Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mayda Laksmi Azzahra
"Tulisan ini menganalisis pengaturan program kepatuhan persaingan usaha di Korea Selatan dan Indonesia, serta bagaimana akibat hukum penerapan program kepatuhan terhadap pemberian sanksi bagi pelaku usaha. Tulisan ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal sementara pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan. Program kepatuhan merupakan salah satu cara yang digunakan untuk menjaga persaingan usaha yang sehat. Indonesia telah mengatur program kepatuhan dalam Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2022 Tentang Program Kepatuhan Persaingan Usaha sementara Korea Selatan mengatur program kepatuhan dalam Rules on Operation of Fair Trade Compliance Programs, Offering of Incentives, etc, enacted by Fair Trade Commission. Pengaturan hukum mengenai program kepatuhan di Korea Selatan dan Indonesia menawarkan insentif bagi pelaku usaha yang mendaftarkan program kepatuhannya, meskipun dengan jenis insentif berbeda. Namun, sistem evaluasi yang hanya berbasis laporan, tidak adanya pengaturan lebih lanjut mengenai pemeringkatan, standar evaluasi, dan detail pemberian insentif menjadi kekurangan Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2022. Di sisi lain, Korea Selatan sudah mengatur hal-hal tersebut serta melakukan evaluasi program kepatuhan berdasarkan dokumen, keadaan di lapangan, dan wawancara mendalam dengan pihak terkait. Putusan Seoul High Court 2014.3.14 No. 2013-NU-45067 sebagai salah satu putusan yang menggunakan program kepatuhan sebagai salah satu pertimbangan hakim tidak memberikan insentif pengurangan sanksi bagi pelaku usaha. Meskipun pelaku usaha memiliki program kepatuhan yang memenuhi syarat pemberian insentif, hakim tidak memberikan pengurangan denda kepada pelaku usaha karena terdapat kriteria pengecualian pemberian insentif yang salah satunya adalah keterlibatan langsung direktur dalam pelanggaran.

This paper analyzes regulations concerning the antitrust compliance program in South Korea and Indonesia, as well as the legal consequences of the compliance program implementation on sanctions impositions to business entities. This paper used doctrinal research method, while data collection was carried out using literature study. Compliance program is one practice to maintain competition. Indonesia has regulated compliance program in KPPU Regulation No. 1 of 2022 concerning Antitrust compliance program while South Korea promulgated Rules on Operation of Fair Trade Compliance Programs, Offering of Incentives, etc., to regulate the matter. Both regulations offer incentives to business entities, albeit with different kinds. However, the report document-based evaluation, the absence of further regulation concerning grading, evaluation standard, and details of incentive offerings become the downside of KPPU Regulation No. 1 of 2022. On the other hand, South Korea has regulated such matters, as well as carrying out evaluation based on documents, on-site condition, and in-depth interview. Seoul High Court Judgment 2014.3.14 No. 2013-NU-45067, as one of the judgments that includes compliance program as consideration, does not grant sanction reduction as incentive because there are exception criteria for incentive grants, one of which is the direct involvement of director in the violation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fira Firmanila
"Penelitian ini bertujuan mendiagnosa sumber permasalahan pada desain dan penerapan boundary system pada Perusahaan Semen berdasarkan konsep levers of control dan didukung oleh compliance program. Penurunan kepercayaan pelanggan dapat meningkatkan risiko reputasi yang dapat mengancam keberadaan perusahaan, sehingga diperlukan boundary system yang merupakan salah satu alat dari sistem pengendalian manajemen yang dapat mengkomunikasikan risiko yang harus dihindari. Penelitian ini menggunakan studi kasus mendalam di PT XYZ yang menghadapi kasus-kasus yang meningkatkan risiko reputasi. Pada penelitian ini, data yang digunakan adalah data kualitatif yang diperoleh melalui wawancara dan data sekunder seperti data/dokumen perusahaan dan data publik. Berdasarkan analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa beberapa permasalahan yang terjadi di Pabrik Banten dapat ditelusuri penyebabnya berdasarkan kerangka konseptual penelitian adalah penerapan boundary system tidak sesuai dengan konsep levers of control dan compliance program yang tidak dapat mendukung keefektifan dari penerapan Boundary System.

