Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Marpaung, Leonard
Abstrak :
Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 atau UNCLOS 1982 (United Nation Convention of the Law of the Sea), Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki wilayah perairan yang meliputi perairan pedalaman, laut territorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE), landas kontinen (LK), dan laut lepas. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki garis pantai yang sangat panjang dan berbatasan dengan sepuluh negara. Hal tersebut menyebabkan delimitasi batas maritim merupakan hal yang penting bagi Indonesia. Permasalahan delimitasi batas maritim Republik Indonesia dengan Malaysia bersumber dari ketidakjelasan batas-batas negara dan status suatu wilayah yang saling bertumpang tindih menurut versi masing-masing. Situasi inilah yang menjadi sumber konflik khususnya dalam penegakan hukum terhadap IUU Fishing dalam wilayah Overlapping terutama mengenai klaim yurisdiksi batas-batas maritimnya. Implikasi nyata dari belum selesainya batas maritim ini jelas akan menimbulkan permasalahan penegakan hukum di daerah overlapping claim. Permasalahan yang sering timbul ketika proses negosiasi delimitasi batas maritim sedang berlangsung adalah apabila terjadi pelanggaran ketentuan hukum nasional dari kedua negara, sehingga sering menimbulkan ketidak pastian hukum terkait siapa yang memiliki kewenangan untuk menegakkan ketentuan hukum nasional di perairan perbatasan yang belum ditentukan diantara kedua negara. Ketidakpastian tersebut sering berakibat pada penangkapan nelayan kedua negara. Terkait hal tersebut UNCLOS 1982 hanya memberikan kewajiban kepada kedua negara untuk membentuk pengaturan sementara di perairan perbatasan yang belum ditentukan untuk mencegah terjadinya konflik. Tesis ini lebih lanjut akan menganalisa mengenai bagaimana hukum nasional dan internasional serta praktek negara-negara terkait penegakan hukum di perairan perbatasan yang belum ditentukan.. Berdasarkan praktek negara dan hukum internasional penegakan hukum berdasarkan klaim unilateral di perairan perbatasan yang belum ditentukan (overlapping claim) dapat menimbulkan konflik dan memperlambat penyelesaian delimitasi batas maritim antara kedua negara.. Penyelesaian batas maritim tersebut dilakukan secara diplomasi melalui perundingan batas sesuai dengan UNCLOS 1982. Tesis ini akan memberi gambaran, menemukan fakta dan data baru serta meneliti tentang wilayah perairan overlapping dan menjelaskan status terakhir delimitasi batas maritim Indonesia dengan Malaysia dan bagaimana implementasi penegakan hukum terhadap IUU Fishing di area itu.
In accordance with the provisions of the United Nations Convention of the Law of the Sea (UNCLOS), Indonesia as an archipelagic state has a water area containing the internal waters, territorial sea, contiguous zone, exclusive economic zone (EEZ), Continental Shelf (CS), and high seas. Indonesia as the largest archipelagic country in the world has a very long coastline and is bordered by ten countries. This makes delimitation of the maritime boundary is genuinely important for Indonesia. The process of maritime boundary delimitation Indonesia between Malaysia often source from undefined borders and overlapping claim according to each countries version. The problem that often arises when the maritime boundary delimitation negotiation process is underway is if there is a violation of the provisions of the national law of both countries, which often leads to legal uncertainty over who has the authority to enforce national law provisions in the unresolved maritime boundary between the two countries. Such uncertainty often results in interception of violations occurring in undefined border waters by the two disputing countries. In this regard, UNCLOS only provides obligations to both countries to establish provisional arrangements in undefined border waters to prevent conflicts. This thesis will further analyze the national and international regulations as well as the practice of law enforcement both countries in overlapping claim waters. The completion of the maritime border diplomacy is conducted through the boundary negotiations in accordance with UNCLOS 1982. This paper will gives overview, to discover new facts and to researches about waters area in overlapping claim and to explain the latest status of Indonesian maritime boundary delimitation with Malaysia and to what extent the implementation of law enforcement in those areas.
