Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indri Rizkiyani
"Menurut data WHO,Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan Cina untuk jumlah terbanyak kasus TB di dunia. Pada tahun 1993, WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TB karena banyak penderita yang tidak berhasil disembuhkan sehingga pada tahun 1995 program Directlyb served Treatment Shortcourse (DOTS) diberlakukan termasuk di Indonesia dan angka kesembuhan nasional adalah 85%. Berdasarkan laporan tahunan tahun 2006 Suku Dinas Kesehatan Masyarakat Jakarta Barat, angka kesembuhan TB Paru BTA positif masih 69,1% dan di Kecamatan Palmerah baru mencapai 64,6%. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor- faktor yang berhubungan dengan kesembuhan penderita TB paru BTA positif di puskesmas wilayah Kecamatan Palmerah tahun 2006.
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari kartu pengobatan TB (TB-01) di puskesmas yang ada di Kecamatan Palmerah dengan desain studi crosssectional. Sampel penelitian berasal dari seluruh penderita TB paru BTA positif yang tercatat dalam formulir TB-01 pada tahun 2006. Analisis univariat bertujuan untuk menggambarkan distribusi frekuensi variabel dependen (kesembuhan) maupun variabel independen. Sedangkan analisis bivariat bertujuan untuk menjelaskan besarnya risiko (prevalenceratio) antara variabel independen dengan variabel dependen.
Hasilnyamenunjukkanbahwasebagianbesaradalahpenderitausiaproduktif(87,6%),penderita laki-laki (60,8%), penderitabaru (89,7%), penderita yang teratur berobat (83,5%), penderita yang taat memeriksakan dahak ulang (55,7%), penderita yang memiliki PMO (85,6%), penderita yang PMOnya berasal dari keluarga (96,4%), dan penderita yang jarak tempat tinggalnya dekat dengan puskesmas (91,8%). Sedangkan kekuatan hubungan yang paling besar untuk menentukan besarnya risiko adalah variabel keteraturan berobat (PR=9,9;CI=1,5-66,4).
Peran PMO sangat penting untuk proses kesembuhan seorang penderita TB BTA positif karena hanya TB BTA positif yang dapat menularkan penyakit tuberkulsis ke orang lain. Sehingga penyuluhan yang efektif untuk penderita maupun PMO sangat diperlukan, dan diharapkan petugas kesehatan lebih selektif dalam memilih PMO, jadi pemilihan PMO bukan hanya untuk dijadika nformalitas saja."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Al Khoiru Idrus Muhammad Fitri
"ABSTRAK
Program penanggulangan TB nasional menggunakan strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Shortcourse) telah dilaksanakan sejak tahun 1995. Secara
nasional strategi DOTS telah memberikan perubahan meskipun belum secara
komprehensif. Kondisi diatas diperparah dengan munculnya masalah baru,
diantaranya adalah kejadian TB-HIV. Tipe penderita dan ko-infeksi TB-HIV
menjadi faktor risiko terjadinya putus berobat OAT pada penderita TB Paru BTA
Positif. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan tipe penderita dan koinfeksi
TB-HIV dengan kejadian putus berobat penderita TB Paru BTA positif di
Kota Jakarta Timur.
Desain penelitian kasus kontrol, dilakukan pengamatan pada penderita TB Paru
BTA positif di Kota Jakarta Timur. Analisis multivariat dengan regresi logistic.
Hasil penelitian didapatkan hubungan yang signifikan antara ko-infeksi TB-HIV
dengan kejadian putus berobat pada penderita TB Paru BTA positif di Kota
Jakarta Timur dengan aOR 19,27 setelah dikontrol jenis kelamin dan status PMO
(p value=0,006; 95% CI: 2,36-157,21). Keberadaan infeksi HIV secara bersamaan
dengan infeksi TB semakin mengancam kelangsungan hidup sehingga diperlukan
terapi yang adekuat untuk mengendalikan virus dan membunuh kuman
mycobacterium tuberculosis. Skrining HIV pada penderita TB harus dilakukan
secara intensif untuk tata laksana pengobatan yang adekuat melalui program
kolaborasi TB-HIV sehingga penderita bisa sembuh dari infeksi TB.

ABSTRACT
A national TB control program using the DOTS strategy (Directly Observed
Treatment Shortcourse) has been implemented since 1995. Nationally, the DOTS
strategy has provided changes although not yet comprehensively. The above
conditions are exacerbated by the emergence of new problem, such as the
incidence of TB-HIV. Type of patient and TB-HIV co-infection is a risk factor to
default of anti tuberculosis drugs on positive smear pulmonary tuberculosis
patient. The purpose research is to know relation between patient type and TBHIV
co-infection default of treatment for positive smear pulmonary tuberculosis patients in East Jakarta.
The design of case control research, conducted observation on the patient of smear
positive pulmonary tuberculosis in East Jakarta. Multivariate analysis with logistic
regression.
The result of anti tuberculosis drugs of the research showed significant correlation
between TB-HIV co-infection with default with smear positive pulmonary
tuberculosis patient with aOR 19,27 after controlled sex and drug administer
superviser statue (p value = 0,006; 95% CI: 2,36-157.21). The presence of HIV
infection simultaneously with TB infection is increasingly threatening survival so
that adequate therapy is needed to control the virus and kill the bacteria
mycobacterium tuberculosis. HIV screening of tuberculosis patients should be
intensified for an adequate treatment regimen through a TB-HIV collaboration
program so that people can recover from TB infection."
2017
T48310
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reny Setiowati
"Indonesia menempati urutan kesembilan dari dua puluh tujuh negara yang memiliki beban MDR (Multi Drug Resistan) TB (Tuberkulosis) di dunia. Kegagalan konversi pada pasien TB paru merupakan salah satu penyebab terjadinya resisten OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Pasien TB paru BTA (Basil Tahan Asam) positif kategori I yang mengalami kegagalan konversi di puskesmas wilayah Kota Serang tahun 2014 sebanyak 49 pasien dari 602 pasien TB yang diobati. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kegagalan konversi pasien TB paru BTA positif kategori I dengan menggunakan studi cross sectional. Uji statistik yang digunakan adalah regresi logistik terhadap 168 orang pasien TB paru BTA positif kategori I tahun 2014.
Hasil penelitian diperoleh bahwa pasien TB paru BTA positif kategori I yang mengalami kegagalan konversi sebanyak 28%. Ada hubungan antara tingkat pendapatan, pengetahuan tentang TB, sikap pasien terhadap pengalaman terkait TB, jarak dan akses ke puskesmas, kondisi lingkungan tempat tinggal, informasi kesehatan dari petugas TB dan efek samping obat terhadap kegagalan konversi pasien TB paru BTA positif kategori I. Faktor yang paling dominan berhubungan adalah informasi kesehatan dari petugas TB (nilai p value = 0,002, OR 33,217, 95% CI 3,600-306,497). Disimpulkan bahwa peran petugas kesehatan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan pasien TB paru. Diperlukan komitmen petugas dalam menjalankan fungsi kesehatan masyarakat di antaranya meningkatkan kemampuan petugas dalam memberikan informasi kesehatan serta menjalin kerjasama dengan pasien dan keluarganya untuk terus memberikan pendampingan dan pemberian motivasi selama pengobatan sehingga mencegah terjadinya kegagalan konversi yang dapat berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan.

Indonesia ranks ninth out of twenty-seven countries which has the burden of MDR (Multi Drug Resistance) TB in the world. The failure of conversion in TB (Tuberculosis) patients was one of the contributing factor to ATD (Anti Tuberculosis Drugs) resistance. Smear positive pulmonary TB patients who have failed first category conversion in Serang City area health centers in 2014 in 49 patients out of 602 treated TB patients. The research aimed to search for factors that connect to abortive attempt in conversion of TB patient with positive lung BTA category 1 by cross sectional study. A statistic test which had been used was binominal logistic regression with TB patient with positive lung AFB (Acid-Fast Bacilli) category 1 as research subject in 2014, with sample of 168 TB patients.
