Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elizabeth Febe Cika Aniro
Abstrak :
Fenomena cancel culture di Korea Selatan menjadi hal yang biasa dilakukan oleh penggemar dalam dunia industri hiburan. Cancel Culture dalam industri hiburan Korea adalah suatu praktik boikot yang dilakukan oleh sekelompok orang kepada selebritas yang sedang terlibat skandal. Aksi tersebut membuat penggemar idol boy group di Indonesia turut mengamati dan menilai praktik memboikot ini. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui persepsi para penggemar idol boy group Korea tentang praktik cancel culture di Korea Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif melalui tinjauan literatur dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penggemar masih memberikan dukungan kepada selebritas yang terlibat skandal, beberapa penggemar idol boy group Korea di Indonesia juga menekankan perlunya pertimbangan yang matang dan adil dalam penerapannya. Hal ini menyoroti pentingnya memberikan kesempatan bagi selebritas untuk memperbaiki kesalahan selebritas dan menunjukkan perubahan positif. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman baru dalam kajian resepsi media dan kajian budaya populer Korea, khusus terkait praktik cancel culture. ......The cancel culture phenomenon in South Korea has become a common thing for fans in the entertainment industry. Cancel Culture in the Korean entertainment industry is a boycott practice carried out by a group of people against celebrities who are involved in a scandal. The action made idol boy group fans in Indonesia also observe and assess this boycott practice. The purpose of this study is to determine the perceptions of Korean idol boy group fans about the practice of cancel culture in South Korea. The research method used is descriptive qualitative method through literature review and interviews. The results showed that most fans still provide support to celebrities involved in scandals, some Korean idol boy group fans in Indonesia also emphasized the need for careful and fair consideration in its implementation. This highlights the importance of providing opportunities for celebrities to correct celebrity mistakes and show positive changes. This research is expected to provide new understanding in media reception studies and Korean popular culture studies, specifically related to the practice of cancel culture.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Jeannette Regina Tani
Abstrak :
Tesis ini akan meneliti dampak yang ditimbulkan oleh konflik militer Rusia-Ukraina dalam sektor kebudayaan dan seni pertunjukan. Dampak dari konflik militer ini tidak hanya sebatas sanksi yang diberikan oleh negara-negara Barat pada sektor perekonomian, namun seniman-seniman Rusia juga mengalami berbagai pemboikotan yang merugikan secara signifikan. Melalui peristiwa yang telah terjadi, mengisyaratkan bahwa adanya sebuah kekerasan budaya yang dialami oleh Rusia sebagai bentuk dinamika kebudayaan dampak dari konflik militer dengan Ukraina. Kondisi ini mengarahkan pada sebuah fenomena yakni cancel culture bagi seniman-seniman asal Rusia. ......This thesis will examine the impact caused by the Russian-Ukrainian military conflict in the cultural and performing arts sectors. The impact of this military conflict was not only limited to the sanctions imposed by Western countries on the economic sector, however Russian artists also have experienced detrimental.  Through the events that have occurred, it indicates that there is a cultural violence, which has significantly affected the Russian people. This phenomenon is called cancel culture towards Russia artists.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Nur Azzizah
Abstrak :
Budaya digital membuka ruang baru yang memungkinkan munculnya bentuk-bentuk partisipasi yang cenderung lebih beragam. Kebebasan dalam partisipasi digital ini tidak luput dari berbagai permasalahan, terutama ketika hal tersebut mendorong munculnya kekerasan digital. Salah satu fenomena yang tersangkut dalam problematika partisipasi digital tersebut adalah cancel culture. Studi-studi terdahulu tentang cancel culture melihat fenomena ini melalui dua sisi, yaitu kapasitas cancel culture untuk mewujudkan keadilan sosial melalui penyediaan keadilan alternatif bagi kelompok marginal, dan cancel culture sebagai fenomena yang bersifat disintegratif karena menciptakan permasalahan baru di ruang digital. Penelitian ini berargumen bahwa dualitas ini terkait dengan ambivalensi dualitas partisipasi digital yang berpontensi untuk menciptakan ruang pemberdayaan, namun pada saat yang bersamaan dapat menciptakan kekerasan berbasis digital. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat dua bentuk cancel culture yakni reflektif dan nonreflektif. Dualitas tersebut dipengaruhi bentuk literasi digital yang dimiliki pengguna. Literasi digital berhubungan dengan bentuk tindakan dan partisipasi digital yang dilakukan pengguna. Literasi digital kritis ditandai dengan kesadaran tentang kapasitas transformasi sosial melalui ruang digital. Pengguna dengan literasi digital kritis akan melakukan cancelling yang bertujuan mengangkat suara marginal. Sebaliknya, pengguna dengan literasi digital tidak kritis akan melakukan cancelling yang justru menjurus pada kekerasan digital. ......Digital culture opens up new spaces that allow the emergence of participation that tend to be more diverse. Freedom in digital participation is not problem-free, especially when it encourages digital violence. One of the phenomena involved in the digital participation problem is cancel culture. Previous studies on cancel culture view this phenomenon through two sides: the capacity of cancel culture to realize social justice through the provision of alternative justice for marginalized groups and cancel culture as a disintegrative phenomenon that creates new problems in the digital space. This study argues that this duality is related to the ambivalence of the duality of digital participation, which can create space for empowerment, but at the same time, it can create digital-based violence. This study found two forms of cancel culture, namely reflective and non-reflective. This duality is influenced by digital literacy the user has. Digital literacy is related to the forms of digital actions and participation that users take. Critical digital literacy is characterized by awareness of the capacity for social transformation through the digital space. Users with critical digital literacy will cancel in support of marginal voices. Canceling conducted by users with uncritical digital literacy will lead to digital violence.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naufal Arif Ramiza
Abstrak :
Cancel cultur merupakan fenomena sosial berupa pembatalan secara sosial seseorang akibat suatu hal dari diri orang tersebut yang dipandang ofensif oleh masyarakat. Tindakan ini umumnya dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk protes agar seseorang yang terkena pembatalan meminta maaf dan tidak mengulangi perbuatannya kembali. Cancel culture telah ada dalam masyarakat sejak lama, namun seiring berkembangnya teknologi, fenomena ini juga berkembang dari segi skala dan intensitas pembatalannya, juga seberapa seringnya pembatalan tersebut terjadi. Perkembangan tersebut terjadi karena teknologi internet dan media sosial yang mempermudah penyebaran informasi sehingga hal-hal kecil dapat menjadi sesuatu yang viral.Cancel culture yang semakin berkembang ini berpotensi menimbulkan suatu masalah yang besar bagi target pembatalan, seperti tercemarnya nama baik korban, kehilangan pekerjaan, dan tersebarnya data pribadi. Target pembatalan yang menderita permasalahan-permasalahan seperti itu dapat dikatakan sebagai korban cancel culture. Walaupun terdapat masalah-masalah tersebut, di dalam hukum pidana Indonesia belum ada suatu peraturan yang memberikan perlindungan hukum bagi target pembatalan. Oleh karena itu, diperlukan suatu perlindungan di bidang hukum untuk memberikan batasan dalam cancel culture dan mencegah terjadinya masalah-masalah tersebut sebelum cancel culture semakin berkembang di masyarakat. Dengan perlindungan hukum ini, hak-hak dari target pembatalan tetap terjamin oleh hukum untuk tidak dilanggar. ......Cancel culture is a social phenomenon in a form of socially cancelling somebody because of something from that person that society sees as offensive. The society generally does this action as a form of protest so that the person that is getting cancelled sends an apology and will not repeat their action. Cancel culture has been in the society for a long time, but as the technology is developing, this phenomenon is also developing in terms of the scale and intensity of the cancellation, also how often the cancellation happens. That development happens because of the technology of internet and social media that ease information transmission which causes small things able to become something viral. This development of cancel culture is potential of creating big problems for cancellation targets, such as defamation, job loss, dissemination of personal data. Cancellation targets that suffer those problems can be said as cancel culture victims. Even though those problems exist, Indonesian criminal law does not have any rule that gives legal protection for cancellation targets. Therefore, legal protection is needed for giving restriction to cancel culture and preventing those problems from happening before the cancel culture develops even more in society. With this legal protection, the rights of cancellation targets are guaranteed by law to not be violated.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azzahra Firdausya Sunaryo
