Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aryo Dharmajaya
"Perkembangan dan perubahan pelaksanaan serta berbagai hal yang terkait dengan lelang dalam mengikuti perkembangan masyarakat dapat dilihat antara lain dari perubahan rumusan tentang lelang dalam peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Peraturan tentang lelang di Indonesia diawali dengan Vendu Reglement (Peraturan Lelang) Stb. 1908 Nomor 189 dan Vendu Instructie (Instruksi Lelang) Stb.1908 Nomor 190.
Adanya peraturan lelang dan peraturan pelaksanaannya dimaksudkan agar pelaksanaan lelang di Indoneisa dapat berjalan secara adil, aman, cepat dan efisien, harga wajar serta menjamin adanya kepastian hukum. Namun dalam praktek di lapangan tidak selalu pelaksanaan lelang berjalan secara adil, aman, cepat, efisien dan adanya kepastian hukum sesuai dengan harapan yang diinginkan. Terbukti dari kasus yang terjadi di lapangan dimana si pemenang lelang tidak dapat memperoleh apa yang diharapkan dari pembelian tanah dan bangunan secara lelang yang adil, aman, cepat efisien dan mendapatkan kepastian hukum.
Kasus yang terjadi adalah antara PT. BUMIJAWA SENTOSA sebagai pemenang lelang yang membeli tanah dan bangunan gedung "Aspac" yang dibeli berdasarkan lelang yang diselenggarakan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) melawan PT. MITRA BANGUN GRIYA .Dalam kasus ini PT. BUMIJAWA SENTOSA sebagai pemilik sah atas tanah dan bangunan gedung " Aspac", Kuningan, Jakarta Selatan, tidak dapat memiliki dan menguasai secara fisik tanah dan bangunan tersebut walaupun sertipikat tanah telah dibalik nama ke atas nama PT. BUMIJAWA SENTOSA, berdasarkan Surat Penetapan Pemenang yang ditetapkan oleh BPPN, karena PT MITRA BANGUN GRIYA sebagai pemilik awal tanah dan bangunan tersebut tidak mau melakukan pengosongan dan menyerahkan objek lelang kepada pemenang lelang.
Dengan metode pendekatan yuridis normatif dapat diketahui bahwa PT. BUMIJAWA SENTOSA adalah sebagai pembeli lelang yang beritikad baik, oleh karena itu haruslah mendapat perlindungan hukum berupa kepastian memproleh obyek lelang baik secara legal maupun secara fisik dan BPPN bertanggung jawab atas palaksanaan lelang agar tercapai pelelangan yang efisien, aman, adil, dan menjamin kepastian hukum.

Development and change in implementation as well as various matters related to auction in following the development society can be viewed from, among others, change in formulation on auction in applicable legislations. Regulation on action in Indonesia was started with Vendu Reglement (Regulation on Auction) Stb. 1908 Number 189 and Vendu Instrucie (Instruction on Auction) Stb. 1908 Number 190.
Regulation on auction and its executing regulation are aimed at making auction process in Indonesia runs fair, safe, quick and efficient, at proper price as well as provides with legal assurance. However, practice in field shows that not all auctions run fair, safe, quick, efficient, and provide with legal assurance according to that expected. It is proven from a case in field where the auction winner can not obtain what being expected from land and building purchased by fair, safe, quick, efficient and having-legal-assurance auction.
The case occurred between PT. BUMIJAWA SENTOSA as the auction winner purchasing land and building "Aspac" bought on the basis of auction conducted by National Banking Recovery Agency (BPPN) against PT. MITRA BANGUN GRIYA.In this case, PT. BUMIJAWA SENTOSA as a legal owner for the land and building "Aspact", Kuningan, South Jakarta, can not physically own and control the land and building although the certificate of land has been changed into on behalf of PT. BUMIJAWA SENTOSA, by virtue of Winner Certificate issued by BPPN since PT. MITRA BANGUN GRIYA as previous owner of the land and building would not clear out and transfer the auction object to auction winner.
Using normatively juridical approach, it is found that PT. BUMIJAWA SENTOSA as the auction winner has a good will, therefore, it shall be legally protected in form of assurance in obtaining auction object both legally and physically and BPPN shall be responsible to the auction process that efficient, safe, fair, and legal-assuring auction can be reached.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25163
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Selenggang, Chairunnisa Said
"Penelitian ini merupakan suatu kajian yuridis normatif yang bersifat teoritis tentang legalitas eksistensi dan kewenangan Badan Penyehatan Perbankan (untuk selanjutnya disingkat BPPN). Tidak lama setelah BPPN terbentuk pro dan kontra seketika bermunculan. Berdasarkan kontroversi yuridis yang timbul dikalangan praktisi hukum maka penulis membagi dalam 3 (tiga) permasalahan. Pertama, bagaimanakah legalitas eksistensi BPPN berdasarkan Keppres No. 27 Tahun 1998 tentang Pembentukan BPPN, kedua, apakah BPPN dalam penjualan aset-aset Bank Dalam Penyehatan sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, ketiga, bagaimana pendapat Mahkamah Agung terr.adap kewenangan extra judicial BPPN melalui mekanisme hak uji material terhadap PP No 17 tahun 1999 tentang BPPN.
