Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 48 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Desmawita
"GAKY merupakan salah satu masalah gizi utama sampai saat ini harus terus menerus dikendalikan karena akan terus ada dan muncul lagi apabila tidak memperhatikan upaya penanggulangannya. Dampak GAKY terhadap penduduk pada umumnya lebih luas dari yang diperkirakan semula yaitu gondok, dan melibatkan gangguan tumbuh kembang manusia sejak awal kehidupan, baik perkembangan fisik maupun mental. Masa yang paling peka adalah masa pertumbuhan susunan syaraf pusat, masa pertumbuhan linier dan masa hamil.
Hasil survei pemetaan GAKY nasional, ditemukan prevalensi GAKY tahun 1998 di Kabupaten Lima Puluh Kota sebesar 28,8% dan pada tahun 2003 turun menjadi 19,8%. Namun hasil pemetaan GAKY Dinkes Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2003 ditemukan prevalensi TGR anak SD di Kecamatan Situjuah Limo Nagari (55,6%) termasuk kategori endemik berat.
Penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan defisiensi yodium di Kecamatan Situjuah Limo Nagari Kabupaten Lima Puluh Kota Propinsi Sumatera Barat. Penelitian ini merupakan analisis data primer dengan pendekatan kuantitatif observasional menggunakan rancangan cross sectional. Penelitian dilaksanakan bulan Maret-April 2007. Sampel adalah anak SD umur 8-12 tahun berjumlah 140 orang dipilih secara acak sederhana pada satu nagari dekat (Nagari Banda Dalam) dan satu nagari jauh (Nagari Tungka). Variabel dependen adalah defisiensi yodium dan variabel independen meliputi umur, jenis kelamin, pengetahuan gizi tentang GAKY, pendidikan ibu dan pengetahuan gizi ibu tentang GAKY, konsumsi makanan sumber yodium, konsumsi makanan sumber zat goitrogenik, kualitas garam dan tempat ibu menyimpan garam. Analisa data dilakukan secara bertahap dimulai dengan univariat, bivariat (chi square) dan multivariat (logistic regression).
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi gondok Kecamatan Situjuah Limo Nagari adalah 22,9% terdapat di nagari dekat 17,7% dan nagari jauh 26,9%. Proporsi kejadian gondok pada anak perempuan (50,7%) sedikit lebih banyak dari anak laki-laki (49,3%) dan terdapat pada umur 2 10 tahun. Pengetahuan gizi anak SD tentang GAKY tergolong tinggi, namun kurang dari separoh anak SD yang mengetahui akibat kekurangan yodium, bahan makanan sumber goitrogenik dan belum mengetahui cara menguji kualitas garam beryodium. Lebih dari separoh ibu belum mengetahui akibat kekurangan yodium menyebabkan cacat fisik dan mental, bahan makanan sumber yodium, bahan makanan sumber goitrogenik dan cara menguji kualitas garam beryodium. Tingkat pendidikan ibu tergolong rendah (SMP) (55,0%). Sebagian besar anak SD (82,9%) mengkonsumsi garam dengan kandungan yodium cukup, tetapi konsumsi bahan makanan sumber yodium masih rendah (51,4%) sebaliknya konsumsi goitrogenik tinggi (62,1%).
Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan bermakna antara pengetahuan gizi anak SD tentang GAKY, pengetahuan gizi ibu tentang GAKY, konsumsi makanan sumber goitrogenik, kualitas garam, dan tempat ibu menyimpan garam dengan terjadinya defisiensi yodium. Variabel pengetahuan gizi ibu tentang GAKY merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan terjadinya deisiensi yodium 'di Iokasi penelitian. Disarankan bagi Dinas kesehatan melalui puskesmas agar lebih mengintensifkan penyuluhan tentang GAKY khususnya akibat kekurangan yodium, bahan makanan sumber yodium dan goitrogenik, penyimpanan garam beryodium yang benar menyangkut cara dan tempat serta cara mengetahui kualitas garam beryodium, baik bagi peserta didik maupun bagi ibu-ibu yang Berperan penting dalam mengelola rumah tangga.

