Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 35 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suryawati Sukmono
"Pada usia 3 tahun pertama kehidupan terjadi perkembangan yang sangat pesat baik pada ukuran fisik maupun fungsional otak. Faktor neuroplastisitas yang berlangsung pesat pada anak berusia <3 tahun mempengaruhi perubahan (evolusi) dalam perjalanan klinis epilepsi. Dalam penelitian ini dilakukan evaluasi hubungan faktor risiko yang didapatkan saat awal pengobatan serta faktor perubahan (evolusi) yang terjadi selama pasien mendapat terapi dengan terjadinya drug resistant epilepsy. Penelitian menggunakan metode kohort retrospektif pada subjek anak yang didiagnosis epilepsi saat berusia <3 tahun. Dari 150 subjek penelitian, didapatkan 33 subjek (22%) mengalami drug resistant epilepsy. Faktor risiko awal yang berhubungan bermakna dengan terjadinya drug resistant epilepsy adalah hasil EEG yang abnormal (p=0,001; aOR 4,48; IK 95% 1,82-11,03). Faktor perubahan (evolusi) selama terapi yang berhubungan bermakna dengan terjadinya drug resistant epilepsy adalah evolusi frekuensi kejang yang buruk (p=0,048; aOR 7,1; IK 95% 1,01-49,7) dan respon awal terapi yang buruk (p= 0,01; aOR 10,92; IK 95% 2,6-45,87).

The brain is highly developed in first 3 year of life. The high neuroplasticity process during that period can influence clinical course of epilepsy. This study was aimed to evaluate initial risk factors and evolution risk factors during therapy to predict drug resistant epilepsy in children <3 year old. We used retrospective cohort method based on medical record data. There were 150 subjects, 33 of them (22%) met drug resistant epilepsy criteria. Abnormal EEG result was the only initial risk factor that significantly related with drug resistant epilepsy in children <3 year old (p=0,001; aOR 4,48; CI 95% 1,82-11,03). We found bad evolution in seizure frequency (p=0,048; aOR 7,1; CI 95% 1,01-49,7) and bad initial response to therapy (p= 0,01; aOR 10,92; CI 95% 2,6-45,87) were significantly related with drug resistant epilepsy in children <3 year old."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zen Ahmad
"ABSTRAK
Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR TB) adalah tuberkulosis resisten obat yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis yang resisten terhadap ripamfisin dan isoniazid. Diagnosis MDR TB berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, radiologis, pemeriksaan BTA dengan gene expert, dan kultur resistensi Mycobacterium Tuberculosis. Berikut ini dilaporkan seorang penderita, perempuan, 36 tahun dengan MDR TB yang telah mendapatka pengobatan fase intensif dan mengalami konversi tetapi pada fase lanjutan mengalami reversi. Kasus ini perlu mendapatkan diskusi untuk menetapkan apakah pengobatan MDR TB akan dilanjutkan atau distop, karena dianggap pengobatan yang gagal. "
Jakarta: Departement of Internal Medicine. Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2016
616 UI-JCHEST 3:3 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Raisa Afni Afifah
"ABSTRAK
Nama : Raisa Afni AfifahProgram Studi : Magister Ilmu Kesehatan MasyarakatJudul : Determinan Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis Resistan Obat diDKI Jakarta Tahun 2014-2015Pembimbing : Dr. Artha Prabawa, SKM, S.Kom, M.SiIndonesia saat ini menempati peringkat ke-2 sebagai negara dengan beban kasus TBterbesar di dunia, termasuk TB resistan obat. Pengobatan TB resistan obat memilikiperiode yang lebih lama dan efek samping yang lebih berat. Keberhasilan pengobatanTB resistan obat di Indonesia juga masih belum optimal yaitu 51 pada tahun 2016.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui determinan keberhasilan pengobatan TBresistan obat di DKI Jakarta tahun 2014-2015. Desain studi penelitian ini adalah kohortretrospektif dengan sumber data utama yaitu e-TB manager Dinas Kesehatan DKIJakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis fasilitas layanan kesehatan danketeraturan pengobatan merupakan determinan keberhasilan pengobatan TB resistanobat di DKI Jakarta. Upaya peningkatan keberhasilan pengobatan TB resistan obat perludidukung dengan memperluas layanan pengobatan dan memperkuat kordinasi antarafasyankes rujukan dan satelit.Kata kunci:tuberkulosis; tuberkulosis resistan obat; keberhasilan pengobatan.

