Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pustika Amalia Wahidiyat
"Background: there are currently three iron chelator readily available for patients Indonesia; deferiprone/DFP (branded as Ferriprox), deferasirox/DFX (branded as Exjade) and deferoxamine/DFO (branded as Desferal). This study aims to determine which iron chelator is the most efficient in reducing cardiac and hepatic iron overload (measured by means of T2 MRI).
Methods: journal search with determined MeSH term was done in PubMed and Scopus. Studies that looked upon thalassemia major patient in all ages with usage of monotherapy iron chelation and its effect on myocardial T2 MRI and/or liver T2 MRI was included. Appraisal of studies was done using Oxford CEBM appraisal tools and Joanna Brigs Institute critical appraisal tools.
Results: total of 11 studies with grand total of 611 samples were included. Mean T2 MRI value or (when available) mean changes in T2 MRI value after usage of specific iron chelator was gained from all the studies included. Comparison study and individual studies shows better control and increase of myocardial T2 MRI in those with DFP, and of liver T2 in those with good adherence to DFO chelation.
Conclusion: DFP is superior in controlling or reducing myocardial iron load (as proven by mT2 MRI) and DFO had better capabilities in controlling or reducing hepatic iron load (as proven by liver T2* MRI). Studies with longer observation and larger samples is needed to see a significant changes of T2 MRI in DFX.

Latar belakang: saat ini terdapat tiga jenis kelasi besi yang tersedia untuk pasien di Indonesia: deferiprone/DFP (dengan merk dagang Ferriprox), deferasirox/DFX (dengan merk dagang Exjade) and deferoxamine/DFO (dengan merk dagang Desferal). Tujuan dari studi ini adalah untuk melihat kelasi besi mana yang paling efisien dalam menurunkan kelebihan besi pada miokard dan hepar yang dilihat dari hasil T2* MRI.
Metode: pencarian jurnal dengan terminologi MeSH dilakukan di PubMed dan Scopus. Studi pada pasien thalassemia mayor di semua umur yang menggunakan monoterapi kelasi besi dan melihat efeknya pada T2* MRI liver atau miokard diikutkan ke dalam analisis. Penilaian dari studi yang digunakan dilakukan dengan metoda penilaian studi dari Oxford’s CEBM dan Joana Brigs Institute.
Hasil: total 11 studi dengan jumlah total 611 sampel diikutkan dalam analisa studi ini. Nilai rerata T2* MRI dan (jika tersedia) nilai rerata perubahan T2* MRI setelah penggunaan satu jenis kelasi besi dianalisa dari semua studi yang diikutkan. Studi komparasi maupun studi individu menemukan kontrol dan peningkatan miokardiak T2* MRI pada sampel menggunakan DFP, sedangkan penggunaan DFO yang taat lebih baik dalam mengontrol dan meningkatkan liver T2* MRI.
Kesimpulan: DFP lebih superior dalam mengontrol dan menurunkan beban besi miokard (dibuktikan oleh miokardial T2* MRI) sedangkan DFO memiliki kemampuan lebih baik dalam mengontrol dan menurunkan beban besi pada hepar (dibuktikan oleh liver T2* MRI). Studi dengan waktu observasi lebih lama dan sampel yang lebih besar dibutuhkan untuk melihat efek signifikan DFX terhadap T2* MRI
"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2018
610 UI-IJIM 50:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Taufik
"Pendahuluan: Beta thalassemia mayor (BTM) merupakan kelainan sintesis rantai beta globin yang menyebabkan penderitanya harus menjalani transfusi berulang untuk mempertahankan kadar hemoglobin. Hal tersebut dapat menyebabkan hemokromatosis di berbagai organ yang dapat menyebabkan komplikasi, termasuk diabetes melitus (DM). Terapi kelasi besi ditujukan untuk mengurangi hemokromatosis dan mencegah komplikasi, namun seringkali penderita tidak patuh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat kepatuhan terapi kelasi terhadap kejadian DM pada pasien BTM. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain potong-lintang. Tingkat kepatuhan terapi kelasi ditentukan menggunakan Morisky Medication Adherence Scale – 8 (MMAS-8), sementara data pemeriksaan laboratorium terkait DM (kadar glukosa darah sewaktu, puasa, dan 2 jam postprandial) didapatkan dari rekam medis. Subjek penelitian adalah penderita BTM di Pusat Kesehatan Ibu & Anak (PKIA) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kiara yang bersedia mengisi kuesioner dan memiliki data pemeriksaan laboratorium terkait. Analisis data dilakukan dengan Uji One- Way ANOVA dan Uji T Tidak Berpasangan. Hasil: Dari 50 penderita BTM yang menjadi subjek penelitian, sebagian besar (74%) memiliki tingkat kepatuhan terapi kelasi yang rendah. Ditemukan 1 (2%) subjek yang memiliki kondisi prediabetes. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara tingkat kepatuhan terapi kelasi terhadap kadar glukosa darah sewaktu (p = 0,843, n = 35), kadar glukosa darah puasa (p = 0,776, n = 17), maupun kadar glukosa darah 2 jam postprandial (p = 0,863, n = 17). Kesimpulan: Tingkat kepatuhan terapi kelasi tidak berhubungan dengan kejadian DM yang ditentukan melalui kadar glukosa darah sewaktu, puasa, dan 2 jam postprandial