Abstract
IDD is one of the main nutrition problems that need to be controlled continuously until now because it will appear and re-appear if the control efforts are not exercised. The impacts of IDD towards the people in general is broader that it was expected before, i.e. goiter, and involve human growth and development disorder since early life, either in terms of physical growth or mental growth. The most vulnerable periods are the central nerve system growth period, linear growth period and in pregnancy.
From the national IDD mapping survey it is revealed that the lDD prevalence in 1998 in Lima Puluh Kota District is 28.8% and decreased to 19.8% in 2003. However, iiorn the IDD mapping results of the Health Oftice of Lima Puluh Kota District 2003, it is revealed that the TGR prevalence in elementaryschool children in Situjuah Limo Nagari Sub District (55.6%) is categorized as severe endemics.
This research is aimed at describing factors related to iodine deficiency in Situjuah Limo Nagari Sub District, Lima Puluh Kota District, West Sumatera Province. The research is a primary data analysis with observational quantitative approach using cross sectional design. The research was performed during the period of March to April 2007. The samples are 140 elementary school children ranging &om 8-I2 years old which are chosen with a simple random method from one nearby nagari (Nagari Banda Dalam) and one distant nagari (Nagari Tungka). The dependent variable is the iodine deficiency and the independent variables consist of age, sex, nutrition knowledge on IDD, mother educational background and mother nutrition knowledge on IDD, iodine containing food consumption, goitrogenic element containing food consumption, salt quality and salt container. The data analysis is performed in stages starting from univariate, bivariate (chi square) and multivariate (logistic regression).
The results of this research show that the goiter prevalence in Situjuah Limo Nagari Sub District is 22.9% with 17.7% in nearby nagari and 26.9%. The proportion of goiter prevalence, found in the age of 2 10 years old, in girls (50.7%) is higher than in boys (49.3%). The knowledge on nutrition of the elementary school, especially on IDD, is considered high. However, less than half of elementary school children know the impacts of iodine deficiency, goitrogenic food, and how to test iodine containing salt quality. Mother educational background is quite low (junior high school) (55.0%). Most elementary school children (82.9%) consume salt with enough iodine content. However, iodine containing food consumption is still low (51.4%) with goitrogenic consumption, in contrast, is still high (62.1%).
The results from the bivariate analysis shows that there is a significant relationship between the elementary children nutrition knowledge on IDD, mother nutrition knowledge on IDD, goitrogenic food consumption, salt quality and container where salt iskept and the iodine deficiency incidence. The mother nutrition knowledge on IDD variable is the most dominantly related to the iodine deficiency in the research location, It is suggested that the Health Office through Puskesmas should intensify education on IDD especially on impacts of iodine deficiency, iodine containing food and goitrogenic good, correct storage of iodine salt in terms of the method and place as well as how to identify iodine salt quality, either for students or for housewives who have important roles in managing the household.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T34515
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rhyno Febriyanto
"Latar belakang: Remaja merupakan kelompok risiko tinggi defisiensi besi. Adanya obesitas pada remaja meningkatkan risiko defisiensi besi disebabkan perbedaan pola asupan dan inflamasi kronis derajat rendah.
Tujuan: Mengetahui status besi remaja usia 15 -17 tahun dengan obesitas.
Desain penelitian: Penelitian potong lintang pada remaja usia 15 ? 17 tahun di dua SMU Jakarta Pusat pada bulan September ? November 2015. Subjek dibagi 2 kelompok berdasar indeks massa tubuh (IMT). Subjek obes bila IMT≥P95 dan non-obes bila IMT ≥P5 -
Hasil penelitian: Diperoleh 100 subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) diperoleh 52 subjek obes dan 48 subjek non-obes. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik proporsi defisiensi besi dan anemia defisiensi besi pada kelompok obes dan non-obes (9,6% vs 16,7%; p=0,295). Tidak terdapat perbedaan bermakna asupan besi total kelompok obes dan non-obes ( 8 (2,6 ? 95,9) mg/hari vs 10 (1,8 ? 83,4) mg/hari; p=0,188). Persentase asupan besi heme kelompok obes lebih tinggi dibandingkan kelompok non-obes ( 31 (0,0 ? 95,6)% vs 20 (15,2 ? 100,0)%; p=0,029).
Simpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik proporsi defisiensi besi dan anemia defisiensi besi remaja usia 15 ? 17 tahun dengan obes dan non-obes. Tidak terdapat perbedaan rerata asupan besi remaja usia 15 - 17 tahun dengan obes dan non obes.

