Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asma Fitriani
Abstrak :
ABSTRAK
Beberapa penelitian dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan analgesik dalam menginduksi kerusakan hati pada hewan model. Penggunaan hewan model digunakan dalam studi preklinik untuk mengevaluasi aktivitas obat. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan kondisi kerusakan hati yang diinduksi parasetamol dan natrium diklofenak dan mengevaluasi efek hepatoprotektif lisinopril sebagai obat off label pada hewan model hepatotoksik. Orientasi pembentukan hewan model dilakukan beberapa kali pada beberapa variasi dosis parasetamol melalui rute oral dan natrium diklofenak melalui rute intraperitoneal. Selanjutnya, hewan uji digunakan untuk mengevaluasi pemberian lisinopril. Tiga puluh ekor tikus, dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan (normal, kontrol negatif, dan lisinopril 10, 20, dan 40 mg/kg BB) diberikan perlakuan selama 14 hari melalui rute administrasi oral. Dua puluh empat jam setelah administrasi, parasetamol (2000 mg/kg BB) diberikan secara oral dan 6 jam setelah administrasi, sampel plasma dikumpulkan untuk dianalisis kadar AST, ALT, dan ALP sebagai biomarker parameter kerusakan hepatosit dan SOD dan GPx sebagai gambaran kadar antioksidan plasma. Gambaran morfologi hati juga diamati. Hasilnya menunjukkan bahwa parasetamol menimbulkan kerusakan lebih parah dan lebih dapat diimplementasikan dalam studi hepatoprotektif dibandingkan natrium diklofenak. Dosis parasetamol yang memberikan perbedaan signifikan (p<0,05) terhadap kelompok normal adalah 2000 mg/kg BB dan diukur pada waktu 6 jam setelah administrasi. Uji evaluasi lisinopril menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol negatif pada parameter AST, ALT, dan ALP. SOD dan GPx menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibanding kontrol negatif, namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada masing-masing dosis. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa parasetamol (2000 mg/kg BB, 6 jam) lebih baik digunakan pada hewan model hepatotoksik dibandingkan natrium diklofenak dan pemberian model lisinopril (40 mg/kg BB) selama 14 hari memiliki potensi sebagai hepatoprotektor pada hewan model hepatotoksik.
ABSTRACT
Several studies have been performed to investigate the analgesic drugs for inducing the liver injury in animal model. It is used as animal model to perform the preclinic study in evaluating the activity of drugs. This study was conducted to compare the conditions of paracetamol and sodium diclofenac-induced liver injury and to experimentally evaluate the protective effect of lisinopril as off label drug in hepatotoxic animal models. The orientation for the formation of animals hepatotoxic model was repeated at various doses of paracetamol orally and sodium diclofenac via intraperitoneal for various timeframes. Furthermore, the animal model was used to evaluate the lisinopril administration. A total of 30 rats in 5 treatment groups (normal, negative control, and lisinopril at dose of 10, 20, and 40 mg/kg/BW/day) were used and treated for 14 days via oral administration route. Twenty four hours after administration, paracetamol (2000 mg/kg BW) were given orally and 6 hours after the plasma samples were collected to analyze AST, ALT, and ALP as paramater biomarkers for hepatocyte damage and SOD and GPx as illustrations of plasma antioxidant activity. Morphological observations were also carried out. The result showed that paracetamol cause more damage and that could be implemented in the hepatoprotective study than sodium diclofenac induction. The dose of paracetamol which gives a significant different (p<0,05) to the normal group is 2000 mg/kg BW and measured at 6 hours after administration. The evaluation of lisinopril showed that there were significant difference (p<0,05) between the treatment groups compared to negative control group on AST, ALT, and ALP parameters. In addition, SOD and GPx activity showed a higher value compared to the negative control group but there were no significant differences in each dose. Based on the the result, it be concluded that paracetamol (2000 mg/kg BW, 6 hours) could be better used as hepatotoxic animal model compared to sodium diclofenac and lisinopril administration (40 mg/kg BW) for 14 days has the potential as a hepatoprotector in animal model.
