Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sofyetti
"Walaupun insiden infeksi intra okular setelah operasi katarak menurun secara tajam selama 30 tahun terakhir tetapi hal tersebut masih merupakan salah satu penyulit bedah yang paling menimbulkan bencana. (1) Pada permulaan abad ke 20 infeksi setelah bedah intra okular lebih kurang 10 % (Axenfeld, T. 1908). Setelah teknik aseptik dipopulerkan terdapat penurunan infeksi intra okular yang tajam. Sebelum tahun 1950 angka kejadian endoftalmitis pasca bedah menurun menjadi 1 %. (2). Setelah tahun 1945 dilaporkan penurunan menjadi 0,35 % (1), bahkan penelitian lain melaporkan terjadi penurunan sampai 0,1% (3). Penurunan angka infeksi bakteri pasca bedah dari permulaan abad ke 20 sampai sekarang berkurang disebabkan oleh perbaikan teknik aseptik yang digunakan dalam bedah mata. (1). Infeksi ini umumnya disebabkan oleh terjadinya kontaminasi pada saat pembedahan baik dari adneksa mata pasien ataupun dengan alat-alat dan bahan yang digunakan waktu operasi termasuk tetesan dan cairan yang dipakai biasanya untuk membersihkan bilik mata depan. (3,4). Untuk mencegah infeksi dianjurkan pemakaian antibiotik infeksi subkonjungtiva. (3,5)"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T58510
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Grace
"Tujuan: Mengetahui perubahan sensibilitas kornea akibat perbedaan ciri insisi pada prosedur bedah katarak insisi kecil manual dan fakoemulsifikasi serta pengaruhnya terhadap kuantitas dan kualitas lapisan air mata (LAM).
Baban dan Cara: Penelitian ini merupakan penelitian prospektif observasional, dilakukan pada 30 penderita katarak senilis yang akan menjalani tindakan pembedahan insisi kecil manual atau fakoemulsifikasi dengan lensa tanam rigid polymethylmethacrylate secara konsekutif. Tindakan insisi kecil manual dilakukan di Kabupaten Buleleng Bali Utara, sedangkan tindakan fakoemulsfikasi di RSCM Jakarta. Kriteria inklusi adalah subyek yang tidak memiliki riwayal inflamasi pada segmen anterior, operasi atau trauma, bukan pemakai lensa kontak, bukan pemakai obat-obatan yang dapat mengganggu lapisan air mata Pemeriksaan dilakukan sebelum pembedahan, setelah hari pertama, ke-7 dan ke-15. Pemeriksaan meliputi sensibilitas kornea di lima lokasi menggunakan estesiometri Cachet-Bonnet, tear meniscus , Nonivasive break up time (NIBUT) dan pola corakan lipid menggunakan Tearscope plus' , serta uji Schirmer. Keluhan subyektifdicatat menggunakan kuesioner dari Ocular Surface Disease Index (OSDO.
Hasil: Sensibilitas menurun dimulai hari pertama setelah pembedahan sampai hari ke-15 pada kelompok fakoemulsifikasi, sedangkan pada kelompok insisi kecil manual ditemukan hanya di hari pertama setelah tindakan pembedahan. Sensibilitas kornea yang menurun ini tidak hanya pada lokasi insisi tetapi juga pada lokasi lainnya terutama pada kelompok fakoemulsifikasi, perbedaan antar kedua kelompok ini signifikan (p<0.05). Penurunan sensibilitas kornea pada kelompok fakoemulsifikasi ini mempengaruhi kuantitas LAM_ Kualitas LAM menurun pada kedua kelompok di hari pertama, dengan penurunan terbesar pada kelompok insisi kecil manual, kualilas LAM ini kembali meningkat mendekati normal sampai hari ke-I5. Keluhan subyektif kelompok fakoemulsifikasi ditemukan meningkat pada hari ke-7 dak ke-15 dan berhubungan dengan produksi air mata.
Kesimpulan: Insisi kornea di temporal pada pembedahan katarak fakoernulsifikasi menimbulkan penurunan sensibilitas kornea di lokasi insisi dan lokasi lainnya sampai hari ke-15. Penurunan sensibilitas kornea ini menyebabkan perubahan kuantitas dan kualitas LAM serta menimbulkan subyektif.