Background. Adolescent period is high risk group of iron deficiency. Obesity can increase the risk of iron deficiency. It was caused by low iron intake and low grade chronic inflammation.
Objective. To assess whether obese adolescents, who often have poor dietary habits, are at increased risk of iron deficiency.
Methods: Cross-sectional study on adolescence 15 to 17 years old in Senior High School in Central Jakarta between September to November 2015. Subject was divided into 2 groups based on body mas index (BMI). Obese group if BMI ≥P95 and non-obese group if BMI ≥P5 -
Results. There are 100 subjects that meet the inclusion and exclusion criteria. There was no significance difference proportion of iron deficiency and iron deficiency anemia between obese and non-obese group (9,6% vs 16,7%; p=0,295). Both groups did not significantly differ in total iron intake ( 8 (2,6 ? 95,9) mg/day vs 10 (1,8 ? 83,4) mg/ day; p=0,188). Obese groups have higher heme iron intake than non-obese groups ( 31 (0,0 ? 95,6)% vs 20 (15,2 ? 100,0)%; p=0,029).
Conclusion. Proportions of iron deficiency and iron deficiency anemia were same in both adolescence group. There was no difference in iron intake in obese and non-obese adolescence."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teguh Mohammad Rahman
"Teknologi cryopreservasi dimaksudkan untuk mengawetkan sampel untuk analisa sehingga sampel tahan lama. Pengawetan ini menggunakan agen nitrogen cair, karena karakteristik.nya yang mempunyai suhu minus tinggi dibawah nol-derajat yaitu pada suhu — 196 °C dan disimpan didalam cryogenic container. Meskipun demikian nitrogen cair mempunyai sifat mudah menguap yang tinggi menjadi gas nitrogen. Permasalahannya adalah cryogenic container tersebut disimpan didalam ruang tertutup (ruang cryo) dimana ventilasi tidak beroperasi. Potensi risiko gas nitrogen didaIam ruang tertutup adalah terjadinya bahaya defisiensi oksigen yang dapat menyebabkan kondisi asphyxia didalam ruang cryo.
Penelitian ini dilakukan di laboratorium ABC yang merupakan laboratorium biomedik yang bertempat di Jakarta. Penelitian ini betujuan untuk membuat analisis risiko dengan melihat penyebab terjadinya bahaya defisiensi oksigen di ruang ayo karena instalasi cryogenic container. Variabel penyebab defisensi oksigen di ruang cryo adalah pekerjaan cryopreservasi, sistem cryogenic container, sistem ventilasi dan jumlah pesonel. Metode penilitian adalah kualitatif, semi kuantitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif adalah dengan observasi lapangan, kajian dokumen pendukung diperusahan, interview tingkat pengetahuan terhadap staff laboratorium. Metode semi kuantitaif adalah dengan menentukan skoring terhadap variabel penyebab bahaya defisiensi oksigen sehingga menghasilkan tingkat risiko untuk masing-masing variabel penyebab. Metode kuantitatif adalah dengan melakukan perhitungan konsentrasi oksigen di ruang cryo dari data-data yang diambil dari hasil observasi lapangan dan dokumen pendukung.
Konsentrasi oksigen didalam ruang cryo dibawah standar OSHA 29 CFR 1910.146 (19.5 %) yaitu 17.38 %. Tingkat risiko tinggi yang menyebabkan defisiensi oksigen diruang cryo adalah pekerjaan cryopreservasi (membuka tutup cryogenic container, kegiatan filling/ pengisian cryogenic container dengan nitrogen cair, dan sistem ventilasi yang tidak mendukung. Tingkat pengetahuan staff laboratorium terhadap bahaya defisiensi oksigen yang dapat menyebabkan asphyxia adalah rata-rata.

The purposes of cryopreservation technology is to preserve the sample for analysis used until longterm. Preservation is using liquid nitrogen agent because its characteristic which have high cold temperature for — 196 °C and stored inside cryogenic container. Although liquid nitrogen have high evaporation to be gas nitrogen, the problem is that cryogenic container stored in confined space (cryo room) which not ventilated. Potential risk of gas nitrogen in confined space is oxygen deficiency hazard consequences to condition of asphyxia in cryo room.