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dengan menggunakan deteksi UV untuk analisis natrium diklofenak dalam urin telah dilakukan. Asam mefenamat digunakan sebagai baku dalam dan pemisahan isokratik dilakukan pada suhu 40°C pada kolom C18 Supelcosil (25 cm x 4.6 mm; 5 μm). Sampel dielusi dengan fase gerak yang terdiri dari asetonitril-natrium asetat 0,01 M (30 : 70, v/v) (pH 6,3) dan laju alir 1,0 ml/menit. Deteksi dilakukan menggunakan detektor ultraviolet pada panjang gelombang 278 nm. Hasil validasi metode menunjukkan linearitas (r = 0,9993) pada rentang konsentrasi 1,0-30,0 μg/ml. Preparasi sampel sederhana dan cepat (tanpa ekstraksi) dan batas kuantitasi terendah (LLOQ) adalah 1,004 μg/ml. Metode ini valid dan reliable karena akurasi dan presisi berada di dalam batas penerimaan (≤ 15%). Selanjutnya, metode ini diaplikasikan pada penetapan kadar natrium diklofenak 100 mg dosis oral tunggal dalam urin.
Universitas Indonesia, 2007
S32605
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Rizky Amalia
Abstrak :
Pada penelitian ini kitosan digunakan sebagai bahan penyalut natrium diklofenak dalam bentuk mikrosfer, sehingga waktu pelepasan obat ini dapat diperlambat. Mikrosfer dari kitosan dan natrium diklofenak dibuat menggunakan metode taut silang dengan glutaraldehid sebagai senyawa penaut silang. Preparasi enkapsulasi natrium diklofenak dengan kitosan dalam bentuk mikrosfer mengikuti metode Dubey (2003). Metode analisis yang digunakan adalah Spektrofotometri UV untuk menganalisis konsentrasi obat natrium diklofenak yang terdapat dalam mikrosfer selama pelepasan berlangsung. Scanning Electron Microscope untuk memastikan mikrosfer terbentuk dan melihat bentuk dari mikrosfer tersebut. Konsentrasi natrium diklofenak dalam mikrosfer sebesar 0,35 ; 0,46 dan 0,51 mg natrium diklofenak dalam mikrosfer per mg natrium diklofenak yang ditambahkan pada pembuatan mikrosfer. Efisiensi penjeratan yang paling tinggi mikrosfer dengan konsentrasi obat natrium diklofenak 8 mg/mL sebesar 51 %. Pada penambahan obat 8 mg/mL memberikan profil pelepasan yang lebih lambat dengan rentang waktu yang sama, pada jam ke 12,5 profil pelepasan mulai stabil. Hal ini sesuai dengan waktu pencernaan manusia yaitu 8 jam. Hasil ini menunjukkan bahwa kitosan dapat memperlambat pelepasan natrium diklofenak. Semakin tinggi konsentrasi obat maka semakin lambat pelepasan obat tersebut. Sebagai perbandingan dengan konsentrasi obat 2 mg/mL profil pelepasannya paling cepat dengan rentang waktu yang sama. ......In this research, chitosan is used as a coating material in the form of sodium diclofenac microspheres, so the time of drug release can be slowed. Microspheres of chitosan and sodium diclofenac were made using the method of cross-link with glutaraldehyde as cross link compound. The preparation of encapsulation of sodium diclofenac with chitosan in the form of microspheres follows Dubey method (2003). Analytical methods used are UV spectrophotometer to analyze the concentration of sodium diclofenac drug contained in microspheres during the release takes place. The Scanning Electron Microscope is to ensure the formed microspheres and see the shape of the microspheres. The concentration of sodium diclofenac in the microspheres of 0.35, 0.46 and 0.51 mg of sodium diclofenac in microspheres per mg of sodium diclofenac is added in the manufacture of microspheres. The highest entrapment efficiency of microspheres with the concentration of the 8 mg / mL drug sodium diclofenac is 51%. In addition, the drug 8 mg / mL gives a slower release profile with the same time frame, while at the 12.5 release profile began to stabilize. This is consistent with human digestion time of 8 hours. These results suggest that chitosan can slow the release of sodium diclofenac. The higher concentration of the drug, the drug release is slower. As the comparison, the drug concentration of 2 mg/mL has the fastest release profiles with the same time frame.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
