Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Efra Imanda Rosmaningtyas Santosa
"“Berkain Bersama” menjadi kampanye media sosial yang luas di kalangan anak muda Indonesia, mempromosikan kain sebagai bentuk pakaian tradisional Indonesia yang lebih beragam dan kreatif. Ditengah pemikiran bahwa trend “Berkain Bersama” menjadikan budaya berbatik lestari, @Sevarangln (2023) berpendapat dalam sebuah tweet bahwa komodifikasi tren yang meningkat menjadikan batik sebagai simbol elitisme. Tweet ini menghasilkan tanggapan-tanggapan yang signifikan, dengan persepsi positif dan negatif dari pengguna Twitter terhadap tren tersebut. Studi ini membahas premis bahwa kampanye media sosial dapat memperoleh reaksi positif dan negatif dari publik (Zhao et al., 2019). Dengan menggunakan metode yang terinspirasi dari etnografi digital, penelitian ini akan menganalisis pola umum yang muncul dalam respon para pengguna Twitter akan suatu tweet. Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk menentukan apakah konsep “Berkain Bersama” diasosiasikan dengan elitisme dalam persepsi publik, dan untuk menjelaskan potensi dampak identitas dan keragaman budaya pada wacana online.

“Berkain Bersama” became a vast social media campaign among young Indonesians, promoting kain as a more diverse and creative form of Indonesian traditional clothing. While some argue that the “Berkain Bersama” trend has helped to sustain batik culture, @Sevarangln (2023) suggested in a tweet that the trend's increasing commodification is leading batik to become a symbol of elitism. This tweet generated significant responses from Twitter users, with both positive and negative perceptions of the trend. This study concerns the premise that social media campaigns may earn positive and negative reactions from the public (Zhao et al., 2019). Using a method inspired by digital ethnography, the study will analyze the general patterns that emerge in Twitter users' responses to a tweet. The qualitative study seeks to determine whether or not the concept of “Berkain Bersama” is associated with elitism in the public's perception and to shed light on the potential impact of cultural identity and diversity on online discourse.identitas dan keragaman budaya pada wacana online."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Cheryl Arshiefa Krisdanu
"Kurangnya kesadaran dan pengetahuan konsumen menjadi hambatan dalam memobilisasi fashion berkelanjutan. Komunitas yang memiliki visi bersama dalam aksi global untuk meningkatkan kesadaran mengenai fashion berkelanjutan seperti Slow Fashion Indonesia memerlukan komitmen yang berkelanjutan dari anggotanya. Dalam mempertahankan komitmen secara berkelanjutan, dibutuhkan identitas kolektif dari komunitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui identitas kolektif dalam komunitas Slow Fashion Indonesia menggunakan strategi penelitian etnografi digital. Hasil penelitian menemukan bahwa komunitas Slow Fashion Indonesia telah mengembangkan identitas kolektif melalui kesamaan persepsi serta pengetahuan terhadap slow fashion dan komunitas, hubungan kedekatan dan keakraban akibat diskusi dan interaksi antar anggota komunitas, serta investasi emosional terhadap komunitas. Identitas kolektif yang telah terbentuk kemudian menumbuhkan kesamaan persepsi dan nilai bersama yang mengikat anggota untuk terus menjalankan dan mengembangkan komunitas.

The lack of consumer awareness and expertise poses a significant barrier to promoting sustainable fashion. Communities such as Slow Fashion Indonesia, which aim to promote sustainable fashion and create worldwide awareness, necessitate their members' solid and sustainable commitment. A collective community identity is necessary to ensure long- term dedication to sustainability. This study aimed to determine the collective identity within the Slow Fashion Indonesia community by employing the digital ethnography research strategy. The findings indicated that the Slow Fashion Indonesia community has established a collective identity based on similar perceptions and knowledge of slow fashion and the community, a sense of closeness and familiarity resulting from discussions and interactions among community members, and a strong emotional commitment to the community. Forming a collective identity encourages the development of shared values and similar perceptions, motivating members to sustain and advance the community."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Markus Jonathan Salim
"Penelitian ini mengkaji bagaimana TikTok membentuk makna uang dan praktik pembayaran kencan, khususnya terkait ekspektasi bahwa laki-laki harus membayar sebagai bentuk tanggung jawab dalam relasi heteroseksual. Studi-studi sebelumnya lebih banyak membahas peran sosialisasi keluarga dalam membentuk makna uang dan peran gender, namun masih sedikit yang menyoroti peran TikTok sebagai media sosial yang memperkuat dan menyebarkan norma tersebut di ruang digital. Melalui pendekatan etnografi digital, penelitian ini menemukan bahwa algoritma TikTok memprioritaskan konten populer, sehingga praktik laki-laki membayar kencan menjadi nilai dominan yang terus direproduksi di platform ini. Proses ini memperkuat hierarki gender, di mana laki-laki diposisikan sebagai pihak yang bertanggung jawab dan dominan, sementara perempuan cenderung diposisikan sebagai pihak penerima yang pasif. Praktik membayar kencan tidak hanya berfungsi sebagai ekspresi tanggung jawab, tetapi juga menjadi mekanisme sosial yang menegaskan dan mereproduksi hierarki gender dalam hubungan kencan di masyarakat kontemporer. Temuan ini menunjukkan bahwa media sosial, khususnya TikTok, berperan penting dalam membentuk dan memperkuat norma gender melalui praktik simbolik sehari-hari.

This study examines how TikTok shapes the meaning of money and the practice of paying for dates, particularly regarding the expectation that men should pay as a form of responsibility within heterosexual relationships. Previous research has mainly discussed the role of family socialization in shaping the meaning of money and gender roles, but few have highlighted the role of TikTok as a social media platform that reinforces and disseminates these norms in digital spaces. Using a digital ethnography approach, this study finds that TikTok’s algorithm prioritizes popular content, making the practice of men paying for dates a dominant value that is continuously reproduced on the platform. This process strengthens gender hierarchy, positioning men as responsible and dominant actors, while women tend to be cast as passive recipients. The act of paying for dates thus functions not only as an expression of responsibility but also as a social mechanism that asserts and reproduces gender hierarchy in contemporary dating relationships. These findings demonstrate that social media, especially TikTok, plays a significant role in shaping and reinforcing gender norms through everyday symbolic practices."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library