Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yuli Hastuty
Abstrak :
Partisipasi masyarakat dalam penerapan program pemberdayaan masyarakat menarik untuk diteliti karena telah banyak program pemberdayaan masyarakat dalam rangka pengentasan kemiskinan tetapi belum menunjukkan hasil yang maksimal. Banyak program yang telah dilakukan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan namun belum berperan optimal untuk pemberdayaan masyarakat dan hanya sebagai penonton dan berada di luar sistem yang ada. Dominannya peranan pihak-pihak di luar masyarakat dalam menjalankan program pembangunan tetapi partisipasi masyarakat belum terlaksana sebagaimana diharapkan. Padahal partisipasi masyarakat merupakan salah satu aspek dari keberhasilan program penanggulangan kemiskinan. Penelitian ini menagunakan metode kualitatif dengan analisis deskriptif. Informan yang diwawancarai adalah anak dan dewasa yang dikelompokkan dari 4 wilayah yang mendapatkan dampingan secara intensif dan 3 wilayah yang tidak mendapatkan dampingan secara intensif (non intensif). Hasil analisis data dari wawancara yang dilakukan adalah sebagai berikut : Pembuatan rencana program di Proyek Susukan relatif sudah cukup baik karena sudah melibatkan masyarakat dalam proses perencanaannya sehingga masyarakat mengetahui peran serta apa yang dibutuhkan dari masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan. Namun, tidak seluruh unsur yang ada di masyarakat turut dalam proses perencanaan. Adapun dalam pelaksanaan kegiatan lebih banyak lagi masyarakat yang terlibat, tidak hanya sebagai peserta tetapi juga turut andil dalam memberikan sumberdaya yang mereka miliki untuk keperluan program. Sedangkan dalam monitoring dan evaluasi terhadap program, masyarakat juga telah terlibat di dalamnya. Bentuk keterlibatan masyarakat adalah dengan memberikan penilaian terhadap program yang berlangsung di Proyek melalui forum-forum diskusi atau menyampaikan langsung kepada pihak proyek. Partisipasi masyarakat dalam program proyek dipengaruhi oleh kebijakan Proyek yang mensyaratkan masyarakat untuk terlibat dalam setiap proses pada program yang dilakukannya disamping kesadaran masyarakat untuk memperoleh manfaat dari program yang ada. Selain itu faktor-faktor pendorong masyarakat untuk berpatisipasi adalah karena faktor komunikasi yang baik, faktor kesadaran, faktor penyuluhan dan pelatihan serta faktor kebutuhan dari masyarakat. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, penulis menyarankan mengurangi bantuan yang sifatnya karitatif sehingga akan terlihat motivasi masyarakat yang sesungguhnya apakah karena adanya bantuan atau karena ingin meningkatkan kualitas hidup. Dalam perencanaan juga perlu melibatkan lebih banyak unsur dari masyarakat agar program yang dihasilkan lebih representatif dan menjawab kebutuhan masyarakat.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13352
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Venny Kartika Widihastuti
Abstrak :
Pada tahun 1975 Gubernur KDKI Jakarta telah mengeluarkan SK Gubernur No. D.I-70903/a/30/1975 sebagai Penegasan Penetapan Kelurahan Condet Kampung Tengah, Kelurahan Batu Ampar, Kelurahan Balekambang, Kecamatan Kramat Jati Wilayah Jakarta Timur sebagai daerah buah-buahan. Penetapan ini dimaksudkan untuk memelihara keaslian dan kelestarian lingkungan di kawasan Condet pada khususnya dan Jakarta pada umumnya. Sejalan dengan perkembangan dan pembangunan kota Jakarta yang sangat pesat, dimana kebutuhan lahan atau tanah untuk pembangunan prasarana jalan, fasilitas sosial, fasilitas ekonomi, perumahan dan lainnya tentu meningkat, maka konsekuensi yang terjadi adalah munculnya berbagai perubahan di kawasan Condet. Terjadinya perubahan pertumbuhan jumlah penduduk, adanya perubahan fungsi lahan yang menyebabkan jenis tanaman-tanaman khas seperti duku dan salak semakin berkurang