This research conducted in laboratory ABC which is biomedical laboratory in Jakarta. The purposes of this research is to conduct risk analysis the causes of oxygen deficiency in cryo room because of cryogenic container installation. Causes variable of oxygen deficiency in cryo room is cryopreservation job, cryogenic container system, ventilation system and amount of personnel. Method of research is qualitative, semi- qualitative and quantitative. Qualitative method by field observation, support document review of company, interview of knowledge level to laboratory staff. Semi-quantitative method by determining score causes variable of oxygen deficiency hazard to result risk level for each variable. Quantitative method by quantifying oxygen concentration in cryo room from data field observation and support document.
Oxygen concentration in cryo room below standard of OSHA 29 CFR 1910.146 (19.5%) is 17.38%. High risk level causing oxygen deficiency in cryo room is cryopreservation job (open-closed lid cryogenic container, filling job of gas nitrogen to cryogenic container and ventilation system which is not supported. Knowledge level of laboratory staff to oxygen deficiency hazard which causing asphyxia is average.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T33906
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Vera
"Prevalensi defisiensi vitamin D pada wanita 50 tahun ke atas di Indonesia cukup tinggi namun pemeriksaan kadar vitamin D serum sangat mahal. Oleh karena itu, diperlukan alat penyaring defisiensi vitamin D yang cukup ekonomis dan sederhana untuk dikerjakan di layanan kesehatan primer. Penelitian ini menemukan hubungan yang bermakna secara statistik antara diabetes mellitus, skor proteksi matahari, kelemahan otot ekstremitas bawah dengan defisiensi vitamin D. Berdasarkan ketiga determinan tersebut, dapat dibuat sistem skoring yang dapat digunakan untuk menyaring kelompok wanita 50 tahun ke atas yang mempunyai probabilitas besar menderita defisiensi vitamin D.

Prevalence of vitamin D deficiency in Indonesian women aged above 50 years is quite high, but serum vitamin D laboratory examination is very expensive. Therefore, simple and economic screening tool of vitamin D deficiency is required in the primary care setting. This research found a statistically significant correlation between diabetes mellitus, sun protection score, and weakness of lower extremity, with vitamin D deficiency. Based on these three determinants, a scoring system can be created to identify women aged above 50 years with high probability of having vitamin D deficiency.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Idral Purnakarya
"Demensia Alzheimer menempati urutan kesembilan penyebab kematian
di Amerika Serikat. Demensia adalah kondisi yang sering dialami yang
berhubungan dengan berbagai faktor dan gaya hidup terutama diet.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan defisiensi asupan ri-
boflavin (vitamin B12) dengan demensia pada usia lanjut (usila).
Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional dan dilaksanakan
pada bulan September 2007 sampai dengan Januari 2008. Sampel
penelitian adalah 141 lansia berumur lebih dari sama dengan 60 tahun
yang diambil secara purposive sampling. Demensia diukur menggunakan
kuesioner MMSE (≤ 24, skor maksimum 30) dan asupan riboflavin diukur
menggunakan form Semi Quantitative ? FFQ. Penelitian ini memperli-
hatkan bahwa 47,5% usila mengalami demensia. Hasil uji statistik me-
nunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara umur, tingkat
pendidikan, dan asupan riboflavin dengan kejadian demensia pada usila
(nilai p < 0,05).
Dementia Alzheimer?s was ranked the ninth leading cause of death in The
United States. Dementia can not be avoided as related to several factors
and lifestyle especially the diet. The objective of this research is to know re-
lation the deficiency of riboflavine (vitamin B12) intake and incidence of de-
mentia at elderly. A cross-sectional study was conducted between
September 2007 and January 2008. The sample obtained was 141 elderly
which it was conducted to purposive sampling. Dementia was measured by
using questionnaire MMSE (≤ 24, maximum score was 30), and riboflavine
intake was measure by Semi Quantitative ? FFQ form. This study shows
that dementia in elderly was 47,5%. Statistical test showed that Statistical
test showed that incidence of dementia had significantly associated with
ages, level of education, and riboflavine intake (p value < 0,05)."
