Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abd. Rahman
Abstrak :
Penelitian ini membahas upaya yang ditempuh DI/TII dalam mempertahankan wilayah yang telah dikuasai di Enrekang. Enrekang sendiri menjadi panggung awal melebarnya pengaruh DI/TII di Sulawesi Selatan namun harus berhadapan dengan TNI yang terus berupaya memadamkan perlawanan. Penelitian ini bertujuan menjelaskan kondisi geografis dan demografis Enrekang selama masa DI/TII, upaya DI/TII dalam mempertahankan wilayahnya serta cara yang ditempuh TNI dalam menggagalkan strategi DI/TII. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang memanfaatkan arsip-arsip lokal dan menggunakan teori strategi untuk menganalisis berbagai strategi yang dikembangkan dan permasalahannya dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa DI/TII di Enrekang terpusat di  Duri dengan memanfaatkan kondisi geografis dan sumber daya manusia yang tersedia di Enrekang yang berbatasan dengan beberapa kabupaten. Upaya yang ditempuh DI/TII untuk mempertahankan wilayah  yang telah dikuasai juga melibatkan daerah-daerah yang tidak dikuasai sebagai pijakan untuk membangun kekuatannya. Hal ini berakibat pada putusnya akses kota dengan desa yang membuat kondisi kehidupan masyarakat tidak stabil. Keberhasilan TNI dalam menarik kembali perhatian masyarakat yang selama ini menjadi kekuatan tambahan sekaligus penyokong suplay DI/TII membuat berbagai strategi yang telah dikembangkan oleh DI/TII mulai tidak efektif. Hal ini berakibat pada lepasnya beberapa wilayah Enrekang dari pengaruh DI/TII. ......This research discusses the efforts taken by DI/TII in defending the territory that has been controlled in Enrekang. Enrekang itself became the initial stage for the spread of DI/TII influence in South Sulawesi, but it had to deal with the TNI, which continued to try to extinguish the resistance. This research aims to explain the geographical and demographic conditions of Enrekang during the DI/TII period, the DI/TII's efforts to defend its territory,and the methods taken by the TNI in thwarting DI/TII's strategy. This research uses historical methods that utilise local archives and uses strategy theory to analyse the various strategies developed and their problems by utilising available resources. The results showed that DI/TII in Enrekang was centred in Duri by utilising the geographical conditions and human resources available in Enrekang which borders several districts. The efforts taken by DI/TII to defend the territory that had been controlled also involved areas that were not controlled as a foothold to build its strength. This resulted in the disconnection of access to cities and villages which made conditions in people's lives unstable. The success of the TNI in attracting the attention of the community, which had been an additional force as well as a supplier of DI/TII, made the various strategies that had been developed by DI/TII ineffective. This resulted in the release of several areas of Enrekang from DI/TII's influence.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Fadli Zon
Jakarta: Fadli Zon Library, 2012
922.4 FAD h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rosidin
Abstrak :
ABSTRAK
Banyak unsur-unsur historis yang cukup menarik untuk diungkap dalam penulisan sejarah penumpasan DI/TII di wilayah Bogor. Dalam hal ini, munculnya DI/TII di Bogor dapat ditarik suatu benang merahnya dengan factor-faktor geografis, agama, sosial, ekonomi, agama dan politik pemerintah yang memang mendukung untuk meletupnya gerakan sparatis tersebut. Dilihat dari kaca mata historis, gambaran mengenai operasi penumpasan DI/TII di wilayah Bogor dimulai dari situasi politik pemerintah yang memang mendukungnya (kembalinya sistem demokrasi Pancasila dari sistem Liberal), dan terbentuknya Komando Operasi tersebut yang ternyata cukup memuaskan berkat kerja sam yang baik antar TNI dan rakyat. Guna mengungkap kejelasan historis operasi penumpasan DI/TII di wilayah Bogor ini, dalam pengumpulan data atau heuristik (primer maupun skunder), penulis lakukan dengan studi literatur di berbagai instansi pemerintah maupun perpustakaan. Mengingat aspek politik militer sangat dominan dalam pembahasan skripsi ini, maka pendekatan politik militer merupakan pendekatan yang lebih cocok digunakan untuk mengupas dimensi kesejarahannya.
