Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Furqon Khakim
Abstrak :

 

Hakim sebagai bagian dari sistem peradilan, memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan jaminan kepastian hukum kepada masyarakat dalam bentuk pengambilan keputusan pada suatu peradilan perkara. Namun, acap kali keputusan yang diambil hakim memberikan ketidakpastian hukum seperti disparitas pidana. Disparitas pidana dapat diartikan sebagai ketidak samaan putusan yang dijatuhkan pada perkara-perkara yang memiliki kesamaan. Sehingga, ketidaksamaan ini bisa memberikan rasa ketidak adilan kepada narapidana. Salah satu teori yang membahas disparitas pidana adalah teori legal realism. Para pendukung teori ini berpendapat bahwa dalam pengambilan suatu keputusan, hakim tidak hanya mendasarkan pada fakta-fakta hukum yang disajikan dalam persidangan, tetapi hakim juga mempertimbangakn faktor psikoligi, politik dan sosial. Dengan kata lain, hakim bisa saja menggabungkan faktor legal dan non-legal tersebut untuk menarik suatu keputasan suatu perkara peradilan. Disparitas pidana dan teori legal realism mendorong penulis melakukan suatu penelitian untuk melihat hubungan antara faktor legal dan non-legal terhadap durasi penahanan pada narapidan anak, dan juga untuk menguji coba beberapa hipotesa guna mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi masa tahanan narapidana anak di Indonesia. Dengan menggunakan metode model regresi Ordinary Least Square, penelitian ini menemukan adanya suatu hubungan beberapa faktor legal dan non legal terhadap masa penahanan narapidana anak. Dari delapan faktor yang diuji, hanya terdapat dua faktor yaitu lokasi peradilan dan tingkat kejahatan yang secara signifikan mempengaruhi hakim dalam menentukan masa penahanan. Hasil dari penelitan ini bisa digunakan sebagai salah satu dasar dalam pengambilan keputusan oleh pihak terkait dalam rangka mengurangi disparitas pidana terutama untuk narapidana anak.

Kata kunci: disparitas, faktor legal, faktor extralegal, narapidana anak,  putusan hakim,

 


The judge as the main actor in the justice system, plays a significant role in providing justice and legal certainty for the society through every decision made in court. However, in practice, the judges decision often leads to legal uncertainties such as the disparity in sentencing. Disparity in sentencing is defined as the application of an unequal sentencing to similar offenses in practice of the court, specifically with regard to the duration of the final sentence. Hence, it may bring a sense of inequality in justice for the defendants. One legal theory discussing disparity in sentencing is the legal realism theory. Legal realists argue that not only rational application of laws, but also psychological, political, and social factors need to be considered by the judges in making the final sentence. In other words, the judges may combine legal and extra-legal elements to derive final decision for the cases. Sentencing disparity and legal realism theory inspired the author to conduct a research to examine the correlation between legal-extralegal factors and the duration of the final sentence, and also hypotheses testing to figure out the influencing factors on that affect the duration set for juvenile defendants in Indonesia. Applying quantitative methods with Ordinary Least Square regression model, this research found the correlation of some legal and extralegal factors to the length of incarceration among juvenile defendants. In addition, among eight factors examined in this research, only two factors, namely the location of the court and seriousness level of crime were found to significantly influence the judges on sentencing. The findings of the study can be used to set legal policy to reduce the disparity in the final sentence especially for juvenile defendants.

Keywords: disparity, final sentence juvenile defendant, legal-extralegal factors, legal realist

 

Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusnoni
Abstrak :
Perilaku sopan santun menjadi hal mendasar yang dibutuhkan dalam aktivitas sosial masyarakat, termasuk di dalam persidangan. Mengenai pemaknaan kesopanan di persidangan sendiri tidak ada pemaknaan yang sama. Meskipun tidak ada pemaknaan yang sama mengenai definisi dari kesopanan terdakwa di persidangan sebagai pertimbangan keadaan yang meringankan. Namun secara umum, sikap sopan terdakwa di persidangan lebih menekankan pada penghargaan terhadap tata tertib persidangan. Beberapa putusan pengadilan ada yang menggunakan sikap sopan terdakwa sebagai faktor yang meringankan pidana. Meskipun tidak ada ketentuan yang secara khusus menyebutkan bahwa sikap sopan dapat menjadi dasar pertimbangan yang meringankan, beberapa putusan pengadilan telah menganggap sikap sopan terdakwa di persidangan sebagai keadaan yang meringankan pidana. Namun, hal ini masih menjadi perdebatan di kalangan masyarakat, karena ada anggapan bahwa hanya dengan bersikap sopan di persidangan dapat memperingan hukuman, hal tersebut dianggap tidak adil oleh sebagian masyarakat. Peraturan mengenai keharusan untuk bersikap sopan di persidangan diatur oleh Mahkamah Agung melalui protokol persidangan dan keamanan dalam lingkungan pengadilan. Dimana setiap orang yang berada di ruang sidang diwajibkan untuk menunjukkan sikap hormat terhadap peradilan, yang didalamnya termasuk untuk bersikap. Namun, mengenai apakah kesopanan terdakwa di persidangan dapat dipertimbangkan sebagai hal yang akan memperingan hukuman secara khusus tidak ada aturan yang mengatur bahwa sikap sopan terdakwa di persidangan dapat memperingan hukuman. Penentuan mengenai lamanya pidana penjara tidak diatur dengan kalkulasi yang baku, tetapi didalamnya hakim memiliki kebebasan untuk menentukan lamanya penghukuman. Pertimbangan hakim dalam menentukan penghukuman dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk didalamnya sikap terdakwa di persidangan. Namun, penggunaan sikap sopan terdakwa di persidangan sebagai faktor yang meringankan pidana dapat bervariasi antara putusan yang satu dengan putusan yang lain. Dalam penelitian ini, penulis menganalisis penggunaan sikap sopan terdakwa di persidangan sebagai pertimbangan dalam penjatuhan hukuman. ......Polite behavior is a fundamental requirement in social activities within the community, including in the judicial process. However, there is no universal interpretation of courtroom decorum. Although there is no consensus on the precise definition of defendant's courtesy in court as mitigating circumstances, generally the behavior of defendants' courtesies emphasizes respect for courtroom decorum. Several court decisions have used the polite behavior of the defendant as a mitigating factor in sentencing. Even though there is no specific provision stating that politeness can be used as a basis for mitigating sentences, several court decisions considered the polite behavior of the defendant in court as a mitigating measure. However, this remains a matter of debate in society, as some people believe that simply behaving politely in court does not necessarily lead to a reduced sentence, which they consider unfair. The obligation of individuals to show respectful behavior in court is regulated by the Supreme Court through courtroom and security protocols. However, as to whether the modesty of the defendant in court can be specifically considered as a mitigating factor, there is no rule that the courtesy of the defendant in court can reduce the sentence. Determination of the length of imprisonment is not regulated by a fixed calculation, but at the discretion of the judge. The judge's consideration in determining the sentence is influenced by various factors, including the behavior of the accused in court. However, the use of the defendant's polite behavior in court as a mitigating measure may vary between decisions of different courts. In this study, the authors analyze the use of the defendant's polite behavior in court as a consideration in sentencing. Although there are no normative rules governing this, courtroom practice shows that the polite behavior of the accused in court can be considered a mitigating factor in sentencing. However, based on the findings of this study, the researcher concludes that "polite behavior of the accused in court" is not treated as a condition that automatically reduces criminal penalties, considering that behaving politely in court is an obligation for everyone present in the courtroom.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadi Putranto
Abstrak :
Menurut pendapat para pakar bahwa proses pemeriksaan yang dilakukan dengan cara kekerasan telah ada semenjak Polisi lahir. Namun disebagian anggota Polisi banyak juga yang melakukan proses pemeriksaan tanpa harus dengan cara kekerasan. Didalam Tesis ini saya mengasumsikan bahwa para anggota penyidik Polri yang bertugas melakukan pemeriksaan mempunyai latar belakang sosial dan pendidikan yang sama, namun yang tidak bisa sama adalah pengalamannya. Pada Tesis ini saya menuliskan tentang fokus permasalahan yaitu timbulnya perbedaan-perbedaan diantara para penyidik didalam proses pemeriksaan terhadap tersangka Curas yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat bekerja, kondisi ruangan pemeriksa antara lain budaya kerja di kantor, kondisi ruangan pemeriksa, arahan atasan dan faktor lingkungan diluar tempat bekerja antara lain hadirnya orang lain yaitu keluarga tersangka, keluarga korban dan anggota LBH. Kami sangat tertarik untuk meneliti masalah ini karena belum menjadi perhatian pakar-pakar maupun penulis sebelumnya, mengapa terjadi perbedaan diantara penyidik didalam menangani proses pemeriksaan terhadap kasus pencurian dengan kekerasan dan kasus-kasus yang dikategorikan sama dengan Curas khususnya pencurian dengan kekerasan dengan sasaran kendaraan bermotor.
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wahyuni
Abstrak :
Notaris merupakan manusia belaka yang tidak luput dari kesalahan baik yang disengaja maupun karena kelalaiannya. Notaris rentan mendapat gugatan dari para pihak yang merasa dirugikan dalam pembuatan sesuatu akta ke Pengadilan baik secara perdata maupun pidana dan ke Majelis Pengawas Notaris sebagai Pengadilan profesi. Semakin banyaknya Notaris yang membuat masalah di masyarakat serta terlibat dalam kasus-kasus yang melanggar hukum baik ringan dan berat yang diproses di pengadilan baik hanya sebagai saksi, tersangka, terdakwa sampai dengan menjadi terpidana. Berdasarkan permasalahan tersebut penulis ingin meneliti apakah dalam status Notaris sebagai tersangka masih berwenang untuk melaksanakan tugasnya membuat akta dan apakah notaris yang menjadi terdakwa akan diberhentikan sementara dari jabatannya selama proses peradilan tersebut berlangsung, sebab mengenai hal tersebut dirasakan kurang pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Untuk menjawab permasalahan ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif serta menggunakan data sekunder diperoleh dari, kepustakaan yang berhubungan dengan penelitian ini berupa bahan hukum primer yaitu peraturan perundangundangan seperti Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara ' Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku (literatur). Dari permasalah tersebut dapat disirnpulkan bahwa Notaris dalam status tersangka tetap berwenang untuk membuat akta. Dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, ketidak berwenangan notaris dalam membuat akta jika dia dalam status belum disumpah, cuti, diberhentikan sementara (diskors), dipecat dan Pensiun. Notaris yang menjadi terdakwa dalam suatu kasus pidana diberhentikan sementara, untuk mempermudah proses peradilan. Notaris yang dikenakan penahanan sementara berhenti demi hukum dan tidak berwenang untuk menjalankan jabatannya termasuk membuat akta otentik.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16370
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mantik, Gabriel Seraf
Abstrak :
ABSTRAK

