Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chanif Nurcholis
Abstrak :
Pada 1969 pemerintah mulai melaksanakan program pembangunan nasional secara bertahap yang dikenal dengan program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Pemerintah menyadari bahwa hampir 70 persen penduduk Indonesia tinggal di Desa. Oleh karena itu, pemerintah sejak Pelita I menaruh perhatian yang besar terhadap Desa. Mulai Pelita I pemerintah memberi subsidi lewat Inpres Pembangunan Desa dan bantuan program lintas sektoral yang dilaksanakan oleh instansi vertikal. Kemudian pada awal Pelita III pemerintah menata susunan organisasi pemerintahan desa dengan menerapkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Melalui subsidi dan bantuan program pemerintah pusat berharap Desa mampu menggerakkan roda pembangunan dan langsung menangani permasalahan sektoral yang dihadapi warga desa. Selanjutnya melalui pengaturan susunan organisasi pemerintahan pemerintah pusat berharap Desa mampu menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan serta memberi pelayanan secara efektif. Semua langkah tersebut bertujuan agar warga Desa sebagai bagian terbesar dari penduduk Indonesia dapat meningkat kesejahteraannya. Setelah berjalan kurang lebih 20 tahun kebijakan pemerintah pusat terhadap Desa khususnya penerapan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 dikritik banyak pihak karena ternyata berdampak pada birokratisasi pemerintahan desa dan pudarnya "otonomi desa" sehingga melahirkan pemerintahan desa yang birokratis. Akibatnya adalah tak dapat berkembangnya potensi dan kreativitas masyarakat desa. Hal ini terjadi karena kebijakan pemerintah pusat tersebut justru merusak lembaga desa asli atau rumah tangga desa yang berhak diselenggarkan oleh desa yang bersangkutan. Berdasarkan asumsi tersebut, perlu diteliti lebih serius sejauh mana dampak kebijakan pemerintah pusat terhadap rumah tangga desa tersebut. Dengan mengetahui dampak kebijakan pemerintah pusat tersebut maka kebijakan yang kurang sempurna bisa diperbaiki dan disempurnakan. Penelitian ini memfokuskan pada dampak kebijakan pemerintah pusat khususnya dampak penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa terhadap rumah tangga desa. Hakekat rumah tangga desa adalah semua urusan yang menjadi tanggung jawab masyarakat desa sendiri untuk mengatur dan mengurusnya yang inheren sebagai kesatuan masyarakat hukum (adat). Dengan demikian, aktualisasi dari rumah tangga desa ditentukan oleh masyarakat sendiri. Namun karena desa juga berkedudukan sebagai satuan pemerintahan terendah dalam struktur pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka regulasi dari supra struktur yang berupa kebijakan publik tak bisa dihindari. Adanya kebijakan pemerintah pusat terhadap desa berupa regulasi pemerintahan desa melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 jelas akan berdampak pada perikehidupan masyarakat desa baik yang dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki. Penelitian ini mengambil Kabupaten Demak sebagai daerah penelitian. Kabupaten Demak dipilih dengan pertimbangan (1) daerah ini sebagai salah satu daerah tertinggal di Jawa Tengah, (2) daerah ini masih mempunyai komponen-komponen kerumah tanggaan desa relatif lengkap, dan (3) daerah ini diapit oleh dua kota besar yaitu Semarang dan Kudus yang mengimbaskan budaya rasionalnya sehingga pertemuan antara pemenuhan lembaga (institution) yang bersifat tradisional dan pemenuhan organisasi (organization) yang bersifat modern bisa diamati dengan jelas. Kabupaten Demak terdiri atas 241 Desa. Karena itu, populasi dari penelitian ini adalah 241 Desa. Dilihat dari karakteristiknya ke-241 Desa tersebut bisa dikelompokkan ke dalam tiga kelompok: Desa persawahan, Desa nelayan, dan Desa campuran. Berdasarkan karakteristik tersebut populasi dikelompokkan