S1601
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Prahara Yuri
Abstrak :
Pendahuluan: Pengobatan analgesik yang ideal pasca operasi harus dapat membantu untuk menghilangkan rasa nyeri yang cepat dan efektif. Metode Penelitian: 80 pasien yang menjalani tindakan endoskopi urologi di Rumah Sakit Kardinah. Efek analgesik dinilai menggunakan Skala Analog Visual VAS. Hasil Penelitian: Pada kelompok eksperimen, tidak ada perbedaan antara kelompok B phenazopyridine HCl dan C natrium diklofenak p> 0,05. Grup A asam pipemidat menunjukkan efek analgesik yang lebih menguntungkan daripada B dan C p ...... Introduction: The ideal postoperative analgesic treat ment should provide rapid and effective pain relief. Methods: The 80 patients who underwent endoscopic urological surgery at Kardinah Hospital. The analgesic effects were assessed using the Visual Analog Scale VAS. Results: In the experimental group, there was no difference between groups B phenazopyridine HCl and C sodium diclofenac p 0.05. Group A pipemidic acid demonstrated a more favourable analgesic effect than B and C p
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58859
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ikhwanuliman Putera
Abstrak :
Latar Belakang: Fibrosis dalam bentuk adhesi jaringan maupun jaringan parut teregang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi luaran hasil operasi strabismus. Obat golongan anti-inflamasi non-steroid, salah satunya natrium diklofenak, merupakan obat yang mampu menekan proses inflamasi sehingga dipikirkan dapat memodulasi penyembuhan luka, termasuk fibrosis pada otot ekstraokular pasca operasi strabismus. Tujuan: Membandingkan efek pemberian diklofenak sediaan oral atau tetes mata 0,1% terhadap pembentukan fibrosis pasca operasi strabismus pada hewan coba kelinci model. Metodologi: Penelitian eksperimental ini dilakukan pada kelinci model yang dilakukan operasi reses otot rekrus superior. Dilakukan randomisasi acak terkontrol tiga kelompok dengan membagi kelinci menjadi: kelompok dengan terapi diklofenak oral 2 x 5 mg/kg selama 3 hari (kelompok A), tetes mata natrium diklofenak 0,1% 3x sehari selama 3 hari (kelompok B), dan kontrol (kelompok C). Setelah hari ke-14 pasca operasi, dilakukan enukleasi lalu dinilai skor adhesi makroskopik, histopatologi inflamasi (haematoxylin & eosin), skor adhesi mikroskopik dan persentase area fibrosis (Masson’s trichrome), serta ekspresi α-smooth muscle actin (α-SMA, imunohistokimia) oleh ahli patologi anatomik menggunakan penilaian semi-kuantitatif dan kuantitatif (ImageJ) dengan nilai reciprocal staining intensity (RSI). Hasil: Enam kelinci (12 mata) terbagi dalam tiga kelompok perlakuan. Tidak terdapat perbedaan skor adhesi makroskopik (p=0,13), adhesi mikroskopik (p=0,28), dan histopatologi inflamasi (p=0,26). Persentase area fibrosis kelompok diklofenak tetes mata (12,44 % (8,63 – 18,29)) lebih sedikit dibandingkan kelompok diklofenak oral (26,76 % (21,38-37,56)) maupun kontrol (27,80 % (16,42 – 36,28); uji Kruskal-Wallis p = 0,04, post-hoc kelompok oral vs tetes mata p = 0,03 dan kelompok tetes mata vs kontrol p=0,04). Penilaian ekspresi α-SMA semi-kuantitatif tidak dijumpai perbedaan antar ketiga kelompok. Analisis RSI mendapatkan bahwa kelompok diklofenak tetes mata memiliki ekspresi α-SMA yang lebih rendah (diklofenak tetes mata = 174,08 ± 21,78 vs diklofenak oral = 206,50 ± 18,93 vs kontrol = 212,58 ± 12,06; one-way ANOVA p = 0.03; post-hoc bonferroni diklofenak tetes mata vs kontrol p= 0,04). Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan skor adhesi makroskopik, mikroskopik, serta histopatologi inflamasi antara kelompok perlakuan diklofenak oral, diklofenak tetes mata, maupun kontrol. Pemberian diklofenak tetes mata 0,1% menunjukkan penurunan area fibrosis dibandingkan kelompok diklofenak oral maupun kontrol. Melalui penilaian RSI, terdapat penurunan ekspresi α-SMA dengan pemberian diklofenak tetes mata 0,1%.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Natrium diklofenak yang berkhasiat sebagai antiinflamasi dibuat dalam sediaan mikroemulsi yang berfungsi sebagai pembawa karena ukuran partikelnya yang kecil dan adanya fase air dan minyak yang membantu menembus barrier kulit. Mikroemulsi adalah sistem dispersi yang terdiri dari fase air, minyak, surfaktan, dan kosurfaktan. Penelitian ini bertujuan untuk membuat sediaan mikroemulsi yang jernih dan stabil menggunakan minyak kelapa sawit yang dibandingkan terhadap isopropil palmitat dengan natrium diklofenak sebagai model obat. Hasilnya menunjukkan formula dengan minyak kelapa sawit lebih stabil secara fisik selama 2 bulan penyimpanan pada suhu kamar dibandingkan formula dengan isopropil palmitat. Pengujian penetrasi melalui kulit tikus dengan alat franz difussion cell selama 8 jam menunjukkan bahwa formula dengan isopropil palmitat memberikan hasil penetrasi natrium diklofenak sebesar 706,63 ± 32,73 μg/cm2 dan minyak kelapa sawit sebesar 1058,67 ± 73,12 μg/cm2 .
Universitas Indonesia, 2007
S32608
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhasanah Widiatuti
Abstrak :
Natrium diklofenak adalah obat antiinflamasi yang agak sukar larut dalam air, dapat mengiritasi lambung, dan mengalami metabolisme lintas pertama, untuk mengatasi hal tersebut, natrium diklofenak dibuat dalam bentuk sediaan mikroemulsi topikal. Penelitian ini bertujuan untuk membuat sediaan mikroemulsi yang jernih dan stabil, serta diharapkan dapat meningkatkan kelarutan zat aktif dan diabsorbsi dengan baik di kulit. Formulasi menggunakan dua jenis fase minyak, yaitu Virgin Coconut Oil (formula A) yang dibandingkan dengan isopropil laurat (formula B) dengan natrium diklofenak sebagai model obat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mikroemulsi yang menggunakan isopropil laurat sebagai fase minyak lebih stabil secara fisik selama penyimpanan 2 bulan pada suhu kamar dibandingkan form.
Diclofenac sodium is poorly soluble anti-inflammatory drug, that can irritate the gastrointestinal tract and has first pass effect, to overcome this problem, diclofenac sodium was made in topical microemulsion dosage form. The aim of this study was to make a good microemulsion, increase the solubility of diclofenac sodium, and can be absorbed through the skin. Formulation using two types of oil phase, Virgin Coconut Oil (VCO) and isopropyl laurat with diclofenac sodium as a model of drug. The result showed that the microemulsion with isopropyl laurat as oil phase was more physically stable during two months in room temperature than formulation using isopropyl laurat. The penetration test using franz diffusion cell for 8 hour, showed 969,6822 ± 5,3533 to formulation A and 929,8052 ± 1,6524 to formulation B.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2010
S33160
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lailan Azizah
Abstrak :
Penghambatan enzim siklooksigenase merupakan dasar efikasi dan toksisitas obat anti inflamasi non steroid. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi jenis obat anti inflamasi non steroid yang digunakan di poliklinik penyakit saraf Rumkital Dr. Mintohardjo Jakarta dan mengevaluasi tolerabilitas meloxicam 15 mg dengan natrium diklofenak 100 mg terhadap saluran cerna. Metode penelitian ini observasi cross-sectional dan cohort prospektif pada periode Desember 2010?Maret 2011. Pengambilan data mengenai keluhan dispepsia terkait penggunaan obat anti inflamasi non steroid terdiri dari nyeri abdomen atas, mual, muntah, kembung abdomen dan cepat kenyang dilakukan melalui wawancara berdasarkan kuesioner PADYQ (The porto alegre dyspeptic