Setelah dilakukan penelusuran segi-segi teoritis/asas-asas hukum umum, sebagai hasil akhir penelitian disimpulkan pertama, bahwa dengan diundangkannya Keppres Nomor 27 tahun 1999 maka eksistensi BPPN adalah sah, meskipun jika ditinjau dari hirarkhis perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dianggap kurang tepat. Kedua, telah terjadi ketidakharmonisan antara UU Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan dan PP Nomor 17 tahun 1999 dengan UU Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, karena PP Nomor 17 tahun 1999 itu telah menghilangkan sama sekali hak pemegang saham selaku pemilik aset-aset yang akan dijual. Ketiga, Mahkamah Agung (MA) secara tidak langsung mengakui bahwa kewenangan yang diatur dalam PP No.17 tahun 1999 banyak menimbulkan kontradiktif dan ketidakharmonisan dengan undang-undang lainnya, sehingga MA menyarankan melalui putusannya dalam perkara Hak Uji Material yang diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat Assosiasi Advokat Indonesia, secepatnya PP No '17 tahun 1999 ditingkatkan menjadi undangundang sehingga memperkokoh legitimasi extra judicial dari BPPN sendiri."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T36518
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Wahyudi Hertanto
"Both MSAA and MRNIA are chiefly as tools to collecting liquidity credits from Bank Indonesia for prior liquidity troubles banking. Those agreements have a benchmark models, even though in practice was happened dissimilarity in such transactions. The author proposes legal analysis regarding po.5'l banking bankcruptcy settlement through Indonesian banking that was hold by Indonesian Bank Restructuring Agency (IBR/1). The distinction transactions were emerged on pattern of relevant transaction to apply through certain share holders which in case d%rent to another. More over this situation was raised by transaction's complexity that also put barriers out from inconsistence of law and regulations applied Under Article i320 and 1321 Indonesian Civil Law the author has thought that MSAA and MRNIA can be annulled; or null and void by law because in both agreements had avoided penal sanctions that has thought as against the law."
[s.l.]: Jurnal Hukum dan Pembangunan, 2005
HUPE-35-4-(Okt-Des)2005-433
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
A. Ridwan
"Pasca pembubaran Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), segala permasalahan berkaitan aset kredit yang tersisa untuk sementara penanganannya diserahkan ke Kementerian Keuangan RI melalui Tim Pemberesan BPPN atau TP BPPN yang diketuai langsung oleh Menteri Keuangan. Pada tahun 2006, Tim Pemberesan yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden dinyatakan berakhir tugasnya dan dinyatakan bubar melalui Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2006 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran Tim Pemberesan BPPN. Selanjutnya penanganan Tim Pemberesan BPPN yang belum diselesaikan dilaksanakan oleh Menteri Keuangan cq Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan RI, sedangkan kekayaan negara yang terkait dengan sita eksekusi hak tanggungan dan sita eksekusi lainnya, penanganannya dilakukan oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Salah satu sisa aset kredit yang belum tertangani pasca pembubaran BPPN adalah aset kredit Non Asset Transfer Kit (Non ATK). Aset kredit Non ATK terdeteksi setelah adanya audit BPK pasca pembubaran BPPN. Sampai dengan berakhirnya masa tugas BPPN tahun 2004 dan terbentuknya PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA) serta pembentukan tim pemberesan BPPN, aset kredit Non ATK belum tertangani dan masih dikelola oleh Bank asal. Kebijakan penanganan sisa aset tersebut kemudian diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No.213/KMK.01/2008 dan selanjutnya terkait dengan penyelesaian dan pengelolaan aset kredit Non ATK sebelum diserahkan pengurusannya kepada PUPN, Menteri Keuangan menetapkan Petunjuk Pelaksanaan Tugas yang diperlukan dalam rangka pengembalian keuangan negara dan mengingat masih adanya aset eks BPPN/TP BPPN/Tim Koordinasi berupa aset kredit ATK dan Non ATK yang tidak dapat diserahkelokan baik ke PT PPA dan tidak berperkara hukum, disusunlah Keputusan Menteri Keuangan No.280/KMK.06/2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tugas/Prosedur Operasi Standar DJKN dalam Penanganan Sisa Tugas Tim Koordinasi Penyelesaian Tugas-Tugas Tim Pemberesan BPPN, Unit Pelaksana Penjaminan Pemerintah, dan Penjaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat. Keputusan Menteri Keuangