Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Folio, Les R.
Abstrak :
The chest X-ray (CXR) or chest radiograph remains the most commonly ordered imaging study in medicine, yet paradoxically is often the most complex to learn, recall, and master effective and accurate interpretation. The chest radiograph includes all thoracic anatomy and provides a high yield, given the low cost and single source. This guide presents a structured lexicon for use by readers to reproducibly describe radiographic abnormalities of the chest detected on plain film CXRs. The lexicon is designed to provide readers with clinically significant differentiation of abnormalities detected. The content is structured to relate specific combinations of distinct radiographic findings to classes/groupings of pathological etiologies of those findings. Recognizing the individual findings and identifying their combination or lack of combination with other individual findings allows readers to create effective differential diagnoses that can then be further evaluated using other imaging procedures and/or non-radiographic clinical information. The book includes hundreds of images, including radiographs, CTs, graphics, and analogous models to help teach otherwise complex processes and radiographic principles.
New York: Springer Science, 2012
e20420775
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Santoso Sugandi
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Opasitas total hemitoraks kanan atas disebabkan dapat disebabkan oleh pneumonia, atelektasis dan massa. Ketiga etiologi tersebut sering ditemukan pada kondisi emergensi di mana ketiganya memiliki penanganan berbeda-beda, yaitu berupa antibiotik pada kasus pneumonia bronkoskopi emergensi pada kasus atelektasis, dan penataksanaan CT Scan toraks pada kasus massa paru. Penegakan diagnosis penyebab opasitas hemitoraks kanan atas tersebut dapat dilakukan melalui pemeriksaan CT Scan toraks dengan spesifisitas tinggi. Pemeriksaan radiografi toraks yang merupakan modalitas pencitraan pertama juga dapat membantu membedakan ketiga diagnosis ini dengan menilai tanda-tanda perubahan volume rongga toraks, salah satunya adalah jarak sela iga. Meskipun demikian, perubahan jarak sela iga ini masih bersifat kualitatif dan belum ditemukan penelitian mengenai titik potong yang dapat digunakan untuk menentukan penyebab opasitas total hemitoraks kanan atas. Tujuan : Meningkatkan nilai diagnostik radiografi toraks sebagai modalitas pemeriksaan awal pada kasus opasitas total hemitoraks kanan atas sehingga diagnosis dan tatalaksana yang diberikan semakin cepat dan akurat. Metode: Menggunakan desain korelatif dan komparatif studi potong lintang dengan data sekunder, sampel minimal 48 pasien. Analisis data berupa pengukuran korelasi rasio sela iga antara hemitoraks kanan dibanding kiri pada radiografi toraks dan CT Scan, penentuan titik potong menggunakan metode receiver operating curve (ROC) , serta penentuan tingkat sensitivitas dan spesifitasnya. Hasil: Perhitungan rasio sela iga pada radiografi toraks pada posisi AP maupun PA memiliki korelasi dengan CT Scan toraks dengan korelasi yang lebih kuat ditemukan antara radiografi toraks posisi AP dan CT Scan toraks. Terdapat perbedaan yang signifikan antara rasio sela iga midposterior kedua dan ketiga di antara kelompok atelektasis dengan pneumonia dan kelompok atelektasis dengan massa. Tidak terdapat perbedaan rasio sela iga antara kelompok pneumonia dan massa (kelompok non-atelektasis). Penggunaan titik potong sebesar 0,9 pada sela iga dua dapat membedakan kelompok atelektasis dan non-atelektasis dengan sensitivitas sebesar 77,8% dan spesifisitas sebesar 73,7%. Apabila titik potong 0,9 tersebut digunakan pada sela iga dua dan tiga, maka kelompok atelektasis dan non-atelektasis dapat dibedakan dengan sensitivitas sebesar 52,63% dan spesifisitas sebesar 93,75%. Kesimpulan : Pengukuran rasio sela iga pada radiografi toraks dapat digunakan untuk membedakan opasitas total hemitoraks kanan atas yang disebabkan oleh atelektasis dan non-atelektasis. Dengan membedakan kelompok atelektasis atau non atelektasis, maka pasien dapat lebih cepat untuk dilakukan tindakan yang invasif berupa bronkoskopi emergensi atau menjalani penanganan yang noninvasif seperti antibiotik pada konsolidasi pneumonia ataupun pemeriksaan lebih lanjut pada kasus massa.
