Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Novan Ivanhoe
Abstrak :
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan dan menjelaskan secara teoritis dan empiris fenomena perubahan Strategi Keamanan NATO setelah terjadinya disintegrasi Uni Soviet dan perubahan sistemik di Eropa Timur.

Terdapat tiga variabel yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini, yaitu: Disintegrasi Uni Soviet dan Perubahan Sistemik di Eropa Timur sebagai variabel pengaruh dan Strategi Keamanan NATO sebagai variabel terpengaruh.

Pengertian disintegrasi adalah proses perpecahan suatu negara menjadi berbagai negara yang lepas dari pemerintahan pusat. Disintegrasi Uni Soviet diawali dengan melemahnya kekuasaan pusat sebagai akibat dari kebijaksanaan Mikhail Gorbachev yang menghembuskan angin keterbukaan dan kebebasan di nagara itu. Kudeta yang terjadi pada bulan Agustus 1991 oleh kelompok radikal konservatif telah mernpercepat proses disintegrasi.

Eropa Timur mencakup semua negara yang berada di sebelah timur Jerman sampai ke pegunungan Ural di Rusia dimana sebagian besar merupakan anggota Pakta Warsawa. Eropa Timur merupakan suatu wilayah dimana telah terjadi perubahan mendasar dan secara menyeluruh pada sistem politik dan pemerintahannya.

NATO adalah organisasi atau aliansi militer yang berdiri pada tahun 1949 sebagai sarana untuk menjamin keamanan dan stabilitas kawasan melalui tindakan bersama sesuai dengan Piagam Perjanjian Atlantik Utara. Aliansi militer ini ditujukan untuk menangkal ancaman militer Uni Soviet dengan memadukan kekuatan konvensional dan nuklir guna melindungi negara-negara Eropa Barat.

Penelitian dilakukan melalui metode deskriptif - analisis yang bertujuan untuk mencari keterhubungan antara dua variabel independen dan variabel dependen. Untuk menunjang kebutuhan pengkajian tersebut di atas, dipergunakan teknik pengumpulan data dengan carra riset kepustakaan. Penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa disintegrasi Uni Soviet dan perubahan sistemik di Eropa Timur mempengaruhi perubahan strategi keamanan NATO.
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Binsar Hatorangan
Abstrak :
Gerakan separatis di Papua kini menjadi isu yang belum menemukan bentuk solusi yang dilandasi suatu strategi yang komprehensif dan bersifat dinamis dalam konteks menyesuaikan dengan perkembangan di Papua. Di sisi yang lain, bila tidak ditangani dengan segera maka dapat menjadi bom waktu dan ancaman disintegrasi bagi keutuhan NKRI. Berbagai upaya kepolisian sudah dan masih terus dilakukan guna menanggulangi separatisme kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua. Brimob sebagai garda terdepan Polri dalam penanganan gangguan keamanan yang bersifat kontijensi dituntut harus optimal dalam penggunaan pendekatan-pendekatan penanggulangan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) ini, khususnya pendekatan intelijen. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah sejauh mana peran dan pemanfaatan penggunaan intelijen oleh Brimob Polri dalam upaya penanggulangan separatisme di Papua dan langkah-langkah optimalisasi peran tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan wawancara kepada sejumlah informan kunci dan data dianalisis dengan menggunakan metode reduksi. Hasil dari penelitian yaitu: (1) Dalam penanganan Kelompok Kriminal Bersenjata di Papua, setiap fungsi pada tubuh Polri memiliki perannya masing-masing namun saling berkesinambungan satu sama lain; (2) Dukungan informasi intelijen bagi pergerakan pasukan Brimob yang bertugas dalam penanganan Kelompok Kriminal Bersenjata di Papua sudah baik namun dirasa belum maksimal dan (3) Adanya keengganan dalam tubuh Polri dan Brimob untuk mempertahankan dan mengembangkan ketangkasan maneuver lapangan yang secara dramatis berujung kepada penurunan ketangkasan daya tembak, daya maneuver dan daya jelajah pasukan Brimob khususnya di medan yang bergunung dan berbukit. ......The separatist movement in Papua is now an issue that has not yet found a solution based on a comprehensive and dynamic strategy in the context of adapting to developments in Papua. On the other hand, if it is not handled immediately, it can become a time bomb and threat of disintegration for the integrity of the Republic of Indonesia. Various police efforts have been and are still being made to tackle the separatism of armed criminal groups (KKB) in Papua. Brimob as the front line of the National Police in handling contingent security disturbances is demanded to be optimal in using these approaches to tackle the Armed Criminal Group (KKB), especially the intelligence approach. This study aims to examine the role and use of intelligence by Brimob Polri in countering separatism in Papua and the steps to optimize this role. This study used a qualitative approach by conducting interviews with a number of key informants and the data were analyzed using the reduction method. The results of the research are: (1) In handling the Armed Criminal Group in Papua, each function within the National Police has its own role but is mutually sustainable; (2) Intelligence information support for the movement of Brimob troops tasked with handling the Armed Criminal Group in Papua is good but is not maximal and (3) Reluctance within the National Police and Brimob to maintain and develop dexterity in field maneuvers which dramatically leads to a decrease in dexterity. firepower, maneuverability and cruising range of Brimob troops, especially in mountainous and hilly terrain.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Said D.
Abstrak :
ABSTRAK
Sulawesi Tenggara adalah salah satu provinsi yang ke-25 di Indonesia. Provinsi ini terletak di Pulau Sulawesi bagian Tenggara yang melepaskan diri dari Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara berdasarkan Peraturan Pemerintah Pusat No. 2 tahun 1964 disahkan dengan Undang-undang No. 13 tahun 1964. Peresmiannya dilaksanakan pada tanggal 27 April 1964.

