Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Herman Hendrik
"Adat merupakan subjek dari berbagai kebijakan, misalnya kebijakan sosial, kebijakan sumber daya alam, kebijakan pemerintahan lokal, dan kebijakan kebudayaan. Sehubungan dengan itu, banyak kajian telah dilakukan untuk melihat adat dalam konteks kebijakan tertentu. Namun, kajian kajian tersebut lebih banyak membahas adat dalam konteks kebijakan sosial, kebijakan sumber daya alam, dan kebijakan pemerintahan lokal. Kajian mengenai adat dalam konteks kebijakan kebudayaan masih sedikit. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menjalankan program Revitalisasi Desa Adat (RDA). Tujuan utama RDA yaitu merevitalisasi bangunan adat, dengan mekanisme pemberian bantuan dana. Tulisan ini memaparkan implementasi program RDA di Jawa Barat, tepatnya di Desa Panjalu (Ciamis) dan di Kampung Dukuh (Garut). Penelitian yang mendasari tulisan ini dilakukan pada Agustus 2016. Metode yang digunakan yaitu kualitatif dengan wawancara sebagai teknik pengumpulan data. Berdasarkan temuan, tulisan ini berargumen bahwa program RDA, tanpa mengesampingkan manfaat yang diterima oleh komunitas penerima bantuan, masih belum menjawab masalah utama yang dihadapi oleh masyarakat adat."
Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 2018
959 PATRA 19:3 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nengah Bawa Atmadja
"Hutan Kera Sangeh adalah kawasan hutan asli yang diperkirakan telah ada sekitar abad ke XVII, dan terus bisa bertahan kelestariannya sampai sekaranq. Bahkan sejalan dengan adanya kenyataan bahwa Bali sebaaai salah satu daerah tujuan wisata, maka hutan tersebut berkembang pula menjadi Objek wisata yang terkenal di Bali. Meskipun demikian, kelestarian hutan tersebut tetap terjaga. Penael c l aan obyek wisata tersebut sepenuhnya ditangan oleh Desa adat Sangeh. Kelestarian Hutan Kera Sangeh disebabkan oleh berbagai faktor, yakni kepercayaan masyarakat setempat bahwa hutan itu adalah milik dewa, sehingga Desa adat Sangeh berusaha melindunginya agar dewa tidak memarahi mereka, dengan Cara membuat aturan-aturan tertentu yang mengatur hubungan antar manusia dengan hutan. Kemudian yang tidak kalah pentingnya, perlindungan tersebut di sebabkan pula oleh kepercayaan mereka bahwa mata air yang terdapat di Yeh Mumbul, yang sangat berguna untuk pengairan pada Subak Sangeh di anggap bersumber di Hutan Sangeh. Karena itu perlindungan terhadap hutan tersebut berarti pula perlindungan terhadap air yang mereka butuhkan. Peranan Pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian diteruskan oleh pemerintah Indonesia, tidak bisa pula di abaikan dalam memperkuat posisi Hutan Kara Sangeh, yaitu melalui penetapan hutan itu sebagai hutan yang dilindungi, dengan status cagar alam, sejak tahun 1919. Selanjutnya, pemanfaatan hutan itu sebagai obyek wisata justru memperkuat usaha masyarakat setempat untuk menjaga kelestariannya, sebab mereka melihat kelestarian Hutan Kara Sangeh berarti pula mereka menjaga kelestarian sumber finansial yang sengat berguna bagi Desa Adat Sangeh maupun warganya.
Perkembangan Hutan kera Sangeh sebagai obyek wisata, dieebabkan oleh daya tarik yang dimilikinya, yaitu bersumber dari lingkungan alam dan pura-pura yang ada di dalamnya, terutama Pura Bukit Sari. Hal ini diperkuat pula oleh keterbukaan masyarakat setempat terhadap kunjungan wisatawan dan penyediaan fasilitas pariwisata yang dibutuhkan, baik yang di prakarsai oleh Desa adat Sangeh beserta warganya, maupun yang disediakan oleh pemerintah daerah. Obyek wisata tersebut sudah dikenal oleh wisatawan mancanegara sejak tahun 1900-an. Kunjungan wisatawan ke obyek tersebut terus meningkat, dan sejalan dengan itu maka desa adat pun manatanya secara bertahap sehingga akhirnya mencapai tahap kemapanan.