ABSTRACT
Background: Right upper hemithorax total opacities can be caused by pneumonia, ateletasis, and mass. These etiologies have some distinct treatments such as antibiotic for pneumonia, emergency bronchoscopy for ateletasis, and lung CT Scan for mass. Differentiation between these three causes can be made by chest CT Scan with high spesificity . Chest radiography which act as the first line modality can also help in differentiating between these etiologies by looking for the sign of hemithorax volume changes such as intercostal space. However, intercostal space changes is still measured qualitatively and there still no research about intercostal space cut-off for differentiating the caused of right upper hemithorax total opacities Purpose : Increasing diagnostic value of chest radiography which is the first line imaging in right upper hemithorax total opacities, to provide a better and faster treatment. Methods: This study is a corellative and comparative cross sectional study with secondary data and 48 minimal subject. The data were analysed by measuring the ratio between right and left intercostal spaces in chest radiography and CT Scan, determining the cut-off using receiver operating curve (ROC), and also determining the sensitivity and specificity. Result: The intercostal space ratio in AP and PA positions of chest radiography has correlation with the intercostal space ratio in chest CT Scan, which is found higher in AP position. There is a significant difference between intercostal ratio in second and third intercostal at midposterior position between atelectasis and pneumonia group, and also between atelectasis and mass group. There is no significant difference between intercostal ratio in pneuimonia and mass group. By using 0,9 as a cut off in the second midposterior intercostal, atelectasis and non atelectasis group can be differentiate with sensitivity and specificity 77,8% and 73,7% respectively. By using 0,9 as a cut of in both of second and third midposterior intercostal, atelectasis and non atelectasis group can be differentiate with sensitivity and specificity 52,63% and 93,75% respectively Conclusion: Intercostal space ratio measurement in chest radiography can be used to differentiate right upper hemithorax total opacities, especially by atelectasis and non atelectasis. By defferentiating between atelectasis and non atelectasis groups, the patient can get a faster invasive treatment such as emergency bronchoscopy or proceed to non invasive therapy such as antibiotic in pneumonia or chest CT Scan in mass.
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irmasari Chumairah
Abstrak :
Latar belakang: Infeksi COVID-19 pertama kali terjadi di Wuhan, China pada 19 Desember 2019 hingga ditetapkan sebagai pandemik global oleh WHO pada tanggal 11 Maret 2020. Di Indonesia kasus pertama yang terkonfirmasi ditemukan pada tanggal 2 Maret 2020 dan sejak saat itu kasus COVID-19 semakin meningkat hingga mencapai 2.983.830 pada 21 Juli 2021. Pada kondisi melonjaknya kasus COVID-19 di dunia khususnya Indonesia telah menjadikan modalitas radiografi toraks sebagai salah satu penunjang diagnosis maupun sebagai parameter perkembangan kondisi klinis pasien. Negara Italia dan Inggris menggunakan radiografi toraks sebagai lini pertama di triage untuk penentuan tatalaksana awal, karena pemeriksaan RT-PCR memakan waktu cukup lama. Selain itu, pasien kritis yang tidak dapat dimobilisasi untuk pemeriksaan CT scan toraks dipilih untuk dilakukan pemeriksaan radiografi toraks menggunakan portable X-ray. Kondisi tersebut membuat negara Italia mengembangkan sistem skoring toraks Brixia untuk memantau perkembangan klinis pasien yang dirawat di rumah sakit. Karena sistem skoring toraks Brixia belum pernah digunakan sebagai prediktor untuk memperkirakan perjalanan penyakit pada pasien COVID-19, maka penelitian ini akan menilai skoring tersebut sebagai prediktor perkembangan klinis pasien COVID-19. Metode: Penelitian ini merupakan studi kasus-kontrol menggunakan 48 data sekunder berupa sistem skoring toraks Brixia dari radiografi toraks yang diambil dari Picture archiving and communication system (PACS), serta data klinis dalam jangka waktu dua minggu pertama berupa anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya pada pasien COVID-19 terkonfirmasi di RSCM periode Maret 2020 – Juli 2021. Hasil: Rerata skoring toraks brixia antara kelompok klinis perburukan dan perbaikan tidak bermakna signifikan (p > 0,05), sehingga tidak dapat menilai titik potong skoring toraks Brixia. Namun didapatkan perbedaan rerata yang signifikan (p < 0,05) antara skoring toraks Brixia dengan kondisi akhir klinis hidup dan meninggal, yaitu didapatkan rentang skor di awal perawatan 