ABSTRACT
Name Raisa Afni AfifahStudy Program Master of Public HealthTitle Determinants of Successful Treatment of Drug ResistanceTuberculosis in Jakarta in 2014 2015Counsellor Dr. Artha Prabawa, SKM, S.Kom, M.SiIndonesia is currently at 2nd rank as the country with the largest burden of TB cases inthe world, including drug resistant TB. Treatment of drug resistant TB has a longerperiod and more severe side effects. The success rate of drug resistant TB treatment alsostill quite low 51 in 2016. This study aims to determine the determinants ofsuccessful treatment of drug resistant TB in Jakarta in 2014 2015. The study design ofthis study is a retrospective cohort with the main data source is e TB manager of DKIJakarta Health Office. The results showed that the type of health care facility and theregularity of treatment is the determinant of the success of drug resistant TB treatmentin DKI Jakarta. Efforts to improve the success of TB drug resistant treatment should besupported by expanding treatment services and strengthening coordination betweenreferral and satellite facilities.Key words tuberculosis drug resistant tuberculosis successful treatment"
2018
T50654
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Virginia Nuriah Hikmawati
"Pengobatan TB MDR yang berlangsung lama menimbulkan isolasi sosial, kehilangan pekerjaan, efek sosioekonomi dan psikologis jangka panjang pada pasien. Faktor individu, sosial budaya dan lingkungan serta kemungkinan efek samping psikiatri menjadikan pasien TB MDR cenderung mengalami gejala depresi. Depresi dapat mempengaruhi kualitas hidup. Penelitian ini menilai perubahan status depresi dan hubungannya dengan kualitas hidup pasien TB MDR. MetodePenelitian ini menggunakan metode kohort observasional di Poliklinik TB MDR RSUP Persahabatan. Dua puluh sembilan subjek TB MDR dinilai status depresi dan kualitas hidupnya dengan kuesioner Beck Depression Inventory BDI dan WHOQOL BREF sebelum dan setelah 6 bulan pengobatan TB MDR. HasilProporsi pasien depresi sebelum pengobatan sebesar 75,9 22 subjek . Setelah 6 bulan pengobatan TB MDR, 13 orang skor BDInya menurun, 9 orang meningkat dan terdapat 4 orang yang sebelumnya tidak depresi mengalami depresi. Skor WHOQOL BREF mengalami peningkatan pada ranah fisis, psikologis dan peningkatan bermakna pada ranah lingkungan. Pada ranah sosial, skor kualitas hidup mengalami penurunan. Tidak didapatkan hubungan bermakna antara perubahan status depresi dan kualitas hidup. Keterkaitan antara faktor usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status ekonomi, lama sakit TB dan atau TB MDR serta beratnya merokok dengan depresi tidak dapat dibuktikan pada penelitian ini. KesimpulanSebanyak 22 subjek 75,9 mengalami gejala depresi sebelum memulai pengobatan TB MDR. Setelah 6 bulan, 13 orang gejala depresinya membaik, 9 orang memburuk dan terdapat 4 orang mengalami onset baru depresi. Kualitas hidup ranah fisis, psikologis dan lingkungan mengalami kenaikan.Kata-kata kunci: tuberkulosis multidrug resistant, depresi, kualitas hidup

IntroductionTreating drug resistant TB MDR TB which requires longer courses resulting in social isolation, loss of employment, and long-term socioeconomic and also psychological impacts for patients. Individual factors, sociocultural and environment condition also psychiatric adverse events lead the patients tend to have depression symptoms. Depression can majorly affects patients rsquo; quality of life. This study assesses the alteration of depression and its rsquo; relation with the quality of life among MDR TB patients. MethodsThis study used observational cohort methods in MDR Outpatients Clinic of Persahabatan Hospital. Twenty nine patients were diagnosed with MDR, measured depression status and the quality of life with Beck Depression Inventory BDI and WHOQOL BREF questionnaire from baseline and after 6 months therapy. ResultsPropotion of depression at baseline is 75,9 22 subjects . After 6 months treatment, the BDI score of 13 subjects were decreased, 9 subjects were increased and there were 4 subjects experienced new onset depression. The WHOQOL BREF improved in physical, psychological and significantly increased in environmental domain. In social domain, it was decreasing. This study didn rsquo;t find relation between depression status changes and the quality of life. The association between age, gender, level of education, economic status, duration of illness and smoking with depression could not be proven by this study. ConclusionsThere are 22 subjects 75,9 have already been depressed at baseline. After 6 months treatment, 13 subjects improving the symptoms, 9 subjects worsening and 4 subjects have experienced new onset depression. The quality of life in physical, psychological and environmental domain have improved. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
Sp-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Achdi Kurnia
"Pendahuluan : Penyakit tuberkulosis resisten obat (TB-RO) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kanamisin, salah satu obat suntik lini ke dua dalam regimen terapi TB RO berpotensi menimbulkan efek samping ototoksik. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi kejadian ototoksisitas kanamisin pada pasien TB RO dan pengaruh diabetes melitus, usia, jenis kelamin, riwayat streptomisin, dosis kanamisin terhadap kejadian tersebut.
