Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Peters, J.
Nijmegen: ITS, [date of publication not identified]
BLD 949.207 PET k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: IKJ Press, 2017
781.6 BUN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Titi Mumfangati
"Serat Wulang Pandhita Tekawardi merupakan salah satu karya sastra jawa yang berisi piwulang atau ajaran. Piwulang atau ajaran tersebut pada dasarnya berupa nilai nilai luhur hasil pemikiran nenek moyang pada masa lampau. Kehidupan masa lampau tercermin dalam karya sastra kuna, khususnya Serat Wulang Pandhita Tekawardi. Naskah ini sesuai dengan judulnya berisi piwulang atau ajaran, terdiri dari 2 bagian;bagian pertama adalah ajaran atau piwulang yang diberikan oleh pendeta purwaduksina kepada istrinya; bagian kedua berisi ajaran pendeta tekawardi yang berada di gunung melinggeretna kepada muridnya. permasalahan dalam kajian ini adalah apa saja kandungan nilai budaya dalam serat Wulang Panditha Tekawardi. selain itu akan dilihat relevansinya dalam kehidupan masyarakatsekarang. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengungkapkan nilai - nilai budaya dalam serat Wulang Panditha Tekawardi. pengumpulan data menggunakan metode kepustakaan. selanjutnya data yang telah terkumpul dianalisis secara deskriptif analisis. Hasil kajian menunjukkan bahwa Wulang Panditha Tekawardi berisi nilai- nilai yang masih dapat dimanfaatkan dan diterapkan dalam kehidupan masa sekarang. Nilai -nilai tersebut yaitu nilai religius, nilai kesetiaan, nilai moral, nilai etika, dan nilai didaktis. Oleh karena itu mempelajari, mengungkapkan dan melaksanakan ajaran ajaran yang ada dalam teks tersebut merupakan tindakan yang tepat. hal ini dimaksudkan agar nilai - nilai luhur tersebut tidak lenyap begitu saja bahkan mempu menjadi ciri jati diri bangsa Indonesia pada umumnya, masyarakat Jawa khususnya."
Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 2017
794 PATRA
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Farida Zein
"Di era di mana media global memegang peran penting dalam membentuk persepsi budaya, penggambaran komunitas Tionghoa di Hollywood sering menjadi subjek penelitian dan perdebatan. Selama beberapa dekade, representasi komunitas Tionghoa sering kali bergantung pada stereotip tertentu atau interpretasi dangkal terhadap nilai-nilai budaya mereka. Prinsip Konfusianisme tentang kesalehan anak (filial piety), yang menjadi dasar hubungan keluarga orang Tionghoa serta menekankan penghormatan, merupakan salah satu tema yang sering diangkat dalam film-film Hollywood yang berfokus pada keluarga Tionghoa-Amerika. Akan tetapi, filosofi yang rumit di balik prinip kesalehan anak ini sering kali terlalu disederhanakan dalam beberapa film, yang kemudian memunculkan pertanyaan mengenai sejauh mana media populer mampu menggambarkan kedalaman dari nilai budaya tersebut. Penelitian ini mengeksplorasi penggambaran kesalehan anak Konfusianisme dalam film Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings (2021), dengan meneliti apakah film ini selaras dengan ajaran inti Konfusianisme atau justru memperkuat stereotip yang biasa terlihat di media Barat. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini menekankan bahwa penggambaran kesalehan anak dalam film ini menunjukkan kompleksitas ajaran Konfusianisme, di mana penyimpangan yang dilakukan Shang-Chi bukanlah semata-mata penolakan terhadap ajaran Konfusianisme, tetapi justru mencerminkan fleksibilitas dari ajaran Konfusianisme serta sifatnya yang multifaset sebagai kerangka budaya. Meskipun beberapa stereotip masih terlihat dari narasi film ini, namun penelitian ini menemukan bahwa film Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings (2021) tetap berperan penting atas kontribusinya dalam merepresentasikan budaya Tionghoa di media Barat.

In the age where global media holds a pivotal role in shaping perceptions of culture, the portrayal of Chinese community in Hollywood remains a subject of scrutiny and debate. For decades, depictions of Chinese have often relied on certain stereotypes or surface-level interpretations of their cultural values. Confucian principle of filial piety, a cornerstone of Chinese familial relationships emphasizing respect, is one of the theme that is often explored in Hollywood films that centered around Chinese-American families. However, the intricate philosophy behind filial piety is frequently diluted in some films, raising questions about how well popular media captures the depth of this cultural value. This paper explores the portrayal of Confucian filial piety in Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings (2021), examining whether the film aligns with the core teachings of Confucianism or perpetuates stereotypes commonly seen in Western media. Using a qualitative approach, the study highlights the film's nuanced depiction of filial piety, suggesting that Shang-chi’s deviation in the film do not merely signify a rejection of Confucian teachings but rather reflect its flexibility and multifaceted nature as a cultural framework. While certain stereotypes persist in the narrative, this research finds that Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings (2021) remains notable for its contribution to representing Chinese culture in Western media."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Argina Nur Mauludya
"Skripsi ini membahas mengenai resistensi gay laki-laki terhadap stigma dari masyarakat. Terdapat budaya yang dianggap menyimpang dan terstigma dalam hal ini adalah budaya homoseksual. Penelitian ini melakukan proses dekonstruksi dengan menggunakan konsep cultural criminology dalam ranah culture as crime untuk memberikan sebuah pemahaman baru mengenai isu homoseksual. Kemudian melakukan sebuah perlawanan dengan menggunakan konsep counterculture. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan melakukan wawancara terhadap lima narasumber. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa seluruh narasumber pernah mengalami distigma oleh masyarakat, lembaga representatif, keluarga, teman, dan diri sendiri. Selanjutnya, untuk melawan stigma tersebut mereka melakukan usaha counter-culture. Hal yang dilakukan adalah dengan mengakui identitas diri sebagai gay laki-laki serta bergabung dalam komunitas maupun organisasi sebagai bentuk penyesuaian terhadap stigma yang menimpa gay laki-laki serta memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa gay laki-laki sama seperti warga negara lainnya yang ingin diterima sebagai bagian dari warga negara tanpa stigma dan diskriminasi.

This mini thesis discussed about the resistance of gay men towards stigma coming from society. There is a culture that is considered deviate and stigmatized, which is homosexual culture. This research does deconstruction process using cultural criminology concept in the realm of culture as crime, in order to give a new comprehension towards homosexual issue. Furthermore their resistance is explained using counter-culture. This research uses qualitative method done by doing interview from five resource person. The result of this research concluded that all resource person had experienced stigma from society, representative institutions, family, friends, and even from themselves. In order to fight stigma, they use counter-culture as an effort, by acknowledging themselves as gay men and joining other community or organization to adjust the stigma given to them. This research also gives a comprehension for society that gay men just like any citizens from other countries want to be accepted as a citizen without being stigmatized or discriminated.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S55079
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library