Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ester Indah Jusuf
Jakarta: Solidaritas Nusa Bangsa, 2001
323.4 EST j
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Noorasri Ranahaura Wandawa
Abstrak :
Artikel ini berfokus pada diskriminasi rasial yang terjadi di Prancis pada lagu rap Jeune de Banlieue karya Disiz La Peste. Lagu ini menjelaskan mengenai kehidupan yang dialami oleh narator Aku, sebagai seorang imigran, yang hidup dalam kesengsaraan akibat adanya ketidakadilan di lingkungan tempat tinggalnya. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori analisis struktural dan analisis semiotika yang mengacu pada teori Roland Barthes melalui analisis aspek semantik dan pragmatik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan melakukan analisis pada lirik lagu. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa lagu rap Jeune de Banlieue karya Disiz La Peste mengangkat salah satu permasalahan yang sering terjadi di Prancis, yaitu diskriminasi rasial. Diskriminasi rasial dalam lagu ini diperlihatkan melalui gambaran kehidupan narator Aku dalam berbagai aspek kehidupan seperti sosial, ekonomi, serta kondisi fisik, yang memberikan dampak buruk terhadap kaum imigran di Prancis terutama di banlieue. ...... This article focuses on racial discrimination found in France according to the rap song Jeune de Banlieue by Disiz La Peste. This song tells the life experienced by the narrator, I, as an immigrant, who lives in misery due to injustice in his neighborhood. The theory used in this study is the theory of structural analysis and semiotic analysis which refers to the theory of Roland Barthes through the analysis of semantic and pragmatic aspects. The method used in this study is a qualitative method by analyzing the song lyrics. The results of this study show that Jeune de Banlieues rap song by Disiz La Peste raises one of the social issues that has become a polemic in France, that is racial discrimination. Racial discrimination in this song is shown through the description of the narrators life in various aspects of life such as social, economy and physical conditions, which had a negative impact on immigrants in France, especially in banlieue.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Hasya Hanifan
Abstrak :
Peningkatan kekerasan yang mengatasnamakan supremasi kulit putih di Amerika Serikat terjadi begitu pesat khususnya pada periode tahun 2017-2019. Peningkatan yang terjadi tidak hanya dalam aspek kekerasan saja namun juga pada penyebaran ideologi supremasi kulit putih dan pergerakan kelompok ekstrimis kulit putih. Peningkatan kekerasan supremasi kulit putih terus terjadi padahal Amerika Serikat telah menandatangani International Convention on the Elimination of All Form of Racial Discrimination pada tahun 1966 yang baru diratifikasi pada tahun 1994. Sebagai negara yang menandatangani CERD Amerika Serikat berkewajiban untuk mengutuk diskriminasi rasial dan mengejar kebijakan penghapusan diskriminasi rasial, dalam segala bentuknya. Namun pada kenyataannya Amerika Serikat gagal menghapuskan diskriminasi rasial yang terjadi di negaranya dengan meningkatnya kekerasan rasial yang menargetkan orang kulit berwarna. Untuk itu, pertanyaan dalam penelitian ini adalah mengapa terjadi peningkatan kekerasan supremasi kulit putih padahal Amerika Serikat telah menandatangani CERD. Untuk menjawab pertanyaan ini, penelitian menggunakan teori konstruktivis dari Onuf yang menggunakan speech act atau tutur kata sebagai alat konstruksi sosial yang mampu mengatur tindakan manusia. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan analisis wacana. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa Amerika Serikat menolak untuk mengimplementasikan pasal dalam CERD yang mengatur penyebaran ujaran kebencian karena tidak sejalan dengan konstitusi Amerika Serikat tentang kebebasan berpendapat. Hal ini akhirnya melanggengkan diskriminasi rasial yang terbentuk dari bahasa-bahasa yang dipromosikan oleh tokoh-tokoh nasionalis kulit putih Amerika Serikat. Didukung juga dengan bahasa agresif yang digunakan oleh politisi Amerika Serikat pada masa kepresidenan Trump, yang menggambarkan orang kulit berwarna membuat pergerakan supremasi kulit putih semakin meningkat dan menyusup kedalam kehidupan masyarakat luas. ......The increase in violence in the name of white supremacy in United States occurred so rapidly, especially in the 2017-2019 period. The increase that occurred was not only in the aspect of violence but also in the spread of white supremacist ideology and movements of white extremist groups. The increase in white supremacist violence continues to occur even though United States has signed the International Convention on the Elimination of All Form of Racial Discrimination in 1966 and only ratified it in 1994. As a country that signed CERD, the United States is obliged to condemn racial discrimination and pursue a policy of eliminating discrimination racial, in all its forms. But in reality United States has failed to eradicate racial discrimination that occurs in its country by increasing racial violence targeting people of color. For this reason, the question in this study is why there is an increase in white supremacist violence when United States has already signed CERD. To answer this question, this study will use Onuf's constructivist theory which uses speech act as a social construction tool capable of regulating human action. The method used is a qualitative method with a discourse analysis approach. This study found that the United States refused to implement the articles in the CERD regulating the spread of hate speech, as they not in line with the United States constitution regarding freedom of speech. This ultimately perpetuates the racial discrimination that is formed from the languages ​​promoted by white nationalist figures. This is also supported by the aggressive language used by American politicians during the Trump presidency, which depicts people of color making the white supremacist movement increase and infiltrate the lives of the wider community.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hesti Armiwulan S.