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T51928
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dania Nur Handoko
Abstrak :
Kemerdekaan Timor Leste tentunya membawa sebuah konsekuensi hukum yaitu penetapan batas wilayah. Penetapan batas wilayah dilakukan dengan tujuan agar suatu negara dapat menjalankan kedaulatan penuhnya untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam baik hayati maupun non-hayati demi keamanan, keselamatan dan kesejahteraan warga negaranya Sejak Timor Leste merdeka pada tahun 2002, Indonesia dan Timor Leste telah melakukan segala daya upayanya untuk menentukan batas wilayahnya baik di darat maupun di laut. Segmen Oecusse merupakan sebuah wilayah enclave dari Timor Leste yang berada di wilayah Indonesia sehingga wilayah laut teritorial Timor Leste di Segmen Oecusse tumpang tindih dengan wilayah laut kepulauan Indonesia. Karena merupakan negara bekas jajahan, penentuan batas wilayah darat Indonesia dan Timor Leste mengikuti hak historis yang telah ditentukan sesuai dengan Perjanjian Batas Darat antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah Portugis. Namun, untuk wilayah laut belum ada perjanjian yang mengatur batas wilayah laut antara Indonesia dan Timor Leste dari jaman penjajahan hingga saat ini yang mengakibatkan terjadi ketidakjelasan mengenai yurisdiksi hukum di wilayah batas laut tersebut. Menurut Pasal 15 UNCLOS 1982, apabila pantai dari dua negara berhadapan atau berdampingan, maka dapat menggunakan garis sama jarak untuk metode penetapan batas wilayah lautnya, namun apabila terdapat hak historis atau keadaan khusus lainnya sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, maka diperkenankan untuk menggunakan cara lain. Selain metode sama jarak, terdapat metode lain dalam penentuan batas wilayah laut yakni parallel and meridian, enclaving, perpendicular, parallel line, natural boundary method, three-stage approach, dan four stage approach ......Timor Leste's independence certainly brings a legal consequence, namely the determination of territorial boundaries. The determination of territorial boundaries is carried out with the aim that a country can exercise its full sovereignty to explore and exploit natural resources, both living and non-biological, for the security, safety and welfare of its citizens. The Oecusse segment is an enclave area of Timor Leste which is in Indonesian territory so that the Timor Leste territorial sea area in the Oecusse Segment overlaps with the Indonesian archipelagic sea area. Because it is a former colony, the determination of the land boundaries between Indonesia and Timor Leste follows historical rights that have been determined in accordance with the Land Boundary Agreement between the Dutch and Portuguese Governments. However, for the sea area there has been no agreement regulating sea boundaries between Indonesia and Timor Leste from the colonial era to the present which has resulted in unclear legal jurisdiction in these maritime boundary areas. According to Article 15 of UNCLOS 1982, if the coasts of two countries face or side by side, then they can use equal distance lines for the method of delimiting their sea boundaries, but if there are historical rights or other special circumstances in accordance with the agreement of both parties, it is permissible to use another method. In addition to the equal distance method, there are other methods for determining sea boundaries, namely parallel and meridian, enclaving, perpendicular, parallel line, natural boundary method, three-stage approach, and four-stage approach.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marcel Hendrapati
Abstrak :
ABSTRAK
The Timor Gap Treaty on oil and gas management cooperation in some parts of the Timor Sea was full of political intrigues between Australia and Republic of Indonesia, since the treaty which comprises three areas of cooperation was detrimental to Indonesia and it indicated the highest influence of Indonesian Republic by Australia. Renunciation of the treaty due to the independence of Timor Leste after a referendum resulted in the issue of maritime delimitation between Timor Leste and Indonesia. Nevertheless in fact in 2002 the new state declared maritime expansion to a distance of 100 nautical miles measured from the former Timor Gap lines. The result of the expansion was that it potentially reached to Indonesian oil and gas fields located in the west and east of the lines. Apparently the unilateral expansion conducted by the country which from 1975 until 1999 was the 27th province of Indonesian Republic motivated both states to accelerate maritime delimitation aimed at achieving equitable solution. to it, such as the maritime expansion and implementation of the equitable solution principle in maritime delimitation between the two states after the Timor Gap Treaty.