Metode : Penelitian ini dilakukan secara kohort retrospektif menggunakan rekam medis pasien TB RO di Poliklinik TB RO RS Islam Cempaka Putih Jakarta, yang ikut dalam manajemen terpadu pengendalian TB resistan obat periode Mei 2016 - November 2018. Kriteria inklusi adalah pasien terdiagnosis TB RO dan mendapat kanamisin injeksi sebagai bagian dari regimen terapi TB. Kriteria eksklusi usia pasien kurang dari 18 tahun, rekam medis tidak lengkap atau sulit dibaca, menderita HIV, atau sudah menderita gangguan pendengaran tipe sensory neural hearing loss sebelum terapi kanamisin. Sampel adalah semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memiliki kriteria eksklusi. Dilakukan kajian hubungan kejadian ototoksisitas dengan komorbid DM, usia, jenis kelamin, dosis kanamisin, riwayat penggunaan streptomisin, dan onset efek samping kanamisin.
Hasil : Dari 164 penderita TB RO, 72 orang (43,9%) di antaranya mendapat kanamisin injeksi dan 23 pasien (32%) mengalami ototoksik. Pada uji regresi logistik ganda,  jenis kelamin pria lebih sedikit mengalami ototoksisitas (OR 0,323,  95%CI 0,111-0,939, p= 0,38). Dari total 23 pasien yang mengalami ototoksisitas, 21 di antaranya (91,3%) terjadi dalam 6 bulan pertama pemberian kanamisin.
Kesimpulan : Kejadian ototoksik pasien TB RO karena kanamisin tidak dipengaruhi oleh komorbid DM, usia, dosis kanamisin dan riwayat penggunaan streptomisin sebelumnya. Pada pasien TB RO yang mendapat kanamisin injeksi dengan variabel penyakit penyerta DM  dan usia yang sama, kejadian ototoksik pada perempuan  tiga kali lebih besar dibandingkan laki-laki, dan sebagian besar terjadi dalam enam bulan pertama penggunaan kanamisin.

Introduction: Drug resistant tuberculosis (DR-TB) is a noteworthy health problem throughout the world, including Indonesia. Kanamycin, one of the second line drugs in the DR-TB therapy regimen can cause ototoxicity, may lead to irreversible hearing loss. This study aimed to evaluate the incidence of kanamycin ototoxicity in DR-TB patients and the effect of diabetes mellitus (DM), age, sex, streptomycin history, and  dose of kanamycin on this event.
Methods: This is a retrospective cohort study, using medical records of DR-TB patients at Cempaka Putih Islamic Hospital, Jakarta, who participated in the integrated management of DR- TB control in the period May 2016 - November 2018. Inclusion criteria were patients diagnosed with DR-TB and kanamycin injection as part of the DR-TB therapy. Exclusion criteria are patients with age less than 18 years, had incomplete or difficult to read medical records, suffer from HIV, or from sensory neural hearing loss at base line were excluded. All patients who met the inclusion criteria and did not met the exclusion criteria. The association ototoxicity between DM, age, sex, kanamycin dose and history of streptomycin use with ototoxicity were evaluated using multiple logistic regression analysis, and the onset of kanamycin side effects were recorded.
