Hakim sebagai bagian dari sistem peradilan, memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan jaminan kepastian hukum kepada masyarakat dalam bentuk pengambilan keputusan pada suatu peradilan perkara. Namun, acap kali keputusan yang diambil hakim memberikan ketidakpastian hukum seperti disparitas pidana. Disparitas pidana dapat diartikan sebagai ketidak samaan putusan yang dijatuhkan pada perkara-perkara yang memiliki kesamaan. Sehingga, ketidaksamaan ini bisa memberikan rasa ketidak adilan kepada narapidana. Salah satu teori yang membahas disparitas pidana adalah teori legal realism. Para pendukung teori ini berpendapat bahwa dalam pengambilan suatu keputusan, hakim tidak hanya mendasarkan pada fakta-fakta hukum yang disajikan dalam persidangan, tetapi hakim juga mempertimbangakn faktor psikoligi, politik dan sosial. Dengan kata lain, hakim bisa saja menggabungkan faktor legal dan non-legal tersebut untuk menarik suatu keputasan suatu perkara peradilan. Disparitas pidana dan teori legal realism mendorong penulis melakukan suatu penelitian untuk melihat hubungan antara faktor legal dan non-legal terhadap durasi penahanan pada narapidan anak, dan juga untuk menguji coba beberapa hipotesa guna mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi masa tahanan narapidana anak di Indonesia. Dengan menggunakan metode model regresi Ordinary Least Square, penelitian ini menemukan adanya suatu hubungan beberapa faktor legal dan non legal terhadap masa penahanan narapidana anak. Dari delapan faktor yang diuji, hanya terdapat dua faktor yaitu lokasi peradilan dan tingkat kejahatan yang secara signifikan mempengaruhi hakim dalam menentukan masa penahanan. Hasil dari penelitan ini bisa digunakan sebagai salah satu dasar dalam pengambilan keputusan oleh pihak terkait dalam rangka mengurangi disparitas pidana terutama untuk narapidana anak.
Kata kunci: disparitas, faktor legal, faktor extralegal, narapidana anak, putusan hakim,
The judge as the main actor in the justice system, plays a significant role in providing justice and legal certainty for the society through every decision made in court. However, in practice, the judges decision often leads to legal uncertainties such as the disparity in sentencing. Disparity in sentencing is defined as the application of an unequal sentencing to similar offenses in practice of the court, specifically with regard to the duration of the final sentence. Hence, it may bring a sense of inequality in justice for the defendants. One legal theory discussing disparity in sentencing is the legal realism theory. Legal realists argue that not only rational application of laws, but also psychological, political, and social factors need to be considered by the judges in making the final sentence. In other words, the judges may combine legal and extra-legal elements to derive final decision for the cases. Sentencing disparity and legal realism theory inspired the author to conduct a research to examine the correlation between legal-extralegal factors and the duration of the final sentence, and also hypotheses testing to figure out the influencing factors on that affect the duration set for juvenile defendants in Indonesia. Applying quantitative methods with Ordinary Least Square regression model, this research found the correlation of some legal and extralegal factors to the length of incarceration among juvenile defendants. In addition, among eight factors examined in this research, only two factors, namely the location of the court and seriousness level of crime were found to significantly influence the judges on sentencing. The findings of the study can be used to set legal policy to reduce the disparity in the final sentence especially for juvenile defendants.
Keywords: disparity, final sentence juvenile defendant, legal-extralegal factors, legal realist
Skripsi ini membahas tentang kumulasi gugatan objektif perbuatan melawan hukum (PMH) dan wanprestasi yang kemudian dikaitan dengan eksepsi obscuur libel. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif. Yang menjadi bahan analisis dalam skripsi ini adalah sengketa antara PT World Simulator Technology dan PT Perusahaan Penerbangan Garuda Indonesia (PT. Garuda Indonesia) yang diputus dalam putusan Putusan no 397/PDT.G/2006/PN.JKT PST dan No 24/PDT/2008/PT. DKI. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa kumulasi gugatan objektif perbuatan melawan hukum (PMH) dan wanprestasi, tidaklah dilarang dalam ketentuan hukum acara perdata, walaupun memiliki syarat-syarat tertentu. Putusan dalam kasus yang dianalisis menyimpulkan bahwa dalam sengketa tersebut, tidak adanya kumulasi gugatan objektif perbuatan melawan hukum (PMH) dan wanprestasi. Dan dalam kaitan dengan eksepsi obscuur libel, meskipun dalam gugatan tidak terdapat kumulasi objektif, namun hakim tidak serta merta memutuskan bahwa gugatan tersebut tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) melainkan majelis hakim memilih diantara keduanya, yaitu bahwa perbuatan yang dilakukan oleh tergugat merupakan wanprestasi.
This research is focus on the Objective Cumulation of Tort and Non-Fulfilment Lawsuit which connected to obscuur libel exception. Normative juridical method is used to analyze the case ini this reserach. The case that is used in this reserach is the conflict/case between PT World Simulator Technology and PT Perusahaan Penerbangan Garuda Indonesia (PT Garuda Indonesia) in verdict number registration 397/PDT.G/2006/PN.JKT PST and number 24/PDT/2008/PT.DKI. Eventhough the objective cumulation of tort and non-fulfilment lawsuit is not forbidden based on civil law procedure, but it has certaintly conditions. The result of the research conclude that this case, doesn’t have objective cumulation of tort and non-fulfilment lawsuit. In connected with obscuur libel exception, although in that case doesn’t have objective cumulation, but the judge is not spontaneous to decide that the lawsuit is doesn’t accepted (niet onvankelijk verklaard) and the judge select that the action which is defendant have been done is non-fulfilment.