Pengelolaan obyek wisata itu sepenuhnya ditangani oleh Desa adat Sangeh. Agar desa adat bisa berperan seperti apa yang diharapkan, yakni menangani bidang adat dan agama, serta sekaligus sebagai pengelola Qbyek wisata, maka desa adat Sangeh melakukan pembaharuan kelembagaan, yakni menambah organ-organ baru dalam struktur pemerintahan Desa Adat, yang meliputi LKMD Adat, Seksi Pengelola Obyek wisata, Seksi pembangunan Pura Bukit Sari, PT Bank Desa Sangeh, dan LPD (Lembaga Perkreditan Desa). Selain itu, desa adat juga membentuk organisasi bisnis sejenis, yakni Perkumpulan Pedagang dan Perkumpulan Tukang Foto Langsung Jadi, lengkap dengan awig-awignya. Selanjutnya, sebagai pengelola obyek wisata, desa adat memainkan beberapa peranan, yakni : (1) menyediakan lokasi fasilitas pariwisata; (2) mendistribusikan lokasi kios dan kesempatan kerja yang ada; (3) mengatur dan mengawasi kegiatan usaha pariwisata; (4) menerima dan menjaga keamanan tamu; (5) mengelola masukan financial; dan (6) menjaga kelestarian dan kebersihan obyek?"
Depok: Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Dewika Anggraningrum. author
"Skripsi ini membahas mengenai sebuah lembaga keuangan desa adat yang bernama Lembaga Perkreditan Desa yang didirikan dengan syarat harus memiliki awig-awig desa adat terlebih dahulu. Lembaga Perkreditan Desa yang diteliti dalam skripsi ini adalah Lembaga Perkreditan Desa milik Desa Adat Kedonganan. Penelitian ini menggunakan metode analisis data kualitatif dan metode penelitian normatif. Bentuk perjanjian kredit di Lembaga Perkreditan Desa adat Kedonganan tidak bertentangan dengan aturan hukum perjanjian yang berlaku. Walaupun merupakan lembaga keuangan desa adat namun beberapa ketentuan hukum perdata digunakan dalam perjanjiannya. Ini dikarenakan Lembaga Perkreditan Desa mencoba mengakomodir perkembangan zaman yang terjadi dengan mengharmonisasikan nilai-nilai adat dengan unsur-unsur hukum perdata yang berlaku di Indonesia.

This thesis discusses about a traditional village financial institution in Bali, name of this institution is "Lembaga Perkreditan Desa". Traditional Community in Bali should have Awig-Awig first before establish "Lembaga Perkreditan Desa". "Lembaga Perkreditan Desa" that are examined in this thesis is "Lembaga Perkreditan Desa Adat Kedonganan". This study uses qualitative data analysis methods and normative research methods. The Model of Loan Agreement in "Lembaga Perkreditan Desa Adat Kedonganan" is not contradict with the general rule of an agreement law in Indonesia. Although it is a traditional village financial institutions in Bali, but some rules of private law is used in the loan agreement. Lembaga Perkreditan Desa Adat Kedonganan is trying to accommodate the on-going global development by harmonizing traditional values with the applicable private law in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S25064
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
I Ketut Sudharma Putra
"Tradisi Marebu Mala merupakan salah satu tradisi yang terdapat di desa adat Beraban. Marebu Mala sangat terkait dengan suatu ritual yang berkenaan dengan pembersihan atau pensucian buana agung atau pembersihan terhadap alam semesta dalam ruang lingkup yang lebih kecil adalah lingkungan tempat pakraman desa adat setempat. Tradisi Marebu Mala diselenggarakan pada saat-saat tertentu tatkala adanya suatu kejadian atau peristiwa wabah penyakit atau hal lain yang mengancam keharmonisan hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya. Penelitian ini menggunakan metode pengamatan, wawancara, dan perpustakaan. Sedangkan, teori yang digunakan adalah teori neofungsional dan semiotik. Adapun perumusan masalahnya adalah apa fungsi dari tradisi Marebu Mala dan yang kedua bagaimana prosesi tradisi Marebu Mala dilakukan. Adapun pembahasannya yakni. Marebu Mala merupakan suatu tradisi yang telah ada dan dilakukan secara turun-menurun oleh masyarakat setempat. Ritual ini sangat sakral karena berkaitan dengan religi atau kepercayaan masyarakat. Fungsi dari Marebu Mala adalah melakukan penetralisiran terhadap energi-energi negatif baik yang disebabkan oleh alam maupun oleh ulah manusia sehingga keadaan yang buruk itu dapat dikontrol dan diredam, tidak menimbulkan impek yang buruk terhadap lingkungan kehidupan manusia. "
