Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rusli Muljono
Abstrak :
ABSTRAK
Salah satu cara untuk mengekstraksi DNA Brugia malayi adalah menggunakan kit yang lebih sederhana dan lebih cepat dibandingkan dengan teknik ekstraksi fenol,

Pada 15 ekor cacing dewasa B.malayi hasil pembiakan dalam gerbil dilakukan ekstraksi DNA dengan menggunakan kit dan metode ekstraksi fenol yang lebih rumit. Pada teknik ekstraksi dengan kit ternyata tidak diperoleh DNA, sedangkan pada ekstraksi fenol diperoleh DNA sejumlah 100 µg/ml yang terlihat sebagai pita 322 bp pada elektroforesis.

Disimpulkan bahwa teknik ekstraksi fenol lebih bailk hasilnya dibandingkan dengan kit karena pemakaian fenol yang lebih sering sehingga lebih banyak DNA yang dapat terekstraksi.
ABSTRACT
Comparison Of DNA Extraction Result from Brugia malayi by using Kit and by using Phenol Extraction Method

One of several ways to extract the Brugia malayi DNA is to use a kit which is more simple and take a shorter time compared to the phenol extraction technique.

DNA extraction by using kit and by using phenol extraction method were done on 15 adult worms of B. malayi which had been cultured in gerbil.

No DNA was extracted by using the kit; whereas 100 µg/ml DNA was obtained by using phenol extraction method. The DNA was seen as a 322 bp band on electrophoresis.

It was concluded that the phenol extraction method result was superior to the result of extraction by using kit, because by using phenol more frequently more DNA would be extracted.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Roro Upiek Ngesti Wibawaning Astuti
Abstrak :
Ruang lingkup dan cara penelitian. Pemeriksaan larva B. malayi pada nyamuk secara konvensional (mikroskopis) banyak terdapat hambatan, antara lain nyamuk yang ditangkap harus langsung dibedah, memerlukan waktu yang lama, dan tidak spesifik karena larva dalam nyamuk sukar diidentifikasi terutama bila kepadatan larva dalam nyamuk rendah. Mengingat adanya kendala tersebut dikembangkan cara pemeriksaan nyamuk yang lebih cepat dan mudah yaitu melalui pendekatan biologi molekuler dengan Polymerase-chain reaction (PCR). Cara. PCR ini belum digunakan di lapangan sebagaimana cara mikroskopis. Berdasarkan hal diatas timbul pertanyaan apakah cara PCR dapat mendeteksi larva pada nyamuk dari lapangan. Penilaian angka prevalensi dan densitas mikrofilaria pada penduduk dilakukan berdasarkan pemeriksaan darah tebal (20ml). Proporsi infeksi pada nyamuk dihitung berdasarkan pemeriksaan sebagian sampel nyamuk langsung di lapangan dan cara PCR dilakukan di laboratorium terhadap sebagian sampel nyamuk yang disimpan dalam tabung yang mengandung silika. Hasil dan Kesimpulan Hasil pemeriksaan mikrofilaria B. malayi darah-malam penduduk menunjukkan prevalensi 18,3% untuk Desa Rogo dan 5,8% untuk Desa Mahoni. Hasil pemeriksaan nyamuk dengan cara mikroskopis di Desa Rogo adalah 2,6% dan Desa Mahoni adalah 1,1%. Pada pemeriksaan nyamuk secara PCR di Desa Rogo adalah 11,2% dan Desa Mahoni 3,2% positif mengandung DNA larva B. malayi. Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan sangat bermakna (X2 = 22,24; P-values=0,001) antara Desa Rogo dan Desa Mahoni untuk pemeriksaan darah-malam penduduk, dengan densitas rata-rata 15,89 untuk Desa Rogo, sedang Desa Mahoni densitas rata-ratanya adalah 6,17. Hasil pemeriksaan nyamuk secara mikroskopis antara kedua Desa tidak menunjukkan perbedaan bermakna, namun pada pemeriksaan nyamuk secara PCR menunjukkan perbedaan bermakna (X2 = 4,74; P-values= 0,029). Perbedaan bermakna ditunjukkan antara cara mikroskopis dan cara PCR (X2 = 6,35; P-values-0,01), dan cara PCR memberikan nilai proporsi positif lebih tinggi yaitu 7,62% sedang cara mikroskopis adalah 1,90%, sehingga cara PCR dapat mendeteksi larva di dalam nyamuk lebih baik dari cara mikroskopis.
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taniawati Supali
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian respon imun terhadap larva stadium empat (L4) jarang dilakukan. Hal ini disebabkan sulitnya mendapatkan materi larva stadium empat yang cukup untuk pembuatan antigen.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan larva stadium empat (L4) pada kultur in vitro dengan menggunakan candle jar sebagai pengganti inkubator C02.

