Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hania Rahma
Abstrak :
Seiring dengan penerapan desentralisasi sejak Januari 2001 lalu, penyelenggaraan asas dekonsentrasi di Indonesia juga mengalami perubahan mendasar baik dalam tata aturan penyelenggaraannya maupun dalam luas cakupan bidang kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan. Penerapan dekonsentrasi di Indonesia pada era desentralisasi ditujukan untuk melaksanakan sejumlah kewenangan di bidang lain yang masih dimiliki Pemerintah Pusat, selain lima bidang kewenangan utama yang tidak diserahkan ke daerah, yang lokasi pelaksanaannya berada di daerah. Kewenangan Pemerintah tersebut menurut UU 22/1999 dilimpahkan kepada gubernur dan atau perangkat pusat di daerah. Untuk kewenangan yang dilimpahkan kepada gubernur, pelaksanaannya berada pada dinas propinsi. Desentralisasi seharusnya berimplikasi pada berkurangnya secara signifikan anggaran pembangunan sektoral yang dikelola Pemerintah Pusat mengingat mekanisme pembiayaan yang dianut Indonesia adalah money follows function. Namun yang terjadi saat ini adalah terdapatnya hubungan yang tidak sejalan antara arah dan besar perubahan kewenangan dalam penyelenggaraan pembangunan dengan arah dan besar perubahan anggaran yang dialokasikan untuk melaksanaan kewenangan tersebut. Hal ini rnenimbulkan sejumlah pertanyaan yaitu: bagaimana dekonsentrasi diatur dalam peraturan perundangan yang ada saat ini, sejauh mana pelaksanaan dekonsentrasi di Indonesia dalam konteks desentralisasi secara umum, sejauh mana praktek dekonsentrasi telah sejalan dengan peraturan perundangan yang ada, implikasi apa yang timbul dari praktek dekonsentrasi yang terjadi selama ini, dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya? Hingga saat ini tidak banyak studi atau kajian mengenai dekonsentrasi. Di Indonesia, bahkan belum ada studi yang secara khusus membahas persoalan dekonsentrasi pada era desentralisasi. Berangkat dad permasalahan di atas dan adanya keinginan untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi penyempurnaan peraturan perundangan dan pelaksanaan dekonsentrasi di Indonesia, kajian ini ditujukan untuk mempelajari pelaksanaan dekonsentrasi dengan membandingkan praktek dekonsentrasi yang terjadi dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, serta mengidentifikasi faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat pelaksanaan dekonsentrasi di Indonesia pada era desentraliasasi. Studi ini menggunakan variabel pengeluaran pembangunan APBN, terutama yang dikategorikan sebagai anggaran dekonsentrasi, sebagai indikator utama dalam menilal pelaksanaan dekonsentrasi. Selain APBN digunakan juga variabel pengeluaran pembangunan yang berasal dari APBD. Untuk menilai praktek dekonsentrasi yang dijalankan oleh departemen pusat, Departemen Pertanian diambil sebagai contoh kasus. Secara keseluruhan, hasil studi menyimpulkan bahwa penyelenggaraan dekonsentrasi pada era desentralisasi masih jauh dari kondisi yang ditetapkan oleh peraturan perundangan dan masih di bawah kondisi yang diharapkan dari penyelenggaraan desentralisasi secara umum. Keseluruhan hasil studi menunjukkan: Masih terdapat ketidakseimbangan dalam pola pembiayaan pembangunan antara pusat dan daerah yang dicerminkan oleh masih tingginya kontribusi APBN dalam pembiayaan penyelenggaraan pembangunan secara keseluruhan, terus meningkatnya pengeluaran pembangunan APBN selama era desentralisasi dengan tingkat kenaikan yang lebih besar dibanding tingkat kenaikan dana perimbangan yang ditransfer ke daerah otonom, terjadinya pergeseran dalam aiokasi pengeluaran pembangunan APBN dari yang tadinya secara dominan diselenggarakan di daerah menjadi lebih banyak dilaksanakan langsung oleh kantor pusat, Terdapat ketimpangan antara anggaran dekonsentrasi dengan anggaran pembangunan yang berasal dari APBD dan juga dengan dana perimbangan yang diterima daerah yang ditunjukkan oleh tingginya anggaran dekonsentrasi (mencapai 2-4 kali lipat) dibanding anggaran pembangunan yang bersumber dari APBD, tidak seimbangnya besaran pembiayaan dengan besaran kewenangan yang diserahkan/dilimpahkan sebagaimana ditunjukkan oleh tingginya anggaran dekonsentrasi dibanding dana perimbangan yang diterima daerah, tidakterdapatnya pola, kriteria maupun mekanisme distribusi anggaran dekonsentrasi di antara propinsi, Terdapat penyimpangan dalam praktek dekonsentrasi yang dijalankan departemen/LPND yang ditunjukkan oleh fakta bahwa sebanyak 73,5% anggaran pembangunan APBN dan 94% anggaran dekonsentrasi justru diserap oleh kelompok departemen/LPND yang tidak terkait dengan bidang