Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eko Roestanto
"Dalam mewujudkan amanat UUD'45, pemerintah mengalokasikan Rp 30,60 trilyun dan Rp 322,44 trilyun dalam belanja pemerintah pusat untuk fungsi pendidikan. Tetapi jumlah itu belum cukup menggratiskan biaya pendidikan. Jangankan untuk semua level pendidikan, untuk menunjang wajib belajar sembilan tahun tingkat SD dan SMP raja jumlah tersebut jauh dari cukup. Akan tetapi, selain dalam belanja pemerintah pusat, ada transfer pemerintah pusat kepada daerah yang peruntukkannya khusus di bidang pendidikan. Bentuknya Dana Alokasi Khusus non Dana Reboisasi bidang pendidikan.
DAK non DR ini bersifat khusus, pertama karena sifatnya yang "memusat" di tengah isu desentralisasi dan otonomi daerah yaitu untuk kegiatan prioritas nasional. DAK non DR hanya menyerahkan pelaksanaan kegiatan kepada daerah, tetapi untuk tahap perencanaan dan pengawasan berada di Langan pemerintah pusat. Hal kedua yang membuatnya khusus karena mewajibkan daerah penerima dana untuk menyertakan dana pendamping sebesar 10% dari pagu yang dialokasikan buat daerah tersebut (matching grant). Selain itu dana DAK non DR berpotensi meningkat apabila pasal 108 UU No.33/2004 diberiakukan. UU tersebut memerintahkan agar dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan yang berada di departemen teknis, secara bertahap dialihkan menjadi Dana Alokasi Khusus.
Untuk pengalokasian DAK non DR digunakan tiga kriteria yaitu kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria teknis. Di dalam ketiga kriteria tersebut terdapat variabel-variabel Indeks Fiskal Netto (IFN), Indeks Karakteristik Wilayah (IKW), jumlah SD/MI rusak berat (SDM!) dan Indeks Karakteristlk Wilayah (IKK). Selain itu, agar kriteria teknis tidak terbatas pada jumlah 5D/MI yang rusak berat padahal tujuan DAK non DR bidang pendidikan untuk menunjang wajib belajar sembilan tahun, maka scat exercise variabel yang mempengaruhi alokasi DAK non DR, ditambahkan dua variabel babas yaitu jumlah penduduk buts huruf usia 15-24 tahun (BUTA) dan jumlah penduduk usia 7-15 tahun yang masih bersekolah SD-SMP (SDSMP).
Hasil persamaan regresi berganda dimana DAK non DR bidang pendidikan sebagai variabel terikat, dan IFN, IKW, SDMI, IKK, BUTA dan SDSMP sebagai variabel babas membuktikan semua variabei babas tersebut signifikan-mempengaruhi pengalokasian DAK non DR bidang pendidikan, kecuali BUTA. Hasil regresi terbaik menunjukkan IKK menjadi variabel paling elastis atau paling berpengaruh terhadap alokasi DAK Non DR bidang pendidikan diikuti SDMI, IFN, SDSMP dan IKW. Adapun untuk dua variabel tambahan (BUTA dan SDSMP) menunjukkan hasil yang berbeda, variabel buts huruf tidak signifikan sedang variabel penduduk sekolah SD-SMP signifikan. Dan hasil tersebut, yang bisa dikemukakan disini adalah pertama DAK adalah bentuk dana khusus dengan tujuan hanya untuk rehabilitasi gedung SDJMI rusak berat atau pengadaan meubelaimya. DAK tidak dimaksudkan menutup seiuruh biaya pendidikan, sehingga wajar bila penambahan variabel yang tebih lugs seperti jumlah seluruh penduduk dengan kriteria dan usia tertentu hasiinya tidak sebaik variabel utamanya. Akan tetapi keberadaan dua variabel tambahan ini kiranya juga tidak dinisbikan mengingat untuk proyeksi masa depan, seiring penambahan dana OAK, variabel-variabel tersebut diperiukan keberadaanya.
IKK menjadi variabel paling berpengaruh karena indeks ini yang digunakan untuk menyamakan penghitungan dari sisi fiskal kewilayahan dan sisi teknis pendidikan. IKK digunakan sebagai pengali balk untuk penentuan bobot teknis pendidikan maupun bobot daerah. Karena itu bila pengaruh IKK paling elastis (menentukan) untuk hasil regresi tampaknya hal yang masuk akal. Tetapi paling berpengaruhnya IKK juga patut dikritisi, mengingat bila tujuan pengalokasian DAK non DR untuk merehabilitasi gedung SDJMI rusak tetapi mengapa justru tingkat biaya di suatu daerah yang paling mempengaruhi pemberian dana. Yang ditakutkan adalah nantinya besar kecilnya alokasi OAK pendidikan justru ditentukan biaya pembangunan gedung di suatu daerah, dibanding kuantitas gedung SD/MI yang mengalami kerusakan berat.
Selain dalam DAK non DR, IKK turut berperan dalam penentuan alokasi DAU. IKK dipergunakan sebagai pertimbangan untuk dua dana perimbangan tersebut setelah terjadi perbaikan atas kritik yang disampaikan Brodjonegoro dan Risyana (2002:143) saat penghitungan formula DAU TA 2002. Brodjonegoro dan Risyana menilai penggunaan IKK sebagai data alternatif untuk menggantikan indeks harga satuan bangunan suatu kabupaten/kota yang dipakai dalam formula DAU saat itu, dianggap kurang merepresentasikan kondisi geogral'is di Indonesia. Alasannya karena ternyata indeks (IKK) di Jakarta lebih tinggi dibandingkan beberapa daerah yang relatif terisolasi saat itu.
Untuk penghitungan TA 2005 ini, kritik yang disampaikan telah diperbaiki karena IKK propinsi terisolir sudah lebih tinggi dibanding yang tidak. Misal IKK Propinsi Papua 160,85, Maluku 116,71, Maluku Utara 114,49, Sulut 103,88 dibanding IKK Propinsi DKI Jaya 96,78, Jawa Barat 89,79, Jawa Tengah 88,54, maupun Jawa Timur 89,52. Penggunaan IKK untuk penghitungan dua jenis dana itu, dari sisi standardisasi penghitungan fisik bangunan dapat dipandang telah terjadinya keseragaman dalam pola perencanaan anggaran."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18714
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Javan Herdamang Pajrin
"

