telinga, fungsi pendengaran, dan kepuasan pasien terhadap kualitas hidup pasien mikrotia pasca operasi rekonstruksi. Metode: Dilakukan penelitian analitik potong lintang menggunakan data retrospektif pasien mikrotia pasca rekonstruksi. Kepuasan operasi didapat dengan metode wawancara menggunakan kuesioner Cui dkk. Data kualitas hidup didapat dengan menggunakan kuesioner EQ-5D-Y. Hasil: Pasien yang memenuhi kriteria penelitian adalah 31 subjek. Aspek kualitas hidup yang mengalami rasa sakit atau tidak nyaman merupakan domain yang paling mengalami banyak gangguan (12 subjek) pasien mikrotia pasca rekonstruksi. Analisis chi square mendapatkan variabel frekuensi operasi pada pasien yang tanpa mengalami revisi berhubungan secara bermakna dengan kualitas hidup pada domain kemampuan berjalan (PR=1,429; interval kepercayaan 0,952-2,143; nilai p=0,027) Kesimpulan: Terdapat hubungan antara frekuensi operasi tanpa revisi dengan kualitas hidup pada domain kemampuan berjalan. Tidak didapatkan hubungan antara faktor proses operasi rekonstruksi telinga, fungsi pendengaran dan kepuasan pasien dengan kualitas hidup pada domain lainnya. ......Background: The ear functions as an auditory organ, but also plays an aesthetically important role in one s appearance.1 One of the two most common abnormalities in the outer ear is microtia.2 Microtia is a condition whereas outer ear or ear lobe did not develop perfectly. Various studies have reported psychosocial effects on microtia patients before and after ear reconstruction. Microtia reconstruction surgery has an impact on quality of life, social interaction, mood and self-image of children and adults. Objective: to improve the quality of life of microtia patients, this study will describe the profile of microtia patients and also look for the relationship of ear reconstruction surgery process factors, hearing function and patient surgery satisfaction to the quality of life of microtia patients after reconstructive surgery. Method: A cross-sectional analytic study was conducted using retrospective data of post-reconstruction microtia patients. Surgery satisfaction obtained by the interview method using a questionnaire by Cui et al. Quality of life data was obtained using the EQ-5D-Y questionnaire. Results: Patients who met the study criteria were 31 subjects. Aspects of quality of life that experience pain or discomfort are the domains that experience the most disruption (12 subjects) post-reconstruction microtia patients. Chi square analysis show that surgery frequency variables in patients without revision significantly related to quality of life in the domain of walking ability (PR = 1.429; confidence interval 0.952-2.143; p value = 0.027) Conclusion: There is a relationship between operating frequency without revision with quality live on the domain of walking ability. There was no relationship between the factors of ear reconstruction surgery, hearing function and patient satisfaction with quality of life in other domains.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58835
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rochman Budiasih Effendi
Abstrak :
Abstract The stable fluctuation of Rp against the US$ during the free floating exchange rate regime in 2002-2007 raises the existence of fear of floating exchange rate phenomenon in Indonesia. The GARCH method is use to verify this phenomenon. Moreover, Time Varying Parameter and Error Correction Mechanism method shows the economic reason behind the Monetary Authoritys response in stabilizing rupiah. Depreciation and increasing volatility of Rupiah raises ination and bank Non-Performing Loans, while appreciation and increasing volatility of Rupiah, reduce the net export. Furthermore, Vector Autoregressive confirms the Monetary Authority respond to exchange rate shock through the interest rate policy for four months and through the foreign reserves policy for two months.
2011
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
M. Adham
Abstrak :
Abstrak
Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is the most frequent head and neck malignancy in Indonesia. Misdiagnosis of NPC is common because of unspecific symptoms as unilateral ear complaint. This case reminds doctors of the early symptoms of NPC and of other factors which lead to misdiagnosis and addresses also patients and their families. Reported is a 44 years old man with unilateral ear disorder that had been treated by otorhinolaryngologists, an ophthalmologist, a neurologist, and dentist first, but diagnosed with nasopharyngeal carcinoma stage IVA (T4N1M0) one year later. NPC has unspecific early symptoms such as unilateral ear disorder. Primarily doctors, but also patients and their families should be aware of unilateral ear complaint.
Jakarta: Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2014
610 UI- MJI 23:1 (2014) (2)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>