The result of the examination showed that TB patients with positive lung BTA category I experienced failure as much as 28%. There were links between level of income, knowledge of TB, and patient?s respond to their experiences, distance and access to local government clinic, condition of residence, health information from TB health workers and side effects of medicine to abortive attempt in conversion of TB patient with positive lung BTA category 1 by cross sectional study. The most dominant factor of all was sanitary information from TB health workesr (p value = 0.002, OR 33.217, 95% CI 3.600-306.497). It was concluded that health workers play an important role to succeed the treatment of TB lung patients. The workers commitment are needed to perform their duty to increase health information and to bond relationship between patients and their family to provide support and motivate during the therapy, thus the failure in conversion could be prevented.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T45744
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sefti Fazila
"TB merupakan penyebab utama kematian yang kedua setelah Human Imunnodeficiency Virus (HIV). Sekitar 80 % dari kasus TB yang dilaporkan, terjadi di 22 negara pada tahun 2013. Di pasar minggu kasus TB terus meningkat secara signifikan. Pada tahun tahun 2014 terjadi 332 kasus TB paru BTA (+). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor - faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru BTA positif di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu Pada Tahun 2015, meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, status ekonomi, status gizi, kepadatan serumah dan sekamar tidur, ventilasi rumah dan kamar tidur, cahaya matahari masuk rumah dan kamar tidur, sumber penular, dan perilaku merokok.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan studi kasus kontrol, sampel penelitian adalah penderita TB Paru BTA positif berusia ≥ 15 tahun dan tercatat dalam buku register TB dari seluruh puskesmas di Kecamatan Pasar Minggu pada bulan januari - September 2015, dan tetangga terdekat dari kasus (penderita TB) yang berusia ≥ 15 tahun. Analisis data dilakukan dengan analisis univariat dan bivariat. Dari hasil analisis bivariat, variabel yang berhubungan signifikan secara statistik dengan kejadian TB adalah jenis kelamin (OR=3,07), status ekonomi (OR=5,71), status gizi (OR=23,58), dan, cahaya matahari masuk kamar (OR=5,3).

TB is the second leading cause of death after Imunnodeficiency Human Virus (HIV). Approximately 80% of TB cases were reported, occurred in 22 countries in 2013. In the Pasar Minggu of TB cases continued to rise significantly. In the year 2014 occurred 332 cases of pulmonary TB BTA (+). This study aims to identify factors related to the incidence of pulmonary TB smear positive in Puskesmas Subdistrict Pasar Minggu In 2015, included age, sex, occupation, education, economic status, nutritional status, overcrowding at home and roommates sleep, ventilation houses and bedrooms, solar light into the house and bedroom, a source of transmitting and smoking behavior.
This research was conducted with the approach of case-control studies, the study sample was patients with pulmonary TB smear-positive individuals aged ≥ 15 years and recorded in the register of TB from all health centers in the district Pasar Minggu in January ? September 2015, and the nearest neighbor of cases (TB) which aged ≥ 15 years. Data was analyzed using univariate and bivariate analyzes. From the results of the bivariate analysis, the variables associated with a statistically significant incidence of TB is gender (OR = 3.07), economic status (OR = 5.71), nutritional status (OR = 23.58), and, incoming sunlight room (OR = 5.3).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
S61887
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kasturi Ramadhani
"Tuberkulosis TB masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia yang terjadi akibat banyaknya kasus TB yang tidak terdeteksi melalui diagnosis. TB dapat di diagnosis melalui adanya tanda dan gejala, pemeriksaan apusan basil tahan asam BTA dan kultur sputum. Apusan BTA merupakan pemeriksaan yang murah dan sederhana namun sensitivitas dan spesifisitas belum diketahui pada Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI-RSCM. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas pewarnaan BTA terhadap kultur LJ. Sebanyak 188 sampel sputum didapatkan dari Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI-RSCM periode Januari ndash; Juni 2015 dan telah memenuhi kriteria inklusi. Penelitian ini menggunakan studi uji diagnosis dan data dianalisis secara komparatif kategorik berpasangan dengan uji McNemar. Dari 188 sampel, didapatkan hasil positif basil tahan asam scanty, 1, 2, 3 dan kultur LJ berturut-turut adalah 13 sampel 6,9 dan 18 sampel 9,6. Dari tabel 2x2 didapatkan sensitivitas dan spesifisitas pewarnaan BTA terhadap kultur LJ adalah 72,2 dan 100. Sedangkan nilai duga positif dan nilai duga negatif adalah 100 dan 97,14.