This study aims to diagnose the main problems of the design and implementation of Cement Company's boundary system based on the concept of levers of control and supported by a compliance program. Declining in customer trust can increase reputation risk which can threaten the existence of the company, therefore boundary system is needed to communicate risks that must be avoided. This research uses in-depth case studies at PT XYZ which encountered cases that increased reputational risk. In this study, the data used were qualitative data obtained through interviews and secondary data such as company data/documents and public data. Based on the analysis carried out, it can be concluded that some of the problems that occurred at the Banten Factory can be traced to the causes based on the research conceptual framework, namely the implementation of the boundary system is not in accordance with the concept of levers of control and compliance program which cannot support the effectiveness of the implementation of the boundary system."
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumanauw, Valerie Irene Patricia
"

Di tengah berbagai penyalahgunaan otoritas dan kejahatan yang dilakukan korporasi, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi yang mengatur bahwa dalam menjatuhkan pidana terhadap Korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan korporasi dengan mempertimbangkan apakah korporasi telah melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana. Demikian pula, Section 7 (2) United Kingdom Bribery Act juga memperkenalkan konsep serupa dalam hal korporasi gagal melakukan upaya pencegahan tindak pidana suap. Skripsi ini membahas dua hal utama yaitu: (1) apakah yang dapat disebut sebagai prosedur yang memadai bagi perusahaan untuk menghindari pertanggungjawaban pidana baik di Indonesia dan Inggris, dan (2) apakah persamaan dan perbedaan prosedur ini dalam aturan di Indonesia dan Inggris. Dengan menerapkan penelitian hukum normatif menggunakan pendekatan peraturan, teoretis, dan komparatif, skripsi ini menyimpulkan bahwa pertanyaan tentang kapan dan bagaimana prosedur yang memadai diterima sebagai dasar alasan pertanggungjawaban pidana perusahaan hanya dapat dijawab oleh pengadilan dan setiap kasus akan tergantung pada faktanya masing-masing. Dengan demikian, penegak hukum dan jaksa penuntut harus memahami sifat pembelaan ini, bahwa harus ada margin untuk kesalahan dalam melaksanakan itikad baik. Adapun untuk korporasi di Indonesia dan Inggris, mengingat fakta bahwa tidak semua korporasi bergerak di industri atau pasar yang sama, perusahaan harus menyesuaikan program pencegahan mereka agar dapat disebut sebagai prosedur yang memadai untuk menghindari pertanggungjawaban pidana.

 


In the wake of extraordinary corporate power and frequent corporate scandals, Indonesian Supreme Court has issued a Supreme Court Rule Number 13 of 2016 on Procedures for Handling Criminal Offences by Corporation which stipulated that in imposing criminal penalties on Corporations, judges can assess corporate faults by taking into consideration whether corporations take or do not take adequate procedure to take precautions, prevent greater impacts and ensure compliance with applicable legal provisions to avoid the occurrence of criminal acts. Similarly, Section 7 (2) of United Kingdom Bribery Act 2010 also introduced this adequate procedure defense in terms of “Corporate Liability for failure to prevent bribery”. This undergraduate thesis explores two main issues: (1) what constitute as adequate procedures for corporations to evade criminal liability both in Indonesia and United Kingdom, and (2) what are the similarities and differences between adequate procedure defense in Indonesia and United Kingdom. By applying the normative legal research using the statute, theoretical and comparative approach, this undergraduate thesis concludes that the question of when and how an adequate procedure is accepted as grounds of excuse in corporate criminal liability is only to be resolved by the courts and each case will depend on its own facts. Thus, law-enforcement authorities and prosecutors should understand the nature of this adequate procedure defense, which means that there must be a margin for good faith error. As for businesses, given the fact that businesses are not all alike, companies must tailor their program to address the compliance issues specific to their industry or market.

 

 

"
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library