Purpose: To describe corneal sensitivity changes caused by different incision method in manual-small incision cataract surgery (manual-SICS) and phacoemulsification (phaco) and its influence to the tear film quantity and quality.
Material & Methods: A prospective observational study which examined thirthy subjects who planned to underwent cataract surgery with polymelhylmethacrylate intraocular lens concequitively. The manual-SICS group was held in North Bali and phacoemulsification in Jakarta. The inclusion criteria were subject without inflammation of anterior segment, contact lens wearer, history of eye surgery or eye trauma, nerve disorder and drugs which influence the tear film stability. The examination were prior to the surgery, first, seventh and the fifteenth day after surgery, including the five sites of the corneal sensitivity using Cochet-Bonner aesthesiometry, tear meniscus, nonivasive break up time (NIBUT) and lipid pattern using Tearseope plus-m and Schirmer test also were examined. The subjective complains were reviewed based on questionaire by Ocular Surface Disease Index (OSDI).
Results: Corneal sensitivity decreased in phaco group since the first day after surgery until the fifteenth day, while in the manual-SICS group the decreasing only at first day after surgery. Corneal sensitivity decreased not only at the incision site, but also on the other sites of the cornea in phaco group, the difference between two groups was significant (p<0.05). The aquous production decreased in phaco group on the seventh and fifteen days which correlated to the corneal sensitivity. The tear film quality decreased in both groups on the first day and much lower in manual-SICS group, the recovery was shown until the fifteenth day. The increasing subjective complains on phaco group correlated to the changes of the corneal sensitivity.
Conclusion: Temporal-side incision on phacoemulsification caused decreasing corneal sensitivity in the incision site and the other sites up till the 15 day. Decreasing corneal sensitivity caused changes of the tear film quantity and quality, also the complains.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18011
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eni Zatila
"Katarak merupakan penyebab utama kebutaan di Indonesia dan dunia pada umumnya. Diperkirakan l,5% prevalensi kebutaan terjadi di Indonesia dan merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Provinsi Sumatera Selatan merupakan Salah satu provinsi di Indonesia dengan prevalensi kebutaan yang cukup tinggi 1,3%). Tingginya penumpukan kasus (backlog) katarak disebabkan oleh ketidakseimbangan antara insiden katarak dengan operasi yang dilakukan setiap tahunnya.
Operasi katarak merupakan salah salu tindakan operatif yang terbukti cost effective. Bcberapa jenis metode operasi diharapkan bisa mengatasi backlog katarak dan bisa diterima baik dari sisi provider juga dari penerima pelayanan (penderita). Manual Small Incision Cataract Surgery (MSICS) dan Phacoemalsfficarion diharapkan bisa rnenjadi standar operasi katarak di negara berkembang seperti Indonesia dan Sumatera Selatan khususnya di kota Palembang. Penelitian ini membandingkan dua metode operasi katarak, MSICS dan phacoemulsification.
Penelitian ini bertujuan membandingkan biaya rata-rata dan output operasi katarak yang dilakukan di dua klinik khusus mata di Palembang, Sumatera Selatan yaitu Palembang Eye Centre untuk metode MSICS dan Sriwijaya Eye Centre untuk metode Phacoemulsificataion. Sampel adalah 55 penderita yang dioperasi dengan metode MSICS dan 60 pasien yang dioperasi dengan metode phacoemulsification. Penelitian dilakukan secara prospektif dari bulan Februari sampai dengan April 2008. Data demografi penderita, visus sebelum dan sesudah operasi diperoleh dari rekam medis dan observasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya total pada phacoemulsification lebih besar dibandingkan metode MSICS. Phacoemulsification membutuhkan biaya investasi yang besar untuk mesin phacoemulsification dan mikroskop operasi serta biaya bahan medis habis pakai dan lensa tanam per kasus yang dioperasi. Pada metode MSICS biaya bahan medis habis pakai ini mengambii porsi 46 % dari biaya total dan 63 % pada metode phacoemulsiiication. Biaya bahan medis habis pakai adalah Rp.866.850 untuk MSICS dan Rp.2.008.750 untuk phacoemulsification. Perbandingan biaya rata-rata per operasi adaiah Rp. 1.895.019 untuk metode MSICS dan Rp.3.20l.4l6 untuk phacoemulsiiication. Biaya investasi per unit operasi pada metode MSICS lebih tinggi dibandingkan dengan metode phacoemulsification sedangkan biaya operasional dan pemeliharaan rata-rata per operasi pada metode MSICS lebih rendah.
