Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Shesha Annisa Desrina
"ABSTRAK
Pengawasan obat di apotek merupakan bagian dari urusan pemerintahan konkuren yang dibagi antara Pemerintah Pusat, daerah Provinsi, dan daerah Kabupaten/Kota. Penyelenggaraan pemerintahan di daerah dilakukan dengan tiga asas yakni desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dalam pembagian kewenangan pengawasan obat di apotek, adanya persinggungan antara kewenangan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah yang berpotensi menghambat efektivitas pengawasan obat. Tulisan ini mengangkat permasalahan hubungan kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pengawasan obat di apotek dan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pengawasan obat di apotek. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis-normatif melalui pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil penelitian disajikan dalam bentuk preskriptif-analitis. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengawasan obat di apotek seharusnya diselenggarakan dengan asas dekonsentrasi dengan tetap menempatkan kewenangan BPOM sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap obat di apotek. Oleh karena itu, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2017 tentang Apotek perlu direvisi dengan menegaskan bahwa wewenang pengawasan obat merupakan kewenangan Pemerintah Pusat, yakni BPOM. Sedangkan, Pemerintah Daerah berwenang melakukan pengawasan terhadap izin apotek dan penyelenggaraan kegiatan di apotek yang tidak beririsan dengan kewenangan BPOM.

ABSTRACT
Drugs control in pharmacies is part of concurrent governmental affairs that are divided between the Central Government, the Provincial Region, and the Regency/City Region. The implementation of governance in the regions is carried out with three principles namely decentralization, deconcentration, and co-administration. In the distribution of drug control authority at the pharmacy, there is a conflict between the authority of the Central Government and the Regional Government which has the potential to hamper the effectiveness of drug control. This research raises the issue of the relationship between the authority of the Central Government and Local Governments in drug control in pharmacies and the efforts are made to improve the effectiveness of drug control in pharmacies. The research method used in this study is juridical-normative research through the statutory approach and the conceptual approach. The research results are presented in a prescriptive-analytical form. The results showed that drug control in pharmacies should be carried out with the principle of deconcentration while giving the authority of BPOM as an institution authorized to conduct drug control in pharmacies. Therefore, Regulation of the Minister of Health Number 73 Year 2016 concerning Pharmaceutical Service Standards in Pharmacy and Minister of Health Regulation Number 9 Year 2017 on Pharmacy needs to be revised by emphasizing that the authority of drug control is the authority of the Central Government, in this case is BPOM. Meanwhile, the Local Government has the authority to supervise the permit for pharmacies and supervise the activities in pharmacies that are not the authority of BPOM."
2020
T55063
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harsanto Nursadi
"Berdasarkan UUD 1945 Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik yang artinya adalah ketika negara ini diproklamasikan bentuknya adalah suatu kesatuan utuh negara yang kemudian wilayahnya dibagi-bagi menjadi daerah-daerah. Pembagian daerah-daerah tersebut didasarkan pada suatu undang-undang tertentu yang disebut undang-undang tentang pembentukan Daerah. Pembentukan daerah tersebut disertai dengan penyerahan kewenangan pangkal dan kemudian kewenangan tambahan pasca pembentukan daerah otonom.
Penyerahan kewenangan tersebut lazim disebut dengan desentralisasi. Penyerahan kewewenangan tersebut pada kenyataannya selama ini (sebelum UU 22 Tahun 1999) sangat sulit untuk dilakukan secara penuh, karena yang terjadi adalah pelaksanaan pemerintahan yang tersentralisasi. Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 mulai memberikan harapan kepada Daerah untuk merencanakan, menggali, menata dan mengelola kembali daerahnya sesuai dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat hukum di daerahnya.
Urusan kehutanan merupakan salah satu urusan pemerintahan teknis yang menemui sejumlah hambatan pada proses pelaksanaan pasca undang-undang pemerintahan daerah tersebut. Pada undang-undang tersebut urusan kehutanan terbagi kedalam beberapa pengaturan, yaitu bila termasuk kelompok sumber daya alam dan konservasi, Pemerintah Pusat berwenang untuk melakukan pendayagunaan, tetapi bila masuk kedalam kelompok sumber daya nasional, maka Daerah berwenang mengelolanya.
Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini akan mencoba menjawab Bagaimanakah Persepsi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota terhadap pembagian kewenangan urusan kehutanan dilihat dari pelaku, tujuan dan strategi. Kemudian bagaimanakah pembagian kewenangan urusan kehutanan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terakhir Apakah pembagian kewenangan urusan kehutanan tersebut akan berdampak pada revealed comparative advantage (RCA) kehutanan di Sumatera Selatan.
Untuk menjawab pertanyaan pertama, dipergunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP) dengan cara mencari persepsi ahli menggunakan kuesioner. Pertanyaan kedua dijawab dengan mempergunakan content analysis terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait langsung dengan pembagian kewenangan urusan kehutanan. Terakhir, dipergunakan analisa potensi perekonomian dengan cara menghitung RCA terhadap total ekspor pertanian dan RCA terhadap total ekspor kehutanan bagi Provinsi Sumatera Selatan.
Berdasarkan analisis tersebut didapatkan jawaban pelaku adalah Pemerintah Daerah, kemudian tujuan adalah mengefektifkan pelaksanaan kebijakan hutan nasional dan dengan strategi penetapan. Kriteria dan standar yang jelas bagi pelaksanaan pemerintahan urusan kehutanan pada Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pemerintah Pusat berwenang pada pengelolaan dan pemanfaatan hutan pads tataran kebijakan dan juga pelaksanaan terutama bagi kawasan yang lintas Provinsi. Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan pengelolaan dan sebagian pemanfaatan hutan, terutama yang melintasi kabupaten/Kota dan Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki kewenangan pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang lebih bersifat lokalitas terhadap kawasan yang berada pada Kabupaten/Kota.
Terakhir, Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Selatan masih memiliki peluang untuk meningkatkan RCA. Sebagai dasarnya adalah luas sisa hutan secara de jure 41,61% dan kebijakan nasional untuk melarang ekspor kayu gelondongan dan bahan baku serpih akan kembali mendorong peningkatan produksi produk kayu di Daerah dan nilai tambah dari kayu terutama untuk ekspor."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T5207
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bhenyamin Hoessein
"Penelitian atau kajian mengenai desentralisasi atau otonomi daerah telah banyak dilakukan oleh para pakar menurut disiplin ilmu masing-masing. Namun penelitian mengenai desentralisasi dan otonomi daerah masih tergolong langka. Terlebih-lebih penelitian mengenai berbagai faktor yang mempengaruhi besarnya otonomi Dati II dari segi Ilmu Administrasi Negara. Karena itu, penelitian ini berjudul "Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Dati II: Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Dati II Dari Segi Ilmu Administrasi Negara."
Dalam penelitian ini dikaji mengenai (1) berapa besarnya otonomi Dati II dibandingkan dengan bagian otonomi Dati I di wilayah Dati II yang bersangkutan, dan (2)faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya otonomi Dati II tersebut. Besarnya otonomi Dati II tidak berada dalam kehampaan ruang, tetapi hasil dari pengaruh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut adalah cara penyerahan wewenang oleh Pemerintahan Pusat kepada Daerah, proses penyerahan wewenang yang ditempuh oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah dan kemampuan administrasi Daerah.