Tuberculosis TB remains one of the major health problems in Indonesia due to the high number of suspected TB was not detected through diagnosis. TB can be diagnosed by its symptoms, acid fast bacilli AFB smear and by cultivation of sputum. AFB smear microscopy is cheap and simple but its sensitivity and specificity not known in Clinical Microbiology Laboratory FMUI RSCM. The aim of this study was to determine sensitivity and specificity of AFB smear against LJ. There were 188 sputum samples people with suspected TB obtained from Clinical Microbiology Laboratory FMUI RSCM from Januari to Juni 2015 that eligible for inclusion. This study used diagnostic test study and the data was analyzed using McNemar test. Out of 188 sputum samples, positive result for AFB smear and culture LJ were 13 samples 6,9 and 18 samples 9,6 respectively. Based on table 2 x 2, the sensitivity, specificity, positive predictive value and negative predictive value of LJ against AFB smear were 72 100 100 and 97,14 respectively.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eren Bramasta Mulyono
"Word of mouth (WOM) sebagai sebuah komunikasi informal dapat dimanfaatkan sebagai sarana perekrutan pekerja di sebuah organisasi ataupun perusahaan. BTA 45 adalah sebuah lembaga yang bergerak di bimbingan belajar nonformal telah menerapkan WOM sebagai sarana perekrutan pegawainya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sejauh mana efektivitas serta kelebihan dan kekurangan WOM sebagai sarana perekrutan pegawai di BTA 45. Penelitian ini menggunakan metode analisis studi literatur, survei, dan wawancara. Hasil analisis penelitian menunjukan bahwa sarana perekrutan WOM di BTA 45 memiliki kelebihan, seperti sedikitnya biaya yang dikeluarkan, mendapatkan calon pelamar sesuai kualifikasi, dan memenuhi kuota pelamar yang diinginkan dalam jangka waktu yang sudah ditentukan. Adapun kekurangannya seperti kontrol yang terbatas pada informasi yang beredar di masyarakat dan jangkauan penyebaran informasi yang sempit. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan pertimbangan lembaga atau organisasi lainnya dalam menggunakan WOM sebagai salah satu sarana rekrutmen berdasarkan efektifitas yang telah dikaji pada penelitian ini.

Word of mouth (WOM) as an informal communication can be used as a recruitment tool in organization or company. BTA 45 is an institution engaged in non-formal tutoring that has implemented WOM as a recruitment tool. This study aims to analyze the extent to which effectiveness, strengths and weaknesses of WOM as a recruitment tool for employees in BTA 45. The methods of this study is literature review studies, surveys, and interviews. The results show that WOM as a recruitment tool in BTA 45 has advantages, such as the small amount of costs incurred, getting prospective applicants according to qualifications, and fulfilling the number of hire align with time to hire. The drawbacks are limited control of information circulating in the community and the narrow range of information dissemination. This research is expected to be input and consideration of other institutions or organizations in using WOM as a recruitment tool based on the effectiveness which has been reviewed in this study."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Syahrizal
"Penyakit Tuberkulosis Para sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia maupun banyak negara lain di dunia. Salah satu upaya untuk menanggulangi penyakit ini dengan menerapkan program DOTS (Directly Observed Treatment Shortcouse) di seluruh dunia. WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahun ada 583.000 kasus baru dengan kematian 140.000 orang setiap tahunnya. Hasil SKRT tahun 1995 menunjukkan penyakit Tuberkulosis Paru penyebab kematian nomor 3 (tiga) setelah penyakit Kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan. Indonesia mulai mengadopsi program DOTS tahun 1995 dan Propinsi Sumatera Selatan pada tahun itu juga melaksanakan strategi program DOTS. Evaluasi dari laporan Kabupaten / Kota tahun 2002 didapat angka kesembuhan 75, 45 % dan cakupan penemuan penderita 29, 45 %. RS. Khusus Paru merupakan rumah sakit rujukan dari semua Puskesmas yang ada di Propinsi Sumatera Selatan dalam bidang penyakit Paru dan gangguan pernafasan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepatuhan berobat, mengetahui ada tidaknya hubungan faktor predisposisi, faktor pemungkin, faktor penguat dengan kepatuhan berobat dan mengetahui faktor yang paling dominan dengan kepatuhan berobat. Penderita Tuberkulosis Paru BTA Positif dalam menelan obat di Rumah Sakit Khusus Paru - Paru Propinsi Sumatera Selatan Tahun 2002.