Pada tahun 1952 Sulawesi Tenggara masih berstatus sebagai Kabupaten (Dati II) yang berada dalam wilayah Pemerintahan Propinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulselra). Ketika itu Kabupaten Sulawesi Tenggara berkedudukan di Bau-Bau meliputi empat wilayah kewedanaan -- Kewedanaan Buton, Kendari, Muna, dan Kolaka. Pada tahun 1960 Kabupaten Sulawesi Tenggara dimekarkan menjadi empat Daerah Tingkat II --yakni masing-masing kewedanaan ditingkatkan statusnya menjadi kabupaten.

Daerah Sulawesi Tenggara dihuni oleh empat kelompok etnik asli Buton, Muna, Tolaki, dan Moronene. Bugis-Makassar adalah etnik pendatang terbanyak jumlahnya dan telah lama menetap di daerah ini. Keberadaan etnik Bugis-Makassar di daerah ini sejak masa kerajaan-kerajaan tradisional, sehingga sudah sulit memisahkan antara mereka dengan etnik asli.

Sulawesi Tenggara ketika bergabung dengan Sulawesi Selatan dianggap sebagai daerah belakang yang kurang di perhatikan. Pembangunan terbengkalai, sehingga ketinggalan dibanding dengan daerah lainnya. Bahkan oleh pemerintah Sulawesi Selatan dijadikan sebagai daerah pembuangan untuk menghukum orang-orang yang tidak loyal kepada kebijakan pemerintah.

Kondisi Sulawesi Tenggara yang demikian itu juga didorong oleh permasalahan yang dihadapi Pemerintah pada tahun 1950-an berkembangnya isyu otonomi daerah dan ketidak berhasilan pembangunan menjadi tema sentral yang bergema di daerah. Bahkan permasalahan tersebut menjadi alasan bagi luar Jawa mendesak Pemerintah Pusat untuk menuntaskan otonomi daerah. Kesempatan ini dimanfaatkan pula oleh masyarakat Sulawesi Timur untuk mengajukan usul kepada Pemerintah Pusat agar Sulawesi Timur yang meliputi bekas Kewedanaan Buton, Muna, Kendari, Kolaka, Bungku/Mori dan Luwuk Banggai menjadi satu provinsi.

