Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dila Paruna
"Skripsi ini membahas mengenai pelaksanaan larangan pengajuan permintaan pemeriksaan praperadilan bagi tersangka yang berada dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) setelah terbitnya SEMA No. 1 Tahun 2018 apabila ditinjau dari prinsip due process of law sebagai prinsip dasar dalam pelaksanaan kegiatan penyidikan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dimana data yang digunakan bersumber dari studi kepustakaan dan wawancara dengan narasumber. Adapun hasil penelitian mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bahwa dalam penerbitan DPO terhadap tersangka, penyidik harus mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai mekanisme penerbitan DPO. Larangan dalam SEMA No. 1 Tahun 2018 memiliki pengaruh besar terhadap kebolehan tersangka dalam DPO untuk mengajukan permintaan pemeriksaan praperadilan, sehingga keabsahan penerbitan DPO itu sendiri tetap harus dibuktikan dalam sesi pembuktian pada sidang praperadilan. Adapun berdasarkan analisis pemeriksaan praperadilan dalam Putusan Nomor 4/Pid.Pra/2018/PN.Plk dan Putusan Nomor 2/Pid.Pra/2018/PN.Kis, hakim praperadilan pada kedua putusan tersebut tidak ada yang mempertimbangkan mengenai keabsahan penerbitan DPO padahal penerbitan DPO dilakukan tidak sesuai dengan mekanisme yang belaku sehingga jelas bertentangan dengan asas due process of law.

This thesis discusses the implementation of prohibition on submitting a Habeas Corpus examination request for suspects of The List of Wanted Persons after the issuance of Supreme Court Circular Number 1 of 2018 and its juridical review based on the principle of due process of law as a basic principle in conducting investigative activities. This study uses normative juridical methods, where the data used are sourced from literature studies and interviews with informants. The results of research on the issues discussed in this study are that in issuing The List of Wanted Persons, investigators must refer to the provisions governing the mechanism for the issuance of The List of Wanted Persons. Prohibition in Supreme Court Circular Number 1 of 2018 has a major influence on the ability of suspects in The List of Wanted Persons to submit requests for Habeas Corpus examination, so the validity of the issuance of The List of Wanted Persons itself must be proven in the evidentiary session at the Habeas Corpus examination. Based on the analysis of Habeas Corpus examinations in Decision Number 4/Pid.Pra/2018/PN.Plk and Decision Number 2/Pid.Pra/2018/PN.Kis, the Habeas Corpus examination judges in both decisions did not consider the validity of The List of Wanted Persons issuance even though The List of Wanted Persons issuance had been conducted not in accordance to the mechanism in force so it clearly contradicts the principle of due process of law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldino Ahmad Ossama
"Penggunaan hasil pemeriksaan poligraf yang dijadikan alat bukti dalam praktik peradilan pidana Indonesia seharusnya dapat diiringi dengan keberadaan regulasi yang memadai serta mekanisme pengawasan yang jelas terhadap pelaksanaan pemeriksaan poligraf agar dapat sejalan dengan asas due process of law. Hal tersebut tentunya berkaitan pada keabsahan suatu alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan di pengadilan, mengingat keabsahan suatu alat bukti dapat ditentukan dengan melihat ke belakang terkait kesesuaian tata cara perolehan alat bukti tersebut dengan ketentuan hukum yang berlaku. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan bentuk penelitian yuridis normatif. Skripsi ini akan membahas mengenai pemeriksaan poligraf dalam praktik peradilan pidana Indonesia mulai dari regulasi yang berlaku saat ini dan perbandingannya dengan yang berlaku dalam negara Common Law System yaitu Negara Bagian New Mexico di Amerika Serikat, serta peran dan keabsahan alat bukti yang bersumber dari hasil pemeriksaan poligraf dalam praktik peradilan pidana di Indonesia, yang kemudian akan dianalisis keterkaitannya dengan asas due process of law. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemeriksaan poligraf dan penggunaannya di Indonesia saat ini belum diatur secara lengkap, serta tidak terdapat mekanisme pemeriksaan keabsahan dari perolehan alat bukti yang bersumber dari hasil pemeriksaan poligraf, dan penggunaan instrumen pemeriksaan poligraf telah bertentangan dengan asas due process of law. Oleh karena itu, perlu adanya pembahasan lebih lanjut untuk mengkaji penggunaan instrumen pemeriksaan poligraf sebagai alat bukti.