Pada penelitian ini sebanyak 8l,8% penderita yang dioperasi dengan metode MSICS dan 96,7 % penderita yang dioperasi dengan metode phacoemulsification bisa mencapai perbaikan visus 6/ 12 atau lebih pada 4 minggu post operasi. Pada penelitian ini hanya biaya dari sisi provider yang dihitung, sementara biaya dari sisi penderita tidak dihitung. Pengukuran visus post operasi hanya dilakukan sampai minggu ke-4. Karena keterbatasan inilah, hasil evaluasi ekonomi ini harus diinterpretasikan secara hati-hati dan metode operasi manakah yang lebih cost-effective belum dapat disimpulkan. Kesimpulan yang bisa dibuat dari penelitian ini adalah biaya operasi katarak dengan metode MSICS Iebih effisien secara ekonomi dan bisa dipilih sebagai altematif dalam penanganan baclog katarak.

Cataract is the main cause of avoidable blindness in Indonesia and throughout the world. There are an estimated prevalence l.5 % of blindness in Indonesia, the highest one in South East Asia. South Sumatera is one of the province in Indonesia having high prevalence of blindness (l,8%). A huge backlog of cataract blindness is due to imbalance of cataract incidence and surgery done every year.
Cataract extraction is one of the cost eiective surgical interventions. Any type of cataract surgery, which is expected to tackle the backlog has to be affordable to service provider and the service recipient (patient). Manual Small incision Cataract Surgery (MSICS) and Phacoemulsilication are expected to be the standard of care for cataract surgery. A small incision is done and does not need to be sutured makes both of these methods to have high quality in restoring visual function after cataract surgery.
This study was done to make comparison of these two methods, MSICS and phacoemulsification, aimed to compare the average cost and output of cataract surgeries done in two Eye Care Centre in Palembang, South Sumatera, namely Palembang Eye Centre for MSICS methods and Sriwijaya Eye Centre for phacoemulsitication methods. The sample of 55 patient for MSICS and 60 patient for phacoemulsification were enrolled prospectively from February to April 2008. Data on patient demography, pre operative and post operative visual acuity were abstracted from medical record and observation. Output was measured as visual acuity 4 weeks post operatively.
The total cost for phacoemulsification was higher than that for MSICS in this study. Phacoernulsitication requires a high capital investment for a phacoemulsiiication machine and a more expensive operating microscope along with higher cost per case for disposable and a foldable IOL. Consumable cost contributes 46 % of total cost for MSICS and 63 % for Phacoemulsitication. Consumable cost was Rp.866.850 for MSICS and Rp.2.008.'/50 for phacoemulsification. Cost per catarct surgery was Rp.l.895.0l9 for MSICS as compared to Rp.3.20l.4l6 for phacoemulsitication. Average investment cost for MSICS was higher than that for phacoemulsification. Average operational cost (without consumable cost in operating room) and average maintence cost of MSICS were lower than phacoemulsification in this study.
