Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bondhet Suryonurwendo
Abstrak :
Pengangkatan anak antarnegara memerlukan pengaturan dan pengawasan yang ketat untuk menghindari penculikan dan kejahatan-kejahatan lain. Hal inilah yang menyebabkan pengangkatan anak dilakukan melalui pengadilan. Penelitian ini terkait dengan putusan-putusan pengangkatan anak dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama serta pengakuan putusan di luar negeri. Untuk menjawab permasalahan tersebut penelitian ini menggunakan metode normatif deskriptif. Hasil dari penelitian menunjukkan adanya perbedaan pendapat mengenai kompetensi Pengadilan Agama terkait pengangkatan anak antarnegara, selain itu berdasarkan kasus yang dianalisis, Amerika Serikat dan Australia mengakui putusan pengangkatan anak antarnegara yang dikeluarkan pengadilan Indonesia selama putusan dibuat sesuai dengan hukum Indonesia.  ......Intercountry adoption in Indonesia needs a strict regulation and supervision to avoid kidnapping and other crimes related to trafficking. Hence intercountry adoption in Indonesia are done through court. This study is associated with intercountry adoption awards finalized in Disctrict Court and Religous Court and its recognition abroad . This study used normative-descriptive methode to solve the problems. This study discovered that there are different oponions regarding Religious Court competence in granting intercountry adoption awards. Through case analysis, this study also discovered that USA and Australia recognise Indonesia intercountry adoption awards as long as the awards were finalized in accordance with Indonesia law. 
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamidah Izzatullaili
Abstrak :
Dewasa ini, banyak jurits Indonesia menegaskan formasi sosial dominan ulama tradisional terhadap kecenderungan afirmatif bahwa beda agama nienjadi salah satu kendala (mani') untuk waris mewarisi tidak lagi relevan dengan kondisi multi kultur dan multi agama masyarakat Indonesia. Sebagai gantinya, mereka menyatakan bahwa disparitas perolehan harta warisan secara kuantitas berdasarkan perbedaan agama (religion disaggregated) secara perlahan akan luntur sesuai dengan tingkat kemajemukan masyarakat Indonesia yang tinggi. Dan seyogyanya beralih, melalui tindakan kebijaksanaan hukum (legal policy) negara Indonesia ke antitesisnya, yaitu beda agama bukan halangan mendapat hak waris secara resiprokal. Terkait dengan itu, politik hukum pentndang-undangan Indonesia di bidang perdata Islam tidak melegalkan waris beda agama. Sebaliknya hukum perdata adat dan Barat yang masih berlaku di Indonesia mengakui praktek pemberian hak waris beda agama. Fenomena pernberlakuan beberapa sistem hukum ini mengurai fakta adanya perbedaan materi hukum perdata secara konseptual dari sudut yuridis normatif. Hai ini pada tahap selanjutnya berpotensi menciptakan kondisi tidak sehat daiam masyarakat dan chaos dalam pelaksanaan hukumnya (law enforcement). Penelitian ini bertujuan untuk untuk menggambarkan secara deskriptif dan melacak faktor-faktor penyebab konflik yang kerap kali terjadi di bidang hukum perdata Indonesia terutama yang terkait dengan hak waris beda agama dan lantas memproyeksikan formasi sosial yang mampu melakukan konstruksi makna (signifrkansi) tentang waris beda agama secara verbal dalam suatu cara yang dapat. diterima oleh masyarakat dan persepsinya terhadap realitas pluralitas dan heterogenitas struktur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan model pengkajian kualitatif deskriptif dengan pemilihan studi kasus (case study) sebagai strategi penelitian. Adapun pengumpulan data dibatasi pada dari data-data yang terdapat pada Mahkamah Agung yang mengulas secara khusus tentang putusan kasus gugatan waris beda agama dari tahun 1990-2000. Sedangkan karakteristik data tersebut berupa data dokumen dan data kasus. Adapun strategi analisis bukti studi kasus dikembangkan dengan mengikuti proposisi teoritis dan mengembangkan deskripsi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidaksinkronan elemen-elemen sistem hukum bukan merupakan satu-satunya faktor yang mengakibatkan muncul konflik. Tetapi konflik pada