The usage of polygraph examination results that are used as evidence in Indonesian criminal justice practices should be accompanied by the existence of adequate regulations and obvious supervisory mechanisms for the enforcement of polygraph examination, so it could be in line with the due process of law principle. This is certainly related to the validity of the evidence presented in a trial at the court, considering the validity of evidence can be determined by observing the conformity of the procedure for obtaining the evidence with the provisions of applicable law. This research is conducted using qualitative research methods with normative juridical forms of research. This thesis will discuss the polygraph examination in Indonesian criminal justice practices starting from the current applicable regulation and its comparison with those applicable in the Common Law System, namely in the State of New Mexico in the United States of America, as well as the role and validity of the evidence that derived from the result of a polygraph examination in Indonesian criminal justice practices, which will be analyzed about the correlation with the due process of law principle. The conclusion of this thesis are the polygraph examination and its current application in Indonesia are not fully regulated, furthermore there is no supervisory mechanism for checking the validity of the acquisition of evidence derived from the results of the polygraph examination, thus it is not proven to fulfill the due process of law principle. Therefore, there needs to be a further discussion to examine the use of the polygraph examination instruments as evidence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haryono Budhi Pamungkas
"ABSTRAK
Dalam konsep anti-pencucian uang, penghentian sementara transaksi oleh
PPATK merupakan hal penting dalam upaya penyitaan dan perampasan aset hasil
tindak pidana untuk diserahkan kepada negara atau dikembalikan kepada yang
berhak. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, penelitian ini
bertujuan untuk menjawab permasalahan, yakni bagaimanakah pelaksanaan
penghentian sementara transaksi oleh PPATK berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang? Apakah
kewenangan penghentian sementara transaksi oleh PPATK dapat melindungi
kepentingan nasabah PJK? Dan apakah kewenangan penghentian sementara oleh
PPATK sejalan dengan prinsip due of process of law. PPATK melakukan
penghentian sementara atas seluruh atau sebagian transaksi apabila terdapat
informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan/atau melalui suatu proses
analisis/ pemeriksaan diketahui atau diduga terkait dengan tindak pidana. Dalam
hal terdapat keberatan oleh pengguna jasa, maka terdapat hak pengguna jasa
dalam pengajuan keberatan, hak tindak-lanjut penanganan keberatan, hak
pencabutan atas penghentian sementara transaksi, serta hak tindak-lanjut
penundaan transaksi. Proses penghentian sementara transaksi dilakukan
berdasarkan standar prosedur operasi yang komprehensif dan detail dan sesuai
hukum acara yang berlaku. Secara umum penghentian sementara transaksi telah
mencapai tujuannya untuk mencegah berpindahnya harta kekayaan yang tidak
sah, dalam pelaksanaannya menghadapi beberapa kendala yang dapat diselesaikan
dengan kerjasama dan koordinasi antara PPATK, Penyedia Jasa Keuangan,
Penegak Hukum, serta Lembaga Pengawas dan Pengatur dengan tetap
memperhatikan kepentingan nasabah atau pengguna jasa.

Abstract
The concept of anti-money laundering, suspension of transactions by
INTRAC is essential in order to conduct assets seizure and forfeiture of criminal
proceeds to be submitted to the state or to be returned to their owners. By using a
normative juridical research methods, this study aims to answer the problems,
namely how is the implementation of the temporary suspension of transaction by
INTRAC based on Law no. 8 of 2010 concerning the Prevention and Eradication
of Money Laundering? Whether the temporary suspension of transactions
authorized by the PPATK can protect the interests of customers of Financial
Service Provider? And whether the authority to conduct temporary suspension by
INTRAC is in line with the principles of due process of law. PPATK can
perform temporary suspension against the entire or partial transaction if there is
information that can be accounted for and / or through a process of analysis /
examination to be known or suspected to be associated with crime. In the event
of any objection by the customer, the customer has the right to file an objection,
the right of follow-up for their objection, the right of revocation of the suspension
of transaction, and the right of follow-up for the postponement the transaction.
The process of suspension of transactions carried out according to a
comprehensive and detailed standard operating procedures and based on
appropriate procedural law. In general, suspension of the transaction has reached
its goal to prevent the transfer of property that is not valid, its implementation
deals with several obstacles that can be solved by cooperation and coordination
between the PPATK, Financial Services Providers, Law Enforcement, and
Regulatory and Supervisory Board with due regard to the interests of customers or
service users."
