Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tjandra Yoga Aditama
Jakarta: UI-Press, 2006
616.238 TJA a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Faizah
"ABSTRAK
Penyakit asma bronkial dan/atau rinitis atopik terutama disebabkan oleh Dermatoohagoides pteronyssinus. Antibodi yang berperan pada reaksi alergi ialah IgE dan IgG, yaitu I gG sebagai 'short-term anaphylactic antibody' dan 'precipitating antibody'. Sebaliknya IgG dapat mencegah timbulnya reaksi alergi karena I gG berperan sebagai 'blocking antibody'. Tujuan penelitian mi meneliti peranan aktivitas antibodi IgE dan IgG terhadap D. pteronyssinus, serta hubungan antara keduanya terhadap alergen yang sama pada penderita asma bronkial dan/atau rinitis atopik sebelum dilakukan imunoteraoi. penentuan aktivitas IgE dan aktivitas I gG dilakukan dengan teknik 'Enzym Linked Immuno Sorbent Assay' (ELISA). Selain itu dilakukan pula penghitungan jumlah eosinofil. Berdasarkan uji Mann-whitney diketahui bahwa, aktivitas I gE, aktivitas I gG, serta kadar eosinofil pada penderita asma bronkial dan/atau rinitis atopik berbeda dengan orang non-alergi, yaitu lebih tinggi pada penderita ( E =66,81%; X G1 = 62,02%; X ES1 = 518,87 sel/mm3 ) daripada orang nonalergi (R E2 = 3996%; X = 40,32%; X ES 2 = 122,15 sel/ mm3 ). Dengan uji korelasi jenjang Spearman di.peroleh kesimpulan, tidak ada korelasi antara aktivitas igE dengan aktivitas I gG dan juga dengan kadar eosinofil."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Uktolseja, Frederique Jeanne
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian serangan asma bronkhial di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, karena penelitian ini belum pernah dilakukan dan kunjungan kesakitan setiap tahun meningkat.
Rancangan penelitian adalah kasus kontrol tanpa matching dengan jumlah sampel keseluruhan 378 orang terdiri dari 189 kasus dan 189 kontrol. Dengan hipotesis, asma bronkhial dipengaruhi oleh faktor-faktor risiko seperti infeksi saluran nafas atas (rinitis, faringitis, tonsilitis), lingkungan (inhalasi alergen, inhalasi iritan, faktor psikis dan perubahan udara) dan alergi (riwayat genetik, riwayat atopi, alergi obat dan alergi makanan).
Data diolah dengan analisis univariat, analisis bivariat, analisis stratifikasi dan analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik unconditional. Perangkat lunak yang dipakai adalah program epi info 6 versi 6.04a dan program Egret versi 0.19.5. Data diolah dengan analisis univariat, analisis bivariat, analisis stratifikasi dan analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik unconditional. Perangkat lunak yang dipakai adalah program epi info 6 versi 6.04a dan program Egret versi 0.19.5.
Dari hasil penelitian faktor-faktor risiko yang bermakna terhadap kejadian serangan asma bronkhial adalah perubahan udara (OR= 102.04), inhalasi alergen (OR = 92.29), faktor psikis (OR=27.01), riwayat genetik (OR=8.52) dan faringiitis (OR =5.02).
Telah dibuktikan bahwa rinitis, faringitis, inhalasi alergen, faktor psikis, perubahan udara, riwayat genetik, riwayat atopi dan alergi makanan secara bersama-sama berperan dalam terjadinya serangan asma bronkhial. Saran kepada IGD RSUPNCM agar SOP/ form khusus asma bronkhial digunakan lebih baik, dan perlu kerja sama antar dokter spesialis, petugas rekam medik dan epidemiolog. Dan saran terhadap masyarakat adalah penyuluhan melalui PKMRS dan konsultasi pernikahan.

