Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Retno Sekarningrum
"Sebagai penghubung antara pelabuhan utama, seperti Malaka, Singapura, Ternate, dan Makassar, Gorontalo memainkan peran penting dalam jaringan pelayaran dan perdagangan di wilayah utara Sulawesi. Kondisi ini diperkuat oleh ketersediaan beragam komoditas, terutama emas dan budak. Dua komoditas penting ini telah diekspor, terutama oleh para pedagang Bugis dan Mandar, ke pasar internasional sejak abad XVI. Sayangnya, kajian mengenai perkembangan pelabuhan Gorontalo masih kurang mendapat perhatian dari para sejarawan yang hanya berfokus pada peranan pelabuhan-pelabuhan besar. Tulisan ini melihat arah perkembangan pelabuhan Gorontalo dalam mengekspor emas dan budak pada abad XVIII hingga abad XIX. Dengan menerapkan metode sejarah yang meliputi heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi, tulisan ini memperlihatkan bahwa perkembangan pelabuhan Gorontalo dalam mengekspor emas dan budak mengalami dinamikanya sendiri. Dinamika itu tercermin dari hilangnya akses para pedagang Bugis dan Mandar terhadap perdagangan komoditas emas dan budak di Gorontalo sejak monopoli perdagangan VOC pada abad XVII. Monopoli perdagangan VOC atas komoditas tersebut berujung pada ketidakamanan aktivitas pelayaran-perdagangan di sekitar Gorontalo akibat maraknya perompakan oleh bajak laut dan penyelundupan.

As a hub between major ports such as Malacca, Singapore, Ternate, and Makassar, Gorontalo plays a crucial role in the shipping and trade networks of the northern region of Sulawesi. This condition was strengthened by the availability of numerous commodities, especially gold, and enslaved people. These two essential commodities had been exported, mainly by Bugis and Mandar traders, to the international market since the 16th century. Studies on the development of the Gorontalo port have received less attention from historians who only focused on the role of large ports. This paper focuses on the development of Gorontalo port in exporting gold and enslaved people in the 18th to 19th centuries. By implementing the historical method, which comprises heuristics, criticism, interpretation, and historiography, this paper points out that the development had its dynamics. Bugis and Mandar traders reflected this dynamic when they lost access to trade in gold and the enslaved people in Gorontalo since the VOC trade monopoly in the seventeenth century. The monopoly led to the vulnerability of shipping-trade activities around Gorontalo to rampant piracy by pirates and smuggling."
Kalimantan Barat : Balai Pelestarian Nilai Budaya , 2023
900 HAN 6:2 (2023)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library