mulanya muncul akibat ketimpangan pemenuhan kebutuhan primordial yang dilakukan dengan mengorbankan pemenuhan hak orang lain, Dengan demikian, konflik dalam sistem hukum dilatarbetakangi oleh konflik lain di luar hukum. Bahwa upaya penyelesaian persoalan di luar jalur hukum, negosiasi misalnya, belum tercapai. Secara khusus, konflik dalam sistem hukum terjadi karena dua hal yang saling berkaitan, pertama, adanya dua sistem hukum atau lebih yang berbeda secara diametral, dan kedua, beberapa sistem hukum tersebut mempunyai kedudukan yang sederajat dan menguasai peristiwa hukum. Adapun konkretasi bentuk-bentuk konflik dapat dideskripsikan dalam tiga pointer, pertama, konflik dalam tingkat struktur hukum (legal structure), kedua, konflik dalam tingkat substansi hukum (legal substance) dan ketiga, konflik dalam tingkat budaya hukum (legal culture). Bertolak dari konsepsi hukum sebagai sistem, konflik secara spesifik diakibatkan oleh (1) masalah interpretasi; (2) masalah yurisdiksi; (3) masalah legitimasi; dan (4) masalah sanksi. Selain itu, konflik juga terjadi akibat pengaruh historis tarik ulur beberapa sistem hukum yang dilakukan oleh penjajah kolonial. Akhirnya, persoalan peinberian hak waris beda agama tidak selalu ditimbulkan oleh degradasi kesadaran terhadap hukum tetapi oleh tuntutan menegakkan keadilan bagi manusia.
Formerly, there are a lot of Indonesian juries which emphasized that dominant social formation of traditional ulama is no longer relevant to assess that diversity on religions affirmatively become an obstacle (mani') in heir system of Indonesian multi culture and religion. Therefore, they stated that their quantity disparity on subject to religion disaggregated is changeable along with higher Indonesian complexity society. In line to that case, Indonesian law policy of Islam civil justice did not legalize heir in religion diversity. On the contrary, western and traditional law still recognized and legalize heir in religion diversity. This phenomenon is potentially creates unhealthy situation on civil society and probably become source of chaotic situation on law enforcement manners. This study tries to describe and tracing conflict causal factors often happened in Indonesian civil justice, specially hooked with heir in religion diversity. These research also projected on how social formation able to signified heir law on Indonesian plurality. Therefore, this study used descriptive qualitative examination model and case study as research strategy. This study use document from High Court specifically reviewed religions diversity hair cases from 1990 to 2000. Research found that failure on synchronization of law system elements was not the only factors to determine conflicts. Conflict arises as consequences of failure to occupy primordially needs by sacrifice other rightful authority. Therefore, conflict in law system surrounded by outer law issues backgrounds. Specifically, conflict in law system occurred as per two bounded causes. First, the existence of two or more law difference systems. Second, these differences law system has equal degree and dominating law affair. Furthermore, conflict shapes could be describes on three points; legal structure, legal substance, and legal culture. Underpinned from law as law concept, conflict also specifically caused by (1) interpretations predicament; (2) justice predicament; (3) legitimate predicament and (4) sanctions predicament. Besides that, conflicts also accomplished as the effect of historical resistance of some different law system by colonizer.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17953
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Enrico
Abstrak :
ABSTRAK
