Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Haedar Akib
"Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan fenomena kelangkaan pupuk urea tabur dengan cara menelusuri faktor yang melatarbelakangi. Berawal dari deskripsi intermediate factors, sampai pada implementasi dan formulasi kebijakan yang mengatur, sebagai main factors. Sesuai pendekatan Ekonomi Politik yang digunakan, bertujuan: (1) menjelaskan peran policy makers dalam proses formulasi kebijakan distribusi pupuk di Indonesia, (2) menjelaskan pra-kondisi yang melatarbelakangi wajah ambiguitas kebijakan dilihat dari mekanisme koordinasi yang digunakan, (3) menjelaskan implikasi kebijakan tersebut terhadap kinerja pelaku distribusi dan konsumen. Satuan analisisnya ialah Kebijakan Distribusi Pupuk di Indonesia. Datanya diperoleh melalui indept interview dengan informan terpilih (?purposive") dari policy makers, untuk mewakili departemen dan pelaku distribusi yang terlibat ("snowball.), sehingga representatif untuk diolah, dianalisis dan diinterpretasikan.
Jawaban tujuan penelitian ini ada tiga. Pertama, peran policy makers dalam proses formulasi kebijakan distribusi pupuk di Indonesia didasarkan atas visi dan misi departemen dan atau pelaku distribusi yang diwakili. Kedua, pra-kondisi yang melatarbelakangi formulasi kebijakan distribusi pupuk di Indonesia, meliputi: (1) Pupuk dan beras merupakan komoditas bersifat "vital dan strategis". (2) Diharapkan distribusi pupuk memenuhi kriteria enam tepat. (.3) Para petani tidak semestinya diperlakukan sebagai "obyek". (4) Asumsi yang dianut policy makers ialah, pupuk "bukan komoditas komersial, melainkan barang yang didistribusikan". (5) Mempertahankan "rente ekonomi" yang dinikmati oleh departemen dan pelaku distribusi yang ditunjuk oleh pemerintah, yaitu "sebagian" dari fee, handling fee dan biaya distribusi yang disediakan. (6) Tanggung jawab utama pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat, serta (7) heterogenitas visi dan misi atau orientasi nilai policy makers.
Kinerja konsumen (petani). Kenaikan harga dasar pupuk urea yang diikuti kenaikan harga dasar gabah tidak menguntungkan petani. Jadi, harapan petani tidak tercapai dan memposisikan memenuhi kebutuhannya dalam batas subsistensi. Disamping itu, meneguhkan superioritas pelaku distribusi, dibandingkan inferioritas petani dalam melakukan jual-beli komoditas input dan output pertanian. Selanjutnya, produsen pupuk (PT PUSRI) diuntungkan dengan tanggung jawab "formal" menyalurkan pupuk sampai lini IV karena hanya menyediakan sampai lini III. Sementara itu KUD berada pada posisi kunci, sekaligus krusial, karena menerima imbal tanggung jawab "aktual" penyediaan pupuk setelah lini III. Akibatnya, resiko ketidakefektifan distribusi pupuk sesuai kriteria enam tepat ditujukan kepada KUD. Kemudian, peran swasta dalam distribusi pupuk "mengaburkan asumsi" bahwa pupuk bukan komoditas komersial dan HET yang ditetapkan hanya berlaku di atas kertas.
Rekomendasi penelitian: (1) Untuk memperbaiki sistem distribusi pupuk diperlukan terobosan kebijakan yang mengakomodasikan kepentingan tetap departemen dan pelaku distribusi pupuk Indonesia. (2) Diperlukan insentif dari pemerintah kepada petani, terutama kemudahan memperoleh pupuk sesuai prinsip enam tepat. (3) Campur tangan langsung pemerintah diarahkan untuk menindaklanjuti fungsi regulasi dan pengendalian yang dilakukan dan kebijakan yang mendukung harus tepat waktu. (4) Perlu dilakukan institusional arrangement pada berbagai level, agar terjadi keseimbangan antara wewenang dan tanggung jawab departemen dan atau pelaku distribusi pupuk, balk secara formal maupun secara aktual."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hasim As`ari
"Kebijakan Distribusi Urusan Pemerintahan pada Sektor Kehutanan di Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga saat ini beberapa kali mengalami perubahan, yang menunjukkan adanya tarik ulur kewenangan antara Pemerintan Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/kota. Tarik ulur kewenangan tersebut membawa dampak pada pengurusan hutan yang belum optimal dan lestari pada tataran implementasi. Oleh karena itu, maka perlu adanya solusi terkait desain kebijakan Distribusi Urusan Pemerintahan pada sektor Kehutanan masa depan, yang mampu memetakan siapa pihak yang paling tepat untuk mengurusi hutan, sehingga mampu menyelesaikan masalah-masalah kehutanan dan mampu mengarahkan pada implementasi pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang optimal dan lestari. Melalui penggunaan metode kualitatif, dengan informan yang mencakup aktor-aktor terkait dengan pelaksanaan urusan pemerintahan pada sektor kehutanan dan pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan dianalisis melalui metode kualitatif,  maka dihasilkan bahwa desain distribusi urusan pemerintahan bidang kehutanan di masa depan dapat dilakukan dengan IV alternatif, antara lain: Alternatif I: Desentralisasi ke Provinsi dan Tingkat Tapak, Alternatif II: Desentralisasi ke Provinsi dengan Cabang Dinas, Alternatif III: Desentralisasi ke Provinsi dan Kabupaten/Kota, dan Alternatif IV: Desentralisasi fungsional. Dari keempat alternatif tersebut, penulis memandang pilihan terobosan dengan desentralisasi fungsional lebih menjanjikan, dimana dari pendekatan desentralisasi fungsional ini lahir dua model desain distribusi urusan pemerintahan bidang kehutanan yakni "One Province One Forestry Board" dan atau "One Landscape One Forestry Board".

Government Affairs Distribution Policy in the Forestry Sector in Indonesia since the beginning of independence has so far undergone several changes, which shows the tugging of authority between the Central Government, Provincial Governments and District/City Governments. The tugging of authority has an impact on forest management that is not optimal and sustainable at the level of implementation. Therefore, there is a need for solutions related to the design of the Government Affairs Distribution policy in the future Forestry sector, which is able to map who is the most appropriate party to manage forests, so as to be able to solve forest problems and be able to direct the implementation of optimal forest management and utilization and sustainable. Through the use of qualitative methods, with informants covering actors related to the implementation of government affairs in the forestry sector and collecting data through in-depth interviews and analyzed through qualitative methods, it was produced that future design of governmental affairs in the forestry sector could be carried out with alternative IVs. among others: Alternative I: Decentralization to Province and Site Level, Alternative II: Decentralization to Provinces with Service Branches, Alternative III: Decentralization to Provinces and Districts /Cities, and Alternative IV: Functional Decentralization. Of the four alternatives, the author considers breakthrough choices with functional decentralization more promising, where from this functional decentralization approach two models of governmental distribution business design are born, namely "One Province One Forestry Board" and "One Landscape One Forestry Board"."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
D2631
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library