2012
T31127
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tobing, Donny Wahyu
"Penelitian ini mengangkat permasalahan yang disampaikan oleh LKPPUI terkait dugaan pelanggaran terhadap prinsip due process of law yang dilakukan oleh Majelis Komisi dalam Perkara Nomor 07/KPPU-L/2007. Menurut LKPPUI, Komisi Pengawas Persaingan Usaha ("Komisi") telah melanggar aturan mengenai jangka waktu pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan lanjutan, dan putusan Komisi. Selain itu, para Terlapor dalam perkara tersebut juga mendalilkan bahwa Komisi telah melanggar prinsip due process of law dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah pengaturan tentang prosedur beracara di Komisi telah mendasarkan pada prinsip due process of law? 2. Bagaimana penerapan prinsip due process of law dalam Putusan Komisi Nomor 07/KPPU-L/2007 tentang dugaan Pelanggaran oleh Kelompok Usaha Temasek? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji prinsip due process of law dalam prosedur beracara di Komisi, dan mengkaji prinsip due process of law dalam Putusan Komisi Nomor 07/KPPU-L/2007 tentang dugaan Pelanggaran oleh Kelompok Usaha Temasek.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Data yang digunakan dalam tesis ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan suatu kegiatan studi dokumen terhadap data sekunder.
Teori yang digunakan dalam Tesis ini adalah teori hukum progresif sebagaimana yang digagas oleh Satjipto Rahardjo.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan mengenai prosedur beracara di Komisi baik dalam Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2010 maupun peraturan Komisi sebelumnya yakni Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2006, telah mendasarkan pada prinsip due process of law. Disamping itu, prinsip due process of law diterapkan juga oleh Majelis Komisi yang memeriksa dan mengadili Perkara Nomor 07/KPPU-L/2007. Adapun saran dalam penelitian ini adalah dilakukan perubahan terhadap Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2010 mengenai batas waktu pemeriksaan, dimana perlu dibedakan antara pemeriksaan yang melibatkan pelaku usaha asing dengan pemeriksaan yang hanya melibatkan pelaku usaha dalam negeri.

This research lifted up the issue conveyed by LKPPUI related to alleged violations for due process of law principle conducted by an assembly commission in case number 07/KPPU-L/2007. According to LKPPUI, Business Competition Supervisory Commission ("Commission") had violated the rules on the length of time preliminary examination, further examination, and the decision of Commission. Besides, the reported on the case also postulated that Commission had violated the due process of law principle in examine and prosecute the case.
That is assessed the issue is: 1. Whether the arrangement about The Competition Law Procedure has been to base on due process of law principle? 2. How the application of due process of law principle in The Decision of Commission number 07/KPPU-L/2007 about Temasek is a cross ownership of the share. The purpose of the research is to assess due process of law principle in The Competition Law Procedure and to assess due process of law principle in The Decision of Commission number 07/KPPU-L/2007.
The research using normative research method, it is law research conducted with researching library materials or secondary materials. The materials using in the Thesis is primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. The collection of materials conducted with the study of documents for secondary materials.
The theory used in the Thesis is Progressive Legal Theories as is held by Satjipto Rahardjo.
The research result indicate that The Competition Law Procedure either in the regulation of Commission number 1 of 2010 nor regulation of Commission number 1 of 2006, it has been base on due process of law principle. Besides that, assembly Commission in case number 07/KPPU-L/2007 also to application of due process of law principle. As for advice in the research is necessary to amendments for regulation of Commission number 1 of 2010 about the time limit to investigation, where necessary distinguished between examination for foreign businessman with examination for domestic businessman."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T44032
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maysa Arifa Widyasukma
"Sistem peradilan pidana di Indonesia menganut sistem pembuktian negatif dimana Hakim harus memperoleh keyakinan dari minimal 2 (dua) alat bukti yang sah untuk dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Kekuatan pembuktian alat bukti yang diajukan di persidangan berpengaruh pada keyakinan dari Hakim. Pada Putusan Nomor: 777/Pid.B/2016/PN.JKT.PST, terdapat character evidence yang bukan merupakan alat bukti yang sah menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia. Character evidence tersebut tetap diperiksa oleh Majelis Hakim dan dipertimbangkan pada putusan. Peneliti akan meneliti mengenai keyakinan hakim bahwa terdakwa bersalah yang bertambah karena character evidence dan dikaitkan dengan due process of law di Indonesia. Peneliti kemudian membandingkan penerapan character evidence di sistem peradilan pidana di Amerika Serikat dan Belanda. Penulis meneliti dengan studi kasus Putusan Nomor: 777/Pid.B/2016/PN.JKT.PST dan membandingkan peraturan perundang-undangan di Indonesia, Amerika Serikat, dan Belanda, terkhususnya mengenai pembuktian. Penulis berkesimpulan bahwa ketiga negara menganut due process of law dengan adanya asas praduga tak bersalah, namun Indonesia sendiri belum memiliki peraturan yang mengatur mengenai character evidence secara jelas dan terkhusus. Character evidence dapat menjadi penambah keyakinan hakim, namun bukan termasuk alat bukti yang sah untuk memutus perkara.