Introduction: Beta thalassemia major (BTM) is a disorder of beta globin chain synthesis that causes sufferers to undergo repeated transfusions to maintain hemoglobin levels. This can cause hemochromatosis, and in various organs can cause complications, including diabetes melitus (DM). Iron chelation therapy is intended to reduce hemochromatosis and prevent complications, but often sufferers do not comply. The purpose of this study was to determine the relationship of the level of adherence of chelation therapy to the occurence of DM in BTM patients. Method: This research is a cross-sectional study. The level of chelation therapy adherence was determined using the Morisky Medication Adherence Scale - 8 (MMAS-8), while laboratory examination data related to DM (random, fasting, and two hours post-prandial plasma glucose level) were obtained from medical records. The subjects were BTM sufferers at the Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) Kiara Hospital who were willing to fill out questionnaires and have relevant laboratory examination data. Data analysis was performed with One-Way ANOVA and Independent T-Test. Results: From BTM sufferers who were the subjects of the study, the majority (74%) had a low level of chelation therapy adherence. One (2%) subject were found to have prediabetes. No significant relationship was found between the level of chelation therapy adherence to random blood glucose levels (p = 0.843, n = 35), fasting blood glucose levels (p = 0.776, n = 17), and 2 hours post-prandial blood glucose levels (p = 0.863 , n = 17). Conclusion: The level of chelation therapy adherence is not related to the occurence of DM which is determined through random, fasting, and two hours post- prandial plasma glucose level."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simorangkir, Dewi Sharon
"Latar belakang: Transfusi rutin merupakan terapi utama bagi pasien thalassemia mayor, namun transfusi berulang diikuti masalah baru yaitu beban kelebihan besi yang terakumulasi dalam jaringan. Pemberian terapi kelasi besi adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan keseimbangan besi dalam tubuh.
Tujuan: Studi ini bertujuan untuka mengetahui hubungan efektivitas terapi, efek samping obat dan biaya antara kelasi besi regimen kombinasi (DFO+DFP dan DFP+DFX) dengan monoterapi DFP dosis ≥ 90 mg/kgbb/hari. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif observasional dengan desain potong lintang, untuk menganalisis hubungan efektivitas terapi, efek samping obat dan biaya antara kelasi besi regimen kombinasi (DFO+DFP dan DFP+DFX) dengan monoterapi DFP dosis ≥ 90 mg/kgbb/hari. Luaran efektivitas dinilai dengan penurunan serum feritin ≥ 500 ng/mL.
Hasil: Setelah 6 atau 12 bulan terjadi penurunan serum feritin pada 16 (34,7%) subyek kelompok kombinasi, dan 22 (27,5%) subyek kelompok monoterapi (p = 0,391). Sembilan (19,5%) subyek kombinasi mengalami efek samping obat, dan 17 (21,2%) subjek pada kelompok monoterapi (p = 0,822). Analisis minimalisisasi biaya menunjukkan bahwa rerata biaya per pasien thalassemia-β mayor anak yang menggunakan rejimen monoterapi selama 6 dan 12 bulan lebih murah Rp 13.556.592,64 (30,46%) dan Rp 20.162.836,10 (25,56%) dari rejimen kombinasi.
Kesimpulan: Rejimen kombinasi sama efektifnya dengan rejimen monoterapi dalam menurunkan serum feritin. Tidak ada perbedaan efek samping obat yang bermakna diantara keduanya.

Background: Blood transfusion is the main therapy for thalassemia major patients, but repeated transfusions are followed by new problems namely the excess iron load accumulated in the body tissue. Iron chelation therapy is the only way to maintain iron balance in the body.
Aim: This study aimed to determine the efficacy, safety , and cost analysis of of combination iron chelation regimen with mono-therapy.
Method:This study was designed as a retrospective observational study with a cross-sectional design, to analyze the relationship between therapeutic effectiveness, drug side effects and the cost of combination iron chelation regimen (DFO+DFP and DFP+DFX) and DFP mono-therapy dose ≥ 90 mg/kg/day. Outcome effectiveness was assessed by decreasing serum ferritin ≥ 500 ng/mL.
Result: After 6 or 12 months there was serum ferritin decreased in 16 (34,7%) subjects in combination group and 22 (27,5%) subjects in mono-therapy group (p = 0,391). Nine (19,5%) subjects in combination group experienced adverse effect, and 17 (21,2%) subjects in the mono-therapy group (p = 0,822). Analysis cost of minimization shows that the average cost per major thalassemia-β patient for children using a mono-therapy regimen for 6 and 12 months is cheaper Rp 13.556.592,64 (30,46%) and Rp 20.162.836,10 (25,56%) compared to combination regimen.
Conclusion: Combination regimens are as effective as a mono therapy regimens in decreasing serum ferritin. There were no significant differences in adverse effect between the two.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Purnama Wulansari Neldy
"ABSTRAK
Seng dan besi merupakan logam yang diperlukan tubuh dalam jumlah yang sedikit. Akan tetapi, seng dan besi tidak dapat diabsorbsi dengan baik dan pengeluaran kedua logam ini dari tubuh berlangsung cepat. Penggunaan kompleks logam proteinat dapat dimanfaatkan sebagai solusi dalam mempertahankan logam agar dapat lebih baik diabsorbsi dan tidak cepat dikeluarkan dari tubuh. Pada penelitian ini dilakukan sintesis logam proteinat dengan mereaksikan senyawa logam dengan protein hasil hidrolisis enzimatis dengan enzim Pancreatin yang memiliki aktivitas protease dan analisis hasil sintesis logam proteinat. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode sintesis dan kadar yang optimum dari logam proteinat. Logam-proteinat dibuat dengan tiga perbandingan, yaitu (0,8:1), (1:1) dan (1,2:1). Sumber protein yangg digunakan berupa kacang kedelai yang kaya akan protein dan melimpah di Indonesia. Logam yang digunakan adalah seng dan besi. Pada penelitian ini juga terdapat pemanfaatan limbah besi yang melimpah di Indonesia, yaitu untuk membuat larutan logam besi (II) klorida. Didapat hasil sintesis seng proteinat berupa serbuk coklat Pantone 4535 U dan besi (II) proteinat berupa serbuk coklat Pantone 436 C. Metode sintesis yang optimum diperoleh pada perbandingan seng-proteinat dan besi (II)-proteinat (1:1) dikarenakan pada perbandingan tersebut diperoleh rendemen tertinggi, yaitu sebesar 98,33% dan 98,56%. Analisis kadar logam dilakukan menggunakan alat Spektrofotometer Serapan Atom (SSA). Berdasarkan hasil analisis, diperoleh kadar optimum dari hasil sintesis seng-proteinat adalah pada perbandingan logam-proteinat (1:1) dan besi-proteinat (1,2:1) dikarenakan pada perbandingan tersebut diperoleh kadar logam terikat tertinggi, yaitu sebesar 17,8114 mg/g dan 6,6424 mg/g.

ABSTRACT
Zinc and iron are metal that are required in smaller quantities in our body. Despite its important role in body, zinc and iron cannot be absorbed well and excreted very quickly from our body. The use of metal proteinate complexes can be used as a solution in maintaining metal so that they can be absorbed better and not quickly excreted from the body. In this research was carried out metal proteinate synthesis by reacting metal compounds with proteins from enzymatic hydrolysis with Pancreatin enzyme which had protease activity and analysis of metal proteinate synthesis. This study aimed to obtain the optimum synthesis method and assay of metal proteinate. Metal-proteinate was made in three comparisons, namely (0.8:1), (1:1) and (1.2:1). The source of protein was soybeans which were rich in protein and abundant in Indonesia. The metals used were zinc and iron. In this study iron waste that abundant in Indonesia was utilized to make a metal solution of iron (II) chloride. The results of zinc proteinate synthesis were in the form of brown Pantone 4535 U powder and iron (II) proteinate synthesis were in the form of brown Pantone 436 C powder. The optimum synthesis method of logam-proteinate was obtained from zinc-proteinate and iron (II)-proteinate (1:1) that shown from the highest yield, which is 98.33% and 98.56%. Analysis of metal assay was carried out using Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). The result showed that the optimum assay of metal proteinate was obtained from zinc-proteinate (1:1) and iron (II)-proteinate (1.2:1) that shown from the highest metal assay, which is 17.8114% and 6.6424%."
2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library