Abstrak :
Komunikasi yang kini dimudahkan dengan kemunculan media sosial juga memiliki konsekuensi buruk, seperti aksi cancel culture yang berujung pada tindakan cyberbullying. Cancel culture merupakan sebuah praktik pemboikotan terhadap seseorang yang dianggap melanggar norma. Figur publik seringkali menjadi target utama cancel culture di internet dikarenakan rumor yang disebarkan di media sosial. Dengan menggunakan metode kualitatif studi kasus dan kajian literatur, tulisan ini bertujuan untuk menganalisis cancel culture dan cyberbullying terhadap aktor Korea Selatan Kim Seonho dan idol Kim Garam di forum daring dan Twitter dengan konsep efek disinhibisi online, di mana batasan komunikasi hilang apabila dilakukan secara daring dibandingkan secara tatap muka. Hasil dari analisis menunjukkan bahwa empat dari enam dimensi efek disinhibisi online paling tampak di kasus cancel culture dan cyberbullying kedua figur publik ini, yakni dissociative anonymity, asynchronicity, dissociative imagination, dan minimization of status and authority, dengan anonimitas sebagai faktor utamanya. ......The presence of social media in the contemporary media landscape has made communication more accessible. However, the emergence of such a platform also comes with cultural consequences, such as cancel culture–a practice of boycotting someone who is considered to have violated the norm–which often leads to cyberbullying. Public figures have become the main target of cancel culture which is amplified by the online rumors spread on social media. By using qualitative case study methods and literature review, this paper aims to analyze the cancel culture and cyberbullying against South Korean actor Kim Seonho and idol Kim Garam in online forums and Twitter, with the concept of the online disinhibition effect, where communication boundaries disappear as it takes place online. The result shows that four among six dimensions of the online disinhibition effect, namely dissociative anonymity, asynchronicity, dissociative imagination, and minimization of status and authority are present in the cancel culture and cyberbullying of these two public figures, with anonymity being the main factor.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Audrey Graciela Naftali
Abstrak :
Media sosial telah memfasilitasi penggunanya dengan ruang untuk berkomunikasi dengan orang lain dan mengungkapkan pendapat mereka kepada publik. Dengan media sosial, cancel culture semakin marak terjadi. Pasalnya, opini dari individu mudah tersebar menggunakan fitur status di media sosial. Pemanfaatan status untuk mempengaruhi orang lain itulah yang terjadi dalam peristiwa Dewa Kipas. Status Ali yang menjadi viral mengakibatkan aksi kolektif berupa cancelling dari netizen Indonesia terhadap Levy Rozman (@GothamChess). Menariknya, fenomena ini membawa dampak yang signifikan bagi pihak-pihak yang terlibat. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi terjadinya cancel culture yang dilakukan oleh netizen Indonesia di media sosial dan menganalisis implikasi dari tindakan dominasi netizen Indonesia dalam peristiwa Dewa Kipas. Metode kualitatif dengan analisis wacana digunakan untuk mengkaji studi kasus ini. Melalui penelitian ini, ditemukan bahwa konteks budaya Indonesia yang kuat berperan besar dalam tindakan cancel culture tersebut. ......Social media has facilitated its users with a space to communicate with other people and express their opinion to the masses. With social media, cancel culture is being reinforced. The reason is because opinions from individuals are being spread easily using status features on social media. The utilization of status to influence other people is what happened with Dewa Kipas incident. Ali’s status that went viral led to collective action of canceling from Indonesian netizens towards Levy Rozman (@GothamChess). Interestingly, this phenomenon brought significant impact to the parties involved. This paper aims to Investigate the occurrence of Indonesian netizens’ cancel culture on social media and analyze the implication of Indonesian netizens’ predominance action in Dewa Kipas incident. Qualitative method with discourse analysis is being used to analyse the case. Through this research, it is found that Indonesians’ strong cultural context played a big role in the canceling act.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ghossan Alqurnain