kualitas dan kuantitasnya, juga adanya perubahan sosioekonomi dan budaya yang mempengaruhi pelestarian pertanian dan atau perkebunan di kawasan Condet. Masalah-masalah tersebut di atas menyebabkan kawasan Condet tidak dapat bertahan sebagai kawasan penghasil buah-buahan. Berdasarkan identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, maka penelitian ini difokuskan pada analisis aspek pengelolaan lingkungan kawasan Condet yang melibatkan peranserta masyarakat Betawi atau masyarakat lokal yang berdomisili di kawasan Condet. Rumusan masalah yang dapat dikemukakan adalah: peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan kawasan Condet tidak signifikan atau buruk karena masyarakat tidak terlibat secara aktif. Tujuan yang ingin dicapai pada penelitan ini dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) mengetahui sejauh mana peranserta masyarakat Betawi dalam pengelolaan lingkungan kawasan Condet. (2) mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan berkurangnya lahan perkebunan di kawasan Condet (3) melihat kemungkinan pengembangan kawasan Condet sebagai kawasan wisata agro di DKI Jakarta. Secara keseluruhan penelitian ini menggunakan metode deskriptif yaitu cara atau metode yang digunakan untuk manganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan apa adanya tentang data yang terkumpul, sesuatu variabel, gejala atau keadaan. Variabel dalam penelitian ini terdiri atas: (a) Variabel bebas (independent variable). Pada penelitian ini yang menjadi variabel bebas (X) adalah pengelolaan. Pengelolaan yang dimaksud di sini mencakup 7 (tujuh) aspek sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. (b) Variabel terikat (dependent variable). Pada penelitian ini yang menjadi variabel terikat (Y) adalah peranserta.. Dalam hal ini peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan kawasan Condet. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel bebas yaitu aspek-aspek pengelolaan dengan variabel terikat yaitu peranserta masyarakat, dilakukan dengan analisis korelasi menggunakan uji korelasi pearson product moment. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan adanya sikap responden yang positif mengenai pengembangan kawasan Condet ini, ada pula yang tidak. Sikap positif ini didapat karena responden merasa akan adanya peningkatan ekonomi mereka dengan adanya pengembangan kawasan. Selebihnya responden mempunyai pendapat bahwa kawasan Condet, tidak lagi dapat dipertahankan sebagai kawasan penghasil buah-buahan. Kondisi lahan perkebunan di kawasan tersebut sudah tidak lagi memadai, karena semakin sempitnya lahan. Komposisi jumlah masyarakat Betawi juga menurun seiring dengan tingginya arus pendatang di kawasan Condet. Jumlah responden yang menyatakan setuju atas pengembangan kawasan sebagai kawasan wisata agro ini 7 orang atau 28%, tidak setuju 13 orang atau 52 % dan ragu-ragu 5 orang atau 20%. Kesimpulan dari penelitian ini adalah: (1) masyarakat tidak terlibat secara aktif dalam pengelolaan lingkungan kawasan Condet. Penilaian aspek-aspek pengelolaan, baik secara deskriptif maupun analisis, menunjukkan nilai yang buruk. (2) faktor-faktor yang menyebabkan kawasan Condet tidak bertahan sebagai daerah penghasil buah-buahan disebabkan oleh, berkurangnya lahan akibat praktek jual beli dan pertumbuhan penduduk secara alami maupun akibat urbanisasi di kawasan tersebut. Adapun dari kesimpulan di atas, maka saran yang diberikan adalah (1) Daerah penghasil buah-buahan harus mampu memberikan peluang bagi terpenuhinya kebutuhan masyarakat di dalam kawasan. (2) pelurusan persepsi mengenai kawasan "cagar budaya" Condet (3) sasaran dan tujuan pengembangan kawasan wisata agro harus jelas dan terarah sesuai konsep pelestarian, pemeliharaan dan pengembangan kawasan. (4) pemerintah hendaknya melakukan sosialisasi mengenai tujuan pengembangan kawasan wisata agro.