Perjanjian Celah Timor mengenai kerjasama pengelolaan migas di Laut Timor sarat dengan intrik politik antara Australia dan Indonesia, karena ternyata perjanjian yang mencakup tiga zona kerjasama merugikan Indonesia serta menunjukkan kuatnya pengaruh Australia terhadap Indonesia pada masa itu.Pembatalan perjanjian tersebut akibat kemerdekaan Timor Leste setelah referendum menimbulkan isu delimitasi maritim antaraIndonesia dan Timor Leste. Namun ternyata pada tahun 2002Timor Leste memperluas secara sepihak zona maritimnya sejauh 100 mil laut dengan menggunakan garis-garis bekas Celah Timor sehingga dikawatirkan berpotensi mencapai ladang migas Indonesia yang berada di sebelah barat dan timur dari garis-garis tersebut. Tampaknya ekspansi sepihak negara yang dari tahun 1975 hingga 1999 merupakan provinsi Republik Indonesia ke27 ini mendorong kedua negara untuk mempercepat dilakukannya berbagai negosiasi delimitasi maritim, khususnya delimitasi zona ekonomi eksklusif di kawasan tersebut. Artikel ini mengkaji substansi perjanjian Celah Timor dan perluasan maritim negara tetangga dan penerapan prinsip solusi yang berkeadilan dalam menetapkan garis batas maritim kedua negara setelah perjanjian Celah Timor
University of Indonesia, Faculty of Law, 2015
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Marcel Hendrapati
Abstrak :
Perjanjian Celah Timor mengenai kerjasama pengelolaan migas di Laut Timor sarat dengan intrik politik antara Australia dan Indonesia, karena ternyata perjanjian yang mencakup tiga zona kerjasama merugikan Indonesia serta menunjukkan kuatnya pengaruh Australia terhadap Indonesia pada masa itu.Pembatalan perjanjian tersebut akibat kemerdekaan Timor Leste setelah referendum menimbulkan isu delimitasi maritim antaraIndonesia dan Timor Leste. Namun ternyata pada tahun 2002Timor Leste memperluas secara sepihak zona maritimnya sejauh 100 mil laut dengan menggunakan garis-garis bekas Celah Timor sehingga dikawatirkan berpotensi mencapai ladang migas Indonesia yang berada di sebelah barat dan timur dari garis-garis tersebut. Tampaknya ekspansi sepihak negara yang dari tahun 1975 hingga 1999 merupakan provinsi Republik Indonesia ke27 ini mendorong kedua negara untuk mempercepat dilakukannya berbagai negosiasi delimitasi maritim, khususnya delimitasi zona ekonomi eksklusif di kawasan tersebut. Artikel ini mengkaji substansi perjanjian Celah Timor dan perluasan maritim negara tetangga dan penerapan prinsip solusi yang berkeadilan dalam menetapkan garis batas maritim keduanegara setelah perjanjian Celah Timor.
Depok: Universitas Indonesia, 2015
340 UI-ILR 5:1 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Andi Arsana
Abstrak :
Due to its geographical location, Indonesia shares border areas with at least ten neighbouring countries with which maritime boundaries must be settled. As of March 2011, Indonesia is yet to finalize its maritime boundaries with various States including Malaysia with which four maritime boundaries need to be settled: the Malacca Strait, the South China Sea, the Sulawesi Sea, and the Singapore Strait (off Tanjung Berakit). It is evident that pending maritime boundaries can spark problems between Indonesia and Malaysia. The dispute over the Ambalat Block in 2005 and 2009 and an incident in the waters off Tanjung Berakit on 13 August 2010 are two significant examples. This paper discusses the incident in the waters off Tanjung Berakit, but will be preceded by a description of the principles of coastal States? maritime entitlement pursuant to international law of the sea. Following the discussion, this paper provides suggestions for settling maritime boundaries in the area from technical/geospatial and legal perspectives.
