Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 70 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alifia Indah Nur Lestari
"Tulisan ini menganalisis bagaimana penerapan dari asas kelangsungan usaha yang lahir dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) sebagai sarana bagi debitor untuk melanjutkan usahanya. Tulisan ini juga membahas mengenai kondisi insolvensi pada debitor yang dapat dijadikan rujukan bagi majelis hakim sebelum menjatuhkan pailit. Tulisan disusun dengan menggunakan metode doktrinal. Lebih lanjut, penerapan dari going concern dalam UUK-PKPU memungkinkan usaha milik debitor tetap dijalankan meskipun telah dinyatakan pailit. Penerapan dari going concern dalam UUK-PKPU memberikan kewenangan bagi kurator atau kreditor melalui persetujuan panitia kreditor untuk melangsungkan usaha debitor. Sementara itu, kondisi debitor yang telah dinyatakan pailit berada di kondisi insolvensi, sehingga tidak mampu untuk membayarkan utangutangnya kepada kreditor. Majelis hakim yang memutus perkara pailit masih terbatas terhadap pemenuhan syarat pailit dalam ketentuan UUK-PKPU. Tulisan ini akan membahas mengenai penerapan dari going concern dan kondisi insolvensi pada debitor yang telah dinyatakan pailit melalui perbandingan dengan Amerika Serikat. Penulis membandingkan dua putusan dalam menganalisis terkait going concern dan kondisi insolvensi yaitu Putusan Nomor 1262 K/Pdt.SusPailit/2022 dan Putusan Nomor 1434K/Pdt.Sus.Pailit/2020. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kewenangan untuk going concern terhadap usaha debitor atas persetujuan dari panitia kreditor atau izin dari hakim pengawas berdasarkan UUK-PKPU. Akan tetapi, majelis hakim dapat mempertimbangkan mengenai parameter dari going concern sebelum menjatuhkan pailit. Sementara itu, insolvency test belum diatur di Indonesia, sehingga majelis hakim keliru untuk mempertimbangkan mengenai implementasi dari kondisi insolvensi.

This thesis analyzes the principle of going concern in Law Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payments of Debts (UKK-PKPU) is implemented as a means for debtors to continue their business. Furthermore, this thesis also discusses the debtor’s insolvency condition which can be used as a reference for the panel of judges before bankruptcy. In this regard, this article is prepared using the doctrinal method. The application of going concern in UUK-PKPU allows the debtor's business to continue running even though the debtor has been declared bankrupt. However, the implementation of the principle going concern in the UUKPKPU gives the curator or creditor the authority through the approval of a creditor committee to carry on the debtor’s business. Meanwhile, the debtors who have been declared bankrupt are in a state of insolvency so they are unable to pay their debts to creditors. The panel of judges who decide on bankruptcy cases are still limited in fulfilling the bankruptcy requirements in the UUKPKPU provisions. This article will discuss the application of going concern and insolvency conditions for debtors who have been declared bankrupt through comparison with the United States. This article compares two decisions in analyzing going concern and insolvency conditions in Decision Number 1262 K/Pdt.Sus-Pailit/2022 and Decision Number 1434 K/Pdt.Sus.Pailit.2020. The research of this article shows that the authority to going concern for the debtor’s business with approval from the creditor committee or permission from the supervisory judge through UUK-PKPU. However, the panel of judges can consider the parameters of the going concern before declaring bankruptcy. Meanwhile, the insolvency test has not been regulated in Indonesia, so the panel of judges was wrong to consider the implementation of insolvency. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dzulkifli Abdul Razak
Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia, 2005
362.296 DZU v I
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bintan Humeira
"Media massa sebagai sumber persuasif menyajikan bahan atau materi untuk mempertajam dan membentuk persepsi khalayak tentang isu gender. Dengan keterlibatan khalayak pada media, terdapat kemungkinan bahwa susuna agenda media cocok dengan susunan agenda khalayak. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan dapat mencapai tujuan dalam menggambarkan susunan agenda media surat kabar dan agenda publik mengenai isu-isu gender, serta melihat perbedaan efek agenda setting media pada publik dengan munculnya variabel ketiga, yaitu kredibelitas media, tingkat kebutuhan orientasi (need for orientation) dan penggunaan media.
