Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nathalina
"Sanksi pidana dan sanksi administratif merupakan dua jenis sanksi yang dirumuskan dalam berbagai ketentuan administrasi di Indonesia. Fenomena perumusan kedua jenis sanksi tersebut mengalami dinamika baik dalam perumusan maupun penerapannya, khususnya dalam ketentuan tentang kepabeanan dan cukai, perpajakan, kehutanan, dan lingkungan hidup, yang mana keadaan ini membawa permasalahan dalam praktik penegakannya. Penelitian ini berangkat dari permasalahan pokok tentang pentingnya suatu pedoman untuk menentukan perumusan ketentuan pidana dalam ketentuan administrasi sebagai suatu pola formulasi yang melandasi perumusan sanksi dalam menentukan jenis sanksi administratif dan/atau sanksi pidana dalam ketentuan di bidang fiskal dan sumber daya alam serta perlunya pengaturan tentang pedoman bagi pejabat administrasi dan/atau penegak hukum yang berwenang dalam menerapkan sanksi tersebut. Jawaban dari pertanyaan penelitian dicari melalui studi dokumen terhadap ketentuan perundang-undangan, doktrin, dan putusan pengadilan dalam bidang yang menjadi topik penelitian. Mengingat fokus penelitian adalah pengaturan dan penerapan sanksi administratif dan pidana dalam ketentuan administrasi, maka kajian tentang sanksi administratif dan sanksi pidana, teori tentang pidana dan pemidanaan, serta penerapan prinsip ultimum remedium dan una via, digunakan untuk menganalisis bagaimana pembentuk undang-undang menyusun ketentuan dengan dua jenis sanksi tersebut dan bagaimana pejabat administrasi menentukan sanksi yang dijatuhkan dalam kasus-kasus faktual. Penelitian ini menghasilkan temuan, sebagai berikut: pertama, dalam pembentukan jenis dan sifat sanksi, pembentuk undang-undang merujuk pada ketentuan yang telah ada, namun dalam risalah pembahasan RUU tidak dilengkapi argumentasi tentang justifikasi pidana dan pemidanaan serta prinsip ultimum remedium, melainkan hanya mempertimbangkan bahwa sanksi pidana diperlukan untuk memperkuat sanksi administratif guna menjerakan para pelaku; kedua, penerapan sanksi pidana dan/atau sanksi administratif dalam kasus-kasus faktual dilakukan sebagaimana kualifikasi dalam rumusan pasal yang dilanggar, urutan prosedur penyelesaian kasus serta dapat pula diterapkan secara bervariasi sehingga dapat bersifat kasuistis untuk tiap-tiap kasus dan tulisan ini memberikan pedoman untuk persoalan tersebut; ketiga, prinsip ultimum remedium digunakan dalam bidang perpajakan dan lingkungan hidup kecuali untuk rumusan yang tidak memberikan sanksi yang berjenjang karena mengingat sifat bahaya dan seriusnya perbuatan dari pelanggaran tertentu. Prinsip una via telah diterapkan dalam kasus fiskal khususnya di bidang perpajakan di tingkat Mahkamah Agung, dengan catatan bahwa prinsip una via berlaku sebagai perluasan dari prinsip nebis in idem, bahwa untuk satu pelanggaran yang serupa tidak dapat diterapkan dua jenis sanksi yang memiliki sifat punitif yang sama. Saat ini prinsip una via sudah dirumuskan dalam ketentuan di sektor keuangan.