Desain penelitian adalah potong lintang dengan jumlah sampel 90 responden, metode sampel secara purposif. Kriteria sampel penelitian adalah penderita TBC Paru BTA Positif kategori 1 dan 2 yang telah menelan ohat dan berumur lebih dari 14 tahun, terdaftar dari tanggal 1 Januari sampai 31 Desember 2002 di Poliklinik Rumah Sakit Khusus Paru - Paru Propinsi Sumatera Selatan.
Dari variabel kepatuhan di dapat: yang patuh (63,3 %) yang tidak patuh (36,7 %), umur muda (58,9 %), laki - laki (75,6 %), bekerja (77,8 %), pendidikan rendah (58,9 %) , pengetahuan kurang baik (65, 6 %), jumlah anggota keluarga besar (62,2 %), jarak dekat (90 %), transportasi mudah (94,4 %), ketersediaan obat banyak (91, 1 %), pengawas menelan obat ada (91, 1 %), pelayanan petugas baik (70 %), penyuluhan petugas ada (97,8 %). Pada basil bivariat dari tiga betas variabel independen ternyata hanya enam variabel independen yang dianggap potensial sebagai faktor resiko (p < 0,25) / variabel pendidikan / pengetahuan / pekerjaan / ketersediaan obat / pelayanan petugas / pengawas menelan obat. Hasil analisis multivariat dengan metode regresi logistik dari enam variabel independen diambil sebagai model, ternyata hanya satu variabel yang mempunyai hubungan bermakna paling kuat (p < 0,05), yaitu pengawas menelan obat (PMO) P value (Sig) = 0,039, OR = 6,00 (1,09 - 32,87).
Kesimpulan yang di dapat adalah bahwa variabel independen yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tuberkulosis Paru BTA Positif di Rumah Sakit Khusus Paru - Pam Propinsi Sumatera Selatan Tahun 2002 adalah tingkat kepatuhan sebesar 63,3 % dan variabel pengetahuan dan PMO yang bermakna secara statistik (p < 0,05) dengan kepatuhan berobat penderita TBC Pam BTA Positif dan yang paling dominan terhadap variabel dependen adalah variabel Pengawas Menelan Obat.
Selanjutnya disarankan bahwa variabel PMO sangat besar pengaruhnya dalam kepatuhan berobat teratur maka penderita harus didampingi PMO agar pengobatannya berjalan baik dan tidak terputus. Rumah Sakit juga memantau penderita yang lalai dalam pengobatan sehingga mengakibatkan pasien drop out, maka dilaksanakan kegiatan rumah sakit di luar gedung yang bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota / Kabupaten sehingga terbentuk jejaring antara Rumah Sakit dan Dinas Kesehatan Kota I Kabupaten di Propinsi Sumatera Selatan.
Dinas Kesehatan Propinsi / Kota / Kabupaten tetap menyediakan obat anti Tuberkulosis kategori I dan 2 dan 3.