Factors which Influencing Asthma Bronchiale Attack in the Emergency Installation Unit in Cipto Mangunkusumo General Hospital in Jakarta 1995 ? 1996This study which to identification risk factors that related with asthma bronchiale attack in Emergency Installation Unit in Cipto Mangunkusumo General Hospital Jakarta, since this study haven't been done and the visit of the patients every year have develop.
The design of this study is unmatched case control with the number of samples 378 persons, 189 cases and I89 controls. The hypothesis is asthma bronchiale attack influenced by upper respiratory tract infection (rhinitis, pharyngitis, tonsilitis), environment (allergen inhalation, iritant inhalation, psychic factor, wheather adchange) and allergie (genetic history, atopic history, drugs allergic and food allergic).
The data will be analysed univariat, bivariat, stratification and multivariat done by logistic unconditional regressions. Software will be use is Epi Info 6 6.04a version and Egret 0.19.5 version.
Factors which is significant to the event of asthma bronchiale attack are wheather adchange (OR= 102.04), allergen inhalation (OR 92.29), psychic factor (OR= 27.01), genetic history (OR=8.52) clan pharyngitis (OR=5.02).
The suggestion to the Emergency Installation'unit Cipto Mangunkusumo General Hospital is to use SOP 1 specific form of asthma bronchiale, and the need to collaborate between specialist doctors, medical record officials and epidemiologist. To the community should be suggested health education and marriage counselling.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iswari Setianingsih
"LATAR BELAKANG
Asma pada anak merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai dengan angka kejadian kira-kira 5-10 % (Godfrey, 1983). Di Indonesia belum ada penyelidikan menyeluruh mengenai angka kejadian asma pada anak, namun diperkirakan berkisar antara 5-10 % dari seluruh anak. Lebih dari 50 % kunjungan di Poliklinik Sub Bagian Paru Anak FKUI-RSCM merupakan pasien asma (Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, 1985).
Sebagian besar pasien asma anak (70-75 %) tergolong ringan (Phelan dkk., 1982), tetapi penyakit ini seringkali merupakan penyebab ketidakhadiran anak di sekolah, meningkatkan frekuensi kunjungan ke dokter, dan bahkan meningkatkan angka perawatan di rumah sakit.
Prognosis penyakit ini bergantung pada perjalanan penyakit (Phelan dkk., 1982) dan penatalaksanaannya. Pada golongan pasien asma anak yang berat, 50 % di antaranya akan menetap sampai dewasa .
Walaupun pengaruh penatalaksanaan terhadap prognosis asma masih belum jelas (Phelan dkk., 1982; Gerritsen, 1989; Warner dkk, 1989), penanganan asma yang tidak adekuat diduga dapat menyebabkan kerusakan paru yang menetap. Penatalaksanaan asma pada anak bergantung pada ketepatan diagnosis dan penentuan derajat klinis asma. Kedua hal tersebut sangat berperan dalam pemilihan strategi penanganan asma pada anak.
Diagnosis asma pada anak kadang-kadang sulit, karena sering dijumpai pasien asma dengan gejala klinis tidak khas yaitu hanya batuk kronis dan berulang tanpa mengi. Selain itu anamnesis yang didapat sering tidak dapat menunjang diagnosis asma. Di luar serangan asma.sebagian besar pasien tampak normal.
Penentuan derajat klinis asma juga tidak mudah, karena anamnesis yang didapat seringkali tidak dapat memberikan informasi mengenai saat terjadinya serangan pertama kali, kekerapan serangan asma, dan perjalanan penyakitnya. Selain itu keadaan klinis serangan asma yang berat belum tentu menggambarkan berat ringannya derajat klinis.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T58512
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siringoringo, Victor Sahat
"Latar belakang
Teofilin merupakan bronkodilator yang efektif dalam pengobatan asma bronkial dan penggunaannya dalam bentuk garam etilendiamin sebagai bolus i.v. aminofilin merupakan terapi standar dalam penanggulangan penderita asma bronkial akut (1-3).
