Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Abyan
Abstrak :
This study explores how blue-green infrastructure, in this case Tebet Eco Park in Jakarta, can engender community identity. Specifically, study explores the relationship between physical environments of blue-green infrastructure such as Tebet Eco Park and any related social dynamics which contribute to community identity formation. This study employs a qualitative method approach, using observations, mapping, and interviews with park users as methods to gather in-depth data on park usage and impactful community engagement initiatives. These findings demonstrate how blue-green infrastructures can enhance social interactions, instill a sense of belongingness and strengthen community identity. This study contributes to urban design by underscoring the necessity of considering environmental and sociological considerations when creating public spaces. Key elements, including comfort and attractiveness of a park are explored with regard to their roles in creating strong community identity. This case study can inform future urban planning efforts aimed at creating public spaces which foster stronger bonds through sustainable and inclusive practices. ......Studi ini mengeksplorasi bagaimana blue-green infrastructure, dalam kasus ini Tebet Eco Park di Jakarta, dapat membentuk community identity. Secara khusus, studi ini mengeksplorasi hubungan antara lingkungan fisik blue-green infrastructure seperti Tebet Eco Park dan dinamika sosial terkait yang berkontribusi pada pembentukan community identity. Studi ini menggunakan pendekatan metode kualitatif, menggunakan observasi, pemetaan, dan wawancara dengan pengguna taman sebagai metode untuk mengumpulkan data mendalam tentang penggunaan taman dan inisiatif keterlibatan masyarakat yang berdampak. Temuan ini menunjukkan bagaimana infrastruktur biru-hijau dapat meningkatkan interaksi sosial, menanamkan rasa memiliki, dan memperkuat community identity. Studi ini berkontribusi pada desain perkotaan dengan menggarisbawahi perlunya mempertimbangkan pertimbangan lingkungan dan sosiologis saat menciptakan ruang publik. Elemen-elemen utama, termasuk kenyamanan dan daya tarik taman dieksplorasi sehubungan dengan perannya dalam menciptakan community identity yang kuat. Studi kasus ini dapat menginformasikan upaya perencanaan perkotaan di masa mendatang yang bertujuan untuk menciptakan ruang publik yang menumbuhkan ikatan yang lebih kuat melalui praktik yang berkelanjutan dan inklusif.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Apit Andrianto
Abstrak :
Kaum muda atau remaja banyak melakukan eksperimen untuk mencari jati diri antara lain dengan menggunakan musik. Mereka bahkan kemudian menjadi pendorong dari kelahiran subkultur. Musik rock dipakai sebagai salah satu satu yang mampu merangsang pemikiran dan pembentukan kelompok tandingan yang direpresentasikan melalui lahirnya komunitas-komunitas subkultur. Kelahiran subkultur, pada awalnya, tidak pernah bisa dipisahkan dengan gaya hidup menyimpang. Anggota-anggota subkultur dianggap melakukan praktek-praktek penyimpangan perilaku seperti tindakan kriminal, alkohol, drugs, atau seks bebas. Rock sebagai musik yang muncul dengan semangat pemberontakan dijuluki sebagai musik 'iblis' karena dianggap merangsang kebiasaan hidup menyimpang tersebut. Komunitas slanker merupakan salah satu kelompok subkultur kaum muda di Indonesia yang mendasarkan pada musik rock. Seperti halnya subkultur-subkultur lain, slanker juga tidak bisa melepaskan diri dari stigma negatif berupa penyimpangan hidup. Di awal kemunculannya, anggota-anggota kelompok slanker juga banyak melakukan gaya hidup menyimpang seperti mengkonsumsi alkohol dan obat terlarang. Namun pada perkembangannya, mereka meninggalkan kebiasaan hidup menyimpang itu. Dipengaruhi oleh kelompok musik idola mereka Slank, subkultur slanker menentang budaya bangsa yang penuh dengan korupsi, kolusi, dominasi, segregasi, dan kepalsuan yang dianggap sebagai 'kultur dominan'. Sebagai kelompok subkultur mereka menciptakan simbol-simbol spesifik untuk menegosiasikan bentuk budaya alternatif atas budaya dominan dan atau tradisional. Busana mereka cuek dan apa adanya, gaya bahasa mereka terbuka dan kadang kasar, mereka memiliki cara jabat tangan khas, dan mereka juga menciptakan pesan-pesan tertentu terkait dengan focal concern sebagai kritik sosial. Penelitian ini bertujuan untuk menggali identitas subkultur slanker dengan mengaitkan peran media KoranSlank terhadap pembentukan identitas mereka. Paradigms konstruksionisme dipakai sebagai landasan penelitian dengan mengaplikasikan metode etnografi. Pengetahuan dan realitas dalam kerangka pemikiran konstruksionisme bersifat dialektis. Proses pemahaman terhadapnya, tidak dapat mengabaikan faktor historis dan kultural. Oleh sebab itu, etnografi dipilih sebagai metode untuk menggali data alamiah dengan lebih dalam, berkaitan dengan kebutuhan informasi historis dan kultural. Aplikasi metode penggalian data menggunakan tekhnik observasi Iangsung, observasi terlibat, wawancara mendalam, dan studi dokumen. Etnografi juga dipilih agar memungkinkan terjadinya diskusi yang lebih mendalam dengan para informan berkaitan dengan informasi-informasi yang mereka berikan ataupun atas interpretasi-intepretasi hasil yang didapatkan. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa identitas slanker terangkum dalam gaya yang disebut dengan slengean. Identitas tersebut beroperasi dalam interaksi antara apa yang dimiliki secara personal oleh masing-masing anggota (identitas personal) dengan gaya kolektif yang mencerminkan milik komunitas (identitas kelompok). Media KoranSlank berperan besar dalam membentuk gaya slengean, memberi pemaknaan aimbol-simbol komunitas, dan membangun kohesifitas slanker yang akan memperkuat identitas slengean. Implikasi dari hasil penelitian ini memberi pemahaman tentang komunitas slanker sebagai bentuk subkultur yang merespon dominasi budaya tidak dengan praktek-praktek penyimpangan hidup. Pembentukan subkultur slanker lebih merupakan negosiasi atas budaya darninan negeri yang dianggap penuh dengan korupsi, segregasi, hipokrisi, dan kepalsuan. Respon terhadap dominasi budaya tidak dilakukan seperti halnya gerakan politik, tetapi lebih melalui bentuk-bentuk ide budaya seperti gaya busana, gerakan sosial, dan gerakan moral melalui pembuatan kata-kata mutiara. Jumlah anggota, daya kreativitas, dan kohesifitas kelompok menjadi potensi besar bagi pengembangan dan pemberdayaan komunitas. Makna teoritik hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelahiran subkultur sebagai bentuk dari budaya kaum muda menjadi penyedia bentuk identitas kelompok alternatif diluar dari yang ditawarkan oleh sekolah dan pekerjaan. Kaum muda merespon dominasi budaya dengan melakukan negosiasi budaya. Perubahan sosial yang tidak mungkin terhindarkan menyebabkan sifat otentisitas subkultur bersifat lentur, mengikuti perubahan tersebut. Subkultur slanker lebih menunjukkan perlawanan budaya dalam praktek kompromistis. Para anggota subkultur masih mempertimbangkan nilai-nilai lokal yang dimiliki orang tua. Norma-norma dan nilai-nilai tradisi atau religi tetap dihormati. Berbeda dengan subkultur lain yang banyak muncul di Barat, subkultur di Indonesia lebih terlihat masih memperhatikan nilai-nilai tradisional. Karenanya, cakupan teoritik (theoretical scope) terkait dengan subkultur perlu memperhatikan faktor lokalitas. Sifat kompromi subkultur terhadap budaya dominan dan atau budaya orang tua perlu diperhatikan terutama terhadap subkultur-subkultur yang lahir di dunia timur.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22121
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fanny Syawbriyanti
Abstrak :
Munculnya ruang-ruang interaksi baru di internet memungkinkan terciptanya computer-mediated discourse, mencakup penggunaan bahasa dalam berbagai bentuk percakapan. Tulisan ini akan mendeskripsikan bagaimana diskursus berkembang dalam komunitas permainan roleplay di Twitter sebagai sebuah discourse community untuk mencapai tujuan kolektif. Secara umum, terdapat tiga sub-kelompok berdasarkan penggunan bahasa dalam komunitas roleplay ini, meliputi roleplay Bahasa, roleplay English, dan roleplay bilingual. Fokus tulisan ini mengarah pada penggunaan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia pada kelompok roleplay bilingual. Merujuk pada istilah yang dicetuskan oleh Jaworska (2015), yakni digital code play, tulisan ini menjelaskan praktik bahasa yang dilakukan oleh kelompok roleplay bilingual dengan memanfaatkan sumber daya tekstual dan visual yang tersedia di internet serta menciptakan kode-kode dalam berbagai situasi percakapan secara kreatif untuk menjalankan perannya. Salah satu aspek yang berkontribusi dalam kode ialah online proxemics, meliputi pengaturan ruang dan jarak sosial untuk melakukan peralihan bahasa. Praktik bahasa ini juga dilandasi oleh ideologi bahasa terkait dikotomi in-context dan out-of-context dalam permainan roleplay, di mana penggunaan Bahasa Inggris seringkali diasosiasikan dengan kondisi in-context, yakni ketika pemain benar-benar terbenam dalam karakter artis. Sebaliknya, penggunaan Bahasa Indonesia seringkali merepresentasi kondisi out-of-context, yaitu ketika pemain melepaskan diri dari karakter artis tersebut untuk menunjukan aspek-aspek diri mereka di kehidupan nyata. Kendati demikian, kedua sisi bertentangan ini nampak melebur dalam pembentukan identitas pemain roleplay bilingual yang tercermin pada diskursus "decent roleplayer". Oleh karena itu, tulisan ini juga mengeksplorasi hubungan antara praktik bahasa dengan identitas melalui cara-cara pemain roleplay memposisikan dirinya dalam interaksi. ...... The rise of new interaction spaces on the internet opens to creation of computermediated discourse, which includes language use in various forms of conversation. This paper describes how discourse is developed by role-playing game community on Twitter as a discourse community to achieve their goals. Generally, there are three different subgroups base on the language they use, comprises Bahasa role-players, English roleplayers, and bilingual role-players. Focus of this paper directs to the use of English and Bahasa Indonesia among bilingual role-players. Referring to the term digital code play pioneered by Jaworska (2015), this paper examines the language practice performed by bilingual role-players by utilizing both textual and visual resources available on the internet as well as creatively developing codes in various speech situations through which they play their roles. One of the contributing aspects of these codes is online proxemics, which involves arrangement of space and social distance for speakers to switch between languages. This language practice also stands on language ideologies regarding a dichotomy of "in-context" and "out-of-context" in role-playing game that the use of English is commonly associated with "in context" situation in which players are entirely immersed into their character. On the other hand, the use of Bahasa Indonesia often represents "out-of-context" condition in which players detach themselves from their character to show some aspects of their self in real life. However, these opposing poles seem to merge in the identity construction of bilingual role-players as reflected on "decent role-player" discourse. Therefore, this paper also explores the relationship between language practice and identity through the ways bilingual role-player position themselves in interactions.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library