Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 62 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwi Marta Nurjaya
Abstrak :
Limbah hasil pengecoran aluminium dapat berupa dross atau slag dan debu. Dross atau slag dapat dimanfaatkan kembali sebagai bahan baku pengecoran kualitas rendah, sedangkan debu yang dikumpulkan oleh penangkap debu (dust collector) sama sekali tidak digunakan. Pada setiap 20 ton peleburan aluminium didapat sedikitnya 1 ton debu. Studi pemanfaatan debu limbah peleburan aluminium diawali dengan uji komposisi dari debu dan distribusi besar butir partikel. Pembuatan bakalan dengan cara mencampur debu yang telah dibersihkan dengan bahan pengikat kemudian dikompaksi dan dibakar dilakukan untuk mendapatkan sampel yang siap untuk diuji. Pengujian yang dilakukan terhadap bakalan adalah refractoriness, density dan porositas, ekspansi thermal dan struktur mikro. Hasil pengujian menunjukkan kandungan alumina yang tinggi dengan tahanan kejut termal, refractoriness, densitas dan porositas yang masih dibawah standar refraktari high alumina. Namun dengan pemurnian debu dan peningkatan suhu pembakaran serta optimalisasi bahan pengikat dapat dihasilkan refrakiori dengan kualias yang baik.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Widiastuti
Abstrak :
Latar Belakang
Debu banyak dijumpai di mana-mana termasuk di dalam atau di luar rumah, ditemukan terutama pads musim panas Debu terdiri dari partikel detrimen yang berasal dari rambut, daki, bulu binatang, sisa makanan serbuk sari, serpihan kulit manusia, bakteri, jamur, virus, serangga kecil dan lain-lain (Voorhorst dkk, 1969). Debu rumah merupakan komponen alergen inhalan yang panting, karena berperan sebagai pencetus timbulnya asma alergi yang telah dikenal sejak satu abad yang lalu (Voorhoret dkk, 1969). Dalam debu rumah terdapat Tungau Debu Rumah (TDR) yang banyak ditemukan pada rumah yang lembab, kasur kapuk,bantal, guling, serta perabot rumah yang lain. Sumber debu dengan jumlah TDR terbanyak adalah debu kamar tidur terutama debu di kasur (Voorhorst dkk,1969). Aulung dkk {1989) melaporkan bahwa sejumlah 226 dari 429 TDR terdapat pada kasur anak dan dikumpulkan dari seluruh ruang tidur yang terdiri dari kasur, lantai, dinding dan lubang angin, menempati urutan teratas dalam jumlah. Sundaru dkk (1993) melaporkan bahwa pada pengumpulan berbagai jenis tungau dari 3 macam kasur yang diteliti (masing-masing 20 kasur) secara sangat bermakna (p < 0,01) kasur kapuk mengandung populasi TDR jenis D. pteronyss inns dan I). farinae yang paling besar

jika dibandingkan dengan kasur pegas dan kasur busa. Manan dkk {1993) melaporkan bahwa dari masing-masing 10 kasur penderita asma yang diperiksa, kasur kapuk dihuni oleh 359 TDR terbukti sangat berbeda bermakna (p <0,05) jika dibandingkan dengan kasur busa yang dihuni oleh spesies TDR yang lama. Peranan TDR terhadap asma bronkial secara epidemiologis telah diteliti oleh Dowse dkk (1985). Pada penelitian tersebut terbukti bahwa adanya perubahan pola hidup penduduk setempat dari cara hidup yang sangat bersahaja menjadi moderen antara lain menggunakan selimut tebal, dapat meningkatkan prevalensi penderita asma sebesar 3,3%. Selain itu TDR berperan penting terhadap berbagai penyakit alergi antara lain rinitis dan dermatitis atopik (Carswel, 1988). Pada survei awal di tahun 1994 terhadap penderita asma yang berobat di Runah Sakit Cipto Mangunkusumo ternyata 85,7% penderita menggunakan kasur kapuk sebagai alas tidur dan pad penelitian pendahuluan yang dilakukan di perumahan STN, 90% menggunakan kasur kapuk sebagai alas tidur.