Dari beberapa hasil penelitian ditunjukkan bahwa baik efek terapi maupun efek toksik teofilin sangat berkaitan dengan kadar teofilin dalam serum. Untuk bronkodilatasi, lajak kadar teofilin serum terapetik adalah sempit yaitu 10 - 20 μg/ml (1,2,4-7). Disamping mempunyai efek terapetik yang rendah, variasi biotransformasi atau bersihan total teofilin, baik intraindividual maupun interindividual sangat berpengaruh pada kadar teofilin serum. Oleh karena itu pemantauan kadar teofilin serum dengan penerapan prinsip farmakokinetik sangat penting dalam optimasi penggunaan teofilin (1,8-12).
Dalam praktek, untuk menanggulangi serangan asma akut, seringkali penderita yang datang ke rumah sakit diberikan dosis awal bolus i.v. aminofilin dengan dosis muatan 5,6 mg/kg BB tanpa memperhitungkan apakah penderita ini telah mendapat teofilin dalam waktu sehari sebelumnya. Kemudian, apabila serangan dapat diatasi, penderita tidak mendapat infus aminofilin melainkan hanya mendapat resep dokter untuk membeli sediaan teofilin per oral di apotek sebagai kelanjutan terapi di rumah. Penatalaksanaan serangan asma bronkial akut yang dianjurkan dalam kepustakaan adalah pemberian bolus i.v. aminofilin dengan dosis muatan 5,6 mg/kg BB. Kemudian dosis awal ini harus dilanjutkan dengan pemberian infus aminofilin untuk mempertahankan kadar teofilin serum terapetik (1,2).
Interval waktu seteiah pemberian bolus i.v. aminofilin yang diberikan di rumah sakit sampai penderita minum sediaan teofilin per oral. di rumah diperkirakan 3 - 6 jam. Oleh karena itu kadar teofilin serum sebelum bolus injeksi aminofilin dan sesudahnya sampai 6 jam serta hubungannya dengan efek terapi dan efek sampingnya perlu diteLiti pada penderita asma bronkial akut yang hanya mendapat bolus i.v. aminofilin dengan dosis standar 5,6 mg/kg BB di rumah sakit?
"
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Wahyuningsih
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Aspergillus merupakan jamur yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Salah satu di antaranya adalah alergi, yang mempunyai manifestasi klinik asma bronkial. Di Indonesia peran Aspergillus dalam menimbulkan serangan asma bronkial belum diketahui. Untuk itu dilakukan pemeriksaan sputum terhadap adanya Aspergillus pada 75 orang penderita asma dan 62 orang sehat. Pengambilan sputum dilakukan pada saat serangan dan satu minggu sesudahnya. Sputum dibatukkan ke dalam cawan Petri steril; dilakukan pemeriksaan langsung dan biakan. Biakan dianggap positif bila tumbuh jamur Aspergillus satu koloni atau lebih. Hasil pemeriksaan kelompok penderita asma pada saat serangan dibandingkan dengan hasil pemeriksaan satu minggu sesudah serangan. Juga dibandingkan antara kelompok asma dan kelompok sehat. Selain itu dilakukan pemeriksaan tes imunodifusi dengan antigen Aspergillus untuk mencari zat anti terhadap Aspergillus.
Hasil dan Kesimpulan: Hasil pemeriksaan sputum pada 53 orang (yang kembali) penderita asma pada saat serangan dan satu minggu sesudahnya memberi hasil 27 orang positif pada saat serangan dan negatif sesudahnya. Pengujian statistik menunjukkan adanya ketergantungan antara Aspeuillus dan serangan asma (p<0,01). Tujuh puluh lima orang penderita asma diperiksa pada saat serangan dengan cara langsung, 22 orang positif (23%) dan dengan biakan 45 orang positif (60%). Pada orang sehat dengan cara yang sama didapatkan 6 orang (9,6%) dan 9 orang (14,5%) positif. Uji statistik menunjukkan adanya hubungan antara serangan asma dan Aspergillus (p<0,01). Odds ratio 8,8 menunjukkan Aspergillus memang mampu menyebabkan penyakit. Perbandingan hasil pemeriksaan sputum satu minggu sesudah serangan dan orang sehat menunjukkan adanya perbedaan bermakna, hal ini berarti bahwa satu minggu sesudah serangan belum menggambarkan keadaan normal. Hasil pemeriksaan tes imunodifusi menunjukkan bahwa sebagian besar tidak ada invasi Aspergillus ke dalam jarigan."