Untuk menanggapi permasalahan tersebut Pemerintah Pusat mangeluarkan kebijakan untuk mengadakan pemekaran provinsi di Indonesia yang berlangsung antara tahun 1950-1960. Namun pemekaran provinsi selama kurun waktu itu belum termasuk dengan permohonan masyarakat Sulawesi Timur. Tidak ditanggapinya keinginan masyarakat Sulawesi Timur mendorong masyarakat daerah tersebut yang berada di Makassar (sekarang Ujung Pandang) ikut mempelopori demonstrasi-demonstrasi mengajukan tuntutan kepada Pemerintah Pusat.

Pada tanggal 17 Pebruari 1957 di Makassar tokoh masyarakat, mahasiswa, pemuda, dan pelajar asal Sulawesi Timur ---Baton, Muna, Kendari, Kolaka, Bungku/Mori dan Luwuk/Banggai -- yang menetap di kota Makassar mengadakan Rapat di Gedung SMEP Negeri (sekarang SMA Negeri I ) Jalan Bawakaraeng No. 39 Makassar. Tujuan rapat itu adalah untuk memberikan tanggapan atas demonstrasi-demonstrasi yang diprakarsai oleh mahasiswa asal Sulawesi Timur yang berlangsung pada awal bulan Pebruari 1957.

Ternyata kehendak pemuda, pelajar dan mahasiswa itu mendapat dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat Sulawesi Timur. Dalam rapat itu sekaligus membentuk Panitia Penuntut Provinsi Sulawesi Timur (PPPST) yang diketuai Ngitung dilengkapi dengan wakil ketua, sekretaris dan anggota. Pembentukan panitia ini bertujuan agar perjuangan penuntutan itu terorganisasi dan secara terus-menerus mendesak Pemerintah serta mengiapkan bahan-bahan yang berkaitan dengan data-data yang dibutuhkan Pemerintah Pusat tentang Sulawesi Timur.

Keinginan masyarakat Sulawesi Timur, ternyata tidak direstui oleh Pemerintah Sulawesi Selatan dan Kodam XIV Hasanuddin di Makassar. Penolakan itu disebabkan bahwa daerah Sulawesi Timur belum layak untuk dijadikan satu provinsi, terutama dalam jumlah penduduk dan sumber daya manusianya. Juga dari segi keamanan daerah ini rawan karena menjadi pusat gerilya DI/TIl Pimpinan Abdul Kahar Mudzakar.

Ketidak relaan Sulawesi Selatan terhadap keinginan masyarakat Sulawesi. Timur, pada akhirnya mengundang timbulnya konflik kepentingan. Konflik semakin serius ketika kalangan masyarakat Sulawesi Timur timbul Juga sekat-sekat social yang bersumber dari kepentingan politik dan etnik. Sehingga konflik yang terjadi tidak hanya mengacu pada konflik eksteren, tetapi Juga konflik interen.

Setelah melalui perjuangan selama 14 tahun, akhirnya keinginan itu direalisasikan pada tahun 1964. Namun yang direstui adalah Provinsi Sulawesi Tenggara wilayahnya meliputi Kabupaten Sulawesi Tenggara -- Kewedanaan Buton, Muna, Kendari, dan Kolaka. Tidak termasuk Bungku/Mori dan Luwuk/Banggai, kedua wilayah ini masuk dalam Pemerintahan Provinsi Sulawesi Tengah.

Sejak berdirinya Provinsi Sulawesi Tenggara, ternyata tidak dapat mengakhiri konflik lama, tetapi justeru menjadi semakin berlanjut. Konflik-konflik kepentingan susul menyusul terjadi yang bersumber dari kepentingan masing-masing etnik. Hingga sekarang permasalahan tesebut sering muncul ke atas permukaan, terutama penentuan dalam pengisian jabatan dan posisi penting dibidang pemerintahan selalu rnengundang pro dan kontra, karena masing-masing etnik mempertahankan keinginannya untuk menempatkan orang-orang yang berasal dari daerahnya.
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Putri Anggraweni
Abstrak :
Tablet cepat hancur merupakan suatu bentuk sediaan padat yang larut atau hancur dalam 1 menit dalam rongga mulut dengan adanya air liur tanpa minum atau dikunyah. Penelitian ini bertujuan untuk membuat dan mengkarakterisasi sediaan tablet cepat hancur ketoprofen menggunakan maltodekstrin suksinat sebagai eksipien. Maltodekstrin suksinat yang diperoleh dari suksinilasi maltodekstrin menggunakan anhidrida suksinat memiliki derajat substitusi 0,18 ± 0,01; pH (5% larutan dalam akuadest) 6,76 ± 0,03; kadar air 7,2275 ± 0,21%; ukuran partikel 355 – 710 μm; laju alir 4,51 ± 0,301 g/detik; indeks mengembang selama 4 menit 17,99%; viskositas (25%) 29,14 cps. Tablet cepat hancur yang menggunakan maltodekstrin suksinat 25% memberikan bobot 98,70 ± 3,91 mg; ketebalan 2,99 ± 0,04 mm; diameter 6,08 ± 0,02 mm; kekerasan 2,75 ± 0,54 Kp; keregasan 0,60 ± 0,12%; waktu hancur 15,67 ± 1,37 detik; kadar 104,53 ± 0,002%; pelepasan obat 83,57 ± 8,20% dalam 20 menit; fluks penetrasi rata-rata 0,5473 μg/cm2.menit, sesuai uji kesukaan 70% responden menyukai penampilan tablet; 6,67% responden menyukai rasa tablet serta waktu hancur rata-rata sebesar 225,47 ± 16,16 detik. Dapat disimpulkan bahwa eksipien maltodekstrin suksinat dapat digunakan sebagai eksipien utama tablet cepat hancur.
Fast disintegration tablet was the solid dosage form which dissolve or disintegrate in 1 minute with saliva without adding water or chewing. The purposes of this research were to prepare and characterize of ketoprofen fast disintegration tablet containing maltodextrin succinate as excipient. Maltodextrine succinate was obtained from succinylation of maltodextrine using succinate anhidride. The maltodextrine succinate had the parameters as follows: degree of substitution, 0.18 ± 0.01; pH (5% in aquadest), 6.76 ± 0.03; moisture content, 7.2275 ± 0.21%; particle size, 355-710 μm; flow rate, 4.51 ± 0.31 g/second; swelling index 17.99% and viscosity (25%) 29.14 cps. The fast disintegration tablet that contain maltodextrine succinate 25% had weight 98.70 ± 3.91 mg; thickness 2.99 ± 0.04 mm; diameter 6.08 ± 0.02 mm; hardness 2.75 ± 0.54 Kp; friability 0.60 ± 0.12%; disintegration time 15.67 ± 1.37 second; assay 104.53 ± 0.002%; in vitro drug release, 20 minutes, 83.57 ± 8.20%; penetration flux 0.5473 μg/cm2.minute. According to hedonic test, 70% like the tablet appearence, 6.67% like the flavour, and disintegration time were 225.47 ± 16.16%. The result of this study showed that maltodextrine succinate can be used as excipient for fast disintegration tablet.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
T38953
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Hadara
Abstrak :