Denpasar: Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali, 2017
902 JPSNT 24:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Marizka Sabrina
"Penulisan ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh dampak pariwisata dan urbanisasi terhadap pola keruangan perumahan dan permukiman Desa Adat Bugbug. Desa Adat Bugbug yang berada di Kabupaten Karangasem, dikenal karena keindahan alamnya yang unik dibandingkan dengan wilayah Bali lainnya. Wilayah ini masih mempunyai bentuk keruangan yang tradisional yang kokoh sebagai ciri khas, dan pertumbuhan pariwisata telah berpotensi merubah pola tata ruang tradisional Bali yang ada di sana. Menarik untuk melihat seberapa besar pengaruh urbanisasi yang digerakan oleh sektor pariwisata terhadap bangunan dan tata ruang tradisional di Bali, khususnya di wilayah pariwisata Desa Adat Bugbug. Sementara konsep filosofis (Tri Hita Karana) tetap ada. Metode kualitatif dengan studi kasus digunakan, meliputi survei lapangan, analisis data sekunder dan wawancara dengan penduduk lokal, Hasil studi mengindikasikan bahwa hingga saat ini, dampak kepariwisataan kepada pola ruang dan bangunan tradisional di wilayah kepariwisataan Desa Adat Bugbug belum mengganggu atau mengubah pola ruang dan bangunan secara keseluruhan. Namun, perubahan hanya terjadi pada bentuk dan fungsi. Hal ini disebabkan oleh konsep filosofis dalam pembangunan yang dikenal sebagai Tri Hita Karana, yang berfungsi sebagai contoh untuk semua pembangunan yang dikerjakan oleh warga setempat dan semua perusahaan kepariwisataan. Tetapi, memantau perubahan harus dilakukan agar pertumbuhan pariwisata tidak merusak budaya tradisional masyarakat

This study aims to evaluate the impact of tourism and urbanization on the spatial patterns of housing and settlements in Desa Adat Bugbug. Desa Adat Bugbug, located in Karangasem Regency, is renowned for its unique natural beauty compared to other regions in Bali. This area still retains a robust traditional spatial form as its characteristic, and the growth of tourism has significantly impacted the traditional Balinese spatial patterns present there. It is intriguing to observe the extent of tourism's impact on traditional buildings and spatial planning in Bali, particularly in the tourist area of Desa Adat Bugbug. However, changes only occur in form and function, while the philosophical concept (Tri Hita Karana) remains intact. A qualitative method with a case study approach is used, including field surveys, secondary data analysis, and interviews with local residents. The study's findings indicate that, to date, the impact of tourism on traditional spatial patterns and buildings in the tourist area of Desa Adat Bugbug has not disrupted or altered the overall spatial patterns and buildings. This is due to the philosophical concept in development known as Tri Hita Karana, which serves as a model for all developments undertaken by local residents and all tourism companies. Nevertheless, monitoring changes is necessary to ensure that the growth of tourism does not damage the traditional culture of the community."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasibuan, Puteri Aliya Iskandar
"ABSTRAK