Universitas Andalas, Fakultas Kedokteran, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, 2011
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ketut Suwetra
"Anemi defisiensi besi merupakan anemi gizi yang paling sering terjadi baik di negara sedang berkembang maupun di negara maju dan terdapat terutama pada bayi dan anak-anak; yang dalam pertumbuhan cepat membutuhkan zat besi yang tinggi dan kandungan zat tersebut dalam makanan yang lebih rendah dari kecukupan kebutuhan yang dianjurkan (1). Diit kaya zat besi tidak menjamin ketersedian zat besi yang cukup bagi tubuh selama absorpsi zat besi dipengaruhi oleh bahan penghambat (inhibitor) dan pemacu (promoter) yang ada di dalam makanan. Zat besi yang terdapat di dalam Air Susu Ibu (ASI) hanya mencukupi kebutuhan akan zat besi sampai umur 6 bulan dan cadangan besi tubuh mulai menurun sejak umur 5 - 6 bulan, maka kebutuhan pada umur selanjutnya harus dipenuhi dari makanan. Di negara berkembang makanan pokok terutama terdiri dari serealia, kacang-kacangan dan sayuran dengan kualitas zat besi yang rendah serta banyak mengandung bahan penghambat absorpsi besi seperti fitat, tannin dan serat (1,2,3,4). Keadaan tersebut disertai dengan kemiskinan, ketidak-tahuan tentang makanan bergizi, adanya kepercayaan yang salah terhadap makanan tertentu (tabu), lingkungan yang masih mendukung terjadinya berbagai penyakit infeksi dan infestasi cacing khususnya cacing tambang (5).
Semua keadaan tersebut menyebabkan tingginya prevalensi anemi defisiensi besi pada bayi dan anak di negara sedang berkembang (5). Resiko terjadinya anemi defisiensi besi tertinggi adalah pada anak-anak umur kurang dari 2 tahun baik di negara maju seperti Amerika Serikat dan Perancis (6) maupun di negara berkembang seperti Argentina (7) dan Malaysia (8). Di Indonesia data anemi defisiensi besi secara nasional belum ada, namun dari beberapa peneliti yang melakukan penelitian secara terpisah dalam skala yang lebih kecil pada anak-anak dengan status g i z i baik ditemukan 37,8 - 73,0 % pada anak umur 6 bulan - 6 tahun pada kelompok social ekonomi rendah (5), 46,67 % pada anak balita yang berobat ke RSCM (9) dan 58,33% pada anak-anak umur 6 -- 18 bulan di Kelurahan Manggarai Selatan, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan (10).
Telah diketahui bahwa anemi defisiensi besi berpengaruh terhadap morfologi dan enzim-enzim yang ada kaitannya dengan metabolisme energi di dalam epitel mukosa usus. Telah diketahui pula bahwa absorpsi karbohidrat memerlukan energi. Gangguan absorpsi ada hubungan dengan penurunan kapasitas metabolisme energi di dalam epitel usus (7,11). Telah ditemukan pada anak umur 9 - 32 bulan dengan anemi defisiensi besi berat adanya gangguan absorpsi D-xilosa dan lemak (12), pada kasus yang sama ditemukan pula gangguan absorpsi D-xilosa pada subyek berumur 13 - 55 tahun (13). Di Indonesia penelitian serupa belum pernah dilakukan pada penderita anemi defisiensi besi khususnya pada anak umur kurang dari 2 tahun, merupakan faktor pendorong pelaksanaan penelitian ini."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Wirastuti
"Cacingan merupakan penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia dan paling sering disebabkan oleh spesies Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus). Cacingan dapat menyebabkan diare, anemia defisiensi besi (ADB), malnutrisi, dan berbagai gejala usus lainnya. ADB pada infeksi A. lumbricoides dan T. trichiura karena cacing menyerap zat gizi yang berperan pada pembentukan Hb, sedangkan pada infeksi cacing tambang akibat perdarahan kronik di saluran cerna. Defisiensi besi dapat terjadi tanpa adanya anemia. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data proporsi cacingan, profil hematologi , dan profil zat besi pada anak yang terinfeksi cacing usus di SD Panimbang Jaya, Pandeglang. Diperoleh 205 subjek penelitian yang memiliki data hematologi, profil besi, dan telur cacing. Proporsi cacingan di Pandeglang adalah 44,4% yang didominasi oleh infeksi cacing intensitas ringan (79,1%). Spesies cacing yang menginfeksi adalah A. lumbricoides, T. trichiura dan campuran keduanya. Didapatkan perbedaan bermakna kadar Hb (p = 0,001), RDW-CV (p = 0,038), retikulosit absolut (p = 0,002), retikulosit relatif (p = 0,007), dan feritin (p= <0,001) antara kelompok subjek yang terinfeksi cacing usus dan tidak terinfeksi. Didapatkan perbedaan bermakna kadar feritin (p = 0,018) dan TIBC (p = 0,001) antara subjek yang terinfeksi cacing intensitas ringan dan sedang. Didapatkan indeks Mentzer >13 pada kelompok subjek yang terinfeksi cacing usus dan tidak terinfeksi