Kerangka teoritis yang digunakan di dalam penelitian ini adalah teori agenda setting yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara apa yang ditonjolkan media dengan penilaian publik mengenai isu-isu penting. Dengan operasionalisasi konsep penelitian berkaitan dengan agenda media dan agenda publik.
Penelitian ini merupakan penelitian eksplanatif dengan teknik analisa kuantitatif. Pengukuran agenda media menggunakan tehnik analisis isi (content analysis), sedangkan agenda publik diukur melalui tehnik survey dengan menggunakan pertanyaan setengah terbuka. Analisa data untuk menguji hubungan antara agenda media dan agenda publik dilakukan dengan menggunakan tehnik statistik nonparametrik, yaitu menghitung dan menguji signifikansinya dengan koefisien korelasi jenjang Spearman.
Penelitian memperlihatkan adanya dukungan terhadap hipotesa penelitian, yaitu intensitas pemunculan tinggi yang diberikan media atas suatu isi membuat isu tersebut tampak menonjol sehingga membuat publik menganggap isu tersebut sebagai isu panting. Dengan demikian uji korelasi menunjukkan terdapat korelasi antara penonjolan yang diberikan media atas suatu isu tertentu melalui intensitas pemunculan yang tinggi dengan persepsi publik tentang isu yang dianggap penting. Korelasi ini ditunjukkan dengan isu yang menjadi prioritas media merupakan isu yang diprioritaskan juga oleh publik. Artinya isu gender yang diprioritaskan oleh media dengan pemberian intensitas pemunculan yang linggi merupakan isu gender yang dipersepsi oleh publik sebagai isu penting bagi mereka.
Hal ini tampak dari hasil analisis yang menunjukkan bahwa meski hubungan antara agenda media dan agenda publik cukup kuat, namun hubungan ini tidak signifikan. Artinya terdapat hubungan antara penonjolan yang diberikan media terhadap isu-isu gender tertentu melalui intensitas pemunculan isu di media, dengan persepsi publik tentang isu gender yang dianggap penting bagi mereka. Namun hubungan antara agenda media dan agenda publik cenderung menguat atau melemah pada kondisi tertentu. Hal ini ditunjukkan dengan semakin tinggi tingkat penggunaan media oleh publik, semakin kuat hubungan antara agenda media dengan agenda publik semakin tinggi kebutuhan orientasi publik, semakin kuat hubungan agenda media dan agenda publik; dan semakin tinggi kredibelitas media dimata publik semakin kuat hubungan agenda media dan agenda publik. Sebaliknya semakin rendah tingkat penggunaan media, tingkat orientasi kebutuhan dan tingkat kredibelitas media dimata publik maka semakin lemah hubungan antara agenda media dan agenda publik. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh variabel ketiga pada level tertentu terhadap kekuatan hubungan antara agenda media dan agenda publik.
Dari temuan penelitian diajukan beberapa rekomendasi bagi penelitian berikutnya antara lain perlu dikembangkan lebih jauh lagi pengujian agenda media dan agenda publik dengan melihat lebih detil pada bagaimana frame media yaitu bingkai yang sajikan oleh media dalam mengemas suatu isu, dan apakah isu tersebut dipersepsi oleh publik dengan bingkai yang sama seperti bingkai media. Di sini disarankan penggunaan teknis framing untuk membedah isi media dan depth interview untuk melihat bagaimana individu membingkai isu tertentu dalam agendanya. Dengan demikian dapat diketahui apakah bingkai yang digunakan media sama dengan bingkai yang digunakan publik dalam melihat isu penting. Untuk itu perlu juga melihat bagaimana proses pengolahan informasi (information processing ) pada level individu. Selain itu sebaiknya perlu juga dilakukan pengujian terhadap agenda kebijakan, seperti agenda yang dimiliki oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Dengan demikian dapat dilihat apakah agenda media mempengaruhi agenda kebijakan tentang gender atau sebaliknya, agenda media tentang gender dipengaruhi oleh agenda kebijakan tentang gender. Untuk itu dibutuhkan pengujian statistik yang lebih mendalam untuk melihat hubungan kausal antara agenda media, agenda publik dan agenda kebijakan. Dengan demikian dapat diketahui agenda mans yang memiliki pengaruh atas agenda lainnya.