symptoms questionnaire) yaitu sebelum, setelah 2 minggu, dan setelah 4 minggu pengobatan. Hasil penelitian menyatakan obat anti inflamasi non steroid paling banyak diresepkan di poliklinik penyakit saraf Rumkital Dr. Mintohardjo adalah meloxicam (48,21%), selanjutnya natrium diklofenak (31,07%), asam mefenamat (15,36%), piroxicam (3,93%) dan asetaminofen (1,43%). Meloxicam secara bermakna menunjukkan resiko yang lebih kecil terhadap insiden saluran cerna daripada natrium diklofenak setelah 2 minggu pengobatan dalam hal keluhan nyeri abdomen atas dan kembung abdomen dengan nilai kebermaknaan pengujian masing-masing sebesar 0,020 dan 0,037. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui meloxicam memiliki tolerabilitas saluran cerna lebih baik daripada natrium diklofenak setelah 2 minggu pengobatan. ......Non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) are associated with a high incidence of gastrointestinal side-effects. Inhibition of the cyclooxygenase (COX) enzyme is the basis for both the efficacy and toxicity of NSAIDs. The aim of this study was to avaluate the nonsteroidal anti-inflammatory drugs were used in neuro polyclinic hospital of Dr. Mintohardjo Jakarta, and to evaluate gastrointestinal tolerability of meloxicam 15 mg compared with diclofenac sodium 100 mg. The methode of this study was cross-sectional observation and cohort prospective on December 2010-March 2011. The data of dyspepsia associated were used non-steroidal anti-inflammatory drugs consist of pain in upper abdomen, nausea, vomiting, upper abdominal bloating and early satiety collected with PADYQ (The porto alegre dyspeptic symptoms questionnaire) were assessed at baseline and after 2 and 4 weeks of treatment. The non-steroidal anti-inflammatory drugs used in neuro polyclinic hospital of Dr. Mintohardjo Jakarta were meloxicam (48.21%), diclofenac sodium (31.07%), mefenamic acid (15.36%), piroxicam (3.93%) dan acetaminophen (1.43%). Insiden of adverse event after 2 weeks treatment was significantly lower in the meloxicam group compared with diclofenac sodium group in pain in upper abdomen and upper abdominal bloating (p=0.020 and p=0.037). These result suggest that meloxicam was much better tolerated than diclofenac sodium after 2 weeks treatment.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Sasanti Wulandari
Abstrak :
Tujuan: Membandingkan efek terapi kombinasi Natamisin 5% dan Natrium diklofenak 0,1% dengan Natamisin 5% tunggal pada pengobatan keratomikosis A. fumigates dalam hal daya bunuh obat terhadap jamur serta respons inflamasi. Subyek dan metode: Penelitian ini bersifat eksperimental, dilakukan secara acak dengan metode tersamar dan menggunakan kelinci sebagai hewan percobaan. Kelompok I adalah kelompok yang diobati dengan tetes mata natamisin 5% dan mulai hari ke-9 diberi tetes mata Natrium diklofenak 0,1% (Nata-NaD). Kelompok II adalah kelompok yang diobati dengan tetes mata natamisin 5% dan mulai hari ke-9 diberi tetes mata BSS (Na-BSS). Parameter yang dinilai adalah daya bunuh obat terhadap jamur yang dinilai secara klinis melalui luas ulkus dan secara mikologi melalui hasil kultur Agar Sabouraud Dekstrosa. Parameter respon inflamasi dinilai secara klinis melalui panjang infiltrat dan hipopion, secara histopatologi melalui sebukan sel radang. Hasil: Penilaian klinis serta histopatologi menunjukkan peran Na-diklofenak 0,1% dalam meningkatkan daya bunuh Natamisin 5% terhadap A. fumigates (p=0,206). Hasil pemeriksaan kultur kornea bagian dalam menunjukkan perbedaan bermakna antar kelompok (p=0,05). Penilaian respon inflamasi menunjukkan suatu kecenderungan hasil lebih baik pada kelompok kombinasi Natamisin 5% dengan Nadiklofenak 0,1% (p=1,000). Kesimpulan: Na-diklofenak 0,1% bermanfaat meningkatkan daya bunuh Natamisin 5% terhadap jamur A. fumigates dan menekan respons inflamasi pada keratomikosis.