Soil-Transmitted Helminth (STH) infection is a public health problem in the world and most often caused by species of Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, and hookworms (Ancylostoma duodenale and Necator americanus). STH infection can cause diarrhea, iron deficiency anemia (IDA), malnutrition, and various intestinal symptoms. IDA in A. lumbricoides and T. trichiura infections caused by absorption of nutrients that play a role in the formation of Hb, while in hookworm infections is due to chronic bleeding in the gastrointestinal tract. Iron deficiency can occur in the absence of anemia. This study aims to obtain the proportion of STH infection, hematological profiles, and iron profiles in children infected by STH at SD Panimbang Jaya, Pandeglang. Two hundred and five research subjects had data on hematology, iron profile and worm eggs. The proportion of STH infection in Pandeglang was 44.4% which was dominated by mild intensity STH infection (79.1%). The species of STH that infect are A. lumbricoides, T. trichiura and a mixture of both. There were significant differences in the levels of Hb (p = 0.001), RDW-CV (p = 0.038), absolute reticulocytes (p = 0.002), relative reticulocytes (p = 0.007), and ferritin (p = <0.001) between STH infected and not infected group. There was a difference in ferritin levels (p = 0.018) and TIBC levels (p = 0,001) between mild and moderate STH-infected subjects. Mentzer index was >13 in both groups of subjects infected with STH and not infected."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pramita Gayatri Dwipoerwantoro
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
D1745
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Henny Adriani Puspitasari
"Latar belakang: Bayi prematur rentan kekurangan zat besi karena cadangan besi ibu rendah, kebutuhan besi untuk pertumbuhan dan pengambilan sampel laboratorium. Risiko tersebut meningkat saat bayi prematur berusia 2 bulan. Kecukupan zat besi tubuh dinilai dengan kadar feritin, besi serum (SI), saturasi transferin (Tfsat), total iron binding capacity (TIBC) dan Hb.
Tujuan: Mengetahui profil besi pada bayi prematur usia kronologis 2 bulan.
Metode: Studi potong lintang dilakukan terhadap bayi usia 2 bulan yang lahir usia gestasi (UG) 32-36 minggu saat berkunjung ke klinik tumbuh kembang. Pemeriksaan darah tepi lengkap, apusan darah tepi, SI, TIBC, Tfsat dan feritin dilakukan pada sampel darah vena. Data lain diperoleh dari wawancara dan telaah rekam medik.
Hasil : Studi diikuti oleh 83 subjek yang terdiri dari 51% lelaki dan 93% lahir dari ibu berusia >20 tahun. Berat lahir terkecil adalah 1.180 g dan terbesar adalah 2.550 g. Prevalens ADB sebesar 6% dan DB sebesar 10%. Subjek ADB memiliki kadar Hb terendah 6,8 g/dL dan feritin terendah 8,6 ng/mL. Median kadar SI adalah 48 μg/dL; TIBC 329 μg/dL dan Tfsat 17%. Bayi ADB sebagian besar lelaki (5/5), kenaikan BB ≥2x berat lahir (4/5), tidak disuplementasi besi (3/5), latar belakang pendidikan ibu rendah (3/5) dan golongan sosial-ekonomi rendah- menengah ke bawah (3/5).
Simpulan: Prevalens ADB sebesar 6% dan DB sebesar 10%. Sebagian besar subjek yang mengalami DB dan ADB memiliki kadar SI, Tfsat dan feritin rendah serta TIBC meningkat. Subjek lelaki dengan kenaikan BB ≥2x berat lahir, tidak disuplementasi besi, latar belakang pendidikan ibu rendah dan golongan sosial ekonomi rendah-menengah ke bawah lebih banyak yang mengalami ADB.