1996
S12406
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rusmala Dewi Kabubu
Abstrak :
ABSTRAK
Nama : Rusmala Dewi KabubuProgram Studi : Ilmu SejarahJudul : Gerakan DI/TII Qahhar Mudzakkar di Tana Toraja,1953-1965 Tesis ini membahas tentang gerakan DI/TII Qahhar Mudzakkar di Tana Toraja sejak 1953 sampai 1965. Fokus kajian ini terkait bagaimana aksi DI/TII Qahhar Mudzakkar di wilayah yang ideologinya berbeda dengan DI/TII, dalam hal ini Tana Toraja. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk menjelaskan latar belakang berkembangnya aksi DI/TII di Tana Toraja, aktivitas DI/TII, dan dampak yang ditimbulkan bagi kehidupan masyarakat. Kajian ini menggunakan metode penelitian sejarah dan menggunakan teori collective action untuk mejelaskan bagaimana aksi DI/TII di Tana Toraja. Ada tiga faktor yang mendukung berkembangnya aksi DI/TII di Tana Toraja, yaitu kondisi geografis yang ideal untuk taktik perang gerilya, kepercayaan dan budaya masyarakat Tana Toraja, dan pengaruh komunis di Tana Toraja. Walaupun DI/TII menggunakan ideologi Islam, bukan berarti orang Toraja tidak terlibat di dalamnya. Adapun motivasi orang Toraja untuk bergabung dengan DI/TII dilatarbelakangi oleh kekecewaan mereka terhadap Pemerintah Indonesia karena dibubarkannya Pemeritahan Tongkonan Ada rsquo; di Tana Toraja. Dalam melakukan aksinya, pasukan DI/TII melakukan berbagai tindakan yang menimbulkan kekacauan di Tana Toraja. Kesulitan diberbagai sektor kehidupan dirasakan masyarakat Tana Toraja kala itu. Tana Toraja terisolasi dari dunia luar akibat aktivitas-aktivitas DI/TII. Penderitaan itu berakhir ketika banyak pendukung dan pasukan DI/TII di Tana Toraja menyerahkan diri.
ABSTRACT
Name Rusmala Dewi KabubuStudy Program Historical StudiesTitle The Movement of DI TII Qahhar Mudzakkar in Tana Toraja, 1953 1965 This thesis discussed about the movement of DI TII Qahhar Mudzakkar in Tana Toraja since 1953 until 1965. The focus of this study was concerning the action of DI TII Qahhar Mudzakkar in the region which had different ideology from DI TII, which was Tana Toraja. The purpose of this study was to elucidate the background of the development of DI TII action in Tana Toraja, the activities of DI TII, and its impact caused on communities rsquo life. This study applied historical research method and the use of collective action theory to explain how DI TII action in Tana Toraja was. There were three factors contributing to the development of the DI TII action in Tana Toraja, such as the ideal geographical condition for guerilla tactics, the beliefs and the culture of Tana Toraja communities, and the communist influence in Tana Toraja. In spite of the fact the DI TII utilized Islamic ideology, it did not mean that Toraja people did not involve. The motivation of Toraja people to join in with DI TII was because of their disappointment with Indonesia rsquo s Government due to the dismissal of Tongkonan Ada rsquo Government in Tana Toraja. In committing their action, the DI TII caused a lot of disorders. People underwent difficulties in several sectors of life. Tana Toraja was isolated from the out side world owing to the activities of DI TII. The suffering ceased when the DI TII armies and partisans conceded.