Dengan demikian hasil penelitian ini mendukung pernyataan bahwa berita-berita media massa terampil dalam menciptakan kesadaran yang menyebar iuas tentang suatu ide atau topik Baru. Berita-berita yang dimuat ini tidak hanya membawa masalah, peristiwa dan arang-orang yang tersangkut didalamnya menjadi perhatian publik, tetapi juga memperlihatkan prioritas yang diberikan media terhadapnya. Dengan pemuatan yang rutin setiap harinya dan pola pemikiran sehari-hari media tersebut, maka tidaklah mengherankan jika kemudian masalah atau topik tersebut menjadi prioritas publik."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22065
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marchantia Andranita
"Penelitian ini melihat perbedaan fokus karir antara pekerja dewasa muda yang mengalami pindah kerja dan tidak pindah kerja di Jakarta dengan tinjauan teori tahapan karir Super. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan metode penelitian kuantitatif dan analisis dilakukan dengan independent sample t-test. Partisipan penelitian berjumlah 221 pekerja yang berada pada tahapan usia dewasa muda, bekerja di Jakarta, memiliki jenjang karir dan pernah atau tidak pernah mengalami pindah kerja. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur fokus karir dewasa yang dimodifikasi dari alat ukur Adult Career Concern Inventory Short Form yang disusun oleh Perrone, Gordon, Fitch dan Civiletto (2003). Alat ukur ini digunakan untuk mengukur fokus mereka terhadap tahapan karir.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas partisipan berada pada tahapan maintenance. Hasil analisis independent sample t-test, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok yang pindah kerja dan tidak pindah kerja di tahapan exploration. Akan tetapi, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara dua kelompok tersebut pada tahapan establishment, maintenance dan disengagement.

This study describes the difference of career concern between young adulthood workers who have and haven`t the experience of turnover in Jakarta by using Super`s career stage theory. This is a descriptive research using a quantitative method with independent sample t-test as a statistical technique to analyze. The participants of this research were 221 of young adulthood workers who work in Jakarta, have a career path in their companies and had or never had turnover in their careers. The inventory of this research was Adult Career Concern Inventory (ACCI) which had been adapted from the same inventory constructed in 2003 by Perrone, Gordon, Fitch and Civiletto.
The result illustrates that most of the participants are in the maintenance stage. Meanwhile, based on the result of the independent sample t-test, there are differences between the group that has the experience of turnover and has not the experience of turnover in the exploration stage. In other side, there are no differences between two groups in the establishment stage, the maintenance stage and the disengagement stage."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
331.702 AND p
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fareeha Naz
"Sustainable purchasing is an attempt to purchase greener, healthier, and more economical items from greener, more sustainable organizations. It is based on the idea that each and every buy has shrouded human wellbeing through natural and social effects and that it is possible to decrease unfavourable effects by purchasing better items. The motive of the present study was to identify the role of values and environmental concerns for sustainable purchasing behaviour of buyers in the Pakistani green market. With the help of reliable and valid Likert type self-administered questionnaires, data was collected from the sample of the people who claim to live green lifestyles and purchase green products. Results of Smart PLS path model confirm that values and environmental concerns have an influence on sustainable purchasing behaviour in the Pakistani green market. This study provides a greater insight to improve purchaser behaviour in the green market of Pakistan and will help to increase the trust of buyers towards the green market.

Pembelian berkelanjutan merupakan upaya untuk membeli barang-barang yang lebih hijau, lebih bermanfaat, dan lebih ekonomis dari organisasi hijau yang berkelanjutan. Hal ini berangkat dari ide dasar bahwa setiap pembelian berdampak pada kesejahteraan manusia, alam dan kehidupan sosial sehingga ada kemungkinan untuk mengurangi efek negatifnya dengan membeli barang-barang yang lebih ramah lingkungan . Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami peran nilai-nilai dan kepedulian pada lingkungan terhadap perilaku pembelian berkelanjutan para pembeli di pasar hijau Pakistan. Data sampel penelitian dikumpulkan melalui kuesioner berbasis Skala Likert yang andal dan valid dari orang-orang yang mengaku memiliki gaya hidup hijau dan membeli produk hijau. Hasil dari model Smart PLS path menegaskan peran nilai-nilai dan kepedulian pada lingkungan memiliki pengaruh pada perilaku pembelian berkelanjutan di pasar hijau Pakistan . Penelitian ini menawarkan wawasan yang lebih luas untuk meningkatkan perilaku pembeli di pasar hijau Pakistan dan meningkatkan kepercayaan pembeli di pasar hijau."
[Place of publication not identified]: COMSATS Institute of Information Technology (CIIT), 2016
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Amanda Kurniawan
"Laporan ini menjelaskan tanggung jawab Alex Yeung sebagai mitra pertunangan klien, Fancy Furniture Management, yang memiliki masalah going concern untuk periode audit. Laporan tersebut membahas Kode Etik untuk Akuntan Profesional (APES 110), kemudian konsep going concern. Diskusi kemudian berfokus pada tugas Alex, implikasi tanggung jawab hukum yang potensial, dan tindakan alternatif. Disimpulkan bahwa basis going concern Fancy tidak tepat, oleh karena itu Alex tidak boleh secara bebas membagi permasalahan going concern ke pihak lain namun harus mengungkapkan hal tersebut dalam laporan audit berupa adverse opinion.

This report explains Alex Yeung’s responsibilities as an engagement partner of a client, Fancy Furniture Management, that has going concern issues for the current period being audited. The report discusses Code of Ethics for Professional Accountants (APES 110) then the concept of going concern. The discussion then focuses on Alex’s duties, potential legal liability implications, and alternative actions. It is concluded that Fancy’s going concern basis is not appropriate, therefore Alex should not freely share the going concern matter to other parties but should disclose the matter in the audit report in the form of adverse opinion.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2017
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dami Lail Hanifah
"Kepailitan merupakan salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan utang piutang antara debitor dan para kreditor, upaya kepailitan yang demikian sering juga ditempuh oleh para kreditor terhadap perusahaan-perusahaan pertambangan batubara yang ada di Indonesia. Hal demikian wajar adanya, namun di antara pailitnya perusahaan-perusahaan tambang tersebut, ada kurator yang mengupayakan agar perusahaan pertambangan batubara yang telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Indonesia tersebut tetap dilanjutkan olehnya (going concern) demi meningkatkan nilai harta pailit guna melunasi utang-utang yang dimiliki oleh debitor pailit tersebut. Akan tetapi, upaya going concern tersebut ialah bertentangan dengan hukum, karena berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, serta asas dan ketentuan yang terkandung di dalam UU Pertambangan Mineral dan Batubara, dan juga teori tentang barang yang mengandung makna kepentingan publik (public interest) berupa public ownership, diketahui bahwa batubara merupakan sumber daya alam tak terbarukan milik bangsa Indonesia atau dalam hal ini ialah milik seluruh rakyat Indonesia, yang penggunaan dan pemanfaatannya tidaklah boleh berorientasi kepada kepentingan individu atau golongan semata, namun harus berorientasi kepada kepentingan bangsa untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka dari itu, batubara yang masih ada di dalam perut bumi Indonesia ataupun yang iuran produksi atau royaltinya belum dibayarkan lunas sebelum perusahaan pertambangan batubara tersebut dinyatakan pailit tidaklah dapat dianggap sebagai kekayaan dari debitor pailit dalam konteks kekayaan yang sudah ada maupun dalam konteks kekayaan yang baru akan ada di kemudian hari selama berlangsungnya kepailitan.