Dalam dimensi sejarah, perluasan kewenangan Peradilan Administrasi dilakukan oleh para hakim peradilan administrasi, sebagai bagian dari proses penemuan hukum (judicial activism) untuk mengisi keterbatasan-keterbatasan UU. No. 5/1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (atau UU. No. 51/2009 dalam perubahan terakhirnya). Namun, perluasan kewenangan absolut peradilan administrasi melalui praktek peradilan berjalan diametral dengan politik hukum kebijakan legislasi. Dalam penelitian ditemukan disharmoni kebijakan politik hukum di bidang pengaturan eksistensi dan fungsi kompetensi absolut Peradilan Administrasi, hal ini disebabkan karena tidak adanya grand design dari para pembuat kebijakan, khususnya di bidang legislasi, untuk membangun suatu sistem peradilan administrasi yang efektif, berwibawa dan kuat sesuai dengan cita negara hukum Indonesia. Kelemahan aturan hukum seringkali disikapi bukan dengan memperhatikan keselarasan sistem, namun menggunakan pendekatan-pendekatan reaktif, yakni berorientasi membuat aturan dan lembaga baru, untuk menata sistem hukum yang terganggu atau bermasalah. Dalam penelitian ini dibahas pula beberapa rancangan undang-undang (RUU) yang secara langsung akan mempengaruhi fungsi peradilan administrasi ke depan, disamping menganalisis sinkronisasi kebijakan legislasi dan regulasi dari lima undang-undang mutakhir yang memperluas/menegaskan kewenangan Peradilan Administrasi dalam sistem hukum nasional yaitu : 1) UU. Keterbukaan Informasi Publik; 2) UU. Pelayanan Publik; 3) UU. Pemilu Anggota DPR/D dan DPD; 4) UU. Pengelolaan Lingkungan Hidup; 5) UU. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Pada akhirnya, Peneliti berkesimpulan bahwa politik hukum yang mengatur dan mengelola sistem penyelesaian sengketa antara warga masyarakat atau badan hukum dengan pemerintah dalam kebijakan legislasi maupun regulasi harus disusun dalam suatu grand design perubahan yang mencerminkan hakikat perlindungan hukum kepada masyarakat. Namun perlindungan hukum ini akan lebih bermakna apabila kompentensi peradilan administrasi tidak dibatasi oleh ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 1 angka 9 UU PERATUN, maupun pembatasan-pembatasan hukum lainnya, namun mencakup semua tindakan hukum publik administrasi pemerintahan.
ABSTRACT
In historical dimension, the extension of the administrative courts jurisdiction is exercised by administrative judge as part of the judicial activism to strengthen the weakness of the Administrative Court Act no. 5/1986 (last revised on the Act no. 51/2009). Unfortunately, the extension of the administrative court jurisdiction has been diametrically opposed with the legal policy of legislation. The analysis will demonstrate disharmony of the effectiveness legislation of judicial administrative court power, due to the lack of lawmakers grand design to build a effective and strong judiciary system of administrative court based on the idea of Indonesian rule of law. The defective of the laws and regulations tends to be faced in reactive approach for building new regulation or institution. Realizing the lack of political will of the lawmakers to build a effective and strong administrative court power, the reseacher propose some ideas and arguments to optimalize the power of administrative court by systematizing and re-thingking some actual legal issues relating the future of administrative court jurisdiction (ius constituendum). Relating to this topic, the researcher examine as well some of the draft bills whose impact to the future of the administrative court function, besides analyzing current policies which has been expanding the administrative court jurisdiction in national law system namely : 1) Freedom Information Act; 2) Public Service Act; 3) Legislative and Senate Election Act; 4) Enviromental Protection and Management Act; 5) Land Acquistition For Public Purposes Act. Finally, the researcher has a conclusion that legal policy which regulates and operates national legal system of the conflict resolution between the government and the citizen must be composed and designed based on a supporting grand design to promote and guarantee legal protection for citizens. This protection would be more meaningful if the jurisdiction of the administrative court are not limited only to the specific criteria of the administrave court decision according to article 1 figure law 9 Law No. 51/2009, including another legal exemption, but also cover all the public legal action of administrative authority.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39285
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library