Background: Preterm infants are vulnerable to iron deficiency (ID) due to lack of maternal iron stores, phlebotomy and increasing demand during growth. Risk of ID increases when hemoglobin (Hb) level started to decrease at 2 months of age. Iron body adequacy is measured by examining feritin, serum iron (SI), transferrin saturation, total iron binding capcity (TIBC) and Hb.
Objective: To describe iron profile in preterm infants at 2 months of chronological age (CA).
Methods: A cross-sectional study was conducted to 2 months old infants born at 32-36 gestational age visiting Growth and Development Clinics. Parents interview and medical record review were taken at visit. Complete blood count, blood smear, SI, TIBC, Tfsat and ferritin level were performed.
Results: Eighty three subjects were enrolled in this study. Mostly were male (51%) and born from mother >20 years old (93%). The lowest birth weight was 1,180 g and the highest was 2,550 g. Prevalence of IDA is 6% and ID is 10%. The lowest Hb level found in IDA infants was 6.8 g/dL and ferritin level was 8.6 ng/mL. Median of SI level was 48 μg/dL; TIBC 329 μg/dL; and Tfsat 17. Subjects with IDA were mostly men (5/5), achieved more than twice birth weight (4/5), non-iron supplemented (3/5), born from low education background mother (3/5) and has low socio-economic status (3/5).
Conclusions: Prevalence of IDA is 6% and ID is 10%. Most subjects with ID and IDA have low SI, high TIBC, low Tfsat and low ferritin level. Male subjects who weigh ≥twice birth weight, non-iron supplemented, born form low educational background and socioeconomic status mother were mostly suffer from IDA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58921
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Achadi
"Di Indonesia, kekurangan Vitamin A masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting seperti terlihat pada balita penderita vitamin A defisiensi subklinis yang tinggi (50%). Hal tersebut akan berpengaruh terhadap berbagai fungsi tubuh yang antara lain meliputi sistem imun, penglihatan, sistem reproduksi dan diferensiasi sel. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kontribusi konsumsi minyak yang diperkaya vitamin A dalam memperbaiki status vitamin A dan hemoglobin balita. Penelitian dengan disain studi intervensi Before-After ini dilaksanakan pada anak sehat berusia 7-10 tahun yang diberi obat cacing sebelum intervensi dilakukan. Pengukuran serum retinol dan hemoglobin dilakukan sebelum dan 3 bulan setelah intervensi . Minyak yang difortifikasi vitamin A telah disediakan di warung/ toko di sekitar tempat tinggal responden. Untuk meningkatkan demand, penelitian ini dilengkapi dengan pendekatan pemasaran sosial yang dilakukan pihak lain. Secara umum tidak terlihat perubahan status gizi, tetapi prevalensi anemia turun dari 21,8% menjadi 11,6%. Sementara, prevalens vitamin A defisiensi ditemukan lebih rendah pada anak yang mengkonsumsi ≥12 minggu (26,6%) daripada yang mengkonsumsi < 12 minggu (42%) . Hasil tersebut dapat dijadikan pertimbangan untuk merekomendasikan agar minyak difortifikasi vitamin A.

Vitamin A deficiency (VAD) remains as one of significant public health problems in Indonesia. Around 50% of under five children are suffering from subclinical VAD. Deficiency of vitamin A will affect several important role in the body, such as immune system, vision, reproductive system and cell differentiation. Therefore, guarding Indonesian children to be free from VAD is crucial for their quality as Human Resources. We assessed the impact of the consumption of vitamin A fortified cooking oil on the improvement of vitamin A and hemoglobin status among school children in urban slum area in Makassar City. The study was an intervention design Before-After. Healthy school children 7-10 years were selected from schools and de-wormed before the intervention. Serum retinol and hemoglobin was measured at baseline and at 3 months after. Fortified oil was made available through distribution at shops and accompanied with social marketing. Eventhough overall there was no change in VAD prevalence, the VAD prevalence is lower among children who consumed fortified oil ≥12 weeks (26.6%) compared to those who consumed <12 weeks (42%). Prevalence of anemia decreased from 21.8% to 11.6%. We recommended that fortified oil is made mandatory."
2010
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>