Larva infektif (larva stadium tiga) Brugia malayi berhasil dikultur in vitro menjadi larva stadium empat dalam medium NCTC 135 dan lstove's modified Dulbeccos yang diperkaya dengan 10% serum manusia selama 3 minggu. Larva infektif dikultur dalam candle jar dan diinkubasi pada suhu 37C.

Pada kultur in vitro dengan candle jar 52,99% larva infektif menjadi larva stadium empat; sedangkan dengan Cara in vivo pada mongolian jird hanya 10,8% dan larva infektif menjadi larva stadium empat dan perbedaan ini adalah bermakna ( Uji t, p < 0,001).
ABSTRACT
Immunological studies against the fourth stage larvae (L,4) are still scarce because it is difficult to collect enough L4 material produced in vivo for antigen.

The aim of this study is to produce the fourth stage larvae (L4) of B. malayi by using in vitro culture in candle jar.

Third stage larvae of Brugia Malayi has been successfully molted into fourth stage larvae in an in vitro culture medium composed of NCTC 135 and Iscove's modified Dulbecco's supplemented with 10% human serum for 3 weeks. The in vitro culture was done in a candle jar and incubated at 37C.

Of the infective larvae 52.99 % transformed into fourth stage larvae in an in vitro culture by mean of candle jar whereas only 10.8% of the infective larvae transformed into fourth stage larvae in in vivo using mongolian jird and this result differed significantly (t test, p < 0.001).
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Lilly Haslinda
Abstrak :
Ruang Lingkup dan Cara penelitian : Bakteri Wolbachia merupakan bakteri intraseluler yang ditemukan didalam cacing filaria. Sebagai endosimbion, wolbachia berperan dalam patogenesis dan efek samping yang timbul setelah pengobatan anti-filaria. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manfaat pemberian antibiotik, doksisiklin, terhadap penurunan densitas mikrofilaria Brugia malayi dan efek samping pengobatan DEC. Penelitian ini merupakan suatu uji klinis, sebanyak 161 penderita mikroflaremia Brugia malayi dari daerah endemis filaria di Sulawesi Tengah dan Gorontalo ikut dalam pengobatan. Pasien dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok ( 1 ) 100mg doksisiklinlhari selama 6 minggu dilanjutkan dengan dosis tunggal placebo DEC-Albendazol setelah 4 bulan pengobatan doksisiklin, (2 ) 100mg doksisiklin/hari selama 6 minggu dilanjutkan dengan 6mglicgBB DEC ditambah 400 mg albendazole setelah 4 bulan pengobatan doksisiklin, dan ( 3 ) 100mg placebo doksisiklinlhari selama 6 minggu dilanjutkan dengan 6mg/kgBB DEC ditambah 400 mg albendazol setelah 4 bulan pengobatan doksisiklin. Darah diambil dari semua pasien sebelum dan sesudah pengobatan sampai satu tahun untuk pemeriksaan parasitologis mengetahui densitas mikrofilaria, pemeriksaan biologi molekuler untuk wolbachia dan pemeriksaan serologi dalam hubungannya dengan efek samping. Hasil: Satu tahun setelah pengobatan densitas mikrofilaria pada ketiga kelompok menurun pada kelompok doksisiklin+pl DEC-albendazol 98%, kelompok kombinasi doksisiklin+DEC-albendazol 99% dan kelompok DEC-albendazol 94%. Perbandingan angka kesembuhan (amikrofilaremi) pada masing-masing kelompok sebagai berikut: 78% (doksisiklin+pI DEC-Albendazol), 91% (doksisiklin+DEC-Albendazol), dan 23% (DEC-Albendazol). Pasien mengalami efek samping setelah pengobatan lebih banyak pada kelompok DEC albendazol dibanding kelompok yang mendapat pengobatan doksisiklin (p=0.000). Kesimpulan: Doksisiklin memiliki kemampuan yang baik dalam menurunkan mikrofilaria dan efek samping dalam pengobatan DEC-abendazol pada penderita mikrofilaremi Brugia malayi.
Walbachia bacteria are intracellular bacteria Found in filarial worms. As endosyrnbiont bacteria, Wolbachia contribute to pathogenesis and adverse reactions to antifilarial treatment. The aim of the study was to determine the efficacy of the antibiotic, doxycycline, to reduce the microfilarial density as well as the adverse reactions to DEC treatment. This study is a double blind clinical trial. A total of 161 microfilaremic B. Inalayi patients living in Central Sulawesi and Gorontalo provinces participated in the study, Those patients were divided into 3 treatment groups: (1) 100 mg doxycycline/day for 6 weeks followed by a single dose of placebo DEC-Albendazole after 4 months post doxycycline treatment, ( 2 ) 100 mg doxycyclinelday for 6 weeks followed by a single dose of DEC 6mg/kg BW-albendazole 400 mg after 4 months post doxycycline treatment, and ( 3 ) placebo doxycycline/day