Penelitian ini berawal dengan kajian dokumenter. Berbagai kebijaksanaan nasional mengenai desentralisasi dikaji secara nasional. Selanjutnya untuk mengetahui bekerjanya kebijaksanaan tersebut dilakukan penelitian lapangan di beberapa Dati II. Tipe penelitian ini adalah deskriptif analisis. Analisa bersifat kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa otonomi Dati II lebih kecil daripada bagian otonomi Dati I di wilayah Dati II yang bersangkutan. Disamping itu terdapat variasi mengenai besarnya otonomi kedua tingkatan daerah otonom secara nasional. Porsi otonomi Dati II seperti itu kurang kondusif bagi layanan kepada masyarakat dan bagi keperluan pendekatan pembangunan dari bawah."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1993
D1142
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nico Utama Handoko
"Proses peralihan kewenangan izin pemanfaatan panas bumi secara tidak langsung
berdasarkan regulasi Panas Bumi di Indonesia dimulai pada saat diterbitkannya Undang- Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi, didalam undang undang tersebut kewenangan perizinan pengusahaan paans bumi dibagi menjadi 2 (dua) yaitu kewenangan perizinan pemanfaatakan paans bumi secara langsung diserahkan kepada pemerintah daerah sesuai dengan lokasi wilayahnya sedangkan untuk pemanfaatan pengusahaan panas bumi secara tidak langsung kewenangannya dialihkan yang semula dari Pemerintah daerah menjadi ke Pemerintah Pusat. Proses pengalihan kewenangan perizinan dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat atas dasar bahwa Undang-Undang Nomor 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi tidak berjalan dengan efektif, karena beberapa daerah tidak nampak adanya keseriusan dalam mewujudkan pembangunan energy panas bumi yang merupaka energy yang ramah lingkungan dapat di perbaharui dan untuk kedepannya dapat dijadikan alternative sebagai pengganti energy fosil.

The process of transferring the authority of the geothermal utilization permit indirectly
based on the Geothermal regulation in Indonesia began at the time the issuance of Law
Number 21 of 2014 concerning geothermal energy, in this law the authority to permit the
use of geothermal energy is divided into 2 (two), namely the authority to permit the use
of cash. The land is directly transferred to the regional government in accordance with
the location of the area, while for the utilization of geothermal exploitation, the authority
is transferred indirectly from the regional government to the central government. The
process of transferring licensing authority from the regional government to the central
government is based on the fact that Law Number 27 of 2003 concerning geothermal does
not run effectively, because some regions do not appear serious in realizing the
development of geothermal energy which is environmentally friendly energy that can be
renewed and in the future, it can be used as an alternative as a substitute for fossil energy.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifcky Amarthtya Ardiatama Utomo
"Skripsi ini membahas kewenangan Pemerintah dalam mengelola pertambangan mineral dan batubara setelah ditetapkannya UU No. 3 Tahun 2020 beserta peraturan pelaksananya. Penelitian ini dilakukan secara yuridis-normatif dengan mengkaji dan membandingkan perkembangan peraturan perundang-undangan terkhususnya pada sektor pertambangan mineral dan batubara. Pengelolaan pertambangan mineral dan batubara berdasarkan pada “Hak Menguasai Negara” dan bertujuan untuk mewujudkan manfaat “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” sebagai amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Melalui hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa disharmonisasi antara UU No. 4 Tahun 2009 dengan UU No. 23 Tahun 2014 telah diselaraskan oleh UU No. 3 Tahun 2020 melalui perubahan konsep kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara menjadi Sentralisasi dengan mengakomodir Dekonsentrasi berdasarkan diskresi Pemerintah Pusat. Meskipun demikian Pemerintah tetap disarankan untuk mempercepat tindak lanjut pembentukan Perangkat Daerah yang mengurus pertambangan mineral dan batubara serta mengawal secara penuh proses pengalihan Izin Usaha Pertambangan.

The following thesis discusses the Government's authority in managing the mining of mineral and coal after the enactment of Law No. 3 of 2020 and its implementing regulations. The research was conducted in a juridical-normative manner by reviewing and comparing the development of laws and regulations, especially in the mineral and coal mining sector. The management of mineral and coal mining is based on the "State Controlling Right" and aims to realize the benefits of "the greatest prosperity of the people" as mandated by Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution. Through this research, the disharmonization issue between Law No. 4 of 2009 with Law No. 23 of 2014 has been resolved by Law No. 3 of 2020 by implementing changes in the concept of authority for managing mineral and coal mining to become Centralized by accommodating Deconcentration based on the discretion of the Central Government. However, it is strongly advised that the Government needs to accelerate the formation of Regional Apparatus that manages mineral and coal mining and fully oversees the process of transferring Mining Business Permits."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library