2017
T48254
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamuni
Abstrak :
Adapun yang menjadi masalah penelitian ini adalah Cara-Cara ABRI dalam menyelesaikan pemberontakan DI/TII di Sulawesi Tenggara dengan mengacu pada Pancasila, UUD 1945, dan Sapta Marga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan mengenai: (a) keberadaan DI/TII di Sulawesi Tenggara dalam struktur DI/TII Kahar Muzakkar, (b) dampak pemberontakan DI/Tll. terhadap ketahanan nasional di Sulawesi Tenggara, (c) bentuk strategi yang digunakan ABRI dalam menumpas pemberontakan DI/TIl tersebut, serta (d) digunakan, atau tidak digunakannya strategi non-militer dalam penumpasan DI/TlI, dan apa implikasinya terhadap ketahanan nasional di Sulawesi Tenggara. Data penelitian diperoleh melalui dua sumber, yaitu: (a) sumber primer sebagai sumber data lisan diperolah melalui penelitian lapangan dengan cara melakukan wawancara besar dan mendalam dengan informan penelitian, dan (b) sumber sekunder sebagai sumber data tertulis melalui studi arsip atau dokumen, hasil penelitian terdahulu yang relevan, dan sumber kepustakaan lainnya yang memiliki relevansi dengan penelitian ini, dengan pertimbangan bahwa sumber data berupa arsip atau dokumen yang dipilih memiliki obyektivitas serta memenuhi syarat untuk dijadikan sumber data penelitian. Berdasarkan prosedur metodologis di atas, maka diperoleh temuan-temuan penelitian, bahwa pemberontakan DI/TI1 di Sulawesi Tenggara merupakan bahagian dari stuktur DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Gerakan DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan kuat, punya jaringan dan mereka menteror rakyat. Basisnya juga ada dan kuat yaitu KGSS serta ada dukungan basis dari kelompok Islam seperti Bahar Mattalioe dan Usman Balo, juga banyak mendapat dukungan dari ahli agama. Karena itu DI/T11 di Sulawesi Selatan bisa kuat dan bertahan lama. Sedangkan di Sulawesi Tenggara, DI/TII tidak punya jaringan dan tidak punya basis, medannya susah sehingga jaringan antara rakyat dengan DI/TII gampang dipotong oleh ABRI. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Tenggara membawa dampak buruk berupa gangguan terhadap ketahanan nasional yang berdimensi politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan itu sendiri yang telah mendorong Iahirnya goncangan stabilitas di daerah Sulawesi Tenggara, stabilitas nasional atau disintegrasi bangsa. Di Sulawesi Selatan, penumpasan pemberontakan DI/TII lebih banyak digunakan strategi militer (full militer), bahkan dengan menggunakan pesawat terbang. Itulah sebabnya sehingga operasi penumpasan DI/ TII di Sulawesi Selatan didatangkan pasukan bantuan dari Jawa. Strategi penumpasan DI/TIl di Sulawesi Tenggara mempunyai kekhususan lain dengan yang ada di Sulawesi Selatan, yakni lebih banyak menggunakan strategi non-militer. Ini disebabkan karena di Sulawesi Tenggara tidak ada basis kekuatan DI/TII seperti KGSS di Sulawesi Selatan, medannya susah, dan tentara dari putra daerah juga sedikit sekali. Itulah sebabnya jaringan basis DI/TII di Sulawesi Tenggara gampang dipotong oleh ABRI. Dalam hubungan ini ABRI lebih banyak memotong hubungan rakyat dengan DI/TlI. Bahkan strategi penumpasan DI/TII di Sulawesi Tenggara juga menggunakan strategi gabungan antara strategi militer dengan strategi non-militer. Karena itu implikasi strategi penumpasan DI/ TII terhadap ketahanan nasional di Sulawesi Tenggara pada saat itu ialah pemerintah, ABRI yang mendapat dukungan rakyat berhasil meniadakan atau meminimalkan gangguan terhadap ketahanan nasional di Sulawesi Tenggara. Baik itu gangguan yang berdimensi politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan keamanan itu sendiri. Dengan demikian dapat dihindari hal-hal yang dapat mendorong lahirnya goncangan stabilitas nasional di seluruh wilayah Sulawesi Tenggara.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T2511
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jayusman
Abstrak :