Abstrak :
Negara Republik Indonesia sejak awal kemerdekaan sesungguhnya telah memiliki komitmen untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hal ini dapat dipahami dari UUD Tahun 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar pada paham kedaulatan rakyat, negara yang berdasar pada hukum serta sistem Konstitusi. Artinya berdasarkan ketiga pilar tersebut maka adanya jaminan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia adalah salah satu prinsip dari Demokrasi, Negara Hukum dan Sistem Konstitusi yang harus diwujudkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Konsekuensinya Negara mempunyai kewajiban untuk menjamin kebebasan, kesetaraan dan prinsip non diskriminasi bagi semua orang yang harus tercermin dalam penyelenggaraan pemerintahan. Mengenai hal ini telah ditentukan dalam Pasal 28 I Ayat (4) dan Ayat (5) UUD Negara RI Tahun 1945. Namun sepanjang perjalanan kehidupan ketatanegaraan Indonesia ternyata masih ada praktik-praktik penyelenggaraan negara yang tidak mencerminkan adanya jaminan terhadap kebebasan, kesetaraan dan prinsip non diskriminasi yang merupakan esensi dari perlindungan hak asasi manusia. Salah satu contoh adalah praktik diskriminasi rasial yang tetap menjadi current issue di semua rezim pemerintahan di Indonesia, bahkan di era Reformasi yang menyatakan sebagai pemerintahan yang lebih demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia justru praktik diskriminasi rasial yang berujung pada konflik horisontal terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Persoalan diskriminasi rasial sangat potensial terjadi di Indonesia, mengingat jumlah penduduknya yang sangat banyak dengan berbagai suku bangsa, ras dan etnis (multi etnis) serta tingkat pendidikan yang relatif masih rendah. Sementara harus diakui bahwa sampai saat ini upaya yang dilakukan belum dapat menghentikan praktik-praktik diskriminasi rasial. Semboyan Bhineka Tunggal Ika dan berbagai peraturan perundang-undangan tidak cukup menjawab persoalan mengenai diskriminasi ras dan etnis. Studi tentang etnis Tionghoa yang dilakukan secara komprehensif diharapkan mampu untuk memetakan problematika diskriminasi ras dan etnis di Indonesia sekaligus membangun kesadaran bagaimanakah wujud perlindungan hukum yang tepat untuk menghentikan praktik diskriminasi rasial di Indonesia. Etnis Tionghoa adalah salah satu etnis yang secara terus menerus menyuarakan perlawanan terhadap praktik diskriminasi rasial yang dialami oleh etnis Tionghoa, namun di sisi yang lain dominasi ekonomi oleh etnis Tionghoa juga disebut sebagai sebab praktik diskriminasi rasial yang dilakukan oleh etnis Tionghoa terhadap etnis yang lain. Model pendekatan hukum hak asasi manusia dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk menghentikan praktik diskriminasi rasial di Indonesia. Hukum hak asasi manusia menjamin kebebasan setiap orang namun disisi yang lain juga diperlukan adanya pembatasan kebebasan dengan tujuan untuk menghormati kebebasan tersebut. Hukum hak asasi manusia memuat larangan diskriminasi atas dasar apapun termasuk larangan diskriminasi rasial, namun untuk mewujudkan prinsip kesetaraan diperlukan juga langkah-langkah khusus (tindakan affirmatif) yang ditujukan untuk kelompok masyarakat tertentu. Tindakan affirmatif adalah pembedaan yang tidak boleh dinilai sebagai perbuatan diskriminatif. Selain itu untuk sampai pada penyelesaian akar masalah diskriminasi rasial maka memaknai keadilan yang diwujudkan dalam sistem hukum yang intergratif dan tersedianya mekanisme penegakan yang komprehensif adalah sebuah keharusan dalam paham konstitusionalisme. ...... Since the beginning the Republic of Indonesia in fact, already had commitment to respect and uphold human rights. This could be understood from Constitution of Republic Indonesia 1945 which stated that Indonesia is a country based on the understanding of sovereignty, which is based on Rule of Law and Constitution system. That is based on three pillars guarantees the recognition and protection of human rights is one of the principles of Democracy, Rule of Law and Constitution System should be realized in Constitutional law system. This brought a consequence for the State, which has obligation to guarantee freedom, equality and the principle of non-discrimination for all people that should be reflected in governance. This matter has been specified in Paragraph I of Article 28 (4) and (5) the Constitution of Republic Indonesia 1945. However, throughout as long as the experiences of Indonesia, the lack of state enforcement practices that do not reflect a guarantee of liberty, equality and non-discrimination principles which is