Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vicky Caesar Elang Palar
Abstrak :
Salah satu tujuan dari peralihan hak atas tanah yang dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah untuk memberikan perlindungan hukum kepada para pihak yang sepakat. Permasalahan yang kerap terjadi adalah ketika tidak terpenuhinya syarat dari asas terang dan tunai, yaitu jual beli tidak dilakukan di hadapan PPAT. Hal ini seperti yang terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 464 K/Pdt/2022, yang di mana pihak pembeli tanah yang tidak dapat melakukan proses peralihan hak atas tanah. Pihak Penjual menolak untuk dilakukannya proses peralihan hak atas tanah, padahal Pihak Pembeli sudah membayarkan secara tunai dan sudah dibuatkan kuitansi pembayaran. Pihak Pembeli yang merasa dirugikan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri, dan meminta kepada Majelis Hakim dalam putusannya untuk menetapkan Pihak Pembeli sebagai Pihak pemilik sah dari obyek sengketa tanah. Metode penelitian menggunakan yuridis normatif dan dianalisis dengan menggunakan analisis data kualitatif. Hasil penelitan menunjukan bahwa perbuatan hukum jual beli tersebut dinyatakan sah dikarenakan walaupun jual beli belum dilakukan di hadapan PPAT, statusnya sudah mengikat antara pihak penjual dan pihak pembeli. Hal ini dikarenakan jual beli yang belum dilakukan di hadapan PPAT tersebut sudah memenuhi syarat materiil dari suatu perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Para Pihak mengakui benar adanya bukti kuitansi yang menyatakan pembayaran atas obyek sengketa telah terjadi. ......One of the objectives of the transfer of land rights carried out before an authorized official, namely the Land Deed Officials (PPAT) is to provide legal protection to the parties who agree. The problem that often occurs is when the requirements of the clear and cash principle are not fulfilled, namely buying and selling is not carried out before the PPAT. This is similar to what happened in the Supreme Court Decision Number 464 K/Pdt/2022, where the land buyer cannot carry out the process of transferring land rights. The seller refuses to carry out the process of transferring land rights, even though the buyer has paid in cash and a receipt for payment has been made. The Buyer Party who feels aggrieved submits a lawsuit to the District Court, and asks the Panel of Judges in its decision to determine the Buyer Party as the legal owner of the object of the land dispute. The research method used normative juridical and analyzed using qualitative data analysis. The results of the research show that the legal act of buying and selling is declared valid because even though the sale and purchase has not been carried out before the PPAT, its status is binding between the seller and the buyer. This is because the sale and purchase that has not been carried out before the PPAT has fulfilled the material requirements of an agreement contained in Article 1320 of the Civil Code and the Parties acknowledge that there is proof of receipt stating that payment for the object of the dispute has occurred.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fasya Yustisia
Abstrak :
Pembuatan akta jual beli tanah seharusnya dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sayangnya praktek pembuatan akta jual beli tanah menggunakan blangko kosong sudah terjadi sejak lama dan dapat menyeret PPAT ke dalam gugatan Pengadilan untuk diminta pertanggungjawabannya atas pembuatan akta. Penelitian ini pertama membahas mengenai permasalahan pertimbangan hakim dalam memberikan putusan terhadap pembuatan akta jual beli tanah berdasar blangko kosong oleh PPAT karena PPAT sebagai pejabat pembuat akta autentik erat kaitannya dengan Notaris padahal kewenangan keduanya berbeda sehingga hakim harus menggunakan dasar hukum peraturan yang tepat, kedua mengenai perbandingan ratio decidendi hakim pada putusan utama dengan putusan pembanding lainnya dalam kasus akta jual beli tanah berdasar blangko kosong, dan ketiga mengenai pertanggungjawaban PPAT atas perbuatannya tersebut. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif-analitis. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa yang pertama dalam memutuskan perkara mengenai akta jual beli menggunakan blangko kosong pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 2721K/Pdt/2017, Mahkamah Agung (MA) secara garis besar hanya menguatkan putusan-putusan sebelumnya padahal pada kasus ini Pengadilan Negeri kurang tepat menggunakan dasar hukumnya yakni UUJN karena pembuatan akta jual beli tanah merupakan kewenangan PPAT bukanlah Notaris, simpulan kedua adalah ratio decidendi MA dalam kasus-kasus akta jual beli tanah berdasar blangko kosong terdapat perbedaan fokus pertimbangan pada masing-masing kasus, seperti penekanan pada tidak dipenuhinya syarat sah perjanjian, asas terang dan tunai, atau tidak dibacakannya akta oleh PPAT kepada para pihak, dan ketiga tanggung jawab yang dapat dikenakan pada PPAT atas perbuatannya adalah tanggung jawab secara perdata dalam bentuk ganti rugi atas dasar perbuatan melawan hukum serta pertanggungjawaban secara administratif dan pidana. ......Making of a land sale and purchase deed should be carried out in accordance with applicable regulations. Unfortunately, the practice of making land sale and purchase deeds using empty blanks has been going on for a long time and was the negligence of the PPAT which could drag itself into a court lawsuit to be held accountable for the deeds. First, this study discusses the problem of judges' considerations in making decisions in making land sale and purchase deeds based on empty blanks by PPAT because PPAT as an authentic deed maker is closely related to a notary even though the powers of the two are different, so the judge must use the right legal basis, and second about the comparison of the ratio decidendi the judge with other comparative decisions in the case of land sale and purchase deeds based on blank blanks, and the last about the PPAT's responsibility for his actions. This study used a normative juridical method with a descriptive-analytical typology. The results of this study can be concluded that first, in deciding cases regarding sale and purchase deeds using blank blanks in the Supreme Court Decision Number 2721K / Pdt / 2017, the Supreme Court (MA) in general only strengthens previous decisions even though in this case the District Court is not quite right to use the legal basis is UUJN because the making of the land sale and purchase deed is the authority of the PPAT not the notary public. The second, the Supreme Court's decidendi ratio in cases of land sale and purchase deeds based on blank blanks, there are differences in the focus of consideration in each case, such as the emphasis on not fulfilling the legal terms of the agreement, the principle of transparency and cash, or not reading the deed by the PPAT to the parties. The last, responsibility that can be imposed on the PPAT relating to cases of land sale and purchase deeds that use blank form is civil liability in the form of compensation based on illegal acts, but can also be held accountable administratively and criminally.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanry Ichfan Adityo
Abstrak :
Pada praktiknya terdapat ketidakcermatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam menyusun akta jual beli tanah yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga mengakibatkan kerugian bagi para pihak yang berkepentingan. Hal tersebut menimbulkan akibat hukum dinyatakannya pembatalan akta dimuka pengadilan atau akta tersebut yang pada awalnya memiliki kekuatan hukum sempurna menjadi akta yang hanya mempunyai kekuatan hukum dibawah tangan. Penulisan tesis ini bertujuan untuk mengetahui jenis pertanggungjawaban PPAT selaku pejabat umum ketika melakukan kelalaian dalam menjalankan tugasnya. Metode penulisan tesis ini menggunakan yuridis normatif dan bertumpu pada data sekunder yang disajikan secara deskriptif analitis. Hasil penulisan menunjukkan bahwa suatu akta yang dinyatakan cacat hukum karena kesalahan, kelalaian maupun karena kesengajaan. PPAT dapat dimintai pertanggungjawabannya baik secara administratif, perdata maupun pidana. Adapun bentuk perlindungan hukum bagi pembeli beritikad baik yang tidak mengetahui adanya cacat yang melekat pada tanah yang dibelinya, dapat mengajukan gugatan kepada untuk menuntut pengembalian hak atas tanahnya serta dapat menuntut ganti kerugian yang terdiri dari biaya, rugi dan bunga. ......In practice there is an inaccuracy of the Land Deed Official (PPAT) in preparing the land sale and purchase that is not in accordance with the laws and regulations, resulting in losses for interested parties. This creates a legal consequence of the cancellation of the deed before the court or the deed which initially has perfect legal power to become a deed that only has legal force under the hand. The writing of this thesis aims to find out the type of PPAT accountability as a general official when doing negligence in carrying out their duties. The method of writing this thesis uses normative juridical and relies on secondary data presented descriptively analytically. The results of writing indicate that a deed is declared to be legally flawed due to errors, negligence or intentional. PPAT can be held accountable for administrative, civil and criminal matters. The form of legal protection for buyers in good faith who are not aware of any defects inherent in the land, they can file a lawsuit to demand the return of their land rights and can claim damages consisting of costs, losses and interest.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library