Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agill Agassi Tsalitsa
"Implantasi stent koroner yang tidak adekuat berhubungan dengan terjadinya major adverse cardiac event (MACE). Prosedur post dilatasi pasca implantasi stent terbukti memberikan ekspansi stent yang optimal. Namun, studi mengenai aplikasi strategi ini dalam intervensi koroner perkutan primer (IKPP) masih terbatas. Penelitian ini bertujuan mengetahui luaran klinis dari post dilatasi pasca implantasi stent pada pasien infark miokard akut elevasi segmen ST (IMA-EST) yang menjalani IKPP dalam kurun waktu satu tahun. Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif. Luaran klinis primer berupa MACE yang terdiri dari kejadian infark miokard berulang, total repeat revascularization, kematian kardiovaskular dan kematian semua sebab. Luaran klinis sekunder berupa trombosis stent. Total 288 pasien yang dianalisis (130 kelompok post dilatasi dan 158 kelompok tanpa post dilatasi). Tanpa post dilatasi memiliki perbedaan bermakna dengan angka kejadian MACE yang lebih tinggi (adjusted OR 1,82 (95% IK 1,003 – 3,32, p 0,049), kematian kardiovaskular, (adjusted OR 5,29 (95% IK 1,4 – 19,2, p 0,012) dan kematian semua sebab (adjusted OR 4,05 (95% IK 1,45 – 11,3, p 0,007) dalam waktu satu tahun. Proporsi juga meningkat untuk kejadian infark miokard berulang (6,9% vs 11,4%; p 0,19) walaupun tidak bermakna secara statistik. Post dilatasi pasca implantasi stent menunjukkan luaran klinis yang lebih baik pada tindakan IKPP.

Inadequate coronary stent implantation is associated with a major adverse cardiac event (MACE). Post-dilation procedure after stent implantation has been shown to provide optimal stent expansion. However, studies regarding this application in primary percutaneous coronary intervention (PPCI) are still limited. This study aims to investigate clinical outcomes of post-dilatation after stent implantation in patients with ST segment elevation myocardial infarction (STEMI) undergoing PPCI within one year. This study is a retrospective cohort study. Primary clinical outcome is MACE which consists of recurrent myocardial infarction, total repeat revascularization, cardiovascular death and all causes of death. Secondary clinical outcome is stent thrombosis. A total of 288 patients were analyzed (130 post-dilatation groups and 158 without post-dilatation groups). Without post-dilatation, there was a significant difference with a higher incidence of MACE (adjusted OR 1.82 (95% CI 1.003 - 3.32, p 0.049), cardiovascular death, (adjusted OR 5.29 (95% IK 1.4 - 19.2, p 0.012) and all-cause mortality (adjusted OR 4.05 (95% CI 1.45 - 11.3, p 0.007) within one year. Proportion also increased for the incidence of recurrent myocardial infarction (6.9 % vs 11.4%; p 0.19) although not statistically significant. Post-dilatation procedures after stent implantation showed better clinical outcomes in patients undergoing PPCI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M. Julwan Pribadi
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T59026
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juju Juariah
"Kista duktus koledokus merupakan penyakit yang jarang terjadi, penyebabnya bisa kongenital ataupun didapat, berupa dilatasi kistik dari traktus bilier atau intrahepatik. Trias gejala klinis tampak: nyeri perut, jaundice, dan adanya massa di perut. Sekitar 20-30% semua gejala klinis tersebut bisa muncul. Di Indonesia sendiri, data epidemiologi mengenai kista duktus koledokus dan atresia bilier masih belum banyak dilaporkan. Namun, pada studi yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, atresia bilier merupakan penyebab kolestasis obstruktif tersering
(>90%). Berdasarkan hasil studi tersebut, terdapat 60 pasien dengan atresia bilier yang berobat ke Departemen Ilmu kesehatan Anak RS Cipto Mangunkusumo dalam 12 tahun terakhir (tahun 1998-2009). Dan dari total pasien tersebut, hanya 20% pasien yang berobat pada usia kurang dari 2 bulan.
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah pembedahan laparatomi. Nyeri merupakan masalah keperawatan utama yang umumnya dikeluhkan oleh anak-anak post
laparatomi. Nyeri yang tidak diatasi dengan baik akan mengakibatkan gangguan psikologis maupun secara fisik yang dapat menyebabkan trauma pada anak.