menjadi (1) Desa persawahan, (2) Desa nelayan, dan (3) Desa campuran. Dari setiap kelompok diambil satu desa sebagai sampel dengan teknik purposive. Sampel dianggap representatif karena kondisi populasi untuk setiap kelompok hampir sempurna homogenitasnya dilihat dari penyelenggaraan rumah tangga desa yang bersangkutan. Data awal dikumpulkan melalui telaah pustaka khususnya pustaka dan dokumen yang berkaitan dengan kebijakan publik (mengenai desa) dan sejarah perkembangan pemerintahan dan masyarakat desa sejak zaman Belanda sampai sekarang. Selanjutnya dilakukan pengambilan data primer dan sekunder. Data primer dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap key informan dan informan biasa. Data sekunder dikumpulkan melalui dokumentasi Desa dan kepustakaan. Setelah diklasifikikasikan sesuai dengan kelompok variabel-variabelnya, data kemudian dianalisis dengan analisis deskriptif kualitatif. Data kuantitif digunakan untuk memperjelas analisis kualitatif. Penelitian ini menemukan bahwa kebijakan pemerintah pusat terhadap desa membawa perubahan yang mendasar pada lembaga rumah tangga desa yang pada gilirannya merubah sistem sosial masyarakat desa. Sistem pemerintahan Desa berubah dari sistem pemerintahan yang fungsional terhadap pelayanan masyarakat menjadi sistem pemerintahan yang birokratis. Sistem peradilan desa menjadi hilang. Gotong royong sebagai jiwa dan instrumen kohesivitas masyarakat hilang. Lembaga pologoro yang sebenarnya sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman malah dipertahankan oleh Pemerintah Desa dengan motif kepentingan ekonomi pengurus desa. Upacara adat hilang dan yang masih berjalan makin tidak signifikan dengan fungsi pemerintahan desa. Terakhir sistem sosial masyarakat Desa berubah dari sistem sosial yang bersifat guyub (gemeinschaft) menjadi sistem sosial yang mengarah pada perilaku individualistis. Atas dasar temuan penelitian tersebut disampaikan rekomendasi sebagai berikut: (1) lembaga desa perlu ditata kembali sesuai dengan kehendak, kebutuhan, kepentingan, pola pikir, dan budaya masyarakat desa, (2) lembaga desa perlu disusun atas dasar pandangan bahwa masyarakat desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai lembaga sosial yang masih berjalan dan dipertahankan, (3) bentuk kelembagaan Desa tidak perlu diseragamkan tapi diserahkan pada masyarakat desa sendiri untuk menentukan sesuai dengan adat yang berlaku di masing-masing daerah, (4) Pemerintahan Desa didesain sebagai pendorong dinamika dan pemberdaya masyarakat serta memberi ruang partisipasi yang seimbang antara masyarakat dan pemerintah desa, dan (5) dalam pembuatan struktur Pemerintahan Desa baru bisa dipertimbangkan dengan merevitalisasi struktur lama (adat) dengan isi dan jiwa baru yang rasional, demokratis, dan modern.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T5020
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bernadus Guru
Abstrak :
Keberhasilan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan masyarakat dan kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah memerlukan keikutsertaan mayarakat, keterbukaan dan pertanggung jawaban kepada masyarakat yang diupayakan dengan menerapkan azas desentralisasi, dekonsetrasi dan azas tugas pembantuan. Dalam rangka menerapkan azas desentralisasi yang diwujudkan melalui pelaksanaan otonomi daerah, diharapkan dapat memberikan peluang bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berdaya guna dan berhasil guna; maka dibutuhkan pengaturan perimbangan keeuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pengaturan mina berdasarkan atas hubungan fungsi yaitu berupa sistim keuangan daerah yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintahan. Realisasi pelaksanaan otonomi daerah (desentralisasi) sebagai penjabaran dari Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, dimana