7,8 – 16,6 dapat mengarah ke kondisi klinis kritis bahkan kematian di akhir perawatan. Selain itu juga didapatkan perbedaan rerata (p < 0,05) antara interval onset gejala dengan kelompok gejala klinis perburukan dan perbaikan pada pasien COVID-19. Kesimpulan: Sistem skoring toraks Brixia tidak dapat dijadikan prediktor dalam menentukan perkembangan klinis perburukan atau perbaikan pada pasien COVID-19, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai parameter tunggal dalam tatalaksana pasien. Namun secara tidak langsung skoring ini dapat memprediksi kondisi akhir ke arah hidup atau meninggal dikaitkan juga dengan interval onset gejala. Hal ini terjadi karena kondisi klinis perburukan maupun perbaikan disebabkan oleh proses perjalanan penyakit yang masih berlangsung sesuai onset gejala, serta daya imunitas individu yang bervariasi.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmania Diandini
Abstrak :
Latar Belakang dan Tujuan: Prevalensi tuberkulosis di Indonesia menduduki peringkat kedua terbanyak setelah India dan peran diagnosis cepat serta akurat sangatlah penting. Sejak tahun 2014 pemeriksaan laboratorium berbasis amplifikasi asam nukleat GenXpert MTB/RIF telah diadopsi dalam pedoman nasional penanggulangan TB paru BTA negatif karena dalam 2 jam dapat lebih akurat mendeteksi basil tahan asam dibandingkan dengan apusan sputum BTA konvensional. Harga yang mahal dan ketersediaan yang terbatas membuat perlunya alternatif lain untuk pemeriksaan ini. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan gambaran radiografi toraks GenXpert MTB/RIF pada pasien tersangka TB paru BTA negatif. Metode: Uji komparasi dengan pendekatan potong lintang membandingkan gambaran radiografi toraks tipikal, atipikal dan bukan TB pada 44 subyek dengan hasil GenXpert MTB/RIF positif dan negatif 22 subyek per kelompok. Analisis berdasarkan adanya komorbiditas HIV, DM, terapi imunosupresan jangka panjang juga dilakukan. Hasil: Terdapat kesesuaian antara gambaran radiografi toraks dengan hasil pemeriksaan genXpert MTB/RIF pada subyek dengan BTA sputum negatif, dengan nilai kappa 0,59 moderate, sensitivitas 81,8 dan spesifisitas 77,3, yang menguat pada kelompok tanpa komorbiditas kappa 0,71l; sensitivitas 87,5, spesifisitas 83,3, serta berkurang pada kelompok dengan komorbiditas kappa 0,464; sensitivitas 81,8 ; spesifisitas 71,4. Lesi radiografi toraks pada kelompok subyek dengan genXpert positif terbanyak adalah infiltrat lapangan atas paru 77,3, nodul 40,9, kavitas 36,4, secara statistik signifikan dengan p<0,05. Kesimpulan: Jika dibandingkan dengan GenXpert MTB/RIF, radiografi toraks memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang baik, sehingga dapat dijadikan alternatif modalitas diagnosis yang lebih murah, terutama di daerah perifer Indonesia. ...... Background and Purpose: Indonesia rsquo s tuberculosis prevalence is currently ranked second highest in the world after India. Therefore, the role of fast and accurate diagnosis is very important. After 2014, a nucleic acid amplification test GenXpert MTB RIF is implemented for negative sputum smear tuberculosis, due to its ability to diagnose tuberculosis within 2 hours with higher accuracy compared to conventional smear. Due to its high cost and lack of availability, an alternative for diagnostic tools should be sought. This study objective is to compare chest radiography using WHO ISTC criteria based on typical and atypical lesion, with GenXpert MTB RIF on subjects who are suspected tuberculosis, with negative sputum smear. Methods: Comparative cross sectional study to compare chest radiography using WHO ISTC criteria based on typical and non typical TB among 44 subjects suspected tuberculosis infection with negative sputum smear, among groups with positive and negative GenXpert each 22 subjects. Analysis is also performed on subjects with and without comorbidities HIV, DM, long term immunosuppressive therapy. Results: We found moderate agreement with kappa value 0,59 moderate, sensitivity 81,8 and specificity 77,3, and showing increased value in group without comorbidities kappa 0,71l sensitivity 87,5, specificity 83,3, and decreased value in group with comorbidities kappa 0,464 sensitivity 71,4 specificity 75. Radiographic lesions most frequently found in positive GenXpert group are upper field infiltrate 77,3, nodules 40,9, and cavities 36,4, with greater proportion compared with negative group, and statistically significant p<0,05. Conclusion: Compared with GenXpert MTB RIF, chest radiography shows good sensitivity and specificity, so it is still potential as cost effective diagnostic modality especially in peripheral areas in Indonesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library