Penatalaksanaan nyeri yang dilakukan pada An. M dengan pemberian posisi semi fowler untuk mengurangi tegangan pada insisi dan organ abdomen yang membantu
mengurangi nyeri serta meningkatkan rasa kontrol anak dalam mengatasi nyeri. Pemberian posisi semi fowler efektif dalam mengurangi keluhan nyeri pada An. M, menurunkan skala nyeri dari 5 menjadi 2 dalam 3 hari.

Choledochal duct cyst is a rare disease, the cause can be congenital or acquired, in the form of cystic dilatation of the biliary tract or intrahepatic. The triad of clinical symptoms appears: abdominal pain, jaundice, and a mass in the abdomen. About 20-30% of all these clinical symtoms can appear. In Indonesia alone, epidemiological data regarding common bile duct cysts and biliary atresia are still not widely reported. However, in a study conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital, biliary atresia was the most common cause of obstructive cholestasis (>90%). Based on the results of the study, there were 60 patients with biliary atresia
who went to the Department of Pediatrics at Cipto Mangunkusumo Hospital in the last 12 years (1998-2009). And of the total patients, only 20% of patients who seek treatment at the age of less than 2 months.
The treatment is laparotomy. Pain is a major nursing problem that is generally complained of by post-laparotomy children.Pain that is not handled properly will result in psychological and physical disturbances that can cause trauma to children. Pain management performed on An. M by giving the semi fowler position to reduce tension on the inciosion and abdominal organs which helps reduce pain and increases the child’s sense of control in dealing with pain. Giving a semo fowler’s position is effective in reducing pain complaints in An. M, reduced pain scale from 5 to 2 in 3 days.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hariindra Pandji Soediro
"Tujuan: Untuk mengetahui apakah pemberian natrium diklofenak 0.1% topikal sebelum pembedahan dapat mempertahankan dilatasi pupil selama pembedahan katarak dengan tehnik standar ekstraksi katarak ekstra kapsular (EKEK) dalam pembiusan lokal.
Subjek dan metode : Penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar ganda. 32 subjek yang memenuhi kriteria inklusi menjalani pembedahan katarak dengan implantasi lensa intraokular, mendapatkan natrium diklofenak 0.1% tetes mata atau plasebo, yang diberikan 2 jam sebelum operasi setiap 15 menit sebanyak 4 kali setetes. Semua subjek mendapatkan tiga tetes tropikamid 1%, dan setetes fenilefrine liidroklorida 10%. Lebar pupil horisontal diukur sehari sebelum operasi, segera setelah blefarostat terpasang, segera setelah selesai melakukan irigasi aspirasi sisa lensa, dan sehari setelah operasi.
Hasil: Lebar pupil sebelum operasi dan segera setelah blefarostat terpasang tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok. Lebar pupil setelah irigasi aspirasi sisa lensa pada kelompok diklofenak lebih lebar dari kelompok plasebo, dan secara statistik bermakna (p<00.1). Perubahan lebar pupil pada kedua kelompok berbeda bermakna (p<00.1) dimana perubahan lebar pupil kelompok diklofenak lebih sedikit dibandingkan kelompok plasebo. Lebar pupil sehari pasta pembedahan berbeda bermakna (p<0.05), dimana kelompok diklofenak mempunyai lebar pupil sedikit lebih lebar dibandingkan dengan kelompok plasebo.
Kesimpulan: Pemberian natrium diklofenak 0.1% tetes mata sebelum pembedahan efektif dalam mempertahankan dilatasi pupil selama pembedahan katarak dengan tehnik standar katarak ekstra kapsular dalam pembiusan lokal.
Kata kunci: Natrium diklofenak topikal - ekstraksi katarak ekstra kapsular - dilatasi - lebar pupil

Purpose: To determine whether pre-operative topical 0,1% Natrium diclofenac therapy could maintained pupillary dilation during cataract surgery using standard extracapsular cataract technique (ECCE) under local anesthetic.
Subject and methods: This study is a randomized, double-blinded clinical trial. Thirty two patients who met inclusion criteria and underwent cataract surgery with lens implantation were received either topical 0.1% natrium diclofenac or placebo, were given two hours pre-operatively every 15 minutes for four doses. All patients also received three doses of 1% tropicamide and single dose of 10% fenilefrine hidrochloride. Pupillary diameters horizontally was measured the day before surgery, immediately after blefarostat was attached, immediately after irrigation aspiration of lens material, and one day after surgery.