Abstrak :
Peneleitian ini akan membahas terkait faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku negatif konsumen seperti Negative Past Experience, Symbolic Incongruity, Ideological Incompatibility, dan Rumor pada kebencian masyarakat pada suatu merek atau perusahaan. Hal ini dilakukan karena jurnal-jurnal pemasaran terdahulu menyatakan bahwa perilaku negatif konsumen memiliki peran yang sama pentingnya dengan perilaku positif konsumen. Disisi lain penelitian terkait perilaku negatif masih jarang dilakukan hingga sekarang. Subjek dari penelitian ini adalah Restoran Holywings yang telah terkena kasus cancel culture karena penerapan strategi pemasaran yang dianggap kontroversial. Pendekatan kuantitatif digunakan dalam penelitian ini dengan teknik purposive sampling pada 371 responden yang didapatkan melalui penyebaran kuesioner secara daring. Data yang didapatkan diolah menggunakan SPSS melalui analisis statistik deskriptif dan analisis regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa pengaruh yang signifikan yaitu pengaruh ideological incompatibility terhadap brand hate, pengaruh symbolic incongruity terhadap brandhate. Telah ditemukan variabel negative past experience dan rumor tidak memilik pengaruh yang signifikan terhadap brand hate. ......This research will discuss the factors that influence negative consumer behavior such as Negative Past Experience, Symbolic Incongruity, Ideological Incompatibility, and Rumors on public hatred of a brand or company. This is done because previous marketing journals state that negative consumer behavior has an equally important role as positive consumer behavior. On the other hand, research related to negative behavior is still rarely done until now. The subject of this research is Holywings Restaurant which has been exposed to cancel culture cases due to the implementation of marketing strategies that are considered controversial. A quantitative approach was used in this study with a purposive sampling technique on 371 respondents obtained through distributing questionnaires online. The data obtained was processed using SPSS through descriptive statistical analysis and multiple linear regression analysis. The results showed that there were several significant influences, namely the influence of ideological incompatibility on brand hate, the influence of symbolic incongruity on brand hate. It has been found that the variables negative past experience and rumors do not have a significant influence on brand hate.
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kintara Ayudarma
Abstrak :
Cancel Culture atau dikenal sebagai aksi boikot merupakan fenomena memboikot seseorang akibat mengucapkan atau melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma yang ada di masyarakat. Aksi boikot ini banyak terjadi di media sosial dan mayoritas menargetkan seorang selebriti. Fenomena Cancel Culture ramai terjadi di berbagai negara, termasuk di Tiongkok. Penelitian ini membahas tentang pemanfaatan fenomena Cancel Culture oleh pemerintah Tiongkok untuk mengendalikan industri hiburan dan dampaknya bagi perkembangan industri hiburan di Tiongkok. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan budaya. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan pelanggaran yang terjadi di dalam industri hiburan Tiongkok umumnya berkaitan dengan nilai-nilai budaya dalam masyarakat Tiongkok. Pemerintah menggunakan aksi pemboikotan untuk mengatur kembali industri hiburan sekaligus mengingatkan kembali masyarakat atas nilai-nilai budaya yang dianut Tiongkok. ......Cancel Culture or known as boycott action is a phenomenon of boycotting someone due to their saying or taking actions that are contrary to the norms that exist in society. These actions happen a lot on social media and the majority target is celebrities. The Cancel Culture phenomenon is happening in various countries, including China. This research article discusses the use of the Cancel Culture phenomenon by the Chinese government to control the entertainment industry and its impact on the development of the entertainment industry in China. This study article used the qualitative research method with a cultural approach. And also collected data through literature studies. The results show that infractions that occur in the Chinese entertainment industry are generally related to cultural values ​​in Chinese society. The government uses boycotts to reorganize the entertainment industry, as well as reminding back the people of China of their cultural roots.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ajanti Trijanuary