for 6 weeks followed by a single dose of DEC 6mg/kg BW-albendazole 400mg after 4 months post doxycycline treatment. The blood samples were taken from all patients before and after treatment until 1 year. The samples were tested for the presence of mf, Walbachia DNA and IL6 in relation to adverse reactions of DEC treatment. The result showed that the mf density decreased in all treatment groups after one year post treatment (98% in doxycyclinepl.DEC-albendazole group, 99% in doxycycline-DEC-albendazole group, and 94% in doxycyline-pl.DEC-albendazole) compared to pre treatment. The percentage of cure rate (amicrofilaremic) was higher in the doxycycline treatment groups (78% in doxycyclinepl.DEC-albendazole group, 91% in doxycycline-DEC-albendazole group) compared to the DEC alone (23% in pl. doxycycline-DEC-albendazole). The number of patients experiencing the adverse reactions after DEC treatment was higher in the DEC-albendazole group compared to the doxycycline group (p=0.000). In this study, doxycycline was proved to have a good efficacy in reducing mf density as well as adverse reactions to DEC treatment in microfilaremic Brugia malayi patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mikhael Yosia
Abstrak :
Jakarta Selatan bukan merupakan daerah endemis filariasis namun pada tahun 2013 ditemukan delapan kasus baru filariasis sehingga perlu dilakukan pencegahan agar penyakit tersebut tidak meluas. Agar dapat melakukan pencegahan filariasis dengan baik, petugas puskesmas perlu penyuluhan mengenai filariasis. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas penyuluhan kesehatan mengenai manifestasi klinis filariasis pada petugas puskesmas di Jakarta Selatan. Desain penelitian adalah pre-post study dengan pengambilan data pada 26 Juni 2013 di Kantor Walikota Jakarta Selatan. Semua petugas puskesmas yang hadir dijadikan subyek penelitian dan diminta mengisi kuesioner berisi enam pertanyaan mengenai manifestasi klinis filariasis sebelum dan sesudah penyuluhan. Data diproses dengan SPSS versi 20 dan diuji dengan marginal homogeneity. Terdapat 54 subyek, 24 (50%) laki-laki dan 24 (50%) perempuan. Pada pre-test, jumlah subyek dengan pengetahuan kurang 47 (87%), sedang 6 (11%) dan cukup 1 (1,9%). Setelah post-test, subyek dengan pengetahuan kurang 17 (31,5%), sedang 24 (44,4%) dan cukup 13 (24,1%). Ada perbedaan bermakna pada tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah penyuluhan (p<0.001). Disimpulkan penyuluhan efektif dalam meningkatkan pengetahuan petugas puskesmas mengenai manifestasi klinis filariasis. ......South Jakarta is not a filarias endemic area, however in 2013 there were eight new cases of filarisis being founded. In order for health care personnel to conduct prevention effectively, an education about filariasis needs to be given. The main purpose of this research was to find the effectiveness of health education in increasing the level of knowledge on filariasis clinical manifestations among primary health care workers in South Jakarta. The design of this research was pre-post study with data collection held on 26 June 2013. All attending health personnel during that day were taken as participants. Data collection is conducted via questionnaire with six questions regarding filarial clinical manifestations that wre given before and after health education. The data was then analyzed using SPSS version 20 for Macintosh and tested with marginal homogeneity. The result showed 54 participants, 24 (50%) male and 24 (50%) female. During the pre-test, there were 47 (87%) participants with poor knowledge, 6 (11%) with moderate knowledge and 1 (1.9%) with good knowledge. In post-test, there were 17 (31.5%) participants with poor knowledge, 24 (44%) with moderate knowledge and 13 (24.1%) with good knowledge. Marginal homogeneity test showed that there are significant difference in pre-test and post test. It can be concluded that health education is an effective ways to increase knowledge on filariasis clinical manifestations.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rikeish R. Muralitharan
Abstrak :
Delapan kasus baru filariasis kronis telah ditemukan di Jakarta Selatan yang bukan merupakan daerah endemis. Untuk memotong rantai penularan, pemberian obat Diethylcarbamazine (DEC) dan albendazole tiap tahun selama lima tahun harus dilakukan. Oleh karena itu , pekerja kesehatan primer di Jakarta Selatan membutuhkan penyuluhan kesehatan untuk melakukan pencegahan filariasis dengan benar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penyuluhan kesehatan mengenai program minum obat massal pencegahan (POMP) filariasis pada petugas kesehatan primer di Jakarta Selatan. Desain penelitian ini adalah eksperimental dengan metode pre -post studi. Pengumpulan data dilakukan di Jakarta Selatan pada 26 Juni 2013 dengan meminta semua pekerja perawatan kesehatan primer yang hadir untuk mengisi pre- dan post-tes kuesioner (n = 54). Kuesioner terdiri dari delapan pertanyaan mengenai POMP filariasis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum penyuluhan kesehatan, 83,3 % dari peserta memiliki pengetahuan yang buruk, 14,8 % memiliki pengetahuan rata-rata dan 1,9 % dari peserta memiliki pengetahuan yang baik mengenai POMP filariasis. Setelah penyuluhan kesehatan, 64,8 % dari peserta memiliki pengetahuan yang baik mengenai POMP filariasis, 27,8 % memiliki pengetahuan rata-rata dan hanya 7,4 % dari peserta memiliki pengetahuan yang kurang mengenai POMP filariasis (tes homogenitas marginal pre dan post tes < 0.001* ). Oleh karena itu, disimpulkan bahwa penyuluhan kesehatan efektif dalam meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan primer mengenai POMP filariasis. ......Eight new cases of chronic filariasis have been discovered in South Jakarta, a nonedemic area. To cut the chain of transmission, administration of diethylcarbamazine (DEC) and albendazole yearly for five years should be performed 1 . Therefore, primary health care workers in South Jakarta require health education to perform filariasis prevention correctly. This research aimed to study the effectiveness of health education on filariasis mass drug administration (MDA) among primary health care workers in South Jakarta. This study used experimental design with pre-post study method. Data collection was done in South Jakarta on the 26th of June 2013 by asking all the attending primary health care workers to fill pre- and post-test questionnaires (n=54). The questionnaire comprised of eight questions regarding filariasis MDA. The results showed that before health education, 83.3% of participants had poor knowledge, 14.8% had average knowledge and 1.9% of participants had good knowledge on filariasis MDA. Following health education, 64.8% of participants had good knowledge on filariasis, 27.8% had average knowledge and only 7.4% of participants had poor knowledge on filariasis MDA (marginal homogeneity of pre and post tests <0.001*). Hence, it was concluded that health education is effective in increasing the knowledge of primary health care workers on filariasis MDA.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taniawati Supali
Abstrak :
Penentuan adanya parasit B. malayi dalam darah dengan cara konvensional menggunakan membran filtrasi banyak mengalami kendala. Penyebabnya antara lain karena keengganan penduduk diambil darahnya waktu malam hari saat istirahat. Pengambilan darah waktu malam hari harus dilakukan sesuai periodisitas mikrofilaria, agar mikrofilaria yang berada dalam sistim peredaran darah tepi dapat terdeteksi. Di samping itu kemampuan diagnostik cara konvensional berhubungan dengan tinggi rendahnya densitas mikrofilaria dalam darah, namun cara ini tidak dapat mendeteksi cacing dewasa. Dengan berkembangnya teknologi deoxyribonucleic acid (DNA), teknik polymerase chain reaction (PCR) dapat digunakan untuk mendeteksi adanya DNA B. malayi (dalam darah) dengan menggunakan sampel darah malam hari. Pada pelaksanaannya teknik tersebut juga terdapat kendala karena harus menggunakan sampel darah yang diambil malam hari. Penelitian ini bertujuan mengetahui apakah metode PCR dapat dilakukan untuk mendeteksi DNA parasit B. malayi menggunakan darah slang. Penelitian dilakukan terhadap 141 sampel darah penduduk Desa Rogo dan Desa Mahoni Propinsi Sulawesi Tengah, yang merupakan daerah endimis filaria B. malayi antropofilik dengan periodisitas nokturna. Sampel penelitian terdiri dari sampel darah yang diambil pada waktu malam dan siang hari. Sampel darah malam diperiksa dengan cara konvensional (membran filtrasi) dan cara PCR, sedangkan sampel darah slang diperiksa dengan cara PCR. Data diolah untuk mengukur kemaknaan, menggunakan uji McNemar serta dilakukan penilaian sensitivitas dan spesifisitas PCR terhadap cara membran filtrasi. Hasil penelitian terhadap 141 sampel darah malam menunjukkan bahwa cara konvensional (membran filtrasi) dapat mendeteksi sebanyak 48 sampel pengandung parasit B. malayi, sedangkan cara PCR menjadi 91 sampel. Pada perbandingan hasil pemeriksaan membran filtrasi darah malam dengan uji PCR darah siang, didapatkan cara PCR darah siang lebih sensitif dari cara membran filtrasi. Metode PCR darah siang dapat mendeteksi 87 sampel positif, dari 141 total sampel, sedangkan membran filtrasi hanya dapat mendeteksi 48 sampel positif B. malayi. Dengan uji X2 (McNemar) didapat (p = 0,0000) berbeda bermakna. Nilai sensitivitas PCR 100%, sedangkan nilai spesifisitas 58%. Hasil penelitian perbandingan uji PCR darah malam dengan uji PCR darah siang, tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna ( p = 0,2891). Hal tersebut disebabkan karena antara hasil uji PCR darah malam dan hasil uji PCR darah slang hanya terdapat selisih 4 sampel.
Many problems have encountered in assessing the presence of B. malayi parasite in blood based on conventional method. One reason is the reluctance of people to be bled according to the periodicity of microfilaria. Although the conventional technique is related to microflarial density, it could not be used to detect living adult worm without microfilariae in blood circulation. The development of deoxyribonucleic acid (DNA) technology enables polymerase chain reaction (PCR) to detect DNA of B. malayi either from microfilaria or adult stage. Nevertheless, the problem of night blood collection was still unsolved. The same problem arouse due to night blood samples collection. The aim of this study is to know whether the PCR assay could be used to detect the DNA of nocturnally B. malayi during day time. The study was carried out on 141 blood samples collected twice, at night and the next day from people of Rogo and Mahoni villages, Central Sulawesi, which are endemic for anthropophilic B. malayi with nocturnal periodic. Night blood samples were examined by conventional method (membrane filtration) as well as PCR assay whereas day blood samples were only processed by PCR. The PCR assay in night blood samples could detect 91 positive samples contained B. malayi and the day time detected 87 samples out of the total samples. The conventional method could only detect 48 positive samples. McNemar analysis showed significantly difference between those two methods (p= 0,0000). The sensitivity of PCR assay in the day blood samples compared to membrane filtration was 100 % and the specificity was around 55 %. There was no significant difference shown between PCR results in night blood compared to day blood samples (p=0,2891). It was concluded that the PCR assay in day time could replace the conventional method without considering the periodicity of microfilaria in blood.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
LP 2000 134a
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Handajani
Abstrak :
ABSTRAK
Diagnostik filariasis malayi secara konvensional menggunakan darah malam mempunyai kendala. Pemeriksaan darah vena siang hari dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) menunjukkan hasil positif (Tuda,1999), tetapi cara ini mempunyai kendala di lapangan karena penduduk enggan diambil darahnya venanya. Untuk mengatasi kendala tersebut perlu dikembangkan cara diagnosis baru.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeteksi DNA B. malayi pada kertas filter Whatman dengan menggunakan teknik PCR. Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan dalam skala laboratorium. Sampel yang digunakan adalah darah manusia sehat dari daerah non-endemis fialariasis dicampur dengan mikrofilaria (mi.) B. malayi yang diisolasi dari cairan infra peritoneal (IP) gerbil positif filaria. Berbagai konsentrasi pengenceran mf yang diuji adalah: 1, 5, 10, 20, 30, 40, 50, 75, 100 mf dalam total volum masing- masing konsentrasi 60 μl campuran darah dan diteteskan pada kertas filter Whatman 3 mm. Dilakukan pula filtrasi cairan IP gerbil untuk membuang semua mikrofilaria yang ada di dalam cairan, lalu diambil 20 μl fitrat tersebut dan dicampur dengan 40 darah manusia sehat dari derah non-endemis filariasis. Kontrol negatif adalah 20 cairan NaCl 0,9% dicampur 40 μ1 darah manusia sehat dari daerah non-endemis filariasis. Filtrat dan kontrol negatif, masing-masing.diteteskan pada kertas filter Whatman. Setelah dilakukan ekstraksi, sebanyak 2 µl supernatan dari tiap-tiap perlakuan tersebut digunakan untuk PCR. Kontrol positif menggunakan 2μl pBma 68. Hasil PCR diamati pada elektroforesis, lalu divisualisasi menggunakan transluminalor dengan sinar UK

