Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
Riska Septiana
"Penelitian ini berawal dari film-film bertema subkultur yang merepresentasikan kekerasan. Terdapat berbagai film yang merepresentasikan kekerasan termasuk yang diginukan pada penelitian ini, Film “Harakiri: Death of a Samurai” dan “Badik Titipan Ayah” mengangkat tema budaya suatu kelompok masyarakat yaitu Jepang dan Bugis-Makassar. Penelitian ini menggunakan metodologi Movie Analysisis dan Critical Discourse Analysis untuk menganalisis keterkaitan unsur kekerasan yang mengangkat tema budaya dalam film. Analsisnya menggunakan konsep dan teori seperti Subkultur, Budaya Malu, Kekerasan, Harakiri, Siri’, Maskulinitas, Mise en scene dan Sinematik, serta Cultural Criminology untuk menjelaskan adanya representasi budaya terkait kekerasan dan budaya malu pada masing-masing film. Dengan menggunakan kedua film bertema budaya ini, dapat diketahui bahwa masing-masing memiliki tujuan berkaitan dengan situasi sosial politik. Kekerasan pada kedua film ini dimaknai sebagai cara dalam menjaga kehormatan. Film “Harakiri: Death of a Samurai” dan “Badik Titipan Ayah” ini memberikan pesan damai untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
This research began with films with the theme of subculture that represent violence. There are various films that represented violence, including those used in this research, “Harakiri: Death of a Samurai” and “Badik Titipan Ayah” highlight the culture of a community group, such as Japan and Bugis-Makassar. This research used Movie Analysisis and Critical Discourse Analysis methodology to analyse relation of element of violence that highlight cultural theme in film. The Analyse used concepts and theory such as Subculture, Shame Culture, Violence, Harakiri, Siri’, Masculinity, Mise en scene and cinematic, also Cultural Criminology to explained the existence of representation of culture that related to violence and shame culture in the films. By using these two cultural themed films, it can be seen that each has a goal related to the socio-political situation. The violence in these films is intended as a way to maintain honor. Films “Harakiri: Death of a Samurai” and “Badik Titipan Ayah” gave message of peace so as not to take actions that can harm oneself and others."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Aulia Adriani
"Penelitian mengenai adanya hubungan antara budaya malu dengan keberhasilan penerapan sistem kooban pada kepolisian Jepang, telah dilakukan sejak bulan Maret 2004. Tujuannya adalah untuk menganalisa, bagaimana budaya malu yang kuat dalam masyarakat Jepang menahan mereka dari bertindak melanggar hukum, dan membantu pihak kepolisian menciptakan suatu keadaan yang aman dan harmonis. Pengumpulan data-data yang mendukung untuk mencapai tujuan penulisan dilakukan melalui metode kepustakaan, dengan jalan menelusuri referensi-referensi yang terkait dengan tema permasalahan. Teori yang dipakai adalah teori Ruth Benedict tentang budaya malu, juga teori-teori dari para peneliti kepolisian Jepang, seperti Katsuei Hirasawa, Walter.L.Ames, dan David Bayley. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara budaya malu dan keberhasilan sistem kooban dalam menciptakan keadaan yang aman di Jepang. Dengan adanya budaya malu ini, masing-masing pihak, yaitu polisi dan masyarakat akan merasa malu jika bertindak menyimpang. Budaya malu menjadikan seseorang peka terhadap mata masyarakat, dan sebisa mungkin menghindari dari mendapat sanksi sosial dari masyarakatnya tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S13499
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Felicia Starryna
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan emosi malu dan bersalah antara generasi tua dan generasi muda, bagaimana gambaran emosi malu dan bersalah, dan bagaimana proses sosialisasi nilai-nilai budaya Jawa dalam mengajarkan emosi malu dan bersalah pada masyarakat suku Jawa. Pengukuran perbedaan emosi malu dan bersalah dilakukan memakai TOSCA-3, sedangkan untuk sosialisasi nilai budaya dilakukan dengan teknik wawancara. Penelitian dilakukan di provinsi D. I. Yogyakarta dan melibatkan 95 orang.
Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara emosi malu dan bersalah antar generasi pada masyarakat provinsi D. I. Yogyakarta. Walaupun tidak terdapat perbedaan, berdasarkan wawancara ditemukan bahwa sosialisasi yang sudah diberikan sejak usia TK oleh keluarga, sekolah, dan teman tersebut telah mengalami penurunan. Emosi malu yang dirasakan tidak menyebabkan diri merasa kecil dan emosi bersalah yang dirasakan tidak menimbulkan rasa ingin mengoreksi kesalahan yang dilakukan. Berdasarkan hal tersebut, disarankan agar dilakukan sosialisasi baik kepada orangtua maupun sekolah untuk tetap mengajarkan budaya Jawa kepada generasi muda.
This study was conducted to determine whether there are differences in shame and guilt intergeneration, description of shame and guilt, and how the process of socialization Javanese values in teaching shame and guilt in Javanese society. Differences of shame and guilt was measured using TOSCA-3, while for the socialization of cultural values was measured using interview. Data was collected in the D.I.Yogyakarta involves 95 participants. The results showed insignificant difference between shame and guilt intergeneration among societies D.I.Yogyakarta. Although there is no differences, based on interviews found that socialization that have been granted since kindergarten age by family, school, and friends have decreased. Shame does not caused people feeling small and guilt not caused willingness to correct the mistakes made. Based on the result, socialization for parents and schools to keep teaching Javanese culture to the younger generation is suggested."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S58924
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library