Skripsi ini membahas tentang kumulasi gugatan objektif perbuatan melawan hukum (PMH) dan wanprestasi yang kemudian dikaitan dengan eksepsi obscuur libel. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif. Yang menjadi bahan analisis dalam skripsi ini adalah sengketa antara PT World Simulator Technology dan PT Perusahaan Penerbangan Garuda Indonesia (PT. Garuda Indonesia) yang diputus dalam putusan Putusan no 397/PDT.G/2006/PN.JKT PST dan No 24/PDT/2008/PT. DKI. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa kumulasi gugatan objektif perbuatan melawan hukum (PMH) dan wanprestasi, tidaklah dilarang dalam ketentuan hukum acara perdata, walaupun memiliki syarat-syarat tertentu. Putusan dalam kasus yang dianalisis menyimpulkan bahwa dalam sengketa tersebut, tidak adanya kumulasi gugatan objektif perbuatan melawan hukum (PMH) dan wanprestasi. Dan dalam kaitan dengan eksepsi obscuur libel, meskipun dalam gugatan tidak terdapat kumulasi objektif, namun hakim tidak serta merta memutuskan bahwa gugatan tersebut tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) melainkan majelis hakim memilih diantara keduanya, yaitu bahwa perbuatan yang dilakukan oleh tergugat merupakan wanprestasi.


ABSTRACT

This research is focus on the Objective Cumulation of Tort and Non-Fulfilment Lawsuit which connected to obscuur libel exception. Normative juridical method is used to analyze the case ini this reserach. The case that is used in this reserach is the conflict/case between PT World Simulator Technology and PT Perusahaan Penerbangan Garuda Indonesia (PT Garuda Indonesia) in verdict number registration 397/PDT.G/2006/PN.JKT PST and number 24/PDT/2008/PT.DKI. Eventhough the objective cumulation of tort and non-fulfilment lawsuit is not forbidden based on civil law procedure, but it has certaintly conditions. The result of the research conclude that this case, doesn’t have objective cumulation of tort and non-fulfilment lawsuit. In connected with obscuur libel exception, although in that case doesn’t have objective cumulation, but the judge is not spontaneous to decide that the lawsuit is doesn’t accepted (niet onvankelijk verklaard) and the judge select that the action which is defendant have been done is non-fulfilment.

Universitas Indonesia, 2014
S56980
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library