The criminal procedure law in Indonesia follows the negative evidentiary system where Judges must obtain belief beyond reasonable doubt that the accused is guilty from minimum 2 (two) valid evidence to convict the defendant. Evidence presented at the trial will affect the judge’s belief. There is character evidence in Decision Number: 777/Pid.B/2016/PN.JKT.PST, which character evidence itself is not legal evidence according to the laws and regulations in Indonesia. Character evidence is still being examined and considered by the Judges in the decision. The researcher will research character evidence that increases the judge’s belief that the defendant is guilty linked with due process of law in Indonesia. The researcher then compared the application of character evidence in the criminal procedural law in the United States and Netherlands. The researcher also examines Decision Number: 777/Pid.B/2016/PN.JKT.PST and compares the laws & regulations in Indonesia, United States, and Netherlands, especially the law regarding evidence. The researcher concludes that the three countries adhere to the due process of law, as seen that the presumption of innocence principle applies to all three states, nevertheless Indonesia yet to have the regulations that clearly and specifically regulate character evidence. Character evidence can become an additional element to increase the judge's belief, but it is not one of the legal proofs."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Petrus Bachtiar
"Tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana khusus yang berdampak merugikan terhadap kepentingan umum terkhusus generasi muda sehingga dapat mengancam ketahanan negara negara. Tindak pidana narkotika dilaksanakan secara terorganisir dan sistematis oleh pelakunya, maka dalam penegakannya dibutuhkan suatu upaya penanganan yang luar biasa. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur suatu bentuk perluasan tindakan penyidikan yang mengoptimalisasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi salah satunya ialah urinalisis yang pada dasarnya merupakan tindakan yang tergolong sebagai pemeriksaan barang bukti, di mana hasilnya berkedudukan sebagai alat bukti surat di pengadilan. Sebagai suatu bentuk tindakan hukum, jelas konsekuensinya bahwa pelaksanaan urinalisis harus dilaksanakan berdasarkan prinsip due process of law. Dalam penelitian yuridis-normatif ini penerapan prinsip due process of law dianalisis dengan menggunakan 5 (lima) asas yang mendasari admisibilitas alat bukti yakni, legality, necessity, legitimate aim, proportionality, dan safeguard against illegitimate access. Apabila, asas-asas tersebut tidak dipenuhi, maka akibatnya alat bukti hasil urinalisis yang dihadirkan di persidangan dapat dikesampingkan oleh hakim. Penelitian ini menemukan bahwa pelaksanaan urinalisis pada tindak pidana narkotika di Indonesia telah menerapkan ke-lima asas tersebut, akan tetapi belum terdapat unifikasi peraturan terkait tindakan urinalisis, dan terhadap asas safeguard against illegitimate access yang seharusnya dijamin oleh keberadaan lembaga praperadilan belum dapat diterapkan karena keterbatasan wewenang. Adapun saran yang dapat diberikan melalui penelitian ini ialah, perancangan peraturan yang mengunifikasi mekansime pelaksanaan urinalisis dengan mempertimbangkan perspektif kepastian hukum, serta pemberian perluasan kewenangan pada lembaga praperadilan untuk menguji akuntabilitas aparat penegak hukum dalam pelaksanaan urinalisis pada tindak pidana narkotika.

Narcotics crime is a special crime that has a detrimental impact on the public interest, especially the younger generation so that it can threaten the resilience of the state. Narcotics crimes are carried out in an organized and systematic manner by the perpetrators, so in their enforcement extraordinary measures are needed. Therefore, Indonesian Narcotics Crime Acts regulates a form of expansion of investigative actions that optimizes the development of science and technology, one of which is urinalysis which is basically an action that is classified as an examination of evidence, where the results are located as documentary evidence in court. As a form of legal action, the consequence is clear that the urinalysis must be carried out based on the principle of due process of law. In this juridical-normative research the application of the due process of law principle is analyzed using 5 (five) principles that underlie the admissibility of evidence, namely, legality, necessity, legitimate aim, proportionality, and safeguard against illegitimate access. If, these principles are not met, then the result of the urinalysis evidence presented at the trial can be set aside by the judge. This study found that the implementation of urinalysis on narcotics crimes in Indonesia has implemented the five principles, but there has been no unification of regulations related to urinalysis, and the principle of safeguard against illegitimate access which should be guaranteed by the existence of pretrial institutions has not been implemented due to limited authority. . The suggestions that can be given through this research are the design of regulations that unify the mechanism for implementing urinalysis by considering the perspective of legal certainty, as well as granting expansion of authority to pretrial institutions to test the accountability of law enforcement officers in carrying out urinalysis on narcotics crimes. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library