the essence of the protection of human rights. One example is the practice of racial discrimination that remains as current issue in all regimes of governance in Indonesia, even in reformation era that states as a more democratic government and respect for human rights is precisely the practice of racial discrimination that leads to horizontal conflicts occur in various areas Indonesia. The issue of potential racial discrimination occurred in Indonesia, considered the vast amount of people from different ethnic, racial and ethnic groups (multi-ethnic) and educational level is still relatively low. While it must be admitted that so far, the efforts have not been able to end the practice of racial discrimination. The motto Unity in Diversity and the various laws and regulations do not adequately addressed the question of racial and ethnic discrimination. The study of ethnic Chinese that has been done, hopefully will be able to comprehensively map the problem of racial and ethnic discrimination in Indonesia as well as build awareness on how to form the legal protection to end the practice of racial discrimination in Indonesia. Ethnic Chinese is one of the ethnic that continually active engaged in opposition to practice of racial discrimination faced by ethnic Chinese, but on the other hand by the Chinese economic dominance also mentioned as the reason for the practice of racial discrimination committed by the Chinese against other ethnic groups. Model approach to human rights law can be used as an analytical knife to stop the practice of racial discrimination in Indonesia. Human rights law guarantees freedom of every person, but on the other also required the restriction of freedom in order to respect these freedoms. Human rights law includes the prohibition of discrimination on any ground, including the prohibition of racial discrimination, but to embody the principle of equality is also required special measures (affirmative action) aimed at specific communities. Affirmative action is a distinction that should not be considered as discriminatory acts. In addition to the completion of the root of the problem of racial discrimination, therefore to make sense of justice embodied in the legal system integrative and the availability of a comprehensive enforcement mechanism is a necessity in understanding of constitutionalism.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Rini
Abstrak :
Sebagai sebuah negara besar, Indonesia harus menerima perbedaan dan keragaman sebagai sebuah berkah. Perbedaan fisik dan budaya adalah asset. Keragaman tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk saling menjatuhkan dan melanggar hak asasi manusia. Dalam kurun waktu puluhan tahun, warga etnis Tionghoa selalu menjadi sorotan tajam di negeri ini. Mereka sering dipersulit saat mengurus berbagai dokumen kewarganegaraan, disudutkan, dan dijadikan kambing hitam ketika masalah-masalah berbau rasialis muncul di negeri ini. Melalui Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 lah pertama kalinya SBKRI diatur dan ternyata menjadi kewajiban bagi warga etnis Tionghoa untuk mendapatkan pelayanan publik. Hal ini menjadi suatu perlakuan yang diskriminatif bagi mereka. Ratifikasi Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan pada 11 Juli 2006 oleh DPR dianggap bersejarah karena undang-undang ini menggantikan undang-undang kewarganegaraan yang sudah berumur 48 tahun. Undang-undang kewarganegaraan yang baru dianggap lebih manusiawi dan memuat aspirasi warga etnis Tionghoa untuk diperlakukan sama dengan warga negara yang lain. Memang, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak mengatur mengenai SBKRI sebagai bukti kewarganegaraan secara khusus, akan tetapi bila ditafsirkan dari norma yang terkandung di dalamnya, pemaknaan ?orang-orang bangsa Indonesia asli‟, maka secara jelas undang-undang ini mengandung konsep natural born citizenship. Dengan demikian, warga keturunan Tionghoa merupakan warga Indonesia asli yang tidak memerlukan bukti kewarganegaraan, sebagaimana WNA yang melakukan naturalisasi. Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data dengan menggunakan metode wawancara dan studi dokumen. Studi dokumen tersebut diperoleh dari sejumlah fakta atau keterangan yang terdapat di dalam dokumen, buku-buku, artikel-artikel, dan perundang-undangan yang terkait dengan topik penelitian. Penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa SBKRI tidak lagi valid setelah Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 terbit hanya saja dalam prakteknya masih ada warga etnis Tionghoa yang harus menyertakan SBKRI ketika mengurus dokumen kewarganegaraan dengan berbagai alasan. ......As a large country, Indonesia should accept difference and diversity as a blessing. Physical and cultural differences are assets. Diversity should not be used as an excuse to bring down each and violate human rights. In a period of decades, ethnic Chinese have always been under the spotlight in this country. They are often compounded when arranging various documents of citizenship, cornered, and scapegoats when problems arise smelling racist in this country. Through Law No. 62 of 1958, SBKRI for the first time set and turned out to be an obligation for citizens of ethnic Chinese to public service. This becomes a discriminatory treatment to them. Ratification Law No. 12 of 2006 concerning citizenship on July 11, 2006 by the House of Representatives is considered historic because this law replaces legislation citizenship 48 years old. Citizenship legislation recently considered more humane and load aspirations of ethnic Chinese to be treated equally with other citizens. Indeed, Law No. 12 of 2006 on Citizenship of the Republic of Indonesia does not regulate SBKRI as proof of citizenship in particular, but when interpreted from the norms contained in them, meaning 'people of Indonesia native', then clearly the law this contains the concept of natural born citizenship. Thus, an ethnic Chinese Indonesian citizens who do not require the original proof of citizenship, as well as foreigners who commit naturalization. In this study, the writers collected data using interviews and document research. The study documents obtained from a number of facts or information contained in the documents, books, articles, and legislation related to the research topic. The writer can conclude that SBKRI is no longer valid after Law No. 12 of 2006 published, but the reality is there are people who still need SBKRI when issuing citizenship documents with a variety of reasons.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gian Kartasasmita
Abstrak :
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami fenomena kekerasan yang kerapkali dialami etnis Tionghoa sebagai bentuk diskriminasi rasial dan politik ketika terjadinya krisis ekonomi dan sosial di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode sejarah lisan sebagai upaya mengkonstruksi pengalamanpengalamn dan suara-suara kelompok minoritas yang terlupakan oleh sejarah. Melalui kerangka teori interpretasi Paul Ricoeur, peneliti menyusun dan mengolah data dengan menggunakan teori Rene Girard mengenai kambing hitam dan teori Anthony Giddens mengenai dualitas struktur. Hasil analisa wawancara berdasarkan kesaksian-kesaksian yang diperoleh dari 8 etnis Tionghoa yang juga merupakan korban penjarahan dan pembakaran dan saksi mata, menunjukkan bahwa ketika kondisi sosial dan ekonomi semakin memburuk ditambah dengan ketidakstabilan situasi politik menjelang lengsernya Presiden Soeharto, kelompok minoritas menjadi korban dari kekuasaan segilitir elit politik yang ingin mempertahankan kekuasaannya. Para korban maupun saksi mata merasakan dan menyaksikan bagaimana usaha dan kerja keras mereka hancur seketika. Kerugian materi tidaklah sebanding dengan perasaan takut dan syak wasangka akan kemungkinan terulangnya aksi kekerasan yang sama di kemudian hari. Penelitian ini memperlihatkan bagaimana secara sistematis etnis Tionghoa dikorbankan dan bagaimana praktek rasisme secara struktural saling berkaitan dan berhubungan dalam sebuah narasi sejarah.
ABSTRACT
The aim of the study is to comprehend the act of violence which occurs most frequently towards ethnic Chinese as a form of racial and political discrimination in time of great economy and social crisis. With oral history as the research methodology, this study attempts to reconstruct personal experiences from the voices of the forgotten into a historical narration. Using the theoretical framework of interpretation by Paul Ricoeur, the research analyzes the data using Rene Girard theory on scapegoat and Anthony Giddens? on duality of structure. Based on the testimonies gathered from 8 victims and eyewitnesses of ethnic Chinese, it can be concluded that as the crisis hit the nation, they fall victims mainly of economic and political interests by the ruling elite.As the victims and eyewitnesses watch their life work being destroyed by the angry crowd, they realize how fragile their lives are and how uncertain the future can be for them. The study demonstrates how ethnic Chinese are systematically persecuted and how structural racism inextricably intertwined in the historical narration.
Depok: 2011
D1172
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library