Results: Of 164 DR-TB patients, 72 people (43.9%) received kanamycin injection and 23 patients (32%) had ototoxic. The multiple logistic regression analysis show that men were associated with ototoxicity compared to women (OR 0.323, 95% CI 0.111-0.939, p: 0.038). There were no significant association between DM comorbidity, age, previous use of streptomycin, and kanamycin dose with ototoxicity. Of the total 23 ototoxicity events, 21 of them (91.3%) occurred within the first 6 months of kanamycin therapy.
Conclusion: Ototoxic event in  DR-TB patients who received kanamycin were not affected by DM comorbidity, age, dose of kanamycin and  previous use streptomycin.  Ototoxic events in women were three times greater than men compared to men, and mostly occur during  in the first six months of use of kanamycin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55525
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Murniati
"Latar Belakang:Tuberkulosis resisten obat (TB-RO) merupakan ancaman bagi seluruh dunia termasuk Indonesia, karena memerlukan waktu lama dan biaya yang besar dalam mengobati penyakit tersebut meskipun telah ditangani dengan baik. Data penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa terdapat kekambuhan TB-RO, tapi datanya sangat terbatas. Di Indonesia belum ada data tentang angka kekambuhan TB-RO.
Tujuan: Mengevaluasi pasien TB resisten obat (TB-RO) pasca pengobatan yang datang kontrol pada bulan ke 6, 12, 18, dan 24 di RSUP Persabatan Jakarta.
Metode: Penelitian menggunakan desain penelitian potong lintang terhadap pasien TB-RO yang telah dinyatakan sembuh dan pengobatan lengkap yang datang kontrol di poli MDR RSUP Persahatan Jakarta mulai bulan April 2017 sampai Desember 2017. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan foto toraks dan biakan sputum. Mencatat data pengobatan dan hasil-hasil pemeriksaan terkait data yang diperlukan dalam dalam rekam medis pasien.
Hasil: Didapatkan 60 subjek penelitian dengan rerata usia 42,3 + 12,5 tahun, berjenis kelamin laki-laki 31 (51,7%) dan perempuan 29 (48,3%), dengan rerata IMT 21,75+ 4,34. Dari hasil foto toraks didapatkan gambaran dominan lesi luas dan hasil kultur sputum semua pasien yang diteliti tidak ditemukan pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis.
Kesimpulan: Tidak ditemukan kekambuhan pada pasien TB resisten obat yang yang telah dinyatakan sembuh dan pengobatan lengkap yang datang kontrol pasca pengobatan di RSUP Persahabatan Jakarta.

Objective: This study aimed to evaluate DR-TB patients which was biannually performed for two-years (e.g. at the 6th, 12th, 18th, and 24th mos) after treatment completion.
Methods: This cross-sectional study involved DR-TB patients completing their treatment at Persahabatan General Hospital Jakarta, Indonesia, between April and December 2017. The post-treatment evaluation during the 6th, 12th, 18th, and 24th mos included clinical, chest x-ray (CXR) and sputum culture examination.
Results: Sixty patients were observed in this study, 31 (51.7%) were males and 29 (48.3%) were females. The mean age was 42.3+12.5 yo and the mean body mass index was 21.75+4.34. Fourty nine (81.7%) patients showed extensive lesions per CXR and none of the patient showed Mycobacterium tuberculosis growth per sputum culture.
Conclusion: There was no recurrence of DR-TB from patients completing their treatment at Persahabatan General Hospital Jakarta, Indonesia during two-years post-treatment evaluation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Darayu Calvert Wilson
"Perbedaan antara tes untuk infeksi tuberkulosis (TB) yang resistan terhadap obat menjadi lebih umum karena alat diagnostik menjadi lebih bervariasi. Hal tersebut membingungkan dokter karena belum ada tes TB diagnostik cepat dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Kasus suspek-TB di RSUPP, pusat primer dan tersier untuk kasus TB paru Indonesia, disaring dengan GeneXpert MTB / RIF dan dikonfirmasikan dengan uji kepekaan obat anti-tuberkulosis.