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firman Muttaqin
Abstrak :
Pencemaran udara oleh debu akibat aktivitas pertambangan sangat membahayakan bagi kesehatan dan berpotensi menyebabkan beberapa penyakit. Selain itu, debu juga mengurangi daya pandang mata sehingga membahayakan keselamatan pekerja. Dust suppressant adalah material yang digunakan untuk menekan pembentukan debu. Material konvensional yang paling umum digunakan di area pertambangan di Indonesia adalah air karena murah, melimpah, dan aman bagi lingkungan, tetapi tidak tahan lama karena mudah berevaporasi sehingga lebih boros dari segi biaya dan tenaga kerja. Pada penelitian ini, dua zat aktif utama yaitu polimer emulsi sebagai binding agent dan surfaktan sebagai wetting agent digunakan pada formulasi material dust suppressant. Dust suppressant yang baik memiliki sifat tahan lama sehingga mengurangi konsumsi air, daya membasahi yang baik, tidak korosif, dan tahan terhadap erosi. Beberapa uji aplikasi baik di laboratorium maupun di lapangan dilakukan untuk mengetahui kinerja dust suppressant. Dari uji aplikasi di lapangan, material dust suppressant dengan polimer VA mampu mempertahankan kadar kelembaban tanah 300% lebih tinggi daripada air dan penurunan konsentrasi emisi debu dari 60 sampai 80% daripada air. ......Air polution by dust, caused by mining activity is very dangerous for healthy and can cause some diseases. Beside that, dust also can reduse visibility so endanger employees safety. Dust suppressant is a material used to push down the formation of dust. The most conventional material for mining industry in Indonesia is water since it?s cheap, overabundance, and safe for environment, but evaporate easily so more wasful in fuel and labor cost. In this research, there are two active substances, emulsion polymer as binding agent and surfactant as wetting agent, used in dust suppressant formulation. Good dust suppressant is well preserved so it reduces water consumption, good wetting agent, non-corrosive, and non-erosion. Some tests in laboratory and field have been done to measure the performance of dust suppressant. From field application test, dust suppressant with VA polymer can mantain soil humidity 300% greater than water and can reduce dust emision from 60% to 80% than water.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
T21497
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmania Diandini
Abstrak :
Latar Belakang: Pajanan debu silika telah diketahui sebagai salah satu faktor risiko infeksi TB paru. Diketahuinya besar risiko pajanan debu silika terhadap timbulnya TB paru dapat menjadi suatu aset dalam upaya advokasi program pemberantasan TB baik di pusat pelayanan kesehatan, maupun di tempat kerja, terutama tcrhadap sektor industri yang terkait pajanan debu silika seperti keramik, gelas, konstruksi, etc. Metode: Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol dengan kasus 129 orang, dan kontrol 129 orang yang dipadankan menurut usia dan jenis kelamin. Wawancara riwayai pajanan debu silika dilalcukan dengan kuesioner yang telah diujicoba sebelumnya. Diagnosis TB paru diambil dari data sekunder hasil pemeriksaan basil tahan asam (BTA) sputum 3x dan foto toraks di awal diagnosis. Pengaruh pajanan debu silika terhadap TB pam dianalisis regresi logistik, disesuaikan terhadap sejumlah faktor risiko lainnya. Hasil: Dari analisis bivariat ditemukan bahwa faktor pajanan debu silika sedang-tinggi memiliki OR kasar = ll.05 (95% Cl = l.39~87-69, p = 0_023). Namm; analisis multivariat tidak menunjukkan kemaknaannya terhadap TB pam. Faktor risiko yang bermakna adalah pendidikan tamat SMP (OR suaian = 2.26, 95% CI = 0.97-5.27), tamat SD hingga tidak sekolah (OR suaian 2.16, 95% Cl = 0.95-4.92), penghasilan