Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Handarbeni Sayekti
"Tesis ini membahas pemeriksaan perkara sidang pengadilan dimana pembuktian merupakan hal yang utama. Hakim harus cermat dan hati-hati dalam menilai alat bukti yang diajukan dalam persidangan, sadar dalam menilai kekuatan alat bukti tersebut, jika hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam keputusan yang dijatuhkan. Kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti dengan cara dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti. Tentang alat bukti ini, disebutkan dalam pasal 184(1) KUHAP: Alat bukti yang sah ialah : keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; keterangan Terdakwa. Diantara ke lima alat bukti ini alat bukti petunjuk bersifat tidak langsung sehingga dalam pelaksanaannya sering menimbulkan kesulitan, alat bukti petunjuk ini sebenarya adalah merupakan konstruksi perbuatan, kejadian, atau keadaan yang diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa yang bersesuaian sehingga memberikan gambaran mengenai terjadinya tindak pidana dan siapa pelakunya. Namun sampai saat ini penggunaan alat bukti petunjuk dalam membuktikan kesalahan terdakwa mash menimbulkan perdebatan dan perbedaan pendapat dikalangan akademisi maupun aparat penegak hukum.
Namun ironisnya ditengah kontroversi tersebut, alat bukti petunjuk mempuyai peranan yang cukup penting dalam hal membuktikan tindak pidana fertentu, bahkan ada keenderungan dimana dalam praktek peradilan pidana alat bukti ini digunakan untuk mengakomodir kekurangan alat bukti yang sah, dan sebagai alat bukti apabila alat bukti yang sah yang diperoleh sangat minim. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian menyarankan agar hal ini mendapatkan perhatian, dengan memberikan format yang jelas dalam membentuk alat bukti petunjuk sehingga alat bukti ini menjadi obyektif atau dengan menambahkan alat bukti yang sah yang bisa dipergunakan dalam pembuktian perkara pidana (pelaksanaan revisi KUHAP) sehingga diharapkan bisa meminimalkan kontroversi tentang alat bukti ini."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T25679
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Handarbeni Sayekti
"Tesis ini membahas pemeriksaan perkara sidang pengadilan dimana pembuktian merupakan hal yang utama. Hakim harus cermat dan hati-hati dalam menilai alat bukti yang diajukan dalam persidangan, sadar dalam menilai kekuatan alat bukti tersebut, jika hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam keputusan yang dijatuhkan. Kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti dengan cara dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti. Tentang alat bukti ini, disebutkan dalam pasal 184(1) KUHAP: Alat bukti yang sah ialah : keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; keterangan Terdakwa. Diantara ke lima alat bukti ini alat bukti petunjuk bersifat tidak langsung sehingga dalam pelaksanaannya sering menimbulkan kesulitan, alat bukti petunjuk ini sebenarya adalah merupakan konstruksi perbuatan, kejadian, atau keadaan yang diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa yang bersesuaian sehingga memberikan gambaran mengenai terjadinya tindak pidana dan siapa pelakunya. Namun sampai saat ini penggunaan alat bukti petunjuk dalam membuktikan kesalahan terdakwa mash menimbulkan perdebatan dan perbedaan pendapat dikalangan akademisi maupun aparat penegak hukum.
Namun ironisnya ditengah kontroversi tersebut, alat bukti petunjuk mempuyai peranan yang cukup penting dalam hal membuktikan tindak pidana fertentu, bahkan ada keenderungan dimana dalam praktek peradilan pidana alat bukti ini digunakan untuk mengakomodir kekurangan alat bukti yang sah, dan sebagai alat bukti apabila alat bukti yang sah yang diperoleh sangat minim. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian menyarankan agar hal ini mendapatkan perhatian, dengan memberikan format yang jelas dalam membentuk alat bukti petunjuk sehingga alat bukti ini menjadi obyektif atau dengan menambahkan alat bukti yang sah yang bisa dipergunakan dalam pembuktian perkara pidana (pelaksanaan revisi KUHAP) sehingga diharapkan bisa meminimalkan kontroversi tentang alat bukti ini."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T37143
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tengku Rania Salsabila Zahra
"Skripsi ini membahas mengenai adanya dugaan praktek Perjanjian Penetapan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi oleh enam pelaku usaha ritel di Indonesia. Ruang lingkup pembahasan terkait bagaimana mekanisme pembuktian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terhadap Kasus Dugaan Price Fixing Agreement, dan apakah penetapan harga BBM yang tidak proporsional dengan pergerakan harga minyak mentah dunia mengindikasikan terjadinya praktik price fixing agreement sesuai Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan analisis data kualitatif. Dalam analisis, mekanisme pembuktian KPPU mengacu pada ketentuan alat-alat bukti yang sah sesuai Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999 dan analisa bukti-bukti tidak langsung (bukti ekonomi dan bukti komunikasi) sebagai bukti petunjuk (dalam perkembangan disesuaikan pada Pasal 57 Perkom No. 1 Tahun 2019). Terkadang bukti-bukti tidak langsung yang disajikan KPPU sebagai bukti petunjuk masih dinilai lemah oleh hakim di lingkup peradilan umum dan belum dapat dijadikan bukti petunjuk yang sah berdasarkan Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999. Untuk itu, guna menghindari perbedaan penafsiran perlu dilakukan penjelasan lebih mendetil dalam Perkom No. 1 Tahun 2019 agar bukti-bukti tidak langsung dapat diterima dan diakui di lingkup peradilan umum. Terkait tidak proporsionalnya pergerakan harga minyak mentah dunia dengan harga jual eceran BBM di Indonesia, mengindikasikan terjadinya praktik perjanjian penetapan harga. Hal ini dianalisis berdasarkan uraian unsurunsur Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 dan fakta-fakta sebagai bukti ekonomi. Namun, perlu dilakukan tinjauan lebih mendalam untuk menemukan bukti-bukti lain yang lebih komprehensif agar indikasi tersebut dapat dibuktikan secara jelas dan terang.