Bankruptcy is one of the options for resolving debt problems between debtors and creditors. In Indonesia, creditors occasionally file for bankruptcy against coal mining companies. This is understandable, but among the bankruptcies of these mining companies, there is a curator who strives for the coal mining company that has been declared bankrupt by the Indonesian Commercial Court to be continued by him (going concern) that one may increase the value of the bankrupt assets in order to pay off the bankrupt debtor's debts. On the other hand, this type of going concern exercise is against the law, because it is based on Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, as well as the principles and provisions of the Mineral and Coal Mining Law, along with the theory about goods that contain the meaning of public interest, in the form of public ownership, it is well known that coal is a non-renewable natural resource that belongs to the Indonesian people, or in this case, to the entire Indonesian people, and that its use and utilization should not be oriented solely to the interests of individuals or groups, but must be oriented to the interests of the nation for the maximum benefit and prosperity of the people. As a result, coal that is still in Indonesia's bowels or whose production fees or royalties have not been paid in full before the coal mining company is declared bankrupt cannot be considered the bankrupt debtor's wealth in the context of existing assets or new assets to be acquired at a later date during the course of the bankruptcy."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marie Lall
"Energy security has become a central concern for all the countries in the Asian region and the search for sufficient sources of energy to fuel economic growth has drastically influenced relations among the South Asian countries as well as their respective relations with their neighbours China, Myanmar, Iran, and Afghanistan. The recent nuclear deal between India and the US is also indicative of how energy and power politics are linked and how these new inter-linkages underlie relations between states. This book aims to give a South Asian perspective on the geopolitics of energy, with a central focus on India. The chapters address show India's global and regional foreign policy making has changed in light of India's search for energy and how this is affecting the relationship on a global level between India and the US, as well as on a regional level between India and the other Asian countries. The book also offers views from Pakistan and Bangladesh, as well as how this shifting reality is affecting relations between India and Southeast Asia."
Pasir Panjang: ISEAS–Yusof Ishak Institute, 2008
e20528364
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Dami Lail Hanifah
"Kepailitan merupakan salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan utang piutang antara debitor dan para kreditor, upaya kepailitan yang demikian sering juga ditempuh oleh para kreditor terhadap perusahaan-perusahaan pertambangan batubara yang ada di Indonesia. Hal demikian wajar adanya, namun di antara pailitnya perusahaan-perusahaan tambang tersebut, ada kurator yang mengupayakan agar perusahaan pertambangan batubara yang telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Indonesia tersebut tetap dilanjutkan olehnya (going concern) demi meningkatkan nilai harta pailit guna melunasi utang-utang yang dimiliki oleh debitor pailit tersebut. Akan tetapi, upaya going concern tersebut ialah bertentangan dengan hukum, karena berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, serta asas dan ketentuan yang terkandung di dalam UU Pertambangan Mineral dan Batubara, dan juga teori tentang barang yang mengandung makna kepentingan publik (public interest) berupa public ownership, diketahui bahwa batubara merupakan sumber daya alam tak terbarukan milik bangsa Indonesia atau dalam hal ini ialah milik seluruh rakyat Indonesia, yang penggunaan dan pemanfaatannya tidaklah boleh berorientasi kepada kepentingan individu atau golongan semata, namun harus berorientasi kepada kepentingan bangsa untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka dari itu, batubara yang masih ada di dalam perut bumi Indonesia ataupun yang iuran produksi atau royaltinya belum dibayarkan lunas sebelum perusahaan pertambangan batubara tersebut dinyatakan pailit tidaklah dapat dianggap sebagai kekayaan dari debitor pailit dalam konteks kekayaan yang sudah ada maupun dalam konteks kekayaan yang baru akan ada di kemudian hari selama berlangsungnya kepailitan.