Dalam sejarah DI/TII Jawa Tengah, masa kepemimpinan Amir Fatah (1949-1950) merupakan periode awal dari gerakan tersebut secara keseluruhan. Dalam periode tersebut, aktivitas gerakan baru terbatas pada daerah Tegal-Brebes. Peranan Amir Fatah dalam masa-masa awal gerakan DI/TII Jawa Tengah ini sangatlah menonjol. Namun demikian, sejauh ini belum ada studi yang membahas secara khusus dan mendalam mengenai hal tersebut. Oleh karena itu, sangatlah beralasan apabila studi ini dilakukan. Permasalahan yang akan dicari jawabannya lewat studi ini adalah: mengapa Gerakan DI/TII Amir Fatah muncul di daerah Tegal- Brebes, bagaimana pertumbuhan dan perkemhangannya selama di bawah kepemimpinan Amir Fatah, serta bagaimana Iangkah Pemerintah untuk menyelesaikan pemberontakan tersebut ? Gerakan DI/TII Amir Fatah dapat dikategorikan sebagai aksi kolektif yang sifatnya proaktif. Ini disebabkan karena gerakan tersebut memperjuangkan sesuatu yang belum dimiliki, yaitu diakuinya kedaulatan Negara Islam Indonesia (NII). Studi ini dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah yang berlaku dalam metode sejarah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, serta penulisan. Data diperoleh dari sumber-sumber sejarah baik primer maupun sekunder. Sumber primer meliputi arsip, koran, dan majalah sejaman, serta hasil wawancara dengan para pelaku sejarah. Sedangkan sumber sekunder diperoleh dari sejumlah buku dan artikel. Gerakan DI/Tll Amir Fatah muncul setelah Agresi Militer Belanda II, yang ditandai dengan diproklamasikannya NII di desa Pengarasan, tanggal 28 April 1949. Gerakan ini didukung oleh Laskar Hisbullah dan Majelis Islam (MI), yang merupakan pendukung inti gerakan, serta massa rakyat yang mayoritas terdiri dari para petani pedesaan. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut memberikan dukungannya kepada DI/TII karena alasan ideologi, yaitu memperjuangkan Ideologi Islam dengan mengakui eksistensi Negara Islam Indonesia (NII). Amir Fatah merupakan tokoh yang membidani lahirnya DI/TII Jawa Tengah. Semula ia bersikap setia pada RI, namun kemudian sikapnya berubah dengan mendukung Gerakan DI/TII. Perubahan sikap tersebut disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, terdapat persamaan ideologi antara Amir Fatah dengan S.M. Kartosuwiryo, yaitu keduanya menjadi pendukung setia Ideologi Islam. Kedua, Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap bahwa aparatur Pemerintah RI dan TNI yang bertugas di daerah Tegal-Brebes telah terpengaruh oleh "orang-orang Kiri", dan mengganggu perjuangan umat Islam. Ketiga, adanya pengaruh "orang-orang Kiri" tersebut, Pemerintah RI dan TNI tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama itu di daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan MI yang telah dibinanya sebelum Agresi Militer II, harus disebahkan kepda TNI di bawah Wongsoatmojo. Keempat, adanya perintah penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmojo. Dalam meiakukan aksi-aksi militernya, Amir Fatah berhasil memobiliasikan berbagai sumber daya dari para pendukungnya, baik normatif, utilities, maupun Koersif. Namun di samping itu juga terdapat hambatan yang harus dilaluinya, yaitu berupa tentangan yang datang dari kelompok gerilyawan Gerakan Antareja Republik Indonesia (GARI), dan Gerilya Republik Indonesia (GRI), serta dari "Orang-orang Kiri", terutama kaum Komunis. Dalam menyelesaikan pemberontakan Dl/TII tersebut, Pemerintah RI menempuh dua cara, yaitu operasi militer dan politik. Operasi militer dilakukan dengan membentuk Komando Gerakan Banteng Nasional (GBN). Untuk cara-cara politis, Pemerintah menawarkan amnesti kepada para pemberontak. Pelaksanaan kedua cara yang ditempuh oleh Pemerintah itu, ditambah dengan kekecewaan Amir Fatah terhadap intern organisasi DI/TII telah berhasil memaksa Amir Fatah untuk meninjau kembali perjuangannya selama itu, dan kemudian menyerah. Kekecewaan itu muncul karena dalam struktur organisasi Divisi IV Syarif Hidayat yang baru terbentuk, posisinya berada di bawah Satibi Mughny, yang dahulu merupakan anak buahnya. Dalam kesatuan tersebut Amir Fatah hanya menjabat sebagai Komandan Brigade, sedangkan Satibi Mughnya menduduki jabatan Kepala Staf Divisi. Dibawah kepemimpinan Amir Fatah, sampai dengan tahun akhir tahun 1950, Gerakan DI/TII mengalami perkembangan yang cukup pesat. Bahkan ia behasil mempengaruhi Angkatan Oemat Islam (AOI), dan Batalyon 426 untuk melakukan pemberontakan. Sedangkan pengaruhnya terhadap Batalyon 423 tidak sempat memunculkan pemberontakan kerena adanya tindakan pencegahan dan Panglima Divisi Diponegoro.