University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2011
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
William Muliawan
Abstrak :
Fokus dari tesis ini di sini adalah Laut Timor yang merupakan daerah terbesar di mana zona maritim negara negara tetangga tumpang tindih satu sama lain yaitu Indonesia Australia dan Timor Leste Tumpang tindih yurisdiksi ini disebabkan karena prinsip yang berbeda dari batas maritim delimitasi diadopsi oleh negara negara yang berbeda Itu wajar bahwa setiap negara akan mengadopsi prinsip prinsip delimitasi batas maritim yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka masing masing negara yang terlibat akan gigih dan keras kepala dalam memegang posisi masing masing dan kesepakatan bersama belum pernah tercapai meskipun adanya negosiasi dan perdebatan yang luas diantara para pihak Melalui tesis ini kita akan pergi melalui pengembangan negosiasi dan kesepakatan yang berkaitan dengan masalah ini yang mengakibatkan beberapa perumusan perjanjian bilateral Selanjutnya tesis ini akan mengeksplorasi pembentukan Zona Pengembangan Bersama Joint Development Zone sebagai tindakan sementara untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang tersedia dari wilayah sengketa Ini akan membuat semua klaim atas batas delimitasi maritim ditahan sementara negara negara tetangga akan bekerja sama untuk memanfaatkan sumber daya tersebut Tesis ini akan menunjukkan apakah skema tersebut memang akan menguntungkan atau kurang menguntungkan bagi pihak yang terlibat Tujuan dari tesis ini adalah untuk menemukan solusi optimal untuk menyelesaikan sengketa yang sedang berlangsung pada klaim batas maritim untuk selamanya. ......The focus of this thesis here is the Timor Sea, which represent the largest area where the maritime zones of neighboring countries overlapping each other, namely Indonesia, Australia and Timor Leste. This overlapping of jurisdiction is caused due to different principles of maritime boundaries delimitation adopted by different countries. It is natural that each country will adopt principles of maritime boundaries delimitation that will best suit their needs, each countries involved are persistent and stubborn in holding their respective positions and mutual agreement has never been reached albeit such extensive and contentious negotiations among the parties. Through this thesis, we will go through the development of negotiations and agreements relating to this issue that resulted in the formulation of multiple bilateral treaties. Furthermore, this thesis is going to explore the establishment of Joint Development Zone (JDZ) as temporary provisional measures to exploit available natural resources from the disputed area. This will put all maritime boundary delimitation claims on hold while neighboring countries will cooperate to utilize such resources. This thesis will show whether such scheme will indeed be beneficial or less beneficial for the parties involved. The purpose of this thesis is to find the optimal solution to settle this ongoing dispute on maritime boundary delimitation claims once and for all.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46886
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benedict Giankana Rangkidompu Sowolino
Abstrak :
Kenaikan Permukaan Laut merupakan salah satu dampak dari Perubahan Iklim yang memiliki dampak tidak hanya terhadap keberlangsungan hidup masyarakat pesisir, namun juga terhadap Negara Pesisir tersebut. Dampak dari Kenaikan Permukaan Laut tersebut menimbulkan pembahasan mengenai keberlangsungan dari Garis Pangkal suatu Negara, yakni apakah Garis Pangkal tersebut menyesuaikan dengan Kenaikan Permukaan Laut atau tidak. Pembahasan tersebut kemudian membuahkan pembahasan yang lebih mendalam, yakni apakah Kenaikan Permukaan Laut kemudian berdampak secara langsung kepada Perjanjian Delimitasi Maritim. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk membahas mengenai bisa atau tidaknya Kenaikan Permukaan Laut dijadikan dasar untuk menerapkan Amandemen Perjanjian ataupun Rebus sic Stantibus terhadap Perjanjian Delimitasi Maritim. Tulisan ini ditulis dengan menggunakan metode penulisan hukum normatif untuk menghasilkan data deskriptif analitis. Selanjutnya, temuan penelitian ini menyimpulkan bahwa berdasarkan teori Perjanjian Internasional, Kenaikan Permukaan Laut hanya dapat dijadikan dasar Amandemen Perjanjian Delimitasi Maritim, namun tidak bisa dijadikan dasar penerapan Rebus sic Stantibus dikarenakan tidak memenuhi syarat, namun secara praktik kedua tindakan tersebut ditolak penerapannya oleh Negara-Negara. ......Sea Level Rise is one of the direct impacts caused by Climate Change, in which not only does it affect the livelihood of coastal settlements, but also for the Coastal State itself. Its effects had prompted discussions regarding whether the Baselines of a Coastal State act in accordance with the Sea Level Rise, or whether they stay permanent. Said discussion also provides another, more complex, discussion, regarding whether Sea Level Rise has an immediate effect on Maritime Delimitation Agreements. This thesis aims to discuss and analyze whether Sea Level Rise may or may not be used as a means of conducting Treaty Amendment or even Rebus sic Stantibus towards established Maritime Delimitation Agreements. This thesis was written using the normative legal writing method to produce analytical descriptive data. Furthermore, this thesis concludes that, based on legal theories in the Law of Treaties Sea Level Rise may only be used as a basis for the Amendment of Maritime Delimitation Agreements and not the application of the Rebus sic Stantibus doctrine, as it does not fulfill the requirements, but in practice both actions and its application is rejected by a majority of States.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library