Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fischer-Cripps, Anthony C.
Oxford : Newnes, 2002
621.398 FIS n (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Meilinna
"Penderita skizofrenia yang tidak patuh pada pengobatan akan memiliki risiko kekambuhan yang lebih tinggi. Menurut hasil Riskesdas 2018, penderita skizofrenia yang meminum obat secara rutin hanya sebesar 48,9%. Salah satu penyebab penderita skizofrenia tidak rutin meminum obat adalah tidak berobat rutin. Di Provinsi DKI Jakarta angka penderita skizofrenia tertinggi terdapat pada Kota Administrasi Jakarta Timur. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perbedaan kepatuhan berobat pasien skizofrenia di Puskesmas berdasarkan karakteristik pasien dan pendamping berobat. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional dan menggunakan data sekunder dari Laporan Penemuan dan Pemantauan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) berat. Sampel dalam penelitian ini adalah 474 pasien skizofrenia yang berobat selama 1 tahun atau lebih di Puskesmas wilayah kerja Kota Adminstrasi Jakarta Timur tahun 2018 dan memiliki data lengkap. Hasil dari penelitian ini adalah pasien skizofrenia yang patuh berobat sebanyak 303 responden (63,9%), usia ≤40 tahun (62,7%), jenis kelamin laki-laki (62,4%), tingkat pendidikan tinggi (59,9%), status pekerjaan pasien skizofrenia yang tidak bekerja (82,5%), lama sakit ≤ 10 tahun (74,9%), pasien skizofrenia yang memiliki pendamping untuk berobat (58,6%). Menurut hasil bivariat bahwa tidak ada perbedaan kepatuhan berobat berdasarkan usia (PR=1,046; CI=0,907-1,205), jenis kelamin (PR=1,061; CI=0,925-1,216), tingkat pendidikan (PR=1,006; CI=0,876-1,155), status pekerjaan (PR=1,139; CI=0,973-1,333), dan lama sakit (PR=0,919; CI=0,793-1.064) secara statistik dan ada perbedaan kepatuhan berobat berdasarkan pendamping berobat (PR=0,854; CI=0,748-0,976). Oleh karena itu, penyebab dari ketidak patuhan berobat pada pasien skizofrenia penting diketahui sebagai upaya peningkatan pengobatan secara rutin.

Schizophrenic patients don't adherence to treatment will have a higher risk of recurrence. According to the results of Riskesdas 2018, Schizophrenic patients who take medication regularly are only 48.9%. One of the causes of schizophrenia who don't take medication regularly is inadherence to treatment. In DKI Jakarta Province the highest number of schizophrenic patients is in East Jakarta Administrative City. The purpose of this study was to determine the differences in adherence to treatment of schizophrenic patients at the helath centers based on the characteristics of patients and companion for treatment . This study uses a cross sectional approach and uses secondary data from the Report on the Discovery and Monitoring of People with severe Mental Disorders (ODGJ). The sample in this study were 474 schizophrenic patients who were treated for 1 year or more at the Public Health Center in the East Jakarta City working area in 2018 and had complete data. The results of this study were 303 patients (63.9%), age ≤40 years (62.7%), male sex (62.4%), high education level (59.9 %), occupational status of schizophrenic patients who did not work (82.5%), duration of illness ≤ 10 years (74.9%), schizophrenic patients who had a companion for treatment (58.6%). According to bivariate results that there was no difference in adherence to treatment based on age (PR = 1.046; CI = 0.907-1.205), gender (PR = 1.061; CI = 0.925-1.216), level of education (PR = 1.006; CI = 0.876-1.155) , employment status (PR = 1,139; CI = 0,9731,333), and duration of illness (PR = 0,919; CI = 0,793-1,064) statistically and there were differences in adherence to treatment based on companion for treatment (PR = 0,854; CI = 0,748-0,976) . Therefore, the cause of inadherence to treatment in schizophrenic patients is important to know so that to improve treatment routinely."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Hendra Yunal
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang peran pendamping dalam program pemberdayaan desa (PPD) serta mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat yang dihadapi oleh pendamping dalam PPD tersebut. Penelitian ini dipandang penting mengingat persentase masyarakat miskin makin bertambah dan salah satu upaya yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Riau untuk mengatasinya ialah melalui PPD ini. Kenyataan di lapangan mengindikasikan bahwa Kelurahan Muara Fajar, salah satu kelurahan yang menerapkan program ini dinilai berhasil berdasarkan indikator yang telah dirumuskan. Tentunya keberhasilan ini tidak terlepas dari peran pendamping yang memperkenalkan dan menjalankan program ini di tengah-tengah masyarakat. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap informan yang dipilih secara purposive sampling, dengan lingkup informan mencakup Koordinator Daerah (Korda) PPD, Lurah, Ketua LPM, Pendamping Desa (PD), Kader Pembangunan Masyarakat (KPM), Kasir UEK-SP Fajar Kehidupan dan masyarakat selaku kelompok sasaran. Adapun keseluruhan penelitian ini membutuhkan waktu selama 7 bulan.