Abstrak :
Tren cancel culture saat ini telah menjadi topik yang mengundang banyak perdebatan di media sosial. Yang dimaksud dari tren cancel culture adalah sebuah konsep bahwa seorang individu atau kelompok dapat “dibatalkan” atau “disingkirkan” akibat memiliki perilaku bermasalah yang tidak dapat diterima oleh publik (Mayasari, 2022). Pada topik penelitian ini, penulis mengakarkan permasalahan pada pertanyaan mengapa dominasi pandangan subjektif dapat mengindikasikan bahwa tren cancel culture termasuk ke dalam satu bentuk baru dari budaya perundungan. Subjektivitas pada tren cancel culture ini nyatanya berperan besar pada asumsi bahwa cancel culture merupakan satu bentuk baru dari budaya perundungan. Hal tersebut menyatakan bahwa dominasi pandangan subjektif individu tidak seharusnya menjadi upaya untuk menghasilkan output yang objektif sebab dapat mengesampingkan aspek logis dalam menilai individu lain dan mengindikasikan hadirnya hasrat kebencian di dalam pandangan subjektif tersebut. Banyak dijumpai masyarakat yang didapati memiliki intensi kebencian (dalam konteks rasial ataupun non-rasial) kepada korban dari tren cancel culture dan hal tersebut dianggap inheren dengan budaya perundungan. Seperti pada beberapa kasus cancel culture yang diterapkan kepada beberapa tokoh publik seperti Gofar Hilman, Kim Seon Ho, dan Johnny Depp yang sama-sama memiliki pola kejadian serupa. Maka dari itu, penelitian ini berupaya untuk melahirkan kesadaran akan dominasi keberadaan subjektivitas yang nyatanya menghasilkan kepercayaan objektif yang buruk dengan hadirnya tren cancel culture sebagai sebuah bentuk budaya perundungan yang baru. Penulis menjadikan teori ketidakadilan epistemik atau epistemic injustice yang digagas oleh Miranda Fricker (1966), seorang filsuf Inggris, yang menegaskan pemikirannya pada ketidakadilan epistemik yang bersumber dari konsep ketidakadilan yang dilakukan agen penahu terhadap seseorang. Dominasi subjektivitas yang terdapat pada tren cancel culture ini membawa penulis pada analisis mengenai adanya ketidakadilan epistemik yang terdapat dalam subjektivitas tersebut. ......The current cancel culture trend has become a topic that invites a lot of debate on social media. What is meant by the cancel culture trend is a concept that an individual or group can be “canceled” or “removed” due to having problematic behavior that is unacceptable to the public (Mayasari, 2022). On this research topic, the authors root the problem on the question why the dominance of subjective views can indicate that the cancel culture trend is included in a new form of bullying culture. The subjectivity of the cancel culture trend actually plays a major role in the assumption that cancel culture is a new form of bullying culture. This states that the domination of individual subjective views should not be an effort to produce objective outputs because it can override the logical aspect of judging other individuals and indicates the presence of a desire for hatred in that subjective view. There are many people who are found to have hateful intentions (in a racial or non-racial context) towards victims of the cancel culture trend and this is considered to be inherent in a culture of bullying. As in several cases of cancel culture which was applied to several public figures such as Gofar Hilman, Kim Seon Ho, and Johnny Depp who both had a similar pattern of incidents. Therefore, this research seeks to raise awareness of the domination of subjectivity which in fact produces bad objective beliefs with the presence of the cancel culture trend as a new cultural form of bullying. The author makes the theory of epistemic injustice initiated by Miranda Fricker (1966), a British philosopher, who emphasizes her thoughts on epistemic injustice originating from the concept of injustice perpetrated by a knowledge agent against someone. The dominance of subjectivity in the cancel culture trend brings the author to an analysis of the existence of epistemic injustice in that subjectivity.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library