rendah (OR suaian = 2.64, 95% CI = 1.21-5.84), Indeks massa tubuh (IMT) kurang (OR suaian = 15.76, CI = 6.95-3546), riwayat minum alkohol sedang-berat (OR suaian = 6.77, 95% CI = 2.27-1 9.78). Simpulan dan saran: Tidak terdapat perbedaan dalam zisiko TB paru antara riwayat pekeljaan terkait pajanan debu silika dengan pekerjaan lainnya_ Keterbatasan popuiasi penelitian di puskesmas tempat penelitian diperkirakan mempunyai andil terhadap hasil yang diamati_ Penelitian selanjutnya perlu dilakukan pada populasi yang lebih spcsifik yaitu pada pekerja industri dengan pajanan debu silika. ......Silica dust exposure has long been known as risk factor for tuberculosis. Therefore, the risk on silica dust exposure can be an asset for health promotion to eradicate tuberculosis in the industrial setting, especially in silica-related industries such as ceramic, pottery, glass, construction, etc. Methods: The study design is case-control with cases (129 persons) and control (129 persons) selected and matched by age with 5-year interval, and gender. History of occupation with silica dust exposure was taken by interview using questionnaire which had been tested its validity and reliability. Diagnosis of tuberculosis which are acid-fast bacilli.sputum.smear and.thorax.photo interpretation were taken. secondary available. The relationship between pulmonary TB and silica dust exposure was evaluated by logistic regression analysis adjusted for other confounding factors. Result: Bivariate analysis shows that moderate to high silica dust exposure has crude OR=ll.05 (95% CI = 1.39-87.69, p=0.023). Meanwhile, multivariate analysis does not show its effect towards pulmonary TB. Factors that increases risk are junior high-school graduates (adjusted OR = 2.26, 95% CI = 0.97-5.27), illiterate up to elementary graduate (adjusted OR = 2.16, 95% CI = 0.95-4.92), low income (adjusted OR = 2.64, 95% CI = 1.21-5.s4), new body mass index (BMI) (adjusted OR = 15.76, 95% CI = 6.95-3546), and moderate-heavy drinking (adjusted OR = 6.77, 95% CI = 2.27-l9_78). Conclusion and Recommendation: Effect of occupation with silica dust exposure on pulmonary 'l`B is not shown in this study. Limitation of the study population was assumed as the cause. Further research is needed to be done in more specific population such as community of worker in industry with silica dust.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T29185
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lin Yuwarni
Abstrak :
Tesis ini untuk membuktikan hepotesa bahwa pajanan debu total pada industri semen memegang peran dominan dalam kasus terjadinya kelainan fungsi paru. Melalui studi ini, dicari hubungan antara kelainan paru obstruktif pada pekerja yang terpajan debu total di industri semen dengan (1) konsentrasi debu total terpajan, (2) umur pekerja, (3) lama pajanan, (4) kebiasaan merokok, dan (5) kebiasaan menggunakan alat pelindung diri (APD). Studi dengan teknik potong lintang (cross-sectional) ini dilaksanakan di sebuah pabrik semen di Jawa Barat pada 2003, di antara 604 pekerja yang menderita kelainan fungsi paru. Data pribadi (n = 104) dari pengukuran debu terisap menunjukkan pajanan rata-rata. Kuesioner digunakan untuk menggali data tentang kebiasaan merokok, kebiasaan menggunakan APD, dan lama pajanan. Fungsi paru diukur dengan spirometer untuk menentukan jenis kelainan. Pajanan debu total diperoleh melalui penggunaan personal dust sampler dan kemudian ditimbang dengan timbangan elektronik. Berdasarkan data yang dianalisis, tampak bahwa tidak terdapat hubungan di antara variabel-variabel. Kesimpulan dari studi ini adalah tidak adanya hubungan antara pajanan debu total di bawah nilai ambang batas (NAB) dan kasus terjadinya kelainan fungsi paru obstruktif.