kewenangan utama yang tidak diserahkan ke daerah, lebih dari 98% anggaran dekonsentrasi digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan yang bersifat pelaksanaan di daerah hanya 0,4% yang dialokasikan untuk penyelenggaraan kewenangan yang bersifat penetapan kebijakan, sebagian besar kegiatan dekonsentrasi diselenggarakan di tingkat kabupaten/kota dengan melibatkan dinas pemerintah daerah setempat, tidak ada perubahan yang terjadi dalam mekanisme dan pendekatan yang digunakan oleh Departemen/LPND dalam merumuskan kegiatan dan menyusun anggaran dekonsentrasi dibanding sebelum desentralisasi. Dari kasus Departemen Pertanian (Deptan) diketahui bahwa lebih dari separuh anggaran dekonsentrasi Deptan dialokasikan untuk penyelenggaraan proyek di 337 kabupaten/kota dengan rata-rata nilai proyek sebesar Rp 2,1 milyar per kabupaten/kota, Deptan masih menjadikan dekonsentrasi sebagai pendistribusian tugas penyelenggaraan pembangunan antara pusat dan daerah tanpa memperhatikan apakah sesuai atau tidak dengan bidang kewenangan yang dimiliki, Iebih dari 98% anggaran dekonsentrasi Deptan digunakan untuk membiayai kegiatan proyek pembangunan pertanian yang ruang lingkup kewenangannya bukan lagi milik Deptan berdasarkan peraturan perundangan yang ada, anggaran dekonsentrasi Deptan yang sangat tinggi (rata-rata 3 kali lipat dari anggaran pembangunan sektor pertanian yang dibiayai APED) berpeluang mengganggu penyelenggaraan kegiatan dinas propinsi dalam rangka desentralisasi. Kondisi di atas disebabkan oleh sejumlah faktor yang bersumber dari: (1) peraturan perundangan yang ada yaitu berupa (i) kelemahan ketentuan pasal-pasal dalam UU dan PP yang berlaku saat ini, (ii) adanya gap antara ketentuan dalam peraturan perundangan yang berlaku saat ini dengan terminologi dalam teori dekonsentrasi, dan (iii) terdapatnya inkonsistenasi di antara pasal-pasal yang terkait dengan dekonsentrasi yang terdapat daiam UU dan PP serta peraturan lain yang menyertainya, serta (2) pelaksanaan peraturan perundangan di lapangan yaitu berupa (i) adanya resistensi yang kuat dari pemerintah pusat untuk menyerahkan kewenangan berikut pembiayaannya kepada daerah, (ii) tidak berperannya Departemen Keuangan sebagai katup akhir penentuan keputusan pengalokasian penggunaan pengeluaran negara, (iii) hampir tidakadanya departemen/LPND yang melakukan penyesuaian tugas pokok dan fungsi dengan perubahan bidang kewenangan paska desentralisasi, (iv) rendahnya pemahaman para penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah mengenai dekonsentrasi, (v) rasa kecurigaan yang beriebihan berkaitan dengan rendahnya kepercayaan antar berbagai tingkatan pemerintahan, (vi) ketidakseimbangan antara transfer jumlah dan bobot kewenangan dengan pembiayaan, serta (vii) keteriambatan pusat dalam mengeluarkan peraturan perundangan lanjutan yang mendukung pencapaian efektifitas penyelenggaraan dekonsentrasi. Studi ini mengusulkan kepada Pemerintah untuk: (1) melakukan berbagai perubahan dan penyempurnaan peraturan perundangan yang mengatur penyelenggaraan dekonsentrasi dalam konteks desentralisasi secara luas yaitu dengan mengembalikan ketentuan mengenai dekonsentrasi kepada terminologi yang sebenarnya dan melakukan penyempurnaan peraturan perundangan tentang pembagian bidang kewenangan antara pusat dan daerah, (2) melakukan evaluasi dan koreksi terhadap alokasi anggaran pengeluaran negara, terutama pengeluaran pembanguan dan dana perimbangan, (3) menetapkan departemen/LPND yang bertugas menindakianjuti ketentuan-ketentuan peraturan perundangan mengenai penyelenggaraan dekonsentrasi dikaitkan dengan konteks desentralisasi secara luas serta melakukan pengawasan dan penilaian terhadap praktek dekonsentrasi pada setiap departemen/LPND, serta (4) meningkatkan sosialisasi kepada para pejabat terkait di pusat dan saerah mengenai penyelenggaraan asas dekonsentrasi.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T13293
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fishta Ambarwati Suryaning
Abstrak :