Bankruptcy is one of the options for resolving debt problems between debtors and creditors. In Indonesia, creditors occasionally file for bankruptcy against coal mining companies. This is understandable, but among the bankruptcies of these mining companies, there is a curator who strives for the coal mining company that has been declared bankrupt by the Indonesian Commercial Court to be continued by him (going concern) that one may increase the value of the bankrupt assets in order to pay off the bankrupt debtor's debts. On the other hand, this type of going concern exercise is against the law, because it is based on Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, as well as the principles and provisions of the Mineral and Coal Mining Law, along with the theory about goods that contain the meaning of public interest, in the form of public ownership, it is well known that coal is a non-renewable natural resource that belongs to the Indonesian people, or in this case, to the entire Indonesian people, and that its use and utilization should not be oriented solely to the interests of individuals or groups, but must be oriented to the interests of the nation for the maximum benefit and prosperity of the people. As a result, coal that is still in Indonesia's bowels or whose production fees or royalties have not been paid in full before the coal mining company is declared bankrupt cannot be considered the bankrupt debtor's wealth in the context of existing assets or new assets to be acquired at a later date during the course of the bankruptcy. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Riss Daniel Mikhael
"Kepailitan merupakan salah satu aspek hukum yang memiliki kemungkinan terjadi yang besar dalam proses perusahaan-perusahaan di Indonesia. Terdapat asas yang sangat penting dalam suatu proses kepailitan perusahaan di Indonesia yang disebut dengan asas Going Concern, dimana asas ini memberikan kesempatan bagi debitor untuk menjalankan usahanya dengan harapan dapat membayarkan hutangnya di masa depannya. Akan tetapi dalam pelaksanaannya sendiri, seringkali hambatan implementasi asas ini berasal dari berbagai pihak, dari Debitur, Kreditur, bahkan bisa juga dari pengurus atau pihak lain, di sisi lain kendala valuasi dalam kepailitan juga menjadi aspek yang penting yang dapat menentukan suatu pelaksanaan Going Concern dalam kepailitan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal. Hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa Implementasi Going Concern dan aspek yang mendukung pelaksanaannya di Indonesia masih kurang, dimana banyak sisi yang harus dilihat untuk mengetahui apakah asas ini dapat dilaksanakan pada suatu perusahaan, asas ini juga berkaitan dengan valuasi/penilaian kekayaan intelektual karena dari hasil nilai ini, selain kita bisa melihat bagaimana pemberesan utang debitur, kita juga bisa melihat profitabilitas suatu perusahaan dari hasil valuasi, yang kemudian dapat berkaitan langsung dengan penerapan asas Going Concern pada perusahaan pailit. Asas Going Concern adalah asas yang penting yang dapat menyelamatkan suatu perusahaan dari keadaan pailit, akan tetapi harus ada kerja sama dari tiap pihak agar asas ini dapat diimplementasi dengan baik. Valuasi kekayaan intelektual juga memegang peran penting, karena valuasi ini yang dapat menjadi aspek yang dinilai untuk masa depan suatu perusahaan, oleh karena itu harus ada standar hukum penilaian yang tepat untuk pelaksanaan suatu penilaian kekayaan intelektual

Bankcruptcy Law is one of the most common law that has a high percentage to happen to companies in Indonesia. In Indonesia’s Bankcruptcy law policy, there is one important aspect called, Going Concern, where in this condition the company is given a chance to keep running while also hoped to be able to receive enough revenue to pay for their debts. Oftentimes, the hindrance that is faced while trying to implement this principle comes from everyone that are included in the process, whether from the debtor, creditor, or even the administor, on the other hand, the valuation process also holds an important part on valuating whether to implement the Going Concern Principle in bankcruptcy law. This research uses the doctrinal research method. In this research we can see that, the implementations and other aspects of Going Concern is still lacking, there are a lot of aspects that needs more attention to judge if the implementation of going concern is needed on a company, this principle is also connected to the valuation of the company’s intellectual property, because from this valuation can we see, the process of assets settlements, on the other side, we can also see how profitable is the company itself, which then will affect the going concern implementation. Going concern is an important principle which can save a company from a situation of Bankcruptcy, but it also need the help of all the people included to work together for the principle to work effectively. The valuation of intangible assets also holds an important part,, whereas from this valuation we can see the future of the company itself, that is why, the standards of valuations needs to be legally regulated. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>