1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Papayungan, Diana
"Latar Belakang : Asma adalah merupakan penyakit kronis saluran napas yang dipandang sebagai penyakit psikosomatik yang klasik, oleh karena dianggap bahwa faktor psikologis ikut berperan tidak hanya pada onset timbulnya penyakit tetapi juga dalam penentuan perjalanan penyakit. Asma dianggap juga sebagai reaksi fisik terhadap stres yang kemudian disertai dengan terjadinya perubahan-perubahan morfologik jaringan dan ditandai oleh peningkatan respon dari jalan napas terhadap berbagai stimuli (alergen dan non alergen), dan bermanifestasi sebagai penyempitan jalan napas yang menyeluruh (difus) yang dapat berubah beratnya balk secara spontan maupun dengan pengobatan. Adanya penyakit kronis seperti asma selain berdampak pada perkembangan anak juga dapat menyebabkan anak berisiko mengalarni berbagai masalah emosi, periIaku, dan sosial. Dikatakan bahwa anak asma 2.5 kali lebih banyak mengalami problem emosi dan perilaku dibanding anak yang sehat.
Metode : Menggunakan desain cross sectional dan alat ukur CBCL untuk menskrining problem emosi dan perilaku pada anak usia 6-18 tahun yang menderita asma.
Hasil : Proporsi total problem emosi dan perilaku pada anak asma sebesar 39%. Proporsi tertinggi diantara narrow syndrom adalah keluhan somatik sebesar 34% dan diatara broad syndrom yang tertinggi adalah intemalisasi sebesar 70%. Kelompok umur yang terbesar mengalami problem emosi dan perilaku adalah 6-12 tahun, laki-laki lebih tinggi dari perempuan, sedang menurut urutan anak yang tertinggi adalah anak sulung. Usia onset, yang terbanyak mengalami problem emosi dan perilaku yakni pada usia 6-10 tahun, dan diperoleh hubungan yang bermakna antara usia onset dan problem pikiran (p102 bulan(> 8,5 tahun) didapatkan hubungan yang bermakna dengan problem atensi, dan pada lama sakit > 90 bulan(> 7,5 tahun) didapatkan hubungan yang bermakna dengan perilaku delikuen.

Background
Asthma is a respiratory chronic illness regarded as classic psychosomatic illness since psychological factor entails not only in onset?s cause of illness but also in determination of illness route itself. Asthma is also considered as a physical response to stress which is followed by tissues morphologic alteration and indicated by the increase of breathing s route response to any stimulant, thus manifested as whole breathing?s route constriction which mass can change either spontaneously or by treatment.
A part from children's development chronic illness can also endanger children with the risk of emotional, behavior and social problems. It is said that asthmatic children suffer from emotional and behavior problems 2.5 limes greater than normally children.