OBJECTIVES To determine the efficacy of topical 0,1% Na-diclofenac as a combination with 5% Natamycin in reducing inflammation and improving killing action against A. fumigatus. SUBJECT AND METHODS The study is randomized, single-blinded experimental trial. Twenty rabbits were included and divided into two groups and both assigned to topical 5% Natamycin. On the 9`, day, the 1S` group received 0,1% Na-diclofenac additionally (subject group) and the other received topical Basal Saline Solution ( placebo group). Outcome measure including ulcer size, mycology test using Dextrose Sabouraud Agar (DSA), infiltrate width, hypopion, and histopathology examination. RESULTS There is an improvement of Natamycin killing action against A. fumigatus in subject group (p=0,206). Culture test demonstrated statistically significant difference (1=0,05). Inflammation is more reduced in subject group but not statistically significant (p=1,000). CONCLUSION Topical 0,1% Na-diclofenac tend to improve Natamycin killing action against A. fumigatus and reducing inflammation responses, however, not statistically significant.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sisi Praista
Abstrak :
Natrium diklofenak merupakan obat golongan NSAID yang sering digunakan untuk mengatasi osteoartritis dengan persentase sebesar 55,88% di Indonesia. Pemberian peroral natrium diklofenak memiliki efek samping gangguan pada saluran cerna dan memiliki waktu paruh singkat. Untuk mengatasi hal tersebut, dibuat sediaan mikroemulsi dengan sistem penghantaran transdermal. Namun, dalam penghantaran sistem transdermal stratum korneum dapat menghalangi absorpsi obat melewati kulit karena stratum korneum tersusun dari sel mati dan pipih yang tersusun dari keratin kaya protein. Mentol merupakan peningkat penetrasi yang dapat meningkatkan absorpsi obat melewati kulit dengan cara meningkatkan permeabilitas kulit. Mikroemulsi merupakan sistem dua fase yang terdiri dari dari minyak dan air serta distabilkan oleh surfaktan. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsentrasi optimum mentol yang dapat menghasilkan penetrasi yang tinggi. Mikroemulsi natrium diklofenak dalam penelitian ini dibuat dengan menggunakan metode titrasi fase. Mikroemulsi jernih dan stabil didapatkan dengan konsentrasi tween 80 20%, propilen glikol 30%, minyak 3%, dan mentol (0%, 1%, 3%, dan 5%). Evaluasi sediaan mikroemulsi yang dilakukan adalah pengukuran pH, ukuran globul dan zeta potensial, bobot jenis, viskositas, tegangan permukaan, uji sentrifugasi, uji stabilitas, dan cycling test. Uji penetrasi obat melewati kulit dilakukan secara in vitro dengan metode Sel Difusi Franz. Hasil penelitian menunjukkan persen jumlah kumulatif terpenetrasi pada F1, F2, F3, dan F4 sebesar 9,2581%, 9,5114%, 28,1514%, dan 13,3155% dan keempat formulasi stabil secara fisik selama penyimpanan 12 minggu. Formulasi dengan mentol 3% memiliki penetrasi yang lebih tinggi dibandingkan formulasi dengan mentol 0%, 1%, dan 5%. ......Diclofenac sodium is one of NSAID group often used to treat osteoarthritis with percentage of 55,88% in Indonesia. Oral administration sodium diclofenac gives side effect on gastrointenstinal tract and has short half-life. To overcome this problem, diclofenac sodium was prepared by microemulsion with transdermal administration. However, on transdermal delivery system stratum corneum can inhibit drug absorption because stratum corneum consist of a dead and flatted cells that rich of protein. Menthol is one of penetration enhancer which can increase drug absorption through the skin by increasing skin permeability. Microemulsion is double phase system consisting of water and oil stabilized by surfactant. The aim of this study was to determine optimum concentration of menthol that can produce high penetration. Microemulsion of diclofenac sodium in this study was prepared by phase titration method. Clear and stable microemulsion were obtained with concentration of tween 80 20%, propylene glycol 30%, oil 3%, and menthol (0%, 1%, 3%, and 5%). Evaluation of microemulsion done by measuring pH, diameter of globul and zeta potential, density, viscosity, surface tension, stability testing, and cycling test. In Vitro drug penetration test was conducted using Franz Diffusion Cell menthod. The result show percent cumulative in F1, F2, F3, and F4 were 9,2581%, 9,5114%, 28,1514%, and 13,3155% and four formulation physically stable during storage 12 weeks. The formulation with 3% menthol had higher penetration that the formulation with 0%, 1%, and 5% menthol.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>