Study on Cement Dust and Another Factors against Obstructive Lung DisfunctionThis thesis hypothesized in cement industry that expose to total dust plays dominant role in the incidence of obstructive lung disfunction. The purpose of this study was to relate the obstructive lung disjunction in workers exposed to total dust in cement industry to (1) the concentration of total exposed dust, (2) the worker's age, (3) the length of exposure, (4) the smoking habit, and (5) the usage of personal protective equipment (PPE). A cross-sectional study in a cement plant in West Java was done in 2003, among 604 workers who suffering from lung disfunction. Personal sampling (n --104) of inhalable dust measurements indicated average exposure. Questionnaires were used to explore data about the smoking habit, the usage of PPE, and the length of exposure. Lung function was measured with spirometer to determine the type of the disjunction. The total dust exposure obtained by personal dust sampler (IDS) and electronic scale weighted. According to the result of data analyses, there's no relations among the variables. The conclusion of this study was that there is no relationship between total dust exposure (below the TLVs) and the incidence of obstructive lung disfunction.
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T12764
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nastiti Ekasari
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Industri Baja dan Aluminium terbukti mempengaruhi kejadian Metal Fume Fever akibat banyaknya pajanan debu logam yang dihasilkan dari teknik pengelasan, pemotongan logam berat. Banyak kandungan metal berbahaya dalam industri baja dan Aluminium yang dapat berpontensi menimbulkan keluhan Metal Fume Fever ketika pekerja terpajan fume dan gas yang dihasilkan dalam proses industri. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisa kejadian Metal Fume Fever pada pekerja industri baja dan Aluminium, serta faktor yang mempengaruhinya. Banyaknya keluhan flu like syndrome yang dialami pekerja yang ingin ditelaah apakah ini termasuk Metal Fume Fever terkait pajanan debu logam di lingkungan pabrik.Metode: Penelitian cross sectional dilakukan pada pekerja pabrik baja dan Aluminium di Cibitung. Data yang diperoleh dari wawancara dan kuesioner, anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan kadar debu logam di lingkungan pabrik. Dalam menegakkan diagnosa Metal Fume Fever digunakan tujuh langkah diagnosis okupasi.Hasil: Pada penelitian ini didapatkan pengukuran kadar debu logam Al,Cr,Fe,Pb di bawah NAB. Dan dari 63 pekerja, terdapat 27 pekerja 42,8 yang mengalami Metal Fume Fever. Pada penelitian ini terdapat beberapa variabel yang diteliti antara lain variabel umur, patuh APD, riwayat merokok dan masa kerja. Dari empat variabel tersebut, variabel umur >40 tahun yang lebih berisiko untuk terjadinya Metal Fume Fever. OR: 6,49, p= 0,018, 95 CI=1,38-30,42 Kesimpulan: Pada penelitian ini didapatkan pengukuran kadar debu logam Al,Cr,Fe,Pb dibawah NAB namun demikian proses produksi terus berlangsung dan pekerja terus menghirup debu logam juga terkait dengan proses sensitisasi dan imunitas pekerja yang berhubungan dengan keluhan Metal Fume Fever. Didapatkan juga bahwa variabel umur >40 tahun lebih berisiko untuk terjadinya Metal Fume Fever.Kata kunci: Metal Fume Fever, debu logam
ABSTRACT