Discrepancies between tests for drug-resistant tuberculosis (TB) infections are becoming more common as diagnostic tools become more varied. These discrepancies confuse clinicians because there is not yet a rapid diagnostic TB test with good sensitivity and specificity. Suspected-TB cases at Rumah Sakit Umum Pusat Perhasabatan (RSUPP), a primary and tertiary center for Indonesia’s pulmonary TB cases, are screened with GeneXpert MTB/RIF and confirmed with conventional drug- susceptibility testing (DST)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Maylinda
"Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) atau TB MDR adalah TB resistan obat terhadap minimal 2 (dua) obat anti TB yaitu INH dan Rifampisin secara bersama sama atau disertai resisten terhadap obat anti TB lainnya seperti etambutol, streptomisin dan pirazinamid. Pada tahun 2013 WHO memperkirakan di Indonesia terdapat 6800 kasus baru TB dengan MDR-TB setiap tahunnya yang berasal dari 2% kasus TB baru dan 12% kasus TB lama ( MDR-TB). WHO juga memperkirakan lebih dari 55% pasien MDR-TB belum terdiagnosis atau mendapat pengobatan dengan baik dan benar.
Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui faktor faktor Resistensi Tuberculosis di Jakarta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik sampling sistematik untuk mengumpulkan sampel,digunakan 94 sampel terdiri dari 30 pengidap resistensi dan 64 pengidap TB, untuk mencari faktor- faktor yang berpengaruh digunakan analisis regresi logistik. Hasil dari penelitian ini adalah pengawas minum obat dan riwayat minum obat merupakan faktor yang mempengaruhi resistensi tuberkulosis di Jakarta.

Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) or MDR TB is resistant TB Drugs to at least two (2) anti-TB drugs which are INH and Rifampin along with or with resistance of other anti-tuberculosis drugs such as ethambutol, streptomycin and Pyrazinamide. In 2013 WHO estimates that in Indonesia there are 6800 new TB cases in Indonesia with MDR-TB each year. Estimation of 2% from new TB cases and 12% from old TB cases (MDRTB). It is also estimated that more than 55% of MDR-TB patients have not been diagnosed or received treatment properly and correctly.
The purpose of this research is to know the factors and pattern of Tuberculosis Resistance in Jakarta. The method used in this study is a sampling technique that is systematic sampling to collect samples, there are 94 samples used consist of 30 people with resistance and 64 people with TB. To see the influential factors of resistance, logistic regression analysis is to used. Our result show that the nutritional status and history of taking medicine are the major factors affecting resistance tuberculosis.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S69329
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Try Nirmala Sari
"ABSTRAK
Pengobatan TB lini kedua pada pasien TB lini MDR diketahui memiliki beberapa efek samping. Etionamid adalah salah satu obat dalam pengobatan TB MDR lini kedua. Hipotiroid merupakan efek samping dari pemberian etionamid. Sikloserin merupakan salah satu dari komponen pengobatan kedua yang bersifat bakteriostatik. Efek samping psikiatri seperti antesietas, halusinasi, depresi, euforia, perubahan kebiasaan, dan bunuh diri dilaporkan sebanyak 9,7-50% pada pasien yang menjalani pengobatan dengan sikloserin. Seorang perempuan berusia 46 tahun dengan diagnosis TB MDR, menjalani pengobatan TB lini kedua sejak januari 2016. Regimen pengobatan terdiri dari levofloksasin, sikloserin, etionamid, pirazinamid, etambutol, dan PAS. Evaluasi pengobatan dibulan pertama menunjukan adanya lelah, komunikasi yang berkurang, dan perubahan perilaku. Pasien sering merasa sedih, putus asa, dan sangat memikirkan penyakitnya. Pasien juga berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Kemudian pasien menjalani rawat inap dan didiagnosis sebagai depresi imbas pengobatan TB, kemungkinan disebabkan sikloserin. Kemudian pemberian sikloserin dihentikan. Dalam waktu yang bersamaan, pemeriksaan laboratorium menunjukan adanya peningkatan TSH tanpa disertai gejala klinis hipotiroid. Dilakukan pemberian levotiroksin sebesar 1x100mkg. Pada akhir minggu ke-3 pengobatan, kadar TSH tetap meningkat sehingga pemberian etionamid dihentikan selama 3 bulan. Evaluasi setelah penghentian pemberian etionamid menunjukkan kadar TSH terkendali. Pemberian etionamid kemudian dilanjutkan dengan dosis titrasi per bulan. Kesimpulannya, pada pengobatan TB MDR, timbul efek samping pemberian etionamid perlu diperhatikan. Neorotoksisitas berat yang disebabkan sikloserin dapat ditangani dengan penundaan pemberian obat sementara. Hal lain yang perlu diingat adalah kondisi hipotiroid dapat memperlihatkan gejala depresi. Oleh karena itu, pemantauan efek samping pada obat TB diperlukan. "