Eksistensi Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di wilayah nusantara sedari dulu telah mendapatkan perhatian khusus para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lahirnya ketentuan Pasal 18 adalah wujud nyata pengakuan negara terhadap daerah-daerah yang memiliki keistimewaan dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sesuai asal-usul masing-masing wilayah. Eksistensi tersebut tidak terlepas dari peran lembaga dan hukum adat yang menjalankan fungsinya pada masing-masing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Acehadalah salah satu daerah yang bersifat istimewa sertamemiliki Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Dalam rangka menjalankan keistimewaan tersebut, Pemerintah Daerah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh kemudian membentuk Qanun Lembaga Wali Nanggroe. Skripsi ini kemudian akan memberikan gambaran untuk mengetahui bagaimana kedudukan lembaga adat di Indonesia serta Lembaga Wali Nanggroe di Aceh. Kesimpulan: Setelah diberlakukan Undang-Undang Desa yang terbaru, kedudukan lembaga adat di Indonesia adalah sebagai mitra Pemerintah Desa dan lembaga Desa lainnya dalam memberdayakan masyarakat Desa, menyelenggarakan fungsi adat istiadat serta berperan dalam membantu Pemerintah Desa sebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat masyarakat Desa. Sementara kedudukan Lembaga Wali Nanggroe adalah mitra pemerintah daerah sebagai lembaga kepemimpinan adat yang bersifat istimewa. Kata kunci: Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Desa dan Desa Adat, Lembaga Adat, Keistimewaan, Lembaga Wali Nanggroe

ABSTRACT
The existence of Indigenous PeopleUnity in the Indonesia had always been a special concern of the founders of the Unitary of Indonesian Republic. The birth of provisions of Article 18 is the real form of state recognition of the regions that have the privilege and theIndigenous People Unity in accordance with origin of each region. The existence is highly influenced by the role of institutions and customary laws which carry out its own function. Aceh is one special region which own Indigenous Peoples Unity. In carrying out its function, Local Government jointly with Aceh rsquo s House of Representatives then forms Qanun of Wali Nanggroe Institute. This thesis will provide an overview on how the position of indigeneous institute in Indonesia as well as the Wali Nanggroe institute in Aceh. Conclusion After the latest legislation of village is recently applied, the position of indigenous institute in Indonesiais as a partner of Village Government and other Village institute in empowering the Village community, perform the functions of customs in assisting the Village Government as a form recognition of the customs of the Village community while the position of the Wali Nanggroe institute is as the partner of Local Government as an institute of indigeneous leadership with a previlege.Keywords Unity of Indigenous People, the Village and the IndigeneousVillage, Indigeneous Institute, Previlege, Wali Nanggroe Institute. "
2017
S68971
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiyas Putri Megawati
"Lembaga Perkreditan Desa Adat merupakan lembaga keuangan desa adat di Provinsi Bali yang didirikan dengan syarat memiliki awig-awig sebagai pedoman bagi desa adat tersebut. Lembaga Perkreditan Desa Adat Sesetan menjalankan kegiatan usahanya, salah satunya yaitu memberikan pinjaman kredit kepada masyarakat adat Sesetan. Salah satu syarat untuk mengajukan kredit di Lembaga Pekreditan Desa Adat Sesetan ini yaitu adanya jaminan kredit, yaitu jaminan fidusia. Skripsi ini menggunakan metode analisis data kualitatif dan metode penelitian normatif. Dari penelitian ini diketahui bahwa dalam menjalankan perjanjian jaminan fidusia tersebut, pihak Lembaga Perkreditan Desa Adat Sesetan dan debitur tidak melakukan pengikatan jaminan fidusia secara notaril. Pihak Lembaga Perkreditan Desa Adat Sesetan hanya melakukan pengikatan dengan akta bawah tangan. Hal ini tidak sesuai dengan pengaturan yang telah diatur dalam Pasal 5 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Sedangkan dalam hal ini terkait dengan perjanjian kredit yang dibuat oleh Lembaga Perkreditan Desa Adat Sesetan ini tidak bertentangan dengan aturan hukum perjanjian yang berlaku.