In the history of DI/TII of Central Java, the leadership of Amir Fatah (1949-1950) was the first period of the movement entirely. In this period, the activities of the movement was only in Tegal and Brebes. Amir fatah had a great part in Central Java in the first of DI/TII movement So far, there weren't any studies ,specifically and deeply, that discussed about it. Through this study, we want to know why Amir Fatah's DI/TII movement appeared in Tegal-Brebes, How it grew and developed under Amir Fatah leader ship, and How Government faced this movement. Amir Fatah's movement could be Categorized as a collective action that was pro-active, because it struggle from something that they hadn't had before, it was the recoaizing of the Indonesian Islamic Country (NII) sovereignty. This study based on the steps of the method of history : heuristic, critic, interpretation and also in writing. The Batas have been got from the primary and secondary history resources. And also from the interview results of the actor of the history. The secondary resources were from the books and articles. The movement appeared after the aggression of Dutch Military II when the NII was proclaimed in Pengarasan Village, April 28, 1949. It was also supported by the Hisbullah Army (Laskar Hisbullah) and Islamic Council(Majelis Islam), and the farmers in the village (a group of society). This group gave their support to DI/TII because of Islamic Ideology in order to proclaim Indonesian Islamic Country (Negara Islam Indonesia). Amir Fatah was the former of DI/TII of Central java. He supported the movement very much even before he was loyal to the Indonesian Republic (RI). It was caused by many reason : first, He had the same ideology with S.M. Kartosuwiryo and also both of them supported Islamic Ideology faithfully. Second, according to Amir and his friends that the Government apparatus of Indonesia and Also the army (TNI) that were in Tegal-Brebes had been influenced by "the leftist" and had disturbed the Moslem. Third, the influence of "the leftist" had made the RI government and the army (TNI) not respect to the struggle of Amir and his followers in Tegal-Brebes. Even the Islamic Council (Majelis Islam), that had been formed before Militer Aggression II, should be given to the TNI under Wongsoatmojo. Fourth, Major Wongsoatmojo give a command to arrest him. In his military actions, Amir had been success in mobilizing many recourses of his follower in normative, utilities, and coercive. But still there were some problems that they had to face it, that was from the Antareja Movement of Indonesian Republic (Gerakan Antareja Republik Indonesia (GARI) and Guerrilla of Indonesian Republic (Gerilya Republic Indonesia (GRI), also from "The leftist" especially the communist. The government of Indonesian Republic had two ways to face the revolt of DI/TII : Military and Political Operations . The military operation was done by the forming of the command of the National Banteng Movement (Gerakan Banteng National/GBN). Politically, the Government offered amnesty to the insurgents. The execution of the two ways by the government was in the same time that Amir had been very disappointed of the intern of DM because his friends insisted him to reconsider their struggle and then to give up. His disappointment also because his new position in the structure of division II organisation/Syarif Hidayat was under Satibi Mughny that used to be his crew member. In this unit Amir was only the Brigade Commander, but Satibi Mughny was the chief of Division Staff. DI/TII movement developed very quick under the Leadership of Amir Fatah until 1950. He also had influenced Moslem Forces (Angkatan Oemat Islam/AOI) and Battalion 426 to make a revolt. But he failed to influence Battalion 423 because of the preventive of Diponegoro Division Commander.