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa dalam menjalankan perannya, pendamping berpedoman pada alur atau tahapan kegiatan yang telah dirumuskan oleh pembuat program, dalam hal ini adalah Tim Koordinasi Pembinaan dan Pengendalian PPD Provinsi Riau. Tahapan-tahapan tersebut meliputi : (1) Musyawarah Kelurahan (MK) I, (2) Identifikasi Potensi Kelurahan & Penggalian Gagasan, (3) Pembukaan Rekening Dana Usaha Kelurahan (DUK), Rekening Usaha Ekonomi Kelurahan-Simpan Pinjam (UEK-SP) dan Rekening Simpan-Pinjam (SP), (4) Pembentukan Tim Verifikasi & Verifikasi Usulan, (5) Musyawarah Kelurahan (MK) II, (6) Pencairan & Penyaluran DUK, (7) Musyawarah Kelurahan III (Pertanggungjawaban) serta (8) Pelaksanaan Kegiatan DUK & Angsuran Pinjaman. Dalam delapan tahapan tersebut, pendamping lebih berperan sebagai fasilitator, enabler, educator dan broker. Peran sebagai fasilitator dapat terlihat pada MK I dan II, karena sesuai dengan fakta di lapangan bahwa pendamping dalam memutuskan sesuatu dilalui dengan jalan konsensus atau kesepakatan bersama yang merupakan salah satu peran khusus dari fasilitator. Selanjutnya peran sebagai enabler (pemercepat perubahan) bisa diamati sewaktu penggalian gagasan. Dalam penggalian gagasan tersebut pendamping membantu masyarakat menyadari dan melihat kondisi mereka dan permasalahan yang mereka alami, karena memang memahami aspirasi kelompok masyarakat merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pendamping dalam menjalankan suatu program. Adapun peran sebagai educator (pendidik) dapat dijumpai pada waktu verifikasi usulan yang dilakukan oleh pendamping bersama tim verifikasi, dimana pendamping menyampaikan informasi secara baik, jelas dan mudah ditangkap oleh masyarakat terkait dengan kekurangan dalam hal kelengkapan administrasi proposal yang diajukan. Sedangkan peran selaku broker (perantara) bisa dilihat sewaktu pencairan dan penyaluran dana usaha kelurahan (DUK), dengan cara membantu masyarakat berurusan ke Bank, jelasnya pendamping berupaya menghubungkan masyarakat yang membutuhkan bantuan tata cara membuka rekening tabungan/pinjaman dengan pihak Bank Rakyat Indonesia (BRI). Secara umum, keseluruhan peran yang dijalankan oleh pendamping pada program pemberdayaan desa ini telah berjalan dengan baik dan ini tidak terlepas dari berbagai faktor pendukung. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa dalam menjalankan program ini ada beberapa faktor yang mendukung pendamping berperan secara optimal seperti faktor keterbukaan masyarakat, kerjasama tim, ketokohan ketua pengelola UEK-SP, dan skill pendamping. Namun walaupun demikian, terdapat pula faktor-faktor penghambat yang dihadapi oleh pendamping di lapangan seperti ketidaklengkapan administrasi kependudukan-pertanahan dan karakter pemanfaat. Berdasarkan temuan lapangan maka direkomendasikan kepada pendamping untuk memperhatikan aspek peningkatan kapasitas kelembagaan. Kelembagaan yang dimaksud di sini lebih mengarah pada lembaga informal, seperti organisasi pemuda, ikatan remaja masjid, perkumpulan pengajian bapak-bapak dan ibu-ibu dan lain-lain. Karena memang program ini tidak hanya mencakup aspek pemberdayaan masyarakat dan pengembangan ekonomi semata, tetapi juga meliputi aspek peningkatan kapasitas kelembagaan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puri Kresna Wati
"ABSTRAK
Persalinan merupakan suatu peristiwa yang dapat meningkatkan terjadinya kecemasan
pada ibu bersalin, dibutuhkan peran suami sebagai pendamping persalinan. Suami
sebagai pendamping persalinan dapat memberikan dukungan fisik, emosional,
ataupun advokasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan pendampingan persalinan oleh suami di Tiga Puskesmas Kota
Bekasi tahun 2017. Penelitian menggunakan desain cross sectional pada 203 suami
dari ibu nifas sebagai sampel yang diambil secara simple random sampling. Data
dikumpulkan dengan metode wawancara menggunakan kuesioner yang telah di uji
coba, dengan dianalisis menggunakan uji regresi logistic ganda. Hasil penelitian
menunjukan suami yang melakukan pendampingan sebesar 66%. Pengetahuan, Sikap
dan KIH berhubungan dengan pendampingan persalinan. Pengetahuan merupakan
faktor yang paling dominan berhubungan dengan pendampingan persalinan oleh
suami. Suami yang mempunyai pengetahuan sedang berpeluang hampir 11 kali untuk
mendampingi persalinan istrinya, dibanding dengan yang berpengetahuan rendah
sedangkan suami yang mempunyai pengetahuan tinggi berpeluang hampir 4 kali
untuk mendampingi istrinya saat bersalin dibanding dengan yang berpengetahuan
kurang setelah dikontrol keikutsertaan kelas ibu hamil (KIH) dan dukungan tenaga
kesehatan

ABSTRACT
Childbirth is an event that be able to increase the occurrence of anxiety in maternal
mothers, it takes the role of the husband as a companion delivery. Husband as a
companion of labor can provide physical support, emotional, or advocacy. The
purpose of this research is to know the factors related to the accompaniment of
maternity delivery by husband in Three Public Health Centers of Bekasi City in 2017.