Background: Steel and aluminum industry proven influential to the occurrence Metal Fume Fever due to the large exposure to metal dust generated from welding technique, cutting heavy metals. Many hazardous metal content in the steel and aluminum industries which may cause Metal Fume Fever symptoms when workers exposed to fume and gas produced in industrial processes. This study was conducted to analyze the incidence of Metal Fume Fever among steel and aluminum industry workers, and the factors that influence it. The number of complaints flu like syndrome experienced by workers who wish to be explored whether this includes Metal Fume Fever associated metal dust exposure. Methods The cross sectional study was conducted on the steel and aluminum factory workers in Cibitung. Data obtained from interviews and questionnaires, the anamnesis and physical examination and also inspection of metal dust levels in the factory environment. In the diagnosis of Metal Fume Fever, use a seven step diagnosis of occupational. Results In this study, measurement of metal dust Al, Cr, Fe, Pb below the TLV. And of 63 workers, there are 27 workers 42.8 with Metal Fume Fever. In this study, there are several variables studied include age, obedient PPE, smoking history and tenure. Of the four variables, the variables age 40 years who are more at risk for the occurrence of Metal Fume Fever. OR 6,49, p 0,018, 95 CI 1,38 30,42 Conclusion In this study, measurement of metal dust Al, Cr, Fe, Pb under NAB however, the production process continues and workers continue to inhale metal dust is also related to the process of sensitization and immune related complaints worker Metal Fume Fever. It was found also that the variables age 40 years are more at risk for the occurrence of Metal Fume Fever. Keywords Metal Fume Fever, metal dust
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saria Putri Biotika
Abstrak :
ABSTRAK
Proses pengolahan kayu seperti penggergajian, penyerutan dan pengamplasan menghasilkan pencemaran udara di tempat kerja berupa debu kayu yang berupa PM2,5. Pajanan PM2,5 telah banyak dihubungkan dengan gangguan fungsi paru. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi PM2,5 di lingkungan kerja dan terjadinya gangguan fungsi paru pada pekerja UD Mebel Kayu di Desa Condongsari tahun 2015. Desain Penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Sampel pekerja dipilih dengan metode total population study. Pengambilan sampel PM2,5 dilakukan dengan menggunakan alat Air-Aide Airborne Particle Monitor Model AA-3500. Sedangkan gangguan fungsi paru diukur dengan spirometri. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik antara PM2,5 dengan gangguan fungsi paru (p-value = 0,05). Faktor lain yang mempengaruhi gangguan fungsi paru pada pekerja adalah umur (p-value = 0,024), masa kerja (p-value = 0,04 dan OR = 16,000) dan penggunaan APD (p-value = 0,002). Kesimpulan dari penelitian ini adalah pajanan PM2,5 di lingkungan kerja UD Mebel Kayu Desa Condongsari tahun 2015 secara statistik tidak berhubungan dengan gangguan fungsi paru pekerja. Umur, masa kerja serta penggunaan APD berhubungan signifikan terhadap gangguan fungsi paru.
ABSTRACT
Wood processing such as sawing and sanding produce wood dust containing PM2,5. Exposure to PM2,5 has been associated with an increase in lung function. This study aimed to determine the association between PM2,5 and Lung Function among wood workers in Furniture Industry in Condongsari 2015. This study used a cross sectional study design with a total population study method. PM2,5 concentration was measured by Air-Aide Airborne Particle Monitor Model AA-3500 and lung function was measured by spirometry. The statistic analysis showed that there is no assosiation between PM2,5 and lung function (p value > 0,05). Another factor that influenced lung function in workers were age (p-value = 0.024), work-years (p-value = 0.04 and OR = 16.000) and use of PPE/Personal Protective Equipment (p-value = 0.002). In conclussion, statistically PM2,5 had no association with lung function. Age, work-year and Use of PPE was significanly associated with lung function.