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abd Rahman
Abstrak :
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis upaya Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/ TII) dalam mewujudkan terbentuknya Negara Islam Indonesia di tengah-tengah operasi Tentara Nasional Indonesia melalui aspek pendidikan. Tulisan ini mempertanyakan bagaimana perkembangan pendidikan yang diberikan oleh DI/TII terhadap masyarakat di wilayah kekuasaannya atau situasi konflik. Pembahasan dikaji menggunakan metode sejarah dengan sumber lisan dalam kerangka konsep pendidikan dan konflik. Konflik selama ini selalu identik dengan terganggu dan hancurnya pendidikan, namun studi sejarah ini justru menunjukkan bahwa pendidikan digencarkan di wilayah-wilayah konflik digunakan sebagai media propaganda bagi DI/TII. Artikel ini menyajikan perbedaan kondisi pendidikan di daerah yang dikuasai oleh TNI dan yang dikuasai oleh DI/ TII. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan bagi masyarakat Benteng Alla masih berjalan meskipun berada dalam situasi konflik antara DI/ TII dan TNI. Namun, pendidikan yang diberikan dibangun atas dasar kepentingan DI/ TII untuk mendirikan Negara Islam sehingga tidak berada dalam pengawasan negara.
Kalimantan Barat : Balai Pelestarian Nilai Budaya , 2023
900 HAN 6:2 (2023)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Hadara
Abstrak :
Informasi tentang DI-TII Kahar Muzakkar yang beroperasi dan bergerilya di kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya, secara inplisit dan singkat, terdapat dalam tulisan SEM DAM XIV/HN (1964), Dinas Sejarah Militer TNI-AD (1979), Cornelis van Dijk (1983), Barbara Sillars Harvey (19B9), Anhar Gonggong (1992), dan M. Bahar Mattalioe (1994). Bagian terbesar dan utama dari tulisan mereka, secara spatial, masih terbatas di Sulawesi Selatan, atau memposisikan gerilyawan yang beroperasi di Sulawesi Tenggara dalam kerangka pemberontakan DI-TlI Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Mengapa pemberontakan merembet ke Sulawesi Tenggara dan terkonsentrasi di kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya serta bagaimana aktivitasnya di sana, belum dijelaskan secara tuntas dan memadai. Selain itu, tulisan mereka masih terfokus pada aspek latar belakang pemberontakan dengan tekanan utama diarahkan pada figur pemimpinnya, Kahar Muzakkar, serta fenomena gerilya darat. Bagaimana dampaknya, terutama perubahan mendadak dalam struktur sosial pemukiman dan struktur sosial ekonomi, dan gerilya laut yang dijalankan kaum pemberontak, masih terabaikan. Selain mencoba mengatasi masalah tersebut, penelitian ini dilakukan pula sebagai bagian dari upaya untuk memenuhi keinginan penulisan sejarah tanah air Indonesia yang sesungguhnya, yang mencoba menjelaskan peristiwa di darat dan di laut secara seimbang dan proporsional, sebagai konsekwensi logis dari kondisi geografis Indonesia sebagai negara laut atau negara bahari terbesar di dunia. Ketersediaan sumber-sumber dalam bentuk arsip yang memadai dan dalam jumlah yang cukup besar, memungkinkan penggunaan metodologi (pendekatan) sejarah empiris dan individualis (Lloyd, 1993) dalam penelitian ini. Beberapa pendekatan dan teori yang menjadi rujukan untuk membantu menjelaskan masalah yang diteliti, adalah pendekatan sea systems (Braudel, 1971) dan heartsea (Lapian, 1996) saduran dari heartland yang dikembangkan oleh Mackinder, pendekatan sosial budaya pesse (Gonggong, 1992) dan teori solidaritas mekanik Durkheim (Johnson, 1988), teori hubungan otoritas dan konflik sosial Dahrendorf (Johnson, 19B6), serta teori collective action yang dikembangkan Tilly (1978). Disimpulkan bahwa sejak mula hingga berakhirnya pemberontakan, Sulawesi Tenggara dijadikan sebagai basis alternatif sesudah Sulawesi Selatan. Faktor-faktor internal dan eksternal yang mengakibatkan timbulnya