The design was used is cross sectional, the total sample are 203 husbands of
postpartum mothers in three public health centers of Bekasi, and the Sampling by
random sampling design. Data were collected by interview method using
questionnaires that have been tested, with analyzed using multiple logistic regression
test. The results are showed that the husbands who accompanied are 66%.
Knowledge, Attitude and KIH are related to the accompaniment of childbirth.
Knowledge is the dominant factor associated with the accompaniment of childbirth by
the husband. The Knowledgeable husbands were nearly 11 times more likely to
accompany their wives' births than those with less knowledge after being controlled
for the participation of pregnant women's classes (KIH) and support of health
workers. This research is needed to provide information about maternity care and
more involving husband in KIH."
2017
T47708
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurohmah Citadiyah
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas konstruksi bunyi diftong dalam bahasa Indonesia. Diftong tersebut dibahas satu per satu dalam kaitannya dengan ketentuan bunyi diftong itu sendiri yang dikukuhkan dalam PUEBI. Diftong-diftong tersebut dilihat berdasarkan frekuensi kemunculannya, posisinya di dalam kata, dan kecenderungan dapat berdiri sendiri atau didampingi bunyi lain. Penelitian ini menggunakan metode campuran kualitatif dan kuantitatif. Pada penelitian ini, digunakan dua sumber data: sumber data primer dan sumber data sekuner. Sumber data primer adalah KBBI V luring dan sumber data sekunder adalah pengujian kata-kata berdiftong kepada responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi dua vokal yang terdapat di dalam satu suku kata tidak melulu benar berperan sebagai diftong. Pada beberapa kata, seperti air, vokal [a] dan [i] diujarkan secara jelas menjadi [air], bukan [ayr] , bunyi [i] diujarkan secara jelas dan tidak berubah menjadi [y]. Itu berarti [a] dan [i] bukan berperan sebagai diftong, melainkan sebagai deret vokal. Hal ini menjadi masalah karena pemenggalan katanya tampak bertentangan dengan definisi dan pola konstruksi diftong. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan, bunyi-bunyi diftong dalam bahasa Indonesia cenderung didampingi bunyi-bunyi konsonan, baik di depan, maupun di belakangnya. Tidak hanya itu, di dalam data juga ditemukan beberapa kata berdiftong unik, yaitu ada beberapa kata yang mengandung dua diftong di dalamnya dan ada kata yang terdiri atas satu suku dan suku tersebut adalah diftong itu sendiri. Temuan lainnya, yaitu ada kombinasi bunyi dua vokal yang berpotensi diujarkan sebagai diftong. Bunyi tersebut adalah kombinasi vokal [e]-[u] menjadi [ew], vokal [o]-[u] menjadi [ow], dan vokal [u]-[i] menjadi [uy].

ABSTRACT
This mini thesis discusses the construction of diphthong sounds in Indonesian. The diphthong is discussed one by one in relation to the provisions of the diphthong sound itself confirmed in PUEBI. The diphthongs are viewed based on the frequency of their appearance, their position in the word, and the tendency to stand alone or be accompanied by another sound. This study uses a mixture of qualitative and quantitative methods. In this study, two data sources were used primary data sources and data sources of the financial sector. The primary data source is the offline V KBBI and the secondary data source is testing the digging words to the respondent. The results showed that the combination of the two vowels contained in one syllable did not merely act as diphthongs. In some words, such as water, vowels a and i are clearly stated to be water , not ayr , the sound of i is stated clearly and does not change to y . That means a and i do not act as diphthongs, but as vowel series. This is a problem because decapitation seems to contradict the definition and pattern of diphthong construction. In addition, the results of the study also showed that the sounds of diphthongs in Indonesian tend to be accompanied by consonant sounds, both in front and behind them. Not only that, in the data also found several unique diphongong words, namely there are several words containing two diphthongs in it and there are words that consist of one tribe and the tribe is the diphthong itself. Other findings, namely there are two vowel sound combinations that have the potential to be translated as diphthongs. The sound is a vowel combination e u becomes ew , vowel o u becomes ow , and vowel u i becomes uy. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library