Criminal sanctions and administrative sanctions are two types of sanctions formulated in various administrative acts in Indonesia. The phenomenon of the formulation of these two types of sanctions experiences dynamics situation both in formulation and implementation, particularly in provisions concerning customs and excise, taxation, forestry, and the environment, which creates problems in the law enforcement practices. This research departs from the main problem regarding the importance of a guideline for determining the formulation of criminal provisions in administrative provisions as a pattern of formulation that underlies the formulation of sanctions in determining the types of administrative sanctions and/or criminal sanctions in provisions in the fiscal and natural resources sector and the need for setting guidelines for administrative officials and/or law enforcement officials authorized to apply the sanctions. To finds the answers for the research questions are sought through document studies of statutory provisions and acts, doctrines, and court decisions. Considering that the research focus is on the regulation and application of administrative and criminal sanctions in administrative provisions, the study of administrative sanctions and criminal sanctions, the theory on justification of punishment as well as the application of the principles of ultimum remedium and una via, are used to analyze how legislators formulate provisions with the two types of sanctions and how administrative officials determine the sanctions imposed in factual cases. This research resulted in the following findings: first, in establishing the type and nature of sanctions, the legislators referred to existing provisions, however, the treatise on deliberating the bill was not accompanied by arguments regarding criminal justification and sentencing as well as the ultimum remedium principle, but only considered that criminal sanctions are needed to strengthen administrative sanctions to deter the perpetrators; secondly, the application of criminal sanctions and/or administrative sanctions in factual cases is carried out according to the qualifications in the formulation of the article that was violated, the sequence of procedures for resolving cases and can also be applied in a variety of ways so that it can be casuistic for each case and this research provides guideline to tackle the challenges; third, the principle of ultimum remedium is used in the fields of taxation and the environment except for formulations that do not provide tiered sanctions due to the nature of the harm and the seriousness of the actions of certain violations. The una via principle has been applied in fiscal cases, especially in the case of taxation at the Supreme Court level, with a main consideration that the una via principle applies as an extension of the ne bis in idem principle, that for one similar violation for two types of sanctions which have the same punitive sanction which cannot be applied. Currently, the una via principle has been formulated in provisions in the financial sector."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Y. Sri Yono
"ABSTRAK
Tesis ini membahas pelaksanaan informed consent dilihat dari sanksi pidana (Studi Kasus di Rumah Sakit XYZ). Dokter akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan kepada pasien atau keluarga pasien. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dan kuantitatif dengan desain deskriptif. Penelitian ini sudah dilakukan uji menunjukkan valid dan reliabel.
Hasil penelitian menunjukkan adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Harapan lebih tinggi dari kenyataan pada hasil survey menunjukkan adanya potensi untuk terjadinya gugatan pidana apabila hasil terhadap tindakan kedokteran tersebut tidak sesuai dengan harapan pasien atau keluarga pasien. Wawancara terhadap dokter yang melakukan tindakan kedokteran menunjukkan adanya celah hukum dalam bentuk ketidakseragaman dokter dalam melakukan penjelasan sebelum dilakukannya tindakan kedokteran, terutama pada kelengkapan penjelasan dan alternatif tindakan lain selain tindakan kedokteran yang tidak disampaikan oleh dokter, serta pada cara dokter memberikan penjelasan yang tidak dianggap sebagai pemaksaan. Hal tersebut sangat berpotensi terhadap tuntutan hukum apabila hasil dari tindakan kedokteran yang diterima pasien tidak sesuai dengan harapan. Pasal yang dapat dikenakan kepada dokter adalah Pasal 359, 360, dan 361 KUHP.

ABSTRACT
This thesis discusses the implementation of informed consent is seen from criminal sanctions (Case Study in XYZ Hospital). The doctor will explain the medicine concerning actions to be performed to the patient or the patient's family. This study is a descriptive qualitative research design. This research has been conducted shows valid and reliable test.
The results showed the existence of a gap between expectation and reality. Higher expectations than reality on the survey results indicate a potential for criminal action if the results of the medical act is not in accordance with the expectations of the patient or the patient's family. Interviews with doctors who perform medical actions indicate a lack of uniformity in the form of a legal loophole in the doctor doing medical explanation prior to the action, especially on completeness of alternative explanations and other measures in addition to measures that are not presented by a medical doctor, and the doctor to explain how that is not regarded as coercion. This is potentially the result of a lawsuit if a patient receives medical action is not in line with expectations. Articles that may apply to physicians is Article 359, 360, and 361 of the Criminal Code.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T42148
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iga Shanti Santosa
"Merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang properti yang melakukan pembangunan Apartment "Y", dimana PT "X"; melakukan pengubahan peruntukkan dari pusat kebugaran fitness center yang merupakan bagian dai Benda Bersama di Apartemen "Y"; dan menjadi satu kesatuan dalam Sertipikat Hak Guna Bangunan SHGB Induk serta Pertelaan Apartment "Y". Pengubahan peruntukkan dan fungsinya dilakukan dengan mengajukan pemecahan menjadi Sertipikat Hak Milik Satuan Rumah Susun SHMSRS ke Kantor Pertanahan tanpa melakukan pengubahan revisi sebagaimana Pertelaan Apartemen "Y" yang pernah diajukan ke Walikota setempat sehingga berakibat pada adanya pengubahan fungsi dari Benda Bersama di Apartemen "Y" yang menjadi hak milik perorangan sekaligus merubah komposisi Nilai Perbandingan Proporsional NPP di Apartemen "Y". Pokok permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana aspek hukum bagi developer yang mengubah peruntukkan dari benda bersama yaitu fitness centre menjadi hunian dengan memohon sertipikat satuan rumah susun ? Apakah sanksi hukum yang diberikan kepada developer PT "X" yang telah mengubah fitness centre menjadi hunian dengan memohon sertipikat satuan rumah susun?Metode penelitian yang digunakan dalam hal ini adalah penelitian Yuridis Normatif secara deskriptif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier, alat pengumpulan datanya adalah studi dokumen dan metode analisis data adalah kualitatif dengan bentuk laporannya deskriptif analitis.Pengubahan benda bersama fitness center dalam apartment "Y" menjadi Hak Milik Satuan Rumah Susun akan berakibat pada pengubahan NPP keseluruhan Apartment. Pelanggaran tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban secara korporasi berupa Sanksi Pidana Penjara, Kurungan, Denda dan Pidana Tambahan.