Di tengah era desentralisasi di Indonesia, alokasi anggaran dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dalam APBN dinilai masih terlalu besar yaitu mencapai 14,76 persen dari total anggaran Pemerintah Pusat. Penelitian ini bertujuan menganalisis alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan Kementerian Kelautan dan Perikanan TA. 2012 berdasarkan kesesuaiannya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007. Menggunakan metode kuantitatif sederhana dan penilaian berdasarkan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah diperoleh hasil sebanyak Rp198.555 miliar atau 48,75 persen dari total dana dekonsentrasi dan Rp913.449 miliar atau 94,98 persen dari total dana tugas pembantuan yang dialokasikan dari APBN Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2012 ternyata masih digunakan untuk melaksanakan program dan kegiatan yang dikategorikan merupakan urusan pemerintah daerah. Walau dalam Undang-Undang No.33/2004 disebutkan bahwa dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang tidak sesuai peruntukannya harus dialihkan menjadi Dana Alokasi Khusus paling lambat tahun 2010, Kementerian Kelautan dan Perikanan melaksanakannya sebanyak satu kali yaitu pada tahun 2010 sebesar Rp275 miliar. Masih tingginya dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang tidak sesuai penggunaanya disebabkan oleh kelemahan dalam peraturan perundang-undangan yang menyebabkan kesalahan dalam pemahaman dan persepsi dalam perumusan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan di Indonesia.
In the midst of decentralization era in Indonesia, allocation of deconcentration and co-administration funds in APBN (National Budget of Income and Expenditures) are relatively huge, it reached to 14.76 percent of total Central Government budget. Objective of this study is to analyze the allocation of deconcentration and co-administration funds in the Ministry of Marine Affairs and Fisheries in Fiscal Year of 2012, based on compliance with Government Regulation Number 38 of 2007. By using a simple quantitative methods and assessment based on the division of authority between the central government and local government obtained results, indicate that as many as Rp198.555 billion or 48.75 percent of the total deconcentration fund and Rp913.449 billion or 94.98 percent of the total co-administration fund from the national budget allocation of the Marine Affairs and Fisheries in 2012 turned out to be used to implement programs and activities that are categorized as local government affairs. Although in Act Number 33/2004 states that deconcentration and co-administration funds that do not fit the designation must be transferred to DAK (Special Allocation Fund) not later than in 2010, the Ministry of Marine Affairs and Fisheries has conducted this once which was on 2010 amounted to IDR 275 billion. Deconcentration and coadministration funds that do not fit its use is still high, due to the weaknesses in the legislation that led to the error in the understanding and perception in the formulation of the planning and implementation of deconcentration and coadministration in Indonesia.
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T43339
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Erwin Djuanda
Abstrak :
Berdasarkan PP No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan pada Pasal 7 ayat (4) menyebutkan "Gubernur wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan atas pelaksanaan Dekonsentrasi kepada Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan, Pelaksanaan tugas-tugas dekonsentrasi di Pemerintah Propinsi DKI Jakarta secara operasional sampai tahun anggaran 2001 dilaksanakan oleh Kanwil-kanwil Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang ada di Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Seiring diberlakukannya otonomi daerah, pelaksanaan tugas-tugas dekonsentrasi di DKI Jakarta secara signifikan telah bergeser dan berubah fungsi dari Kanwil menjadi fungsi Dinas-Dinas di Propinsi DKI Jakarta. Perubahan tersebut jelas membawa implikasi dalam pelaksanaan dekonsentrasi di DKI Jakarta. Dalam penelitian ini penulis mengkaji tentang bagaimana implementasi penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan atas pelaksanaan dekonsentrasi di Pemerintah Propinsi DKI Jakarta oleh Dinas-dinas teknis kepada Gubemur melalui Biro Keuangan. Mengingat pembiayaannya bersumber dari dana APBN dan juga pencatatannya terpisah dari APED, serta penyalurannya juga tidak melalui kas daerah maka berimplikasi Biro Keuangan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta relatif mengalami kesulitan untuk mengetahui realisasi penyerapan dana dekonsentrasi dan sangat tergantung dan masukan berupa laporan dari unit pengguna dana dekonsentrasi tersebut. Bertolak dari latar belakang masalah di atas, pertanyaan penelitian ini apakah sebenamya unit pengelola proyek dana Dekonsentrasi dapat atau tidak metaksanakan kebijakan tersebut, dan apakah implementasi dad sistem pelaporan pelaksanaan proyek pembangunan dana Dekonsentrasi sudah berjalan sesuai dengan peraturan ? Secara operasional penelitian yang digunakan mengunakan metode survei yaitu