Methods
Using cross sectional design and CRCL measurement equipment by means of emotional and behavior problems screening or asthmatic children aged 6-18 years old
Result and Discussion
Asthmatic children are emotional and behavior problems total proportion is 39 %. The highest proportion among narrow band syndrome is somatic complaint, which is as much as 34 % and the highest among broad band syndrome is internalization, which is as 70 %. The group which suffers most from emotional and behavior problems is 6-12 years of age group. Boys suffer more than girls. And firstborn suffers the most. Onset age which suffers from behavior problems the most is 6-10 years of age group. It is obtained a significant relation between onset age and mind problem (p < 0.05). There are two illness duration cut rates that have significant relation with the occurrence of emotional and behavior problems, they are >102 months (>8.5 years) illness period, from which a significant relation with attention problem obtained, and > 90 months(> 7.5 years) illness period, from which a significant relation with deliquency behavior obtained
Conclusion
Proportion of emotional and behavior problems of asthmatic children aged 6-18 years is 39 %. There is a significant relation between illness onset age and mind problem. There is a significant relation between illness period > 8.5 years and attention problem. For >7.5 years illness period, there is a significant relation with delinquency behavior.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karnen Garna Baratawidjaja
"ABSTRAK
Latar belakang
Kemajuan teknologi dan industri yang dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia, kadang-kadang justru dapat menimbulkan berbagai macam penyakit, bahkan malapetaka. Debu mineral dan organik Industri yang terhirup para karyawan dan penduduk sekitar dapat menimbulkan berbagai gangguan saluran napas. Asma bronkial dapat timbul pada karyawan Industri logam, plastik, kayu, sabun, obat dan berbagai industri lainnya Ditaksir bahwa 2 % dari seluruh asma adalah akibat lingkungan kerja. Di Jepang, 15 % asma bronklal pada pria disebabkan akibat lndustri.
Bisinosis adalah penyakit saluran napas akibat kerja yang disebabkan penghirupan debu kapas, flax atau hemp yang dianggap sebagian peneliti sebagai asma dan oleh peneliti lainnya dibedakan dari asma. Kata bisinosis berasal dari perkataan Yunani byssos yang berarti fine flax atau fine linnen yang dihasilkan tanaman flax yang diakukan Proust pada tahun 1877 untuk pertama kali. Oliver pada tahun 1902 menggunakan istilah tersebut untuk gejala-gejala saluran napas dalam berbagai derajat akibat pemaparan debu kapas dan flax. Collis pada tahun 1909 menemukan keluhan serupa asma yang timbul sesudah bekerja hari Senin pada 74-91 % karyawan dari 31 pabrik tekstil di Blackburn yaitu pada 126 strippers dan grinders yang sekarang dikenal sebagai bisinosis.
Diagnosis bisinosis ditegakkan atas dasar gejala subjektif. Dalam bentuk dini bisinosis berupa dada rasa tertekan dan atau sesak napas pada hari kerja pertama sesudah hari libur akhir minggu (selanjutnya disebut hari Senin). Gejala khas yang hanya ditemukan pada bisinosis itu disebut Monday feeling, Monday fever, Monday morning fever, Monday morning chest tightness atau Monday morning asthma (1508,18,22,23) yang dapat menghilang bila karyawan meninggalkan lingkungan tempat kerjanya. Keluhan bisinosis tersebut diduga disebabkan oleh karena obstruksi saluran napas. Obstruksi yang terjadi setelah karyawan terpapar pada hari Senin disebut obstruksi akut. Bila karyawan tidak disingkirkan dari lingkungan kerjanya yang berdebu, obstruksi akut yang mula-mula reversibel akan menjadi menetap. Maka obstruksi saluran napas tersebut sudah ditemukan pada hari Senin sebelum karyawan terpapar. Obstruksi demikian disebut obstruksi kronik.
Antara tahun 1910-1932, angka kematian yang disebabkan oleh karena penyakit saluran napas pada karyawan ruang carding pabrik tekstil di Inggris yang masih sangat berdebu adalah dua kali lebih tinggi dibanding dengan karyawan dari bagian akhir pemintalan dan karyawan gudang. Rata-rata satu dari 10 karyawan ruang carding menunjukkan gangguan saluran napas yang berat. Pada tahun 1939, prevalensi bisinosis pada umumnya sudah menurun, tetapi pada karyawan bagian blowing dan carding hal tersebut masih merupakan masalah, sehingga pada tahun 1941 dl Inggris dikeluarkan peraturan kompensasi untuk bisinosis. Biaya untuk hal tersebut adalah yang tertinggi yang pernah dikeluarkan untuk penyakit akibat pemaparan debu sesuai Pneumoconiosis Act of Britain Penelitian bisinosis yang dilakukan di Manchester tahun 1950 pada 103 orang pria di atas 35 tahun yang terpapar sedikitnya 10 tahun dengan debu kapas, menemukan bisinosis derajat dini lanjut pada 52 % dan derajat berat pada 10 % karyawan.