Up to now, TB is still considered as health problem in Indonesia, as well as in other countries around the world. One effort to combat this disease is by applying the DOTS (Directly Observed Treatment Short course) program. WHO had estimated that in Indonesia, there was 583000 new cases of TB with mortality of 140000 persons per year. The SKRT (1995) showed that TB was ranked third as cause of death after cardiovascular and respiratory tract diseases, and ranked first among other infectious diseases. Indonesia started to adopt DOTS in 1995, and in the same year South Sumatera Province had also adopted DOTS strategy. Evaluation reports from District/Township in 2002 showed 75.45% of treated cases and 29.45% of discovery coverage.
This study was aimed to understand the level of compliance, and to investigate the relationship between predisposing factors, enabling factors, and reinforcing factors with compliance, as well as to know which was the most dominant factor related to the compliance among BTA positive TB patients in South Sumatera Lung Hospital in the year 2002.
Design of the study was cross sectional with 90 respondents chosen purposively. Inclusion criteria was category 1, 2 BTA positive TB patient who had taken medication and aged more than 1 4 years old, registered in between 1 January to 31 December 2002 in South Sumatera Lung Hospital.
Univariate analysis among the 90 respondents, showed that there were 63.3% good compliance, 36.7% poor compliance, 58.9% young patients, 75.6% male, 77.8% working, 58.9% low educated, 65.6% poor knowledge, 62.2% big family size, 90% close distance, 94.4% easy transportation, 91.1% drugs available, 91.1% monitor person available, 70.0% good service from health personnel, and 97.8% with extension from health personnel. Bivariate analysis showed that there were 6 out of 13 independent variables that had statistically significant relationship (p < 0.25) with compliance, i.e. education, knowledge, working status, drug availability, health personnel service, and monitor person. Multivariate analysis using logistic regression method showed that the there were two factors with p<0.05, i.e. knowledge and the existence of monitor person, the most dominant factor was the existence of monitor person, with p0.039 and OR =6.00 (1.09 -- 32.87).
It is suggested that the existence of monitor person should be maintained and intensive extension and education should be targeted to cadre, family member, PKK at all level, and health personnel in a continuous way and to improve the skill of TB program organizer and management in South Sumatera Lung Hospital. To improve the knowledge of patient and his family, guidelines and leaflet should be distributed. To reduce poor compliance rate, it is suggested to plan out building activity in collaboration with Health Office in township/district level as to ensure the availability of Category 1, 2,and 3 TB drugs."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T13191
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kosim Syarief
"History Of The Disease And Patient Therapies Of The Disease In Relation With Incidence Of Lung Tuberculosis (Sputum Smear Positive) In Jakarta 1993-1994Lung Tuberculosis disease the still the problem of public health in Indonesia, the data from household health survey 1986 showed that lung Tuberculosis is the third cause of mortality in Indonesia in 1983 and the second in 1992. Lung Tuberculosis incidence reached with HIV and AIDS' Pandemi, Lung Tuberculosis prevalence in Jakarta is about 0.0026 of people 1990, and 0.00283 in 1993.
The research is designed as "case control" and aims to learn the relationship between independent variable which are history at the disease and the patient therapies of the disease, incidence of lung Tuberculosis BTA (+) (sputum smear positive) as dependent variable, All patients with lung Tuberculosis BTA (+) as the case for this research 88 cases and the control are 176 patients with the same symptoms but the sputum is BTA (-). The control was taken by random sampling from lung Tuberculosis survey prevalence in Jakarta at 1993-1994. The preparation of data used Epi Info Versi on 6.0 and MULTLR Program.
The result of bivariate analysis 'shows that the independent variable which have significant relationship with incidence of Lung Tuberculosis ETA (+) which are cough with blood (OR 2.11 ; 95% CI=1.05-4.23, P=0.002), cough with sputum (OR 2.30 ; 95% CI=1.26-4.22, P=0.003) and chest pain (OR 2.93 ; 95% CI=1.08-8.01, P=0.016). The result multivariate analysis shows that cough with sputum and chest pain have a highest correlation with incidence of lung Tuberculosis BTA (+).
A conclusion can be taken that cough with sputum patients has a risk to get lung Tuberculosis BTA (+) 2.3 times more than the patient with cough without sputum, cough with blood patient has a risk to get lung Tuberculosis BTA (+) 2.11 times more than the patient with cough without blood and patient with chest pain, has a risk to get a lung Tuberculosis BTA (+) 2.9 times more than patient without chest pain.