Results: Pupil size on the day before surgery and immediately after blefarostat was attached have no statistically different in both group. Pupil size immediately after irrigation aspiration in diclofenac group was larger compare to placebo, and statistically significant (p<0.O01). The change in pupil size was significantly different in both group (p<0.001), there being smaller decrease in diclofenac group compare with placebo group. Pupil size on one day after surgery was significantly different ( po0.05), where the diclofenac groups has slightly larger pupil.
Conclusions: Pre-operative 0.1% natrium diclofenac drops is effective in maintaining pupillary dilatation during cataract surgery using standard extracapsular cataract technique under local anesthetic.
Key words: topical sodium diclofenac- standard extracapsular cataract surgery-dilatationpupil size.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58769
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Nindita
"Latar belakang. Gagal ginjal terminal (GGT) atau penyakit ginjal kronik (PGK) stadium 5 merupakan masalah serius pada populasi anak dan dewasa, dengan insidens dan prevalensnya yang terus meningkat setiap tahun dan dapat menyebabkan komplikasi penyakit kardiovaskular. Kardiomiopati dilatasi (KMD) merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang dapat menyebabkan kematian pada anak dengan GGT. Prevalens KMD pada anak GGT cukup bervariasi, antara 2- 41%. Namun, saat ini studi tentang kejadian KMD pada anak GGT di Indonesia masih terbatas, terutama pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis. 
Tujuan. Mengetahui prevalens KMD dan faktor risiko yang berasosiasi dengan kejadian KMD, yaitu etiologi GGT, status nutrisi, anemia, hipertensi dan jenis dialisis pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). 
Metode. Desain studi potong lintang dilakukan di RSCM pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis selama periode 2017-2022 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan data dilakukan melalui penelusuran rekam medik. 
Hasil. Terdapat 126 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan jenis kelamin lelaki lebih banyak (59,5%), mayoritas usia di atas 5 tahun (98,4%), dengan median 12 tahun (10-15). Sebanyak 95,2% subjek adalah rujukan dari rumah sakit luar datang pertama kali ke RSCM dengan kegawatdaruratan dan membutuhkan dialisis segera. Prevalens KMD pada studi ini adalah 53,2%. Hasil analisis multivariat dengan regresi logistik menunjukkan anemia dan status nutrisi berasosiasi positif dengan kejadian KMD (OR 4,8, IK 95% 1,480-15,736, p=0,009) ; (OR 9,383, IK 95% 3,644-24,161, p=0,000). Tidak terbukti adanya hubungan etiologi PGK, hipertensi dan jenis dialisis dengan kejadian KMD. 
Kesimpulan. Prevalens KMD pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis di RSCM adalah 53,2%. Terdapat asosiasi positif antara anemia dan status nutrisi dengan kejadian KMD. Etiologi GGT, hipertensi, dan jenis dialisis tidak berasosiasi dengan kejadian KMD pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis.  

Background.  Kidney failure is a serious problem in children with the incidence and prevalence increasing every year, can cause cardiovascular disease. Dilated cardiomyopathy (DCM) is one of the cardiovascular disease can cause mortality in children with kidney failure. The prevalence varies between 2-44% and limited studies in Indonesia especially in children with kidney failure on dialysis. 
Objective. To determine the prevalence of DCM and risk factors in children with kidney failure on dialysis in Cipto Mangunkusumo hospital. The association of etiology of kidney failure, nutritional status, anemia, hypertention, and type of dialysis with DCM in children with kidney failure. 
Methods. A cross-sectional study among children with kidney failure according to the inclusion and exclusion criteria during 2017-2022 periode, in Cipto Mangunkusumo hospital. Collecting data using medical record. 
Result. There were 126 study subjects, with 59,5% male and 98,4% over 5 years old, the median is 12 years (10-15). The prevalence of DCM was 53.2%. The results of the multivariate analysis showed anemia and nutritional status were associated with the incidence of DCM, (OR 4.8, 95% CI 1.480-15.736, p=0.009); (OR 9.383, 95% CI 3.644-24.161, p= 0.000). There is no association between the etiology of kidney failure, hypertension and type of dialysis with DCM. 
Conclussion. The prevalence of DCM in children with kidney failure on dialysis was 53.2%. Anemia and nutritional status was associated with DCM in children with kidney failure on dialysis. The etiology of kidney failure, hypertension, and type of dialysis were not associated with DCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library