The result of the study showed that 81,8 % patients of MSICS procedures and 96,7 % patients of phacoemulsification procedures achieved 6/ 12 or better visual acuity 4 weeks postoperatively. In this study Only provider cost was calculated while the consumer cost was not included. Visual acuity was measured merely 4 weeks postoperatively. BCVA (Best Corrected Visual Acuity) is used as an outcome measure for cataract surgery. These limitations of the study make the result of this economic evaluation sould be interpreted cautiously. Whether one method is more cost-effective can not be concluded from this study. The conclusion of this study is that the MSICS method being the more efficient method to tackle cataract backlog.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T33917
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Joyce Setyawati
"ABSTRAK
Pengamatan kualitas indra penglihatan telah dapat kita ikuti sejak tahun 1987 dengan keluarnya surat keputusan Menteri Kesehatan yang mengatakan kebutaan merupakan bencana nasional. Kemudian survai morbiditas mata dan kebutaan yang diselenggarakan Departemen Kesehatan pada tahun 1982 menunjukkan kebutaan dua mata 1,2% dari jumlah penduduk (1,2). Katarak merupakan penyebab kebutaan utama, pembedahan merupakan suatu penanggulangan kebutaan karena katarak. Pembedahan katarak pada prinsipnya dibedakan menjadi 2 cara yaitu pengambilan lensa secara utuh dan pengambilan lensa dengan meninggalkan kapsul posterior. Prinsip bedah katarak yang terakhir ini disebut sebagai bedah katarak ekstra kapsular. Cara pembedahan katarak terakhir ini kini lebih disukai dengan makin dikenalnya pemakaian lensa intraokular (3).
Kejadian penyulit selama atau pasta bedah katarak dapat selalu terjadi. Kesulitan membedah katarak ekstra kapsular antara lain, pupil yang kecil dan tekanan bola mata yang tinggi. Kedua hal tersebut akan menyulitkan pengeluaran dan pembersihan sisa-sisa lensa disamping penyulit--penyulit karena tingginya tekanan bola mata.
Kesulitan mengeluarkan massa lensa menyebabkan manipulasi yang lebih banyak pada iris dan endotel kornea. Hal ini merangsang terjadinya iritis dan oedema kornea. Sisa korteks lensa yang tertinggal dapat menimbulkan uveitis. Disamping itu pupil yang kecil pada bedah katarak akan lebih menyulitkan peradangan lensa intraokular.
Setiap tindakan berupa pengirisan konjungtiva, kornea, sklera maupun manipulasi iris pada bedah katarak ektra kapsular akan menimbulkan reaksi radang dimana akan terbentuk mediator peradangan yaitu prostaglandin, khususnya PGE2 ( 4 ). PGE2 selain menimbulkan reaksi radang pasca bedah dapat juga menimbulkan penciutan pupil. Di mata penghambatan sintesa prostaglandin akan mencegah terjadinya penciutan pupil.
Untuk mendapatkan midriasis yang cukup telah dipergunakan bermacam--macam obat terutama yang bekerja melalui saraf autonom yakni golongan obat simpatomimetik dan antikolenergik ( 4,5 ).
Di Bagian Ilmu Penyakit Mata RSCM 1 jam pra bedah katarak ekstra kapsular midriasis diperoleh dengan tropikamid 1% dan fenilefrin 10% ( 6 ). Meskipun demikian penciutan pupil masih dapat terjadi juga. Manipulasi pada bedah intraokular agaknya menimbulkan keluarnya mediator peradangan prostaglandin yang menyebabkan penciutan pupil selain menyebabkan peradangan pasca bedah intraokular ( 7 ).
"
1990
T58490
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arcci Pradessatama
"Latar Belakang: Meningkatnya resistensi bakteri okular terhadap levofloxacin mendorong perlunya disiapkan agen alternatif untuk antibiotik intrakamera. Moxifloxacin, golongan florokuinolon generasi baru, memiliki potensi.
Metode: Desain penelitian berupa randomized controlled trial (RCT) dengan lengan perlakuan: 0.1 cc moxifloxacin 0.5% dan 0.1 cc levofloxacin 0.5% intrakamera tanpa dilusi pada akhir operasi katarak.
Luaran utama penelitian: endothelial cell density (ECD), central corneal thickness (CCT), central macular thickness (CMT), tekanan intraokular (TIO), tingkat peradangan segmen anterior, serta kejadian tidak diinginkan.
Hasil: Dari 68 subjek penelitian, tidak didapatkan perbedaan signifikan pada parameter dasar. Pada pengukuran satu hari pascaoperasi, didapatkan TIO yang signifikan lebih tinggi pada lengan moxifloxacin (p=0.004; mean diff=4.9; IK95%=1.7 – 8.2). Tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pada luaran utama lain pada hari pertama pascaoperasi. Hasil pengukuran satu minggu dan satu bulan tidak didapatkan perbedaan parameter yang signifikan antara kedua kelompok perlakuan.