penelitian yang mengambil sampel dan populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang utama. Hasil dari survei akan diarahkan untuk mendukung analisis penelitian yang dilakukan secara deskriptif. Obyek penelitian ini secara umum terbagi atas dua kategori yaitu pertama Biro Keuangan dan kedua adalah unit pelaksana proyek dekonsentrasi di DK1 Jakarta, dimana menurut data tahun anggaran 2002 berjumlah 30 (tiga puluh) proyek dekonsentrasi. Dari hasil analisis bahwa imptementasi sistem pelaporan yang dilaksanakan oleh Biro Keuangan maupun unit-unit pengelola proyek Dekonsentrasi di Dinas-dinas teknis untuk tahun anggaran 2002 masih belum melaksanakan peraturan ditetapkan. Biro Keuangan melakukan pencatatan dana Dekonsentrasi tidak berdasarkan data yang diperoleh langsung dari Pemimpin Proyek. Begitu pula dengan Dinas-Dinas Teknis, masih mengirimkan laporannya secara langsung kepada Departemen/Lembaga Teknisnya masing-masing setiap bulannya. Untuk mengukur dapat tidaknya suatu kebijakan mencapai sasaran atau tujuan yang dikehendaki oleh pembuat kebijakan dari hasil penelitian berdasarkan jawaban dari para responden adalah sebagai berikut : Secara umum komunikasi di unit keproyekan tergolong baik terbukti dengan nilai rata-rata variabel sebesar 41,93, Sumber daya yang mendukung unit keproyekan diperoleh nilai rata-rata yang diperoleh sebesar 28,33. Dari rata-rata nilai tersebut mencerminkan bahwa sumber daya yang mendukung sistem pelaporan proyek dekonsentrasi tergolong cukup baik. Adapun sikap yang berkembang di unit keproyekan dikategorikan cukup baik dengan indikator diperolehnya rekapitulasi skor jawaban responden dengan nilai rata-rata sebesar 19,00. Hasil ini mengindikasikan pula bahwa sikap para pelaksana yang terkait dengan pelaporan proyek dekonsentrasi cukup kondusif. Terakhir adalah variabel struktur birokrasi dimana didapat kesimpulan bahwa struktur birokrasi yang mendukung sistem pelaporan proyek dekonsentrasi tergolong baik, karena nilai rata-ratanya berada pada interval antara 23 sampai dengan 30 yang terkategori baik. Merujuk hal tersebut di atas, dapat dipertimbangkan beberapa rekomendasi yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja masing-masing unit yaitu dengan mengadakan pertemuan secara periodik dan perlu membentuk Tim Koordinasi Pelaksanaan Proyek Dekonsentrasi di DKI Jakarta melalui penerbitan Surat Keputusan Gubernur. Tim Koordinasi ini merupakan wadah Pintas sektoral/unit dan lintas lembaga dalam rangka merumuskan langkah-langkah konkrit bagi terwujudnya koordinasi yang optima! antar unit dalam pelaksanaan pelaporan proyek Dekonsentrasi di DKI Jakarta. Adapun aspek lain yang menyangkut kinerja dari unit-unit pengelola proyek dekonsentrasi dalam mendukung pelaksanaan suatu kebijakan yang sudah relatif baik tersebut perlu dipertahankan dan bahkan ditingkatkan, karena akan memberikan pengaruh positif bagi kinerja pelaporan proyek dekonsentrasi di masa mendatang.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12370
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gallant Pratama Stephan
Abstrak :
Dekonsentrasi dan tugas pembantuan merupakan salah satu asas terpenting dalam pengelolaan hubungan pusat ke daerah. Bersama dengan dana desentralisasi, dekonsentrasi mencoba membantu negara dalam menyelesaikan masalah kesejahteraan. Penelitian ini ingin melihat pengaruh dana anggaran pendidikan dan kesehatan dalam APBD, dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan terhadap kesejahteraan. Dengan menggunakan IPM, rata-rata lama sekolah, dan angka harapan hidup sebagai indikator, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya dana APBD yang berpengaruh terhadap kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan. Dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak memiliki pengaruh terhadap kesejahteraan. ...... Deconcentration and asistance task is one of the most important principles in managing relationship between central and its territories. Along with decentralization funds, deconcentration tries to help nation resolving welfare issues. This study wanted to see the influence of education and health funds on regional government budgets, deconcentration and assistance task to welfare. By using HDI, school duration average, and life expectancy as indicator, the result of this study show that just regional government budget have an influence to welfare, education and health. Deconcentrastion& assistance task funds do not have an influence.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
S55540
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library