Indonesia memiliki anggaran untuk mendukung kebijakan terkait pembangunan pendidikan di Indonesia serta juga memiliki intervensi kebijakan pendidikan dari pemerintah pusat ke daerah. Oleh karenanya, penelitian ini bertujuan untuk melakukan studi analisis terhadap pengelolaan anggaran pendidikan di tingkat provinsi di Indonesia tahun 2016-2017.

 

Studi ini menggunakan metode Regresi Tobit untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi pengelolaan anggaran pendidikan provinsi. Variabel dependen yang digunakan adalah Efisiensi Pengelolaan Anggaran Pendidikan Provinsi (Ef), sedangkan variabel independennya adalah Kartu Indonesia Pintar (KIP), Tunjangan Sertifikasi Guru SMA/K (TSG), Tingkat Kepadatan Penduduk (DEN) dan Provinsi yang memiliki daerah tertinggal lebih dari 5 (PTT). Adapun data yang digunakan adalah data dari 32 provinsi di Indonesia dengan mengecualikan DKI Jakarta dan Kalimantan Utara sepanjang periode 2016-2017. Untuk melakukan pengukuran efisiensi, studi ini menggunakan metode DEA (data envelopment analysis).

 

Hasil perhitungan DEA menunjukkan tingkat efisiensi pengelolaan anggaran pendidikan provinsi-provinsi cenderung fluktuatif. Sebagai contoh, di tahun 2016 efisiensi provinsi-provinsi mayoritas berada di bawah 50%. Sementara di 2017, tingkat efisiensi beberapa provinsi naik. Jika dianalisis secara spasial berdasarkan kawasan, efisiensi di kawasan Indonesia barat masih yang tertinggi dibandingkan Indonesia tengah dan timur. Lalu jika dianalisis spasial berdasarkan kepulauan, maka nilai efisiensi terbesar dimiliki oleh provinsi-provinsi yang berada di pulau Jawa. Variabel Kartu Indonesia Pintar KIP positif signifikan berpengaruh terhadap efisiensi pengelolaan anggaran pendidikan. Sedangkan variabel kepadatan penduduk dan PTT menjadi variabel yang paling mendominasi pergerakan efisiensi pendidikan SMA seluruh provinsi di Indonesia. Temuan-temuan ini diharapkan bisa menjadi masukan, khususnya bagi pemerintah dalam upaya mendorong efisiensi pengelolaan anggaran Pendidikan untuk pembangunan SDM yang berkelanjutan.


Indonesia has a budget to support policies related to education development in Indonesia and also has educational policy interventions from the central government to the regions. Therefore, this study aims to analyze the management of he education budget in all provinces in Indonesia within 2016 till 2017.

 

This study uses the Tobit Regression method to identify the factors that influence the efficiency of provincial education budget management. The dependent variable used is the Efficiency of Provincial Education Budget Management (Ef), while the independent variables are the Indonesia Smart Card (KIP), the High School Teacher Certification Allowance (TSG), Population Density Level (DEN) and Provinces that have more than 5 underdeveloped areas (PTT). The data used is data from 32 provinces in Indonesia, excluding DKI Jakarta and North Kalimantan throughout the 2016-2017 period. To measure efficiency, this study uses DEA (data envelopment analysis) method.

 

The DEA calculation results show the level of efficiency in the management of the education budget of the provinces tends to fluctuate. For example, in 2016 the efficiency of the majority of the provinces was under 50%. While in 2017, the efficiency level of several provinces increased. If analysed spatially by region, efficiency in western Indonesia is still the highest compared to central and eastern Indonesia. Then, if analysed spatially based on the islands, the greatest efficiency value is owned by the provinces on the island of Java. The Indonesia Smart KIP Card Variable has a significant positive effect on the efficiency of education budget management. While the population density and PTT variables are the variables that most dominate the movement of high school education efficiency in all provinces in Indonesia. These findings are expected to be input, especially for the government in an effort to encourage efficient management of the Education budget for sustainable HR development.

"
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library