Informasi tentang DI-TII Kahar Muzakkar yang beroperasi dan bergerilya di kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya, secara inplisit dan singkat, terdapat dalam tulisan SEM DAM XIV/HN (1964), Dinas Sejarah Militer TNI-AD (1979), Cornelis van Dijk (1983), Barbara Sillars Harvey (19B9), Anhar Gonggong (1992), dan M. Bahar Mattalioe (1994). Bagian terbesar dan utama dari tulisan mereka, secara spatial, masih terbatas di Sulawesi Selatan, atau memposisikan gerilyawan yang beroperasi di Sulawesi Tenggara dalam kerangka pemberontakan DI-TlI Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Mengapa pemberontakan merembet ke Sulawesi Tenggara dan terkonsentrasi di kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya serta bagaimana aktivitasnya di sana, belum dijelaskan secara tuntas dan memadai. Selain itu, tulisan mereka masih terfokus pada aspek latar belakang pemberontakan dengan tekanan utama diarahkan pada figur pemimpinnya, Kahar Muzakkar, serta fenomena gerilya darat. Bagaimana dampaknya, terutama perubahan mendadak dalam struktur sosial pemukiman dan struktur sosial ekonomi, dan gerilya laut yang dijalankan kaum pemberontak, masih terabaikan. Selain mencoba mengatasi masalah tersebut, penelitian ini dilakukan pula sebagai bagian dari upaya untuk memenuhi keinginan penulisan sejarah tanah air Indonesia yang sesungguhnya, yang mencoba menjelaskan peristiwa di darat dan di laut secara seimbang dan proporsional, sebagai konsekwensi logis dari kondisi geografis Indonesia sebagai negara laut atau negara bahari terbesar di dunia. Ketersediaan sumber-sumber dalam bentuk arsip yang memadai dan dalam jumlah yang cukup besar, memungkinkan penggunaan metodologi (pendekatan) sejarah empiris dan individualis (Lloyd, 1993) dalam penelitian ini. Beberapa pendekatan dan teori yang menjadi rujukan untuk membantu menjelaskan masalah yang diteliti, adalah pendekatan sea systems (Braudel, 1971) dan heartsea (Lapian, 1996) saduran dari heartland yang dikembangkan oleh Mackinder, pendekatan sosial budaya pesse (Gonggong, 1992) dan teori solidaritas mekanik Durkheim (Johnson, 1988), teori hubungan otoritas dan konflik sosial Dahrendorf (Johnson, 19B6), serta teori collective action yang dikembangkan Tilly (1978). Disimpulkan bahwa sejak mula hingga berakhirnya pemberontakan, Sulawesi Tenggara dijadikan sebagai basis alternatif sesudah Sulawesi Selatan. Faktor-faktor internal dan eksternal yang mengakibatkan timbulnya insolidaritas dan desintegrasi pihak pemberontak di Sulawesi Selatan serta daya tarik geografi, ekonomi, sosial budaya, agama, sejarah, dan politik menjadi penyebab utama merembetnya pemberontakan ke Sulawesi Tenggara yang kemudian memperkuat posisinya di kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya. Dari aspek geografi, Sulawesi Tenggara memiliki hutan tropis yang sangat luas, morfologi bergunung dan berbukit-bukit dengan tingtingkat kepadatan penduduk yang relatif sangat kecil. Kondisi demikian sangat menguntungkan bagi perang gerilya. Sementara perairan Tiworo dan sekitarnya merupakan "laut inti" (heartsea) dalam "sistem laut" (sea systems) dan selat serta penghubung antara wilayah daratan dan wilayah kepulauan di Sulawesi Tenggara. Penguasaan kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya menjadi batu loncatan untuk menguasai seluruh daratan dan kepulauan Sulawesi Tenggara. Dari segi ekonomi, daratan Sulawesi Tenggara dan kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya memiliki sumber daya alam yang sangat penting, umpamanya kopra, ratan, kayo, tambang nikel dan aspal yang didukung oleh tradisi pelayaran dan perdagangan di wilayah pesisir dan kepulauan. Dari aspek sosial budaya, lebih dari separuh kawasan (barat dan utara) perairan Tiworo didominasi oleh etnis Bugis-Makassar. Kehadiran gerilyawan dianggap sebagai "sekampung" (pesse) oleh mereka. Sementara dari aspek sejarah dan politik, terutama Kolaka, adalah pusat pergerakan pemuda pro kemerdekaan yang terhimpun dalam berbagai organisasi kelasykaran dan sebelum terintegrasi ke dalam wilayah Daerah (Swatantra) Sulawesi Tenggara, adalah bagian dari pemerintahan Afdeling Luwu dan basis Muhammadiyah dan PSII dua organisasi Islam yang mempunyai ikatan historis-kultural dengan pihak pemberontak. Selama pergolakan, berlangsung secara efektif permintaan uang dari rakyat, yang mereka namakan "sumbangan atau sokongan perjuangan" serta jenis