2015
S61061
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eddy
Abstrak :
Latar belakang: Saat ini debu tepung masih dianggap sebagai bahan yang tidak berbahaya/debu inert, sementara pada industri tepung terigu PT.ISM BSFM terdapat tendensi peningkatan gangguan saluran napas atas maupun saluran napas bawah. Penelitian bertujuan mencari hubungan antara gangguan faal paru pada pekerja dengan pajanan debu tepung dan faktor lain yang berhubungan, prevalensi keluhan serta prevalensi penyakit paru kerja. Metode: Penelitian menggunakan desain studi Cross sectional internal kompartif terhadap dua kelompok pekerja yang terpajan rendah dan terpajan tinggi berdasarkan hasil pengukuran personal dust sampler(debu respirable). Studi dilakukan dengan mewawancarai 119 responden memakai kuesioner Pneumobile project Indonesia 1992, mengukur faal paru dengan spirometri dan pengukuran Arus puncak ekspirasi. Hasil dan Kesimpulan: Kadar debu di bagian pengemasan dan penggilingan sangat tinggi mencapai 3 kali NAB. Terdapat penurunan faal paru berupa restriksi pada 37 % responden dan obstruksi 7,5%, di mana terdapat hubungan yang bermakna antara penurunan fungsi paru dengan status gizi, pekerja yang terpajan tinggi, lama merokok, umur dan lama kerja. Prevalensi keluhan batuk kronik 21,8 %, berdahak kronik 13,4 % dan sesak napas 18,5 %, sementara prevalensi penyakit paru kerja didapat 4,2 % responden yang menderita bronkitis kronik dan 14,3% asma di mana 1,7 % merupakan asma kerja.
Back ground: Today grain flour dust is still assumed as nontoxic dust, while several respiration disease (upper and low) are increase at PT.ISM BSFM the biggest grain mill in Indonesia. The goal of this study was to identify relation between the decrease of lung function and the exposure of grain flour dust, with some other related factor. To find prevalent of symptom and prevalent of occupational lung disease. Method: Design of the study was a Cross-sectional study, with internal comparative of the two group workers (high exposure and low) that base on result of measurement of personal dust sampler (respirable dust). A simple working survey using Pneumobile Indonesia questioner was carrying out to 119 respondents, measurement lung function by spirometri and peak flow expiration. Results and Conclusion: Study finding the high exposure of dust at the packing unit and milling unit, the concentration is 3 time greater than TLVs. Result of the lung function measurement found 37 % respondent were restriction and 7.5% obstruction, this respondent have significant relation with their body mass index, working in the high exposure place, length time of smoking, age and length time of working. Prevalent of chronic cough 21.8 %, chronic sputum 13.4 % and breathing difficulty 18.5 %, while prevalent of occupational lung disease were 4.2 % respondent with choric bronchitis and 14.3% asthma included 1.7 % occupational asthma.
Jakarta: Universitas Indonesia, 2002
T1704
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Dharmawan Saldjani
Abstrak :
Latar belakang: Pterygium adalah penyakit pada mata yang sering dijumpai di daerah khatulistiwa terutama oleh pajanan ultraviolet, penyebab pterygium antara lain macam-macam zat iritan, faktor genetik, alergi, kekeringan pada mata, faktor angiogenik, dan infeksi papilomavirus. Pada perusahaan X banyak ditemukan kasus pterygium 5.3% pada observasi awal oleh Dinas Kesehatan. Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang. Sampel diambil secara purposive berdasarkan ruangan dengan pajanan debu tertinggi. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung pada pekerja dan pemeriksaan pada mata. Hasil: Prevalensi pterygium akibat pajanan zat iritan debu kertas 68.2% dari 85 pekerja di rewinder enam dan sekitarnya. Riwayat merokok merupakan faktor yang bermakna (p-0.01). Kesimpulan: Debu kertas belum dapat dibuktikan signifikansinya secara statistik dengan kejadian pterygium, sementara perbandingan dengan studi-studi yang relevan menunjukkan bahwa prevalensi pterygium dengan pajanan debu kertas lebih tinggi dibandingkan dengan pajanan UV.