Jakarta: Departement of Internal Medicine. Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2016
616 UI-JCHEST 3:3 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ismulat Rahmawati
"Latar belakang: Tatalaksana tuberkulosis resistan obat membutuhkan obat antituberkulosis suntik lini kedua yang menyebabkan efek samping ototoksik menetap. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalens ototoksik pada pasien tuberkulosis resistan obat dan faktor-faktor yang berhubungan.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang pada pasien TB resistan obat yang sedang mendapat obat kanamisin atau kapreomisin sebagai bagian paduan obat pada pengobatan tahap awal periode Januari-September 2017 di RSUP Persahabatan. Ototoksik ditentukan berdasar kriteria American Speech Language and Hearing Association (ASHA) tahun 1994 dengan membandingkan nilai audiometri dasar sebelum pengobatan dan saat penelitian.
Hasil: Sebanyak 72 pasien ikut pada penelitian ini. Ototoksik didapatkan pada 34 pasien (47,2%). Ototoksik pada bulan pertama pengobatan yaitu 5 subjek (14,7%) dan 19 subjek 56 tanpa keluhan gangguan pendengaran. Ototoksik lebih sering didapatkan pada penggunaan kanamisin (47,9%) dibandingkan kapreomisin (36,8%). Terdapat berhubungan bermakna antara faktor usia dan ototoksik dengan peningkatan risiko sebesar 5 pada setiap penambahan usia 1 tahun, p=0,029 aOR:1,050 IK95% (1,005-1,096). Kelompok subjek dengan komorbid DM dan peningkatan kreatinin serum didapatkan prevalens ototoksik lebih tinggi meskipun tidak bermakna secara statistik. Faktor jenis kelamin, IMT, riwayat penggunaan OAT suntik, status HIV dan total dosis obat juga tidak didapatkan hubungan bermakna dengan ototoksik.
Kesimpulan: Ototoksik merupakan efek samping yang sering terjadi pada pengobatan fase awal pasien TB resistan obat. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan untuk mengetahui hubungan faktor risiko dengan lebih baik.

Background: The treatment of drug resistance tuberculosis needs second line injection antituberculosis drug that associated with irreversible ototoxic. The aim of this study is to know the prevalence of ototoxicity in tuberculosis drug resistance patients and the contributing factors. Methods: This is a cross sectional study among drug resistance TB patients who receive kanamysin or capreomycin as a part of drug regimen during intensive phase in January to September 2017 at Persahabatan hospital. Ototoxic defined according to American Speech Language and Hearing Association (ASHA) 1994 criteria by comparing baseline audiometric examination before treatment with current result.
Results: Seventy two patients were included in this study. The prevalence of ototoxicity was found in 34 patients (47,2%). Ototoxic found in 5 subjects (14,7%) during the first month of treatment and 19 subjects 56 without hearing disturbance complain. Ototoxic in kanamisin group (47,9%) is more frequent compared with capreomisin (36,8%). Ototoxicity was associated with age, the risk increases 5 every 1 year older p=0,029 aOR:1,050 IK95% (1,005-1,096). The prevalences of ototoxicity are higher in diabetes and increasing serum creatinin patients but statistically not significance. Sex, body mass index, the history of using injectable antiTB drug, HIV status and total dosis were not associated with ototoxicity.
Conclusion: Ototoxicity is common in intensive phase of drug resistance tuberculosis treatment. Further study needed to determine the association of contributing factors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>