pungutan lain, penguasaan sumber-sumber ekonomi terpenting, merekrut sumber daya manusia, berlangsung apa yang disebut "perdagangan gelap" (smokkel) dan berbagai fenomena gerilya laut misalnya penghadangan dan perampokan perahu, mobilitas antar pulau dan antar pelabuhan. Kehadiran gerilyawan berdampak terhadap perubahan mendadak struktur sosial pemukiman dan struktur sosial ekonomi yang kemudian bermuara pada kemiskinan struktural dan kelaparan di desa-desa terpencil, seraya -- kendatipun tidak secara langsung -- menimbulkan gerilyawan liar anggota Pasukan Djihad Konawe (PDK), akan tetapi pasukan tersebut kemudian "dikoordinasi secara imperatif" (imperatively coordinated) oleh pihak pemerintah dan TNI untuk sama-sama menghadapi pemberontakan DI-TII atau sama-sama bertanggung jawab untuk ikut mengatasi masalah keamanan Sulawesi Tenggara. Tampaknya gerilyawan yang beroperasi di kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya termasuk dalam kategori "gerakan kolektif" (collective action), kendatipun terdapat individu tertentu yang mempunyai perhatian dan kepentingan yang berbeda. Kehancuran total yang disebabkan oleh aktivitas gerilyawan selama lebih kurang 15 tahun, mendorong Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara mengajukan proposal rehabilitasi besar-besaran kepada Pemerintah Pusat pada tahun 1965, terutama ditujukan kepada wilayah-wilayah yang selama sepuluh tahun terakhir dilanda kekacauan. Akan tetapi gagasan rehabilitasi baru mulai terwujud melalui program resettlement desa dan transmigrasi sebagai main program lima tahun mendatang (1967-1971). Sejak itu mulailah dilakukan eksodus dan restrukturisasi besar-besaran ke daerah-daerah yang dilanda kekacauan, terutama kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya.
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T2328
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Zaki
Abstrak :
Tablet cepat hancur merupakan bentuk sediaan farmasi yang sedang berkembang saat ini karena karakteristik yang dimilikinya, yaitu dapat hancur di rongga mulut tanpa perlu dikunyah dan tanpa adanya bantuan air tambahan. Komponen penting dalam tablet cepat hancur adalah penghancur. Maltodekstrin dan pragelatinisasi pati singkong (PPS) merupakan eksipien yang dapat berfungsi sebagai penghancur. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan tablet cepat hancur menggunakan maltodekstrin DE 10-15 dan pragelatinisasi pati singkong dalam berbagai konsentrasi sebagai eksipien. Pati singkong dipragelatinisasikan hingga didapat PPS. Selanjutnya PPS dicampurkan dengan maltodektrin DE 10-15 untuk dibuat menjadi tablet cepat hancur dengan metode granulasi basah. Evaluasi tablet menunjukkan bahwa formula F yang mengandung maltodekstrin DE 10-15 sebesar 40% dan PPS sebesar 10% memiliki kriteria yang baik sebagai tablet cepat hancur. Formula F memiliki kekerasan 3,39 kp, keregasan 0,74%, waktu pembasahan 7,87 detik dan waktu hancur 38,55 detik. ......This study developed a novel fast disintegrating tablets. Maltodextrin DE 10-15 and pregelatinized cassava starch (PCS) with various concentration were used as tablet disintegrant. The PCS was obtained from pregelatinized process. The resulting PCS was then mixed with maltodextrin DE 10-15. The resulting mixture was then formulated into fast disintegrating tablet using wet granulation method. The obtained tablets were then evaluated. The evaluation showed that formula F which contained 40% maltodextrin DE 10-15 and 10% PCS have the best characteristic as fast disintegrating tablet. Formula F exhibited 3,39 kp of hardness, 0,74% of friability, 7,87 seconds of wetting time and 38,55 seconds of disintegration time.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2011
S787
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Amadea Ayu Ashira Putri
Abstrak :