Lembaga Perkreditan Desa Adat is a financial Adat institution located in the Province of Bali, duly established with a condition that it has obtained awig-awig as a guideline for such Desa Adat. Lembaga Perkreditan Adat Sesetan runs its business activities, such as giving a credit loans to the community of Sesetan. One of the obligations to apply for credit loans in Lembaga Perkreditan Desa Adat Sesetan is having a collateral upon the credit loans, which is Fiducia. This thesis is using analytical and qualitative method and informative research method. From this research, it is known that in terms of conducting the credit loans agreement with fiduciary, Lembaga Perkreditan Desa Adat Sesetan and its Debtor are not bound by Notarial deed. Lembaga Perkreditan Desa Adat Sesetan and its Debtor is only bound by the privately made deed. This is not conformed with the provisions in the Article 5 Regulation No. 42 Year 1999 on Fiduciary. But on the other hand, the credit loans agreement that made by Lembaga Perkreditan Desa Adat Sesetan is actually not violate the applicable law regarding agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Risyad Fadli
"Tulisan ini menyajikan penelitian secara doktrinal terhadap pengelolaan dana desa yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah sebagaimana dana Desa Adat Baduy Kanekes. Persoalan yang muncul berupa ketika Desa Adat Baduy Kanekes menolak pemberian dana desa oleh pemerintah pusat, sehingga dana yang sudah diberikan mengendap dalam Rekening Kas Daerah Kabupaten Lebak yang kemudian dimanfaatkan untuk dikelola. Pengelolaan tersebut merupakan kewenangan pemerintah daerah berdasarkan otonomi daerah, dimana desa merupakan satuan pemerintahan di bawah daerah. Namun sejatinya desa pun memiliki otonominya sendiri yang berdasarkan hak asal usul dan istiadatnya terlebih lagi desa adat. Oleh karenanya, desa mempunyai kewenangan atas pengelolaan keuangannya termasuk dana desa, sehingga pola pertanggungjawaban atas keuangan desa berbeda dengan keuangan daerah secara yuridis maupun administratif. Kendati pun belum ada aspek yuridis untuk memayungi pengelolaan dana desa yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Meskipun demikian, aspek pengelolaan dana desa harus dipertanggungjawabkan berdasarkan tindakan yang diambil oleh pemerintah daerah agar tidak terjadi penyimpangan terhadap keuangan negara dengan mempertimbangkan kewenangan pemerintah itu sendiri. Langkah yang ditempuh dalam pengelolaan tersebut dapat diwadahi diskresi dalam administrasi pemerintahan ataupun beranggapan bahwa pemerintahan desa masih sebagai sub pemerintahan daerah selama belum ada pengakuan secara administratif dari pemerintah pusat.

This paper presents doctrinal research on the management of village funds carried out by regional governments such as the Baduy Kanekes Traditional Village funds. The problem that arose was when the Baduy Kanekes Traditional Village refused to provide village funds from the central government, so that the funds that have been given are deposited in the Lebak Regency Regional Cash Account which is then used to be managed. This management is the authority of the regional government based on regional autonomy, where the village is a government unit under the region. However, in reality villages also have their own autonomy based on their rights of origin and tribes, especially traditional villages. Therefore, villages have authority over the management of their finances, including village funds, so that the pattern of accountability for village finances is different from regional finances, both juridically and administratively. Although there is no juridical aspect to cover the management of village funds carried out by the regional government. However, aspects of village fund management must be accounted for based on actions taken by the regional government so that there are no irregularities in state finances by considering the authority of the government itself. The steps taken in management can be accommodated by discretion in government administration or assume that the village government is still a regional sub-government as long as there is no administrative recognition from the central government."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>