Juridical Studies Regarding the Changing of Common Facilities to Certificate of Right of Ownership of a Unit of Apartmen By PT "X" in Apartemen "Y". PT "X" is a property developer engaged in the development of Apartemen "Y", where PT "X" has altered the designation of the Fitness Center, which is part of the common facilities in Apartment "Y" and is integrated in the Right of Building HGB and the description of Apartment "Y". The change ini desigantion purpose and functions performed by proposing the splitting into Certificate of Right Ownership of a Unit of Apartment SHMSRS to the National Land Affairs Agency without making any changes revisions as the description of Apartment "Y" which has been submitted to the local mayor resulting in a change of function from Common Facilities in Apartment "Y" to a private property right as well as changing the composition of Prportional Value Comparisson NPP in the Apartment "Y". The Focus of the problem are How the legal aspects for developer PT "X" that changed the designation of common facilities, which is the the fitness center into certificate of individual ownership of unit apartment What legal sanctions are given to developers PT "X" which has changed the designation of object together, which is the fitness center as one of the common facilities as one of the certificate of individual owneship of unit apartment The method used in this case is a normative juridical research descriptively. The data to be used are the secondary data which consists of primary legal materials, secondary and tertiary data, the collecting tool is the study of documents and methods of data analysis is qualitative with descriptive analytical report form.The alteration of fitness center as the common facilities in Apartmen "Y" to become individual property Unit Housing Projects will result in the conversation of the entire NPP apartment. As a corporate the Alleged violations should be held accountable in the form of the Criminal Sanctions Prison, confinement, fines and additional criminal punishment.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T46958
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fiekry Ramadhan Mukhtar
"Kejahatan mengenai pemalsuan adalah suatu tindak kejahatan yang didalamnya mengandung unsur suatu ketidakbenaran atau palsu atas suatu objek yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal bertentangan dengan yang sebenarnya. Suatu perjanjian yang didasari oleh identitas/dokumen palsu mengakibatkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Notaris yang melakukan kejahatan tindak pidana pemalsuan selain dapat dikenakan sanksi pidana, sanksi-sanksi lainnya seperti sanksi perdata dan sanksi administratif juga dapat dikenakan. Selain itu Notaris yang melakukan kejahatan tindak pidana pemalsuan telah melanggar ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris, juga merendahkan martabat profesi jabatan Notaris. Permasalahan dalam tesis ini yaitu adanya keterlibatan Notaris dalam kejahatan Tindak Pidana Pemalsuan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 206/Pid.B/2018/PN.JKT.Sel. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan mengenai akibat hukum dari pemalsuan dokumen yang ada keterlibatan seorang Notaris didalamnya, yang menjadi dasar dibuatnya akta jual beli dan menjelaskan serta menerangkan apa sanksi yang dapat diberikan kepada Notaris yang terbukti melakukan tindak pidana. Penelitian ini dilakukan dengan penelitian kepustakaan yang bersifat normatif yaitu dengan cara pengumpulan data yang bersumber dari bahan-bahan kepustakaan dan dengan menganalisis data secara deskriptis analitis. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang dilakukan antara para pihak tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sehingga batal demi hukum dan Notaris yang melakukan tindak pidana pemalsuan dijatuhi sanksi pidana. Untuk itu, Notaris yang terbukti melakukan tindak pidana dapat segera diberhentikan secara tidak hormat.