This research focuses on the presumption of price fixing agreement practice on Non-Subsidized General Fuel Price among six fuel retail companies in Indonesia. The scope of the discussion includes KPPU mechanism in verifying price fixing agreement cases and whether the fuel price establishment that is not in proportion to the crude oil prices fluctuation indicates price fixing agreement practice which is prohibited under Article 5 Law No. 5 of 1999. This is a juridical-normative research with qualitative data analysis method. This research shows that KPPU refers to admissible types of evidence that is regulated under Article 42 Law No. 5 of 1999 and also indirect evidience (economic and communication evidence) as part of indication evidence (later being adjusted in The Commission Act No. 1 of 2019, Article 57) in verifying price fixing cases. Sometimes the indirect evidence being
served by KPPU is still considered weak and cannot be categorized as part of legitimate indication evidence by the court. Therefore, there is a need for assertion in The 2019 Commission Act regarding the acceptance of economic and communication evidence as part of indication evidence in court. This research also shows that the fuel price establishment that is not in proportion to the crude oil prices fluctuation indicates price fixing agreement practice which is analyzed through the elements of Article 5 Law No. 5 of 1999 and tangible facts as economic evidence. However, it is necessary to conduct in depth observation to support more
comprehensive proofs of the indication.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agenda Citra Muhammad
"Abstrak Berbahasa Indonesia/Berbahasa Lain (Selain Bahasa Inggris):
Tulisan ini menganalisis pengaturan dan penerapan bukti tidak langsung dalam perkara persekongkolan tender khususnya dalam Putusan KPPU No. 17/KPPU-L/2022. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Bukti tidak langsung adalah salah satu aspek dalam hukum persaingan usaha yang mengandung perdebatan di Indonesia, walaupun dalam praktik internasional telah diakui sejak lama. Putusan pengadilan tidak selalu mengakui bukti tidak langsung, terdapat pula putusan pengadilan yang mengakui tetapi bukti tidak langsung tidak diposisikan sebagai alat bukti pada Pasal 42 UU Persaingan Usaha. Di tengah perdebatan tersebut, KPPU menerbitkan Peraturan Ketua KPPU Nomor 3 Tahun 2023 tentang Pedoman Larangan Persekongkolan dalam Tender yang mana salah satu isinya menjelaskan tentang bukti tidak langsung termasuk dengan mendasarkan penjelasan bukti tidak langsung pada OECD Policy Brief June 2007. Oleh sebab itu, dinamika pengaturan bukti tidak langsung dalam persekongkolan tender dipandang penting untuk dikaji, termasuk pula penerapannya pada putusan perkara. Terhadap perkembangan dinamika pengaturan, disimpulkan bahwa KPPU telah memperhatikan praktik internasional dari bukti tidak langsung serta memperhatikan perkembangan teknologi terhadap pembuktian persekongkolan tender yang telah diterapkan lebih dulu di negara lain. Terhadap penerapan pengaturan bukti tidak langsung dalam putusan, Putusan Nomor 17/KPPU-L/2022 oleh Majelis Komisi dalam pertimbangannya mengandung tiga kekeliruan. Majelis Komisi merujuk ketentuan bukti tidak langsung pada peraturan terkait penanganan perkara yang belum dapat diterapkan; tidak merujuk penjelasan bukti tidak langsung pada Peraturan Ketua KPPU No. 3 Tahun 2023 yang telah menjelaskan bukti tidak langsung sesuai dengan OECD; serta Majelis Komisi tidak membedakan antara fakta yang merupakan bukti komunikasi dengan yang merupakan bukti ekonomi.

This paper analyzes the regulation and application of indirect evidence in bid rigging cases specifically in KPPU Decision No. 17/KPPU-L/2022. This paper is prepared by using the doctrinal research method. Indirect evidence is one aspect of competition law that is contentious in Indonesia, although in international practice it has been recognized for a long time. Court decisions do not always recognize indirect evidence, there are also court decisions that recognize but indirect evidence is not positioned as evidence in Article 42 of the Competition Law. In the midst of this debate, KPPU recently issued KPPU Chairman's Regulation No. 3 of 2023 concerning Guidelines for the Prohibition of Bid Rigging, one of which explains indirect evidence including by basing the explanation of indirect evidence on the OECD Policy Brief June 2007. Therefore, the dynamics of indirect evidence regulation of bid rigging are considered important to be studied, including its application in case decisions. In regard to the development of regulation, it was concluded that KPPU has paid attention to international practices of indirect evidence as well as paying attention to technological developments in the proof of bid rigging that have been previously applied in other countries. In regard to the application of indirect evidence regulation in the decision, Decision Number 17/KPPU-L/2022 by the Commission Panel, in its consideration contained three errors. The Commission Panel referred to the provisions of indirect evidence in the regulation related to case handling that could not yet be applied; did not refer to the explanation of indirect evidence in the KPPU Chairman Regulation No. 3 of 2023 which had explained indirect evidence in accordance with the OECD; and the Commission Panel did not distinguish between facts that constituted communication evidence and those that constituted economic evidence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library