Background: Pterygium is an abnormal process in which the conjunctiva (a membrane that covers the white of the eye) grows into the cornea and most commonly found at the equator, due to prolong exposure to ultraviolet and infrared radiation from sunlight. Other environmental irritants identified were genetic factor, allergy, dry eyes, angiogenic factor, and papilloma virus infection. In the factory "X" Karawang, 5.3% pterygium cases were found as reported by the government reevaluation visit. Method: The study was a cross-sectional. Sample collected using purposive method and had been exposed to high paper dust. Conducting interview, filling out questionnaires and eye examination, collected data. Results: The Prevalence of identified pterygium was 68.2% from 85 workers at rewinder 6. Meanwhile smoking habit was the significant factor (r 0.O1). Conclusion: Paper dust has not yet proven to be significant related to pterygium while descriptive comparison among several studies reported that the prevalence of pterygium was much higher related to paper dust (68.2%) compared to UV.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16190
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayu Pujiwati
Abstrak :
Latar Belakang: Hidung adalah organ saluran napas bagian atas yang terpajan secara langsung terhadap agent debu tepung terigu. Deposit partikel debu tepung yang terjadi pada saat inhalasi maupun ekshalasi terbanyak pada hidung. Partikel debu tepung tersebut merupakan stimulus dan rangsangan inflamasi pads mukosa hidung dan sinus paranasal. Metoda: Penelitian ini menggunakan desain kros seksional, dilakukan pada pabrik tepung Jakarta, bulan Agustus 2.005 sampai Juli 2006. Responden adalah pekerja PT X bagian pengepakan yang menderita Rinitis Akibat Kerja. Hasil Penelitian: Kadar debu personal melebihi ambang batas (NAB = 4 mg/m3). Jumlah responden pada penelitian ini 80 orang, yang menderita Rinosinusitis Kronis Akibat Kerja sebanyak 35 orang. Berbagai variabel diteliti untuk mencari hubungan dengan terjadinya Rinosinusitis Kronis Akibat Kerja, yaitu karakteristik responden, aspek K3 dan faktor rinogenik. Dengan uji statistik diketahui variabel yang bermakna adalah pendidikan (p = 0,037), merokok (p = 0,045) dan prosesus unsinatus (p = 0,000). Dengan analisis multivariat diketahui prosesus unsinatus merupakan faktor yang dominan untuk terjadinya Rinosinusitis Kronis Akibat Kerja. Kesimpulan: Prevalensi Rinosinusitis Kronis Akibat Kerja adalah 43,8%. Variabel pendidikan, perokok dan prosesus unsinatus bcrmakna untuk terjadinya Rinosinusitis Kronis Akibat Kcrja. Variabel yang paling dominan untuk terjadinya Rinosinusitis Kronis Akibat Kerja adalah prosesus unsinatus.
Background: Nose. the upper organ of respiratory tract system suffered directly from flour dust exposure. Deposit of flour dust particles during inhalation and exhalation accumulated mostly in the nose, acted as stimulator as well as generating inflammatory effect on nasal and paranasal sinus mucosa. Method: This research design was cross sectional carried out in flour factory Jakarta. Duration of study from August 2005 until July 2006. The subjects were from flour packing workers department and were diagnosed occupational rhinitis before. Result: The level of personal dust exposure exceeded threshold limit, value of 4 mglm3. The total subjects was 80 workers, in which 35 workers were being as diagnosed occupational chronic _rhinosinusitis, i:e is demographic, occupational and rhinogenic factors. Using bivariate statistical analysis, education (p = 0,037), smoking (p = 0,045) and procesus uncinatus (p =0,000) were identified as having significant relationship. In the logistic regression function analyses only procesus uncinatus was identified as the determinant of occupational chronic rhinosinusitis. Conclusion: The prevalence of occupational chronic rhinosinusitis is 43,8%. While education, smoking and procesus uncinatus are the variables identified as major risk factors. Procesus uncinatus in the logistic regression then identified as the determinant of having occupational chronic rhinosinusitis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T17700
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>