Back in 1975 the governor of KDKI Jakarta has issued SK Gubernur No. D.I-70903/a/30/1975 to debelop several area in the East of Jakarta region to specialize in fruit agriculture. The scope of the SK included Kelurahan Condet Kampung Tengah, Kelurahan Batu Ampar, Kelurahan Balekambang of Kecamatan Kramat Jati. This recommendation aimed to preserve the environmental condition of Condet area, and Jakarta in general. Further, with the development and expansion of Jakarta, the accelerating for transport, social, and economic facility has resulted several changes in Condet area. Changes in population trends reduced the quantity and quality of several native fruits, such as duku and salak. Shift of social, economical, and cultural values within the community has affected the agricultural preservation around Condet area. These problems have forced changes in the government policy in preserving Condet's fruit production. The above problems had leaded this research to focus on the analysis of environmental development of Condet area to include participation of the Betawi community and other local community member. The case formulation that can be shown is: The participation of Betawi community in managing Condet Conservation has not significant value. The purpose of the research are: (1) to explore the extend of Betawi community involvement in Condet environmental preservation. (2) identify several factors, which cause the declining of agricultural area in Condet. (3) to explore the possibility to develop Condet area as an agricultural-tourism in Jakarta. The nature of this research was addressed by descriptive method. Descriptive method is a method, which is used to analize a certain data by describing the condition with certain variable, situation, and circumstances. This research contains both independent variable (x) and dependent variable (y). The independent variable in this case is the development as mention in Government Policy on Environmental Management W No. 2311997. Dependent variable of the research were the community involvement, in this case, to the environmental preservation of Condet area. To determine the relation between these independent variable and dependent variable, analytical test were conducted through Pearson Product Moment. Field study has shown the positive and negative attitude of respondent toward preservation of Condet area. Respondent felt that Condet area is not suitable anymore to be preserving as a fruit-production areas. It is felt that the condition of land are incapable to support the agriculture plan because of the increasing available land. It was also found that composition of Betawi people within the community are declining as an effect of urbanization. Total respondent, which agree to the development of agriculture tourism in the are 7 respondent (28%), 13 respondent (52%) did not support the plan, and 5 respondent (20%) undecided. This research has concluded that (1) community has not been actively involved in environmental preservation. (2) Condet area were unable to preserve its capacity as a fruit-production region because of the land trading practice and increase of population, which occurred through natural circumstances and urbanization. From the conclusion drawn above, it is suggested that (1) fruit-production areas have to be able to allow local community to fulfill their needs. (2) shift perception of Condet preservation area. (3) clarity on the purpose and target of agricultural tourism in relation to preservation, conservation, and development of the area. (4) active government approach to socialize the purpose of agriculture-tourism within the particular area.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T13376
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Junaidi
Abstrak :
Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang pemberdayaan masyarakat melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Fase II termasuk hambatan-hambatan dan upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasinya. Program Pengembangan Kecamatan Fase II merupakan kelanjutan dari Program Pengembangan Kecamatan sebelumnya. Program Pengembangan Kecamatan Fase II bertujuan untuk menanggulangi kemiskinan dengan memberdayakan masyarakat miskin dan perempuan sebagai pendekatan operasionalnya. Dilanjutkannya Program Pengembangan Kecamatan Fase II merupakan tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan daerah melalui mekanisme pembiayaan bersama yang di landasi dengan semangat Otonomi Daerah yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang pemerintahan di daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif melalui studi kepustakaan, wawancara dengan informan, dan pengamatan di lapangan. Pemilihan informan dilakukan secara purposive sampling dan snowball sampling terhadap aparat pemerintah, fasilitator kecamatan dan desa, tokoh masyarakat dan warga masyarakat desa Gosong Telaga Selatan sebagai kelompok sasaran, dengan jumlah responden 12 orang. Hasil penelitian dianalisis dengan mengaitkan kebijakan sosial dan kerangka pemikiran tentang kemiskinan, pengembangan masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa pelaksanaan Program Pengembangan Kecamatan Fase II telah berjalan dari tahap sosialisasi sampai pelaksanaan kegiatan, belum mencakup tahap pengendalian dan pelestarian kegiatan. Pelaksanaan program dari tahap sosialisasi hingga ke tahap pelaksanaan kegiatan partisipasi masyarakat terutama masyarakat miskin dan perempuan terlihat dalam tahapan-tahapan kegiatan program pengembangan kecamatan. Peran petugas aparat pemerintah kecamatan yang terlibat langsung dilapangan yaitu PJOK dan pendamping yaitu Fasilitator Kecamatan (FK) bertugas memfasilitasi setiap kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan, memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk merencanakan dan menentukan kegiatan yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki desa. Pelaksanaan program PPK Fase II mencakup kegiatan pembangunan sarana dan prasarana pendukung yaitu pembuatan Sumur Bor Dua Unit, pembangunan Polindes dan posyandu, Usaha Ekonomi Produktif (UEP) peningkatan usaha pembuatan Ikan Asin, dan Simpan Pinjam Perempuan (SPP) untuk penambahan modal usaha bagi perempuan. Pelaksanaan proses pemberdayaan masyarakat terlihat sejak dilakukannya sosialisasi program yang melibatkan masyarakat sebagai kelompok sasaran dengan melakukan pembentukan kelompok campuran berdasarkan kelompok dusun dan kelompok perempuan. Pembentukan kelompok dilakukan untuk mempermudah proses penggalian gagasan agar gagasan atau ide yang muncui betul-betul kebutuhan yang mereka inginkan. Begitu pula pada tahap pelaksanaan kegiatan, partisipasi dan peran aktif masyarakat sebagai penentu kegiatan terlibat langsung mensukseskan program. Pelaksanaan program yang diawali dengan tahap persiapan hingga ke tahap pelaksanaan program sudah terlihat, terjadinya perencanaan dan pelaksanaan keempat kegiatan oleh warga masyarakat menggambarkan telah berhasilnya pemberdayaan kelompok sasaran akan pengetahuan, keterampilan dan modal. Dalam pelaksanaan Program Pengembangan Kecamatan masih terdapat kendala-kedala, baik dan masyarakat, pelaku PPK di desa maupun dan pelaku PPK di kecamatan. Kendala dari masyarakat yaitu: Pertama, sumber daya manusia yang masih rendah yang di dominasi tamatan SD dan SLIP. Kedua, pelaku PPK di desa yaitu terjadinya penyimpangan pada saat pembentukan kelompok sasaran yang dilakukan Kepala Dusun selaku ketua Kelompok dengan merekrut anggota berdasarkan hubungan kekeluargaan dan kekerabatan. Ketiga, kurangnya koordinasi pelaku PPK di Kecamatan dengan ketua Tim Koordinasi di Kabupaten yang mengakibatkan kendala proses administrasi. Keempat, lambatnya proses administrasi di bendahara proyek, mengakibatkan tertambatnya proses pencairan dana. Merujuk pada kendala-kendala tersebut, dikemukakan rekomendasi untuk penerapan program setanjutnya.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13358
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tenouye, Elly
Abstrak :
Proses perencanaan pembangunan melalui Lembaga Masyarakat Adat Suku Mee (Lemasme) di kampung Kebo wilayah adat Pantai Utara, distrik Pantai Timur, kabupaten Pantai pasca otonomi daerah merupakan langkah awal dari pemerintah yang responsif dan bertanggung jawab. Hal ini dirasakan bagi mereka/orang-orang yang seakan-akan telah lama dipaksa tunduk/takluk dan baru merasa/menikmati alam demokrasi karena mereka diberikan kebebasan bersuara menurut keinginan mereka tanpa intervensi dari pihak lain. Sebelum dikeluarkan UU Otonomi Daerah No. 25 Tahun 1999 sistim perencanaan yang partisipatif, aspiratif yang ditetapkan melalui permendagri No 09 Tahun 1982 rupanya telah dimanipulasi oleh pusat untuk kepentingan tertentu yang kemudian telah menempatkan masyarakat hanya sebagai objek yang diam dan bisu dimana mereka jarang diajak untuk menunjukkan/menyampaikan keinginan, aspirasinya dalam setiap usulan program pembangunan sebagai hak warga negara untuk memperoleh manfaat dari pembangunan bahkan pemerintah di daerahpun menerima dan menjalankan keinginan dari atas. Bentuk partisipasi umumnya dimobilisasi dalam melaksanakan dan menerima kehendak luar tanpa diikutkan dalam perencanaan oleh sebab itu sifat partisipasi hanya mendukung keinginan pusat dengan falsafahnya masyarakat yang baik adalah masyarakat yang mendukung dan mengikuti apa yang dirancang oleh Pusat melalui Bappenas. Meskipun telah dikeluarkan UU Otonomi Daerah No. 25 Tahun 1999 dimana sistim perencanaan yang partisipatif, aspiratif dipandang perlu dibangun sesuai dengan keberadaan sosial budaya lokal dengan melibatkan stakeholder dan grassroot namun dalam belum dapat diwujudkan pemerintahan yang bersih (good governance). Tesis ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai bentuk, tingkat dan faktor pendorong, penghambat partisipasi suku Mee dalam proses perencanaan pembangunan melalui lembaga masyarakat adat dengan mengacu pada teori serta upaya atau mengetahui dan memahami cara apa yang telah dilakukan dan dapat dilakukan agar kesempatan masyarakat berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan di kampung Kebo dan wilayah adat Pantai Utara dapat lebih terwujud. Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Sumber datanya ialah informan yang didukung oleh dokumen serta pustaka. Informan-informan penting yang menjadi sampel penelitian ini adalah mereka yang terlibat dalam musyawarah adat (MA), teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan studi kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk partisipasi suku Mee dimobilisasi oleh pemerintah dan Lemasme (Lembaga Masyarakat Adat Suku Mee), dan dalam pelaksanaan musyawarah dan pengambilan keputusan masih didominasi oleh personil Lemasme (Lemasme Masyarakat Adat Suku Mee) yang disebut "Tonawi" yang merangkap beberapa jabatan. Sementara itu posisi masyarakat adat meskipun telah diberikan kesempatan untuk terlibat dalam mengusulkan aspirasi program pembangunan, mereka belum sepenuhnya memahami bahwa merekalah yang berhak mengambil berbagai keputusan. Berangkat dari pemahaman diatas dan kondisi umum partisipasi suku Mee dalam perencanaan pembangunan di kampung Kebo dan wilayah adat Pantai Utara jika dinilai berdasarkan DELAPAN TANGGA PARTISIPASI MASYARAKAT menurut Arnstein menunjukkan bahwa tingkat partisipasi suku Mee dalam perencanaan pembangunan berada pada tangga pertama NON PARTICIPATION dan tangga ke dua TOKENISME. Dengan pengertian bahwa dua tangga pada Non Partisipasi adalah bentuk-bentuk peran serta yang dinamakan terapi dan manipulasi. Sedangkan di tingkat Tokenisme yaitu tingkat dimana peran serta masyarakat didengar dan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Peran serta pada tingkat ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan pada masyarakat. Pemahaman diatas dapat dirumuskan bahwa suku Mee telah menghadiri, mendengar dan mengusulkan program pembangunan tetapi mereka tidak memiliki jaminan bahwa apa yang diusulkan dapat diterima oleh pengambil keputusan. Penyampaian aspirasi masyarakat melalui Lemasme (Lembaga Masyarakat Adat Suku Mee) wilayah adat dan kampung dapat berjalan karena masyarakat yang diundang telah hadir dan menyampaikan usulan program pembangunan. Usulan yang disampaikan lebih mengarah pada kepentingan umum wilayah khususnya pembangunan sektor sosial. Hambatan yang dihadapi selain didominasi oleh tokoh lokal, diantara masyarakat yang terlambat mengetahui informasi perencanaan pembangunan mudah merasakan dipasifkan dan cenderung mencurigai bahwa hasil musyawarah dapat merugikan dan hanya mementingkan kelompok tertentu (kerabat saja), namun demikian personality tokoh lokal dapat menetralisir. Oleh sebab itu yang terpenting disini adalah membangun komunikasi dan konsultasi terlebih dahulu dengan tetap melibatkan tokoh lokal yang merepresentasi tiap dusun dan marga di kampung Kebo dan wilayah adat dalam proses perencanaan pembangunan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13907
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutapea, Roma Uli
Abstrak :
Industri perbankan memegang peranan sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi, sebagai lembaga keuangan intermediasi yang merupakan penghubung antara pemilik dana dan pihak peminjam. Perkembangan ekonomi daerah merupakan kunci penting dalam pertumbuhan ekonomi, karena itu Bank Pembangunan Daerah yang berperan bagi perkembangan ekonomi di daerah harus dapat berfungsi secara efisien. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat efisiensi operasional pada 26 BPD yang ada di Indonesia untuk tahun operasional 2003 dan 2004 menggunakan metode Data Envelopment Analysis.Variabel yang menjadi obyek penelitian adalah variabel input yang terdiri dari Beban Bunga, Beban Operasional Lainnya, serta Beban Non Operasional dan variabel output terdiri dari Pendapatan Bunga, Pendapatan operasional Lainnya dan Pendapatan Non Operasional, dengan satuan ukuran variabel adalah dalam unit rupiah. Data yang digunakan bersifat data sekunder, yang diperoleh dari Bank Indonesia berupa Laporan keuangan BPD yang telah dipublikasi, periode tahun 2003 sampai 2004. Hasil penelitian adalah, pada tahun operasional 2003 terdapat 11 BPD yang mencapai niiai bobot efisiensi 100% dan 15 BPD yang tidak mencapai. nilai bobot 100%, sementara pada tahun 2004 terdapat 9 BPD yang nilai bobot efisiensinya mencapai 100% dan 17 BPD yang nilai bobot efisiensinya kurang dari 100%. Sebuah bank dapat mencapai nilai bobot 100% jika sudah mampu melakukan efisiensi dalam penggunaan inputnya dan atau sudah mampu memanfaatkan semua kemampuan potensial yang dimilikinya untuk memproduksi output-outputnya, dan sebaliknya bank yang nilai efisiensinya kurang dari 100% harus dapat melakukan efisiensi dalam penggunaan input dan atau harus memaksimalkan semua kemampuan potensial yang dimilikinya untuk manghasilkan output. Pada tahun 2003 nilai bobot yang terendah adalah 74,16% dan tahun 2004 yang terendah sebesar 65.00%. Terdapat penurunan jumlah 4 BPD yang sudah mencapai nilai bobot 100% tahun 2003 menjadi kurang dari 100% di tahun 2004 dan sebaliknya terdapat 2 BPD yang pada tahun 2003 tidak memenuhi target, menjadi 100% nilai efisiensinya pada tahun 2004.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T20033
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library