Penyakit TB paru masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, menurut SKRT 1986 TB pare penyebab kematian ke 3, SKRT 1992 TB paru penyebab kematian ke 2 dan pada penyakit infeksi pertama. Insiden TB paru meningkat dengan adanya pandemi HIV dan AIDS, di DKI Jakarta tahun 1980 angka prevalensi TB paru 0,0026 penduduk, tahun 1993 angka prevalensi TB paru untuk semua golongan umur 0,00283 per seribu penduduk.
Jenis penelitian ini adalah kasus kontrol yang mempelajari hubungan antara riwayat penyakit dan riwayat pengobatan penderita terhadap kejadian TB paru BTA (+). Penelitian ini memanfaatkan data sekunder survei prevalen TB paru DKX Jakarta tahun 1993-1994, kasus pada penelitian ini adalah semua penderita TB paru BTA (+) sebanyak 88 orang dan kontrol sebanyak 176 orang, diambil berdasarkan adanya gejala yang sama tetapi pemeriksaan sputumnya BTA (-), diambil secara random sampling dari sampel survei prevalen TB paru DKI Jakarta tahun 1993-1994.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa varibel bebas yang berhubungan secara bermakna dengan kejadian TB paru ETA (+) adalah Batuk berdarah dengan Odds ratio sebesar 2.11 (95%. CI=1,05-4,23 P=0,002), Batuk berdahak Odds ratio sebesar 2,93 (95% CI=1.08-8,01; P=0,016), Sakit dada dengan Odds ratio 2,93 (95% CI=1,08-8,O1; P=4,016), berdasarkan analisis regresi logistik multivariat variabel yang mempunyai pengaruh terbesar terhadap kejadian TB paru BTA (+) adalah batuk berdahak dan sakit dada.
Kesimpulan Penelitian ini Penderita dengan batuk berdahak mempunyai risiko 2,3 kali dibandingkan penderita batuk tidak berdahak untuk kemungkinan TB paru BTA (+), penderita dengan batuk berdarah mempunyai risiko 2,11 kali dibandingkan yang tidak batuk berdarah untuk kemungkinan TB paru BTA (+), penderita dengan sakit dada mempunyai risiko 2,9 kali dibandingkan penderita tanpa sakit dada untuk kemungkinan TB paru BTA (+).;Penyakit TB paru masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, menurut SKRT 1986 TB pare penyebab kematian ke 3, SKRT 1992 TB paru penyebab kematian ke 2 dan pada penyakit infeksi pertama. Insiden TB paru meningkat dengan adanya pandemi HIV dan AIDS, di DKI Jakarta tahun 1980 angka prevalensi TB paru 0,0026 penduduk, tahun 1993 angka prevalensi TB paru untuk semua golongan umur 0,00283 per seribu penduduk."
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Panduasa
"Konversi pada pengobatan penderita TB paru merupakan tanda keberhasilan pengobatan dan pencegahan penyebaran kuman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh merokok terhadap kegagalan konversi penderita TB Paru.
Penelitian ini menggunakan disain kasus kontrol. Kasus adalah penderita yang mengalami kegagalan konversi Sedangkan kontrol adalah penderita yang mengalami konversi. Hasil akhir didapatkan penderita dengan riwayat merokok sebelum pengobatan mendapatkan rasio odds 4,92 kali (CI95% 1,6-14,51) terjadi kegagalan konversi dan penderita yang merokok pada saat pengobatan tuberkulosis mendapatkan rasio odds 13,77 kali (CI 95% 4,6-41,01) terjadi kegagalan konversi setelah dikontrol umur, keteraturan berobat, penyakit diabetes melitus. Maka penderita tuberkulosis perlu berhenti merokok selama pengobatan.