insolidaritas dan desintegrasi pihak pemberontak di Sulawesi Selatan serta daya tarik geografi, ekonomi, sosial budaya, agama, sejarah, dan politik menjadi penyebab utama merembetnya pemberontakan ke Sulawesi Tenggara yang kemudian memperkuat posisinya di kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya. Dari aspek geografi, Sulawesi Tenggara memiliki hutan tropis yang sangat luas, morfologi bergunung dan berbukit-bukit dengan tingtingkat kepadatan penduduk yang relatif sangat kecil. Kondisi demikian sangat menguntungkan bagi perang gerilya. Sementara perairan Tiworo dan sekitarnya merupakan "laut inti" (heartsea) dalam "sistem laut" (sea systems) dan selat serta penghubung antara wilayah daratan dan wilayah kepulauan di Sulawesi Tenggara. Penguasaan kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya menjadi batu loncatan untuk menguasai seluruh daratan dan kepulauan Sulawesi Tenggara. Dari segi ekonomi, daratan Sulawesi Tenggara dan kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya memiliki sumber daya alam yang sangat penting, umpamanya kopra, ratan, kayo, tambang nikel dan aspal yang didukung oleh tradisi pelayaran dan perdagangan di wilayah pesisir dan kepulauan. Dari aspek sosial budaya, lebih dari separuh kawasan (barat dan utara) perairan Tiworo didominasi oleh etnis Bugis-Makassar. Kehadiran gerilyawan dianggap sebagai "sekampung" (pesse) oleh mereka. Sementara dari aspek sejarah dan politik, terutama Kolaka, adalah pusat pergerakan pemuda pro kemerdekaan yang terhimpun dalam berbagai organisasi kelasykaran dan sebelum terintegrasi ke dalam wilayah Daerah (Swatantra) Sulawesi Tenggara, adalah bagian dari pemerintahan Afdeling Luwu dan basis Muhammadiyah dan PSII dua organisasi Islam yang mempunyai ikatan historis-kultural dengan pihak pemberontak. Selama pergolakan, berlangsung secara efektif permintaan uang dari rakyat, yang mereka namakan "sumbangan atau sokongan perjuangan" serta jenis pungutan lain, penguasaan sumber-sumber ekonomi terpenting, merekrut sumber daya manusia, berlangsung apa yang disebut "perdagangan gelap" (smokkel) dan berbagai fenomena gerilya laut misalnya penghadangan dan perampokan perahu, mobilitas antar pulau dan antar pelabuhan. Kehadiran gerilyawan berdampak terhadap perubahan mendadak struktur sosial pemukiman dan struktur sosial ekonomi yang kemudian bermuara pada kemiskinan struktural dan kelaparan di desa-desa terpencil, seraya -- kendatipun tidak secara langsung -- menimbulkan gerilyawan liar anggota Pasukan Djihad Konawe (PDK), akan tetapi pasukan tersebut kemudian "dikoordinasi secara imperatif" (imperatively coordinated) oleh pihak pemerintah dan TNI untuk sama-sama menghadapi pemberontakan DI-TII atau sama-sama bertanggung jawab untuk ikut mengatasi masalah keamanan Sulawesi Tenggara. Tampaknya gerilyawan yang beroperasi di kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya termasuk dalam kategori "gerakan kolektif" (collective action), kendatipun terdapat individu tertentu yang mempunyai perhatian dan kepentingan yang berbeda. Kehancuran total yang disebabkan oleh aktivitas gerilyawan selama lebih kurang 15 tahun, mendorong Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara mengajukan proposal rehabilitasi besar-besaran kepada Pemerintah Pusat pada tahun 1965, terutama ditujukan kepada wilayah-wilayah yang selama sepuluh tahun terakhir dilanda kekacauan. Akan tetapi gagasan rehabilitasi baru mulai terwujud melalui program resettlement desa dan transmigrasi sebagai main program lima tahun mendatang (1967-1971). Sejak itu mulailah dilakukan eksodus dan restrukturisasi besar-besaran ke daerah-daerah yang dilanda kekacauan, terutama kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya.
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T2328
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library