Schilling pada tahun 1955 membagi bisinosis secara klinis yang ditandai dengan huruf C dalam derajat Cl dan C2. Kemudian Schilling dan Watford pada tahun 1963 menambahkan derajat C1/2 dan C3, sehingga derajat bisinosis dewasa ini dibagi dalam empat derajat sebagai berikut :
Derajat C1/2 : dada rasa tertekan dan atau sesak napas yang kadang-kadang timbul pada hari Senin.
Derajat Cl : dada rasa tertekan dan atau sesak napas pada setiap hari Senin.
Derajat C2 : dada rasa tertekan dan atau sesak napas pada hari Senin dan hari kerja lainnya.
Derajat C3 : derajat C2 disertai sesak napas yang menetap.
Berbagai penyakit akibat kerja serta permasalahannya telah banyak kita ketahui dari hasil penelitian epidemiologis. Klasifikasi bisinosis tersebut di atas telah membuka era baru, sehingga sejak tahun 1965 penelitian epidemiologis bisinosis sudah dilakukan di berbagai negara. Penelitlan-penelitian yang dilakukan adalah cross sectional dan prevalensi bisinosis yang ditemukan di berbagai negara bervariasi antara 2-90 % dan pada umumnya tergantung atas kadar debu lingkungan kerja.
Pada tahun 1974-1980 di Inggris masih didapatkan 770 karyawan dengan bisinosis derajat C2 dan C3 yang memperoleh kompensasi tetapi sejak tahun 1988 bisinosis telah dapat diturunkan menjadi 3,99 %. Bisinosis di Amerika Serikat pada tahun 1974 masih ditemukan pada 20-50 % karyawan ruang carding dan banyak di antara mereka yang sudah menunjukkan gangguan saluran napas yang berat. Setelah?."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
D62
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fany Arighi Suhandi
"ABSTRAK
Peningkatan populasi perkotaan membuat masyarakat perkotaan dihadapi dengan berbagai ancaman. Asma bronkial merupakan penyakit tidak menular yang memiliki prevalensi tinggi pada masyarakat perkotaan. Alergen dan polusi udara di perkotaan dan masalah psikososial dapat memicu terjadinya asma. Ansietas merupakan masalah psikososial berupa perasaan tidak nyaman, khawatir, dan takut pada suatu ancaman atau situasi tertentu. Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pada klien dengan ansietas antara lain edukasi terkait masalah penyakit dan ansietas, teknik relaksasi napas dalam, teknik distraksi, teknik hipnosis lima jari, dan kegiatan spiritual. Tindakan keperawatan ansietas bertujuan untuk mengontrol perasaan ansietas klien yang dapat memicu dan memperparah serangan asma bronkial. Selama empat hari perawatan, Ny.I mengalami penurunan skala Hamilton Anxiety Rating Scale HARS , dari 14 menjadi 6. Dalam perawatan klien, perawat perlu melibatkan keluarga agar tingkat ansietas saat ini dapat dipertahankan atau bahkan menurun.

ABSTRACT
Increased of urban population makes urban communities faced with various threats. Bronchial asthma is a non communicable disease that has a high prevalence in urban communities. Allergen, pollution, and psychosocial problems can cause asthma exacerbation. Anxiety is a psychosocial problem that makes individual feels discomfort, anxiety, and fear of a particular threat or situation. Nursing care that can be performed on clients with anxiety include educational issues related to illness and anxiety, deep breathing technique, distraction technique, five finger hypnosis technique, and spiritual activity. It aims to control anxiety that can trigger and aggravate bronchial asthma attacks. During four days of nursing care, Hamilton Anxiety Rating Scale HARS of Mrs. I decreased from 14 to 6. Family involvement needs to be done in client care so this score can be maintained or decreased. "
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library