Conversions is a sign of the success of the treatment and prevention of the spread of germs. This study aimed to determine the effect of smoking on conversion failure patients with pulmonary TB. This study used a case-control design. Cases were patients who experienced failure of conversion while controls were patients who experienced conversion. The final results obtained patients with a history of smoking prior to treatment to get an odds ratio of 4.92 times (CI95% 1.67 to 14.51) conversion failure and patients who smoked at the time of treatment for tuberculosis getting odds ratio 13.77 times (95% CI 4 0.62 to 41, 01) conversion failure after controlling age, regularity of treatment, disease diabetes mellitus. So tuberculosis patients have to stop smoking during tuberculosis treatment."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naibaho, Murni L
"ABSTRAK
TB Paru masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia termasuk di
Indonesia sebagai satu negara dengan prevalensi TB paru yang tinggi. Menurut WHO (2013) dalam Global Report 2013 bahwa prevalensi tuberculosis di Indonesia diperkirakan sebesar 297 kasus per 100.000 penduduk. Sumber penular serumah, faktor lingkungan fisik rumah (pencahayaan, ventilasi, kelembaban, kepadatan penghuni) dan faktor karakteristik individu berpengaruh terhadap kejadian TB Paru. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara keberadaan sumber penular serumah dengan kejadian TB Paru BTA (+) di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Palmerah tahun 2013. Penelitian ini menggunakan disain studi kasus kontrol dengan sampel untuk kasus adalah orang dengan hasil pemeriksaan sputum BTA (+) dan kontrol
orang dengan hasil pemeriksaan sputum BTA (-) berusia ≥15 tahun dan bertempat tinggal di wilayah kerja Kecamatan Palmerah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan kejadian TB Paru yaitu keberadaan sumber penular serumah OR=4,38
(95% CI:2,19-8,74), status gizi OR = 5,250 (95% CI: 2,376-10,074), faktor lingkungan fisik rumah berupa pencahayaan alami rumah OR = 4,151 (95% CI: 2,049?8,412), ventilasi rumah OR = 2,8 (95% CI: 1,366?5,569), kelembaban dalam rumah OR = 8,088 (95% CI: 4,146-15,77), dan kepadatan hunian dalam rumah OR = 2,034 (95% CI = 1,080?3,830). Berdasarkan model akhir hasil analisis multivariate diperoleh hasil bahwa seseorang yang di dalam rumahnya terdapat sumber penular berisiko 1,85 kali lebih tinggi untuk mengalami TB Paru BTA (+) dibandingkan dengan seseorang yang di dalam rumahnya tidak terdapat sumber penular setelah dikendalikan oleh faktor status gizi dan kelembaban dalam rumah.

ABSTRACT
Lung TB still becomes a main health problem in the world, including in
Indonesia, as one of countries with a high prevalence of Lung TB. According to WHO (2013) in Global Report 2013, the tuberculosis prevalence in Indonesia is estimated around 297 cases per 100.000 people. The same living-house transmitter, the factor of physical environment of house (lighting, ventilation, moisture, and occupancy) and factors of individual characteristics affect an incident of Lung TB. The purpose of this research is to analysis the correlation between the
existence of same living-house transmitter with the incident of Lung TB BTA (+) in Public Health Centre in Palmerah year of 2013. This research uses a study design of case-control with sample, for case are people with the result of sputum BTA (+) check and control, people with the result of sputum BTA (-) whose age is ≥ 15 years old and live in Palmerah. The result of this study shows that the variables which are related with the incident of Lung TB is the existence of same living house transmitter OR=4.38 (95% CI;2, 19-8, 74), nutrition status OR = 5,250 (95% CI: 2,376-10,074), factor of physical environment of a house, such as natural lighting OR = 4,151 (95% CI: 2,049-8,412), house ventilation OR=2,759 (95% CI: 1366-5569), moist in house OR
= 8,088 (95% CI:4,146-15,77), and the house occupancy OR = 2,034 (95% CI=1,080-3830). Based on the model from the result in multivariate analysis, it can be concluded that a person whose house contains a transmitter risks 1,85 times higher than someone whose house does not contain a transmitter who has a Lung TB, after being controlled by factors of nutrition status and moist in house."
2014
T-Pdf-
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>