Biji nangka yang kaya akan pati masih minim pemanfaatannya dalam industri farmasi. Berdasarkan penelitian sebelumnya, dinyatakan bahwa pati biji nangka berpotensi untuk digunakan sebagai eksipien dalam pembuatan sediaan farmasi yaitu sebagai pengikat dan penghancur, tetapi tidak ditemukan data yang cukup terkait penggunaannya sebagai superdisintegran dalam pembuatan tablet cepat hancur. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh eksipien pati biji nangka (JFSS) dan pati biji nangka tertaut silang (CL-JFSS) serta menganalisis pengaruh reaksi taut silang pada pati biji nangka terhadap kemampuan pembengkakan serta waktu hancur tablet isoniazid. Pati diisolasi melalui ekstraksi secara basa dan kemudian dilakukan reaksi taut silang dengan menggunakan sodium trimetafosfat (STMP) sebagai agen penaut silang dengan konsentrasi 0,1% dan 10%. Konfirmasi atas terjadinya reaksi taut silang pada tepung pati ditentukan dengan FTIR dan derajat substitusi fosfat (DS). Sifat fisikokimia dan fungsional pati juga dievaluasi. Tablet cepat hancur (TCH) isoniazid dibuat dengan metode kempa langsung dan dilakukan evaluasi tablet pada umumnya. Pati biji nangka yang diperoleh memiliki kandungan amilosa sekitar 29,5%. Perubahan pada spektrum inframerah serta nilai DS sebesar 0,006 dan 0,0254 untuk CL-JFSS-0,1%STMP dan CL-JFSS-10%SMTP mengkonfirmasi bahwa telah terjadi reaksi taut silang. Nilai kemampuan pembengkakan untuk JFSS, CL-JFSS-0,1%STMP, dan CL-JFSS-10%STMP masing-masing adalah sebesar 198,32%±2,08%; 198,37%±1,46%; dan 130,22%±0,61% dari berat awal sehingga diketahui bahwa reaksi taut silang belum mampu meningkatkan kemampuan pembengkakan tepung pati. Waktu hancur TCH isoniazid yang menggunakan CL-JFSS-10%STMP lebih lambat dibanding tablet yang menggunakan JFSS. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa reaksi taut silang pada pati biji nangka belum mampu meningkatkan kecepatan waktu hancur TCH. ......Jackfruit seeds, rich in starch, have potential to be used in the pharmaceutical industry as binder and disintegrant, but still minimally utilized as mentioned in previous research. However, there is limited data on its use as a superdisintegrant in fast disintegrating tablets (FDT). This study aimed to obtain excipients from jackfruit seed starch (JFSS) and cross-linked jackfruit seed starch (CL-JFSS) and analyze the effect of crosslinking reaction on starch's swelling ability and disintegration time of isoniazid FDT. Starch was isolated from jackfruit seed using alkaline extraction. The crosslinking was performed using 0,1% and 10% sodium trimetaphosphate (STMP) as crosslinking agent. FTIR and the degree of phosphate substitution were used to confirm the crosslinking reaction. Additionally, the physicochemical and functional properties of starch were also evaluated. Isoniazid FDT formulations were prepared using a direct compression method. Jackfruit seed starch which was obtained has an amylose content of around 29.5%. Changes in the infrared spectrum and DS values of 0.006 and 0.0254 for CL-JFSS-0.1%STMP and CL-JFSS-10%SMTP confirmed that a cross-linked reaction had occurred. Swelling ability values for JFSS, CL-JFSS-0.1%STMP, and CL-JFSS-10%STMP were respectively 198.32%±2.08%; 198.37%±1.46%; dan 130.22%±0.61% times the initial weight. The crosslinking reaction had not yet increase starch flour's swelling ability. Evaluation of FDT using JFSS and CL-JFSS as superdisintegrant resulted in a quick disintegration time of 5-8 seconds, fulfilling the disintegration time requirement of FDT. The isoniazid FDT using JFSS and CL-JFSS shares similar characteristics as FDT using crospovidone as its superdisintegrant. Thereby, it can be concluded that crosslinking reaction in jackfruit seed starch had not yet improve the disintegration time of FDT.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library