Terlihat pita DNA dengan panjang 322 bp dan 644 bp (dimer) pada konsentrasi : 1,5, 10, 10, 20, 30, 40, 50, 75, 100 mf /60 μl campuran darah serta filtrat cairan IP. Konsentrasi terendah yang dapat terdeteksi adalah 1 mf / 60 μl campuran darah. Teknik PCR dapat mendeteksi adanya DNA B. malayi dalam cairan IP gerbil yang telah difiltrasi.
ABSTRACT
Detection of DNA Brugia malayi on blood dropped on filter paper using Polymerase Chain Reaction (PCR)

The conventional diagnostic of filariasis malayi using evening blood is handicapped by a certain constraint. The analysis of daytime venous blood using Polymerase Chain Reaction (PCR) shows positive results (Tuda, 1999), but this method confronts field opposition because people are reluctant to surrender their venous blood. To overcome this problem we have to develop a new diagnostic method.

The purpose of this study is to detect DNA B. malayi on Whatman filter paper using PCR technique. This study is a preliminary study in a labolatorium scale. The sample used in the blood of healthy people living in a non-endemic filariasis area, mixed with microfilaria (mf) B. malayi, isolated from filaria positive gerbil intra peritoneal (IP) liquid. Several diluted concentrate tested were: 1, 5, 10, 20, 30, 40, 50, 75, 100 mf, in total volume of each concentrate 60 μl mixed blood, dropped on 3 mm Whatman filter paper. Filtration was conducted on the IP gerbil liquid, in order to get rid of all microfilaria existing in the liquid, after which 20 µl filtrat was taken and mixed with 40 μl healthy people blood from non-endemic filariasis area.

Filtrat and negative control, were dropped on Whatman filter paper. After extraction /isolation process, 2 µl supernatan from each treatment mentioned above were used for PCR. Positive control uses 2 μl pBma 68. The PCR result was scrutinized on electrophoresis, visualized later using transluminator with UV rays.

Observed DNA ribbons of 332 bp and 644 bp (dimmer) length on the concentrate : 1, 5, 10, 20, 30, 40, 50, 75, 100 mf / 60 μl mixed blood and filtrate liquid IP. The lowest concentration that could be detected was 1 mf / 60 μl mixed blood. Thus the PCR technique was able to detect the existence of DNA B. malayi on the gerbil IP liquid that has been filtrated.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library