otonomi daerah dititik beratkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota; setidaknya dilakukan karena dalam kenyataan adanya kesenjangan antar daerah. Selain itu karena daerah kurang memiliki dana dalam membiayai kegiatan pelayanan publik di daerah, juga disebabkan oleh pengaturan pusat yang terlalu sentralistis; sehingga seperti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan titik berat pada Daerah Tingkat II; telah dilakukan uji coba otonomi daerah pada daerah percontohan. Namun kondisi otonomi daerah selama ini terutama di daerah Kabupaten/Kota, masih semu karena kemandirian yang diciptakan berbalik menjadi ketergantungan pada Pemerintah Pusat dan atau Daerah Propinsi. Otonomi daerah yang dititik beratkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, hakekatnya adalah juga untuk memberdayakan Pemerintah Daerah dalam usaha melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan yang selama ini masih dirasakan adanya masalah dalam melakukan tugas pemerintahan dan pembangunan serta pelayanan kepada masyarakat. Karena dalam negara yang menganut sistim negara kesatuan, persoalan otonomi daerah merupakan hal sangat panting yaitu tentaug pembagian kewenangan politik atau .kewenangan pengambilan keputusan dan kewenangan pengelolaan keuangan. Untuk mengukur kemampuan atau kemandiriau suatu Daerah Kabupaten dan Daerah Kota minimal dapat dipergunakan dua ( 2) variabel pokok yaitu oleb rendahnya mutu sumber daya manusia dan kemampuan keuangan. Rendahnya mutu sumber daya manusia dapat diketahui dari rendahnya bidang pendidikan, rendahnya kemampuan aparatur, rendahnya kemampuan partisipasi masyarakat dan kemampuan organisasi soma administrasi. Khusus untuk mengatasi kemampuan keuangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, salah satu cara adalah dengan ditetapkannya Undang-Undang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang merupakan pedoman dalam pengelolaan penerimaan keuangan daerah. Walaupun demikiari seharusnya dalam negara yang berbentuk kesatuan, biaya bagi penyelenggaraan otonomi daerah tidak harus hanya dan sumber pendapatan asli daerah saja; tetapi juga dana dan pemerintah pusat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dana yang bersumber dari APBN yang diterimakan kepada daerah berdasarkan pasal 6 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 adalah dana perimbangan. Dalam tesis ini Kabupaten Ende sebagai salah satu Kabupaten dalam wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur, akan dilihat kemandiriannya berdasarkan ukuran kemampuan keuangan daerah dan seberapa besar nilai ketergantungan pada dana eksternal yang berasal dari Pemerintah Pusat berupa dana perimbangan,, berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tabun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kemampuan keuangan daerah dianalisis dari struktur penerimaan daerah yang merupakan total pendapatan daerah dan ini tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Ende. Demikian pula dengan dana perimbangan akan dilihat seberapa besar jumlah komulatif yang diterima bagi daerah Kabupaten Ende jika Undang-Undang ini dilaksanakan dalam menunjang keuangan daerah guna dapat digunakan bagi kelancaran dalam komponen belanja rutin dan belanja pembangunan. Demikian juga dilihat kebutuhan dan kapasitas Pemerintah Daerah Kabupaten Ende agar dapat melaksanakan pelayanan publik minimal sesuai standar sebagai sebuah daerah otonom dengan besarnya jumlah dana perimbangan sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. Judah komulatif dana perimbangan dihitung sebagai berikut:
a. PBB dihitung berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1985.
b, BPHTB dihitung berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Talnm 1997 dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1997.