A crime of counterfeiting is a crime committed in which contain elements of an untruth or trumped up an object that things that looks from outside it looked as if the truth, while in opposition to the truth. An agreement grounded in false documents/identity caused the agreement can be undone or void by law. A notary who commits the crime of criminal falsification and to subject to criminal sanctions, also could be such as civil sanctions and administrative sanctions. Besides, A notary guilty of criminal falsification had broken the law as notaries and code of notary conduct also lowered dignity profession as a notary. The problems in this Thesis is the involvement of a notary in a crime of criminal counterfeiting based on South-Jakarta District Court Number 206/Pid.B/2018/PN.JKT.Sel. The purpose of this research is to explain about the impact that is a legal document a notary, involvement in it that is the basis for the formulation of certificate trading and explain and clear that sanctions can be given to a notary who are committing a crime. This research written with research literature that is normative by means of data collection sourced from materials literature and analyzing data by descriptive analytical. The result of this research can be concluded that the agreements made between the parties not qualified the validity of the agreement that can be void by law and notary who committed acts of criminal falsification to criminal sanctions. Therefore, the notary proved a criminal offense can be discharge in disrespect."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T54695
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Wibowo
"Dalam rangka menjaga kualitas jasa Akuntan Publik untuk menyediakan informasi keuangan berkualitas, Pemerintah Indonesia menambahkan sanksi pidana sebagai salah satu alat pencegahan pada UU No 5/2011 tentang Akuntan Publik. Di lain pihak, profesi akuntan melihat ini sebagai ancaman yang dapat menurunkan minat menjadi Akuntan Publik. Tujuan utama studi ini adalah menginvestigasi peran UU No. 5/2011 dalam pencegahan perilaku kecurangan Akuntan Publik dalam perspektif Teori Pencegahan Umum. Model formal dibangun dengan menggunakan kombinasi Teori Segiempat Kecurangan (Wolfe dan Hermanson, 2004), Teori Perilaku Terencana (Ajzen, 1991), dan Teori Opsi Riil dalam perilaku kriminal (Engelen, 2004). Eksperimen menggunakan desain riset 2x2x2 yang dilakukan dengan 2 variabel pertama,yaitu hukuman dan probabilitas terdeteksinya kecurangan oleh inspeksi, sebagai alat pencegahan UU No. 5/2011, dan variabel opsi durasi digunakan untuk mengoperasionalkan Teori Opsi Riil.. Data dikumpulkan dari 127 Akuntan Publik sebagai responden. Model final adalah sebuah structural equation model dan diolah menggunakan AMOS. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa salah satu alat pencegahan kecurangan pada UU No. 5/2011, yaitu probabilitas terdeteksinya kecurangan oleh inspeksi, terbukti efektif untuk mencegah perilaku kecurangan Akuntan Publik, namun data belum mendukung efektifitas penerapan sanksi pidana sebagai alat pencegahan perilaku kecurangan, dengan hasil tidak ada efek signifikan dari penambahan ketentuan sanksi pidana (menyertai sanksi administratif yang sudah berlaku) terhadap pencegahan kecurangan. Selain itu, studi ini juga menemukan bahwa biaya atas peluang, ketidakpastian pendapatan dan opsi durasi terbukti merupakan determinan yang meningkatkan perilaku kecurangan Akuntan Publik.