Kesimpulan: Pada penelitian ini, didapatkan penggunaan 0.1 cc moxifloxacin intrakamera 0.5% menunjukkan profil keamanan yang mayoritas sebanding dengan levofloxacin. Namun, didapatkan parameter tekanan intraokular hari pertama pascaoperasi yang lebih tinggi secara signifikan pada kelompok yang menerima moxifloxacin. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hariindra Pandji Soediro
"Tujuan: Untuk mengetahui apakah pemberian natrium diklofenak 0.1% topikal sebelum pembedahan dapat mempertahankan dilatasi pupil selama pembedahan katarak dengan tehnik standar ekstraksi katarak ekstra kapsular (EKEK) dalam pembiusan lokal.
Subjek dan metode : Penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar ganda. 32 subjek yang memenuhi kriteria inklusi menjalani pembedahan katarak dengan implantasi lensa intraokular, mendapatkan natrium diklofenak 0.1% tetes mata atau plasebo, yang diberikan 2 jam sebelum operasi setiap 15 menit sebanyak 4 kali setetes. Semua subjek mendapatkan tiga tetes tropikamid 1%, dan setetes fenilefrine liidroklorida 10%. Lebar pupil horisontal diukur sehari sebelum operasi, segera setelah blefarostat terpasang, segera setelah selesai melakukan irigasi aspirasi sisa lensa, dan sehari setelah operasi.
Hasil: Lebar pupil sebelum operasi dan segera setelah blefarostat terpasang tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok. Lebar pupil setelah irigasi aspirasi sisa lensa pada kelompok diklofenak lebih lebar dari kelompok plasebo, dan secara statistik bermakna (p<00.1). Perubahan lebar pupil pada kedua kelompok berbeda bermakna (p<00.1) dimana perubahan lebar pupil kelompok diklofenak lebih sedikit dibandingkan kelompok plasebo. Lebar pupil sehari pasta pembedahan berbeda bermakna (p<0.05), dimana kelompok diklofenak mempunyai lebar pupil sedikit lebih lebar dibandingkan dengan kelompok plasebo.
Kesimpulan: Pemberian natrium diklofenak 0.1% tetes mata sebelum pembedahan efektif dalam mempertahankan dilatasi pupil selama pembedahan katarak dengan tehnik standar katarak ekstra kapsular dalam pembiusan lokal.
Kata kunci: Natrium diklofenak topikal - ekstraksi katarak ekstra kapsular - dilatasi - lebar pupil

Purpose: To determine whether pre-operative topical 0,1% Natrium diclofenac therapy could maintained pupillary dilation during cataract surgery using standard extracapsular cataract technique (ECCE) under local anesthetic.
Subject and methods: This study is a randomized, double-blinded clinical trial. Thirty two patients who met inclusion criteria and underwent cataract surgery with lens implantation were received either topical 0.1% natrium diclofenac or placebo, were given two hours pre-operatively every 15 minutes for four doses. All patients also received three doses of 1% tropicamide and single dose of 10% fenilefrine hidrochloride. Pupillary diameters horizontally was measured the day before surgery, immediately after blefarostat was attached, immediately after irrigation aspiration of lens material, and one day after surgery.
Results: Pupil size on the day before surgery and immediately after blefarostat was attached have no statistically different in both group. Pupil size immediately after irrigation aspiration in diclofenac group was larger compare to placebo, and statistically significant (p<0.O01). The change in pupil size was significantly different in both group (p<0.001), there being smaller decrease in diclofenac group compare with placebo group. Pupil size on one day after surgery was significantly different ( po0.05), where the diclofenac groups has slightly larger pupil.
Conclusions: Pre-operative 0.1% natrium diclofenac drops is effective in maintaining pupillary dilatation during cataract surgery using standard extracapsular cataract technique under local anesthetic.
Key words: topical sodium diclofenac- standard extracapsular cataract surgery-dilatationpupil size.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58769
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library