c. Bagian daerah dari penerimaan hasil sumber daya alam, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus dihitung berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Arief
Abstrak :
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Kegiatan pembangunan nasional tidak lepas dari peran seluruh Pemerintah Daerah (Pemda) yang memanfaatkan segala sumber daya yang tersedia di daerah masing-masing. Dalam upaya memperbesar peran dan kcmampuan daerah dalam pembangunan, Pemda dituntut untuk lebih mandiri di bidang keuangan untuk membiayai operasional rumah tangganya sendiri dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. PAD (Pendapatan Asli Daerah) hanya merupakan sebagian dari sumber keuangan daerah untuk membiayai kegiatan rulin dan pembangunan di samping sumber-sumber lainnya. Selengkapnya sumber keuangan daerah terdiri dari : a. PADS (Pendapatan Asli Daerah Sendiri), yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba BUMD, penerimaan dari dinas daerah, dan penerimaan lain-lain;? b. Bagi hasil pajak dan bukan pajak, seperti PBB dan iuran hasil hutan; c. Subsidi dan bantuan Pusat, seperti SDO (Subsidi Daerah Otonom)1 dan Bantuan Inpres; d. Penerimaan lain yang sail. 1 Sebagian besar SDO dialokasikan untuk belanja pegawai daerah. Berdasarkan UU No.5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, Pajak ditambah dengan bagi hasil pajak dan bukan pajak serta penerimaan dinas dan penerimaan lainnya merupakan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Subsidi dan bantuan Pusat merupakan transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan rutin dan pembangunan daerah dimana kebutuhan itu tidak dapat dipenuhi melelui pendapalan asli daerah (terutama rendahnya pendapatan dari pajak daerah dan retribusi daerah). Dalam kerangka pembiayaan daerah otonom, pada prinsipnya kedudukan bantuan Pusat bersifat pelengkap, sementara PAD diharapkan lebih berperan. Namun dalam kenyataannya subsidi dan bantuan (SDO dan Inpres) merupakan bagian terbesar dari penerimaan Pemda dalam rangka menjamin terselenggaranya pemerintahan dan pembangunan daerah, dan PAD sebaliknya kecil. (Tabel 1). Tabel 1 Posisi PAD dalam Penerimaan Total Daerah Tk.l No Uraian 1979/80 1983/84 1988/89 1989/90 1990/91 1 PAD 30,4 24,3 30,2 31,6 35,5 3 Subsidi & Bantuan Pusat 69.6 75.7 69.8 68.4 64.5 Total Penerimaan 100 100 100 100 100 Sumber: Shah dkk. (1994 p.85) Hasil penelitian Anwar Shah dkk.2, membuktikan bahwa subsidi dan bantuan Pusat itu berperan dua pertiga dari pengeluaran APBD. Seperti tertera pada label 1 bahwa subsidi dan bantuan Pusat dalam penerimaan APBD I sejak 1979/80 sampai dengan 1990/91 rata-rata lebih dari 65%, sedangkan peranan PAD yang terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, laba BUMD, penerimaan dinas daerah, ditambah shared tax dan nontax seperti PBB, iuran hasil hutan dll, rata-rata 30%. Hal ini menandakan bahwa Dati I masih tergantung dari pembiayaan yang dialokasikan dari Pusat berupa subsidi dan bantuan Pusat. Studi mengenai program transfer ini juga dilakukan Robert S Pindyck dan Daniel L. Rubinfeld3 dalam buku Econometrics Models and Economic Forcast, Me Graw Hill Internasional edition, Singapore tahun 1991. Yang menyimpulkan bahwa variabel yang berpengaruh pada pengeluaran pemerintah (EXP) terdiri dari: a. Subsidi dan bantuan (AID) b. Penerimaan Asli Daerah (INC), dan c. Jumlah penduduk (POP). Selanjutnya menurut mereka, secara simultan AID dipengaruhi oleh EXP dan jumlah anak pada sekolah dasar dan lanjutan (PS). Formulasi matematis dari model ini dikemukakan dalam persamaan simultan4 sebagai berikut: - Anwar Shah, et al,, Intergovernmental Fiscal Relations in Indonesia, Isitws ami Reform Options. World Bank Discussion Papaers, No.239,1994. 3 Kutipan dari Daryono Soebagyo, Anahxis Hubungan Keuangan Pusat-Daerah Terhadap Perekonomian Daerah di Indonesia, Tesis S-2 UI, 1994. (Tidak DiterWlkan). - Persamaan simuttan adalah suatu keadaan dimana di dalam sisiem persamaan suatu variabel sekaligus mempunyai dua peranan yaicu sebagai independent variable (variabel bebas) dan dependent variabel (variabel terikat). Dalam konteks sistem persamaan ini adalah variabel EXP dan AID.
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T339
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library