In order to maintain the service quality of Public Accountants in providing high quality financial information, the Indonesian Government adds criminal sanction as one of deterrent tools in Law No. 5/2001 on Public Accountant in order to deter fraud behavior. On the other hand, the accounting profession sees the Law as a threat to the profession and will reduce the interest of becoming Public Accountants. The main purpose of this study is to investigate the role of Law No. 5/2011 in deterring Public Accountant to commit fraud based on General Deterrence Theory perspective. Formal models are developed using combination of Fraud Diamond Theory (Wolfe and Hermanson, 2004), Planned Behavior Theory (Ajzen, 1991) and Real Option Theory in criminal behavior (Engelen, 2004). The experiment using 2x2x2 research design was conducted with the first two variables (criminal sanctions and probability of fraud detection by regulatory inspection) served as deterrent tools of Law No. 5/2011, and the duration option variable, employed to operationalize Real Option Theory. The data were collected from 127 Public Accountants as respondents. The empirical model is a structural equation model which is solved using AMOS. The experiment results show that one of Law No. 5/2011 deterrent tool, probability of fraud detection by regulatory inspection, is found to be effective to deter Public Accountant’s fraud behavior, but the data did not yet support the effectiveness of criminal sanction implementation as a deterrent tool, because there is no significant effect of extra criminal sanction provisions (accompanying administrative sanction in force preciously) on fraud deterrent. Finally, this study finds that opportunity cost, income volatility and duration option are among determinant factors that positively affect Public Accountant’s fraud behavior."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2017
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Junior B. Gregorius
"Menurut ketentuan ICUHP, ancaman pidana seorang pelaku pembantu d~kurangi sepertiga dari pidana pokok bagi pelaku utama. Sebaliknya dalam UUTPPU, pelaku pembantu diancam dengan pidana yang sama dengan pelaku utama. Ada tiga hal yang menjadi permasalahan dalam Tesis ini, pertama: apakah ratio legis pembentuk UUTPPU menentukan sanksi pidana yang sama bagi pelaku pembantu dan pelaku utama, sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (2) UUTPPU; kedua: bagaimanakah penerapan pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu dalam UUTPPU dibandingkan dengan pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu dalam Money Laundering Act di negara-negara lain? ketiga: bagaimanakah penerapan konsep-konsep teoritis yuridis kesalahan dan pertanggungjawaban pidana dari pelaku pembantu eks Pasal 56 dan 57 KUHP dalam UUTPPU pads kasus-kasus pencucian uang?;
Penelitian yang menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif-analitis ini menghasilkan beberapa kesimpulan.
Pertama; bahwa badan legislatif menganggap UUTPPU adalah undang-undang pidana khusus yang mcngatur dan menentukan pidana secara khusus, dimana perbuatan pelaku pembantu dianggap sama akibatnyanya dengan perbuatan pelaku utama, yaitu dapat membahayakan perekonomian negara dan masyarakat, sehingga secara yuridis sanksi pidananya ditentukan same. Selain itu, Indonesia harus mengikuti model hukum pidana pencucian uang yang diberikan oleh FATF, dimana FATF berpedoman pada konvensi-konvensi internasional yang tidak mengenal pengurangan pidana terhadap pembantuan;
Kedua; Baik dalam UUTPPU maupun dalam Money Laundering Act di negara-negara lain, pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu same dengan pertanggungjawaban pidana pelaku utama, kecuali penerapan ancaman pidananya yang jauh lebih tinggi di Indonesia.
Ketiga; tanggungjawab pembantuan (penyertaan) yang dalam KUHP termasuk sebagai dasar perluasan pertanggungjawaban pidana (strafausdehnungsgrund), dalam UUTPPU, tanggungjawab pembantuan termasuk dasar perluasan tindak pidana (tatbestandaushdehnungsgrund); selain itu, penerapan kesalahan pelaku pembantu dalam UUTPPU berpedoman pada teori ilmu hukum Pasal 56 KUHP, sedangkan penerapan pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu dalam UUTPPU berpedoman dan berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUTPPU.
Berdasarkan analisis terhadap beberapa putusan kasus pencucian uang, Penulis menyarankan supaya kemampuan teoritis dan praktis para penegak hukum terutama jaksa dan hakirn perlu ditingkatkan, sehingga dengan kemampuan yang memadai, dalam membuat dakwaan dan putusan dapat menjamin kepastian hukum.

Based on Indonesian Criminal Code, the criminal sanction against the accomplice should be reduced one-third from total criminal sanction against the principal. In the other hand, it is stated in Indonesian Money Laundering Act that the criminal sanction for accomplice is equal with the principal. There are three research questions appointed: firstly; in what legal reasoning was Legislator determine the same criminal sanction both for principal and accomplice so as stipulated in Article 3 (2) of Indonesian Money Laundering Act?;
Secondly: how is the implementation of accomplice's criminal responsibility according to Indonesian Money Laundering Act in comparison with the accomplice's criminal responsibility in other countries Money Laundering Act? thirdly: how is the implementation in Indonesian Money laundering Act relating to the legal theoretical concepts of accomplice's offence and criminal responsibility based on Article 56 and 57 of Indonesian Criminal Code?.
This research which is using qualitative descriptive interpretive method, has had the following conclusion:
Firstly, according to the Legislator, Indonesian Money Laundering Act is including one of special criminal code model, which is regulated and applied the special terms and conditions, considered therefore that the accomplice's offence has the same danger and impacts as the principal against Indonesian economic stability, so that it is legal to determine the same criminal sanction for both principal and accomplice. Beside that, Indonesia should also follow money laundering regulation guideline' prepared by Financial Action Task Force (FATF), which in this case, FATF orientated on various international conventions stipulated no differences on criminal sanction between principal and accomplice. Secondly, both in Indonesian Money Laundering Act and other countries Money Laundering Act, the implementation of accomplice's criminal responsibility is just the same, except the criminal sanction applied in Indonesia seems to be higher than other countries.
Thirdly; the accomplice's responsibility which in Indonesian Criminal Code is subject to 'an extensive basis of criminal responsibility' (Strafausdehnungsgrund); and in Indonesian Money Laundering Act, become 'an extensive basis of criminal act' (Tatbestandausdehnungsgrund). Also, the implementation of accomplice's offence in Indonesian Money Laundering Act should be referred to Article 56 of Indonesian Criminal Code, and concerning to accomplice's criminal responsibility should be based on Article 3 (2) of Indonesia Money Laundering Act.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T24299
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Iqbal Rullya R.
"Tesis ini membahas mengenai notaris yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum yaitu korupsi pada saat ia tidak melaksanakan jabatan sebagai notaris yang berdampak kepada jabatannya sebagai pejabat umum serta menyerahkan protokol kepada pihak lain tanpa sepengetahuan Majelis Pengawas Notaris. Rumusan masalah yang diangkat dalam tesis ini adalah mengenai akibat hukum atau sanksi yang dikenakan kepada notaris yang telah dijatuhkan pidana karena melakukan tindakan korupsi menurut UUJN dan dampak dari penyerahan protokol tanpa pemberitahuan kepada Majelis Pengawas Notaris dan grosse akta atau salinan akta jika dikeluarkan oleh pihak yang menerima protokol. Penelitian tesis ini merupakan penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan kualitatif.
Kemudian simpulan dari tesis ini adalah bahwa dengan adanya putusan pidana yang telah membuktikan bahwa notaris yang saat tidak melaksanakan jabatannya tersebut terlibat korupsi, maka notaris tersebut telah melanggar ketentuan dalam Pasal 12 dan Pasal 13 UUJN yang mengakibatkan sanksi adminitratif yang dikenakan adalah sanksi yang paling berat yaitu pemberhentian dengan tidak hormat dan penyerahan protokol tersebut tidak sah serta jika grosse akta atau salinan akta dikeluarkan oleh pihak yang menerima protokol tersebut maka grosse akta atau salinan akta tidak sah karena tindakan penyerahan protokol sendiri juga tidak sah akibat tidak memenuhi ketentuan atau prosedur penyerahan protokol yang berlaku. Oleh karena itu, notaris harus mematuhi semua peraturan yang ada serta etika dan moral yang hidup dalam masyarakat baik saat menjalankan jabatan ataupun saat sedang tidak menjalankan jabatannya sebagai notaris dan Majelis Pengawas Notaris harus meningkatkan pengawasan terhadap notaris dalam wilayah kerjanya untuk menghindari hal demikian terulang kembali.

This thesis discuss about the notary who performs unlawful acts of corruption when he did not carry out a position of public notary that affects his position as a general official and submit his protocol to other party without the permission of the Notary Supervisory Board. The issues raised in this thesis are the legal consequences or sanctions imposed on the notary who has been imposed for criminal acts of corruption under the UUJN and the impact of the submission of the protocol without giving notification to the Notary Supervisory Board and grosse deed or a copy of the deed if issued by the party who receive the protocol. This thesis research is a normative juridical research, which is a legal research conducted by researching library materials. The research is analytical descriptive by using qualitative approach method.
The conclusion of this thesis is the notary has violated the provisions in Article 12 and Article 13 UUJN which resulted in administrative sanctions imposed which is dismiss unrespectedly and the submission of the protocol is invalid and if the grosse deed or copy of the deed is issued by the party who accept the protocol then the grosse deed or copy of the deed is not valid because the protocol submitting action itself was also invalid due to the protocol submission rules or procedures are not fulfilled. Therefore, a notary must comply with all existing rules, ethics and morals that live in the community either while performing a position or not performing his/her position as a notary and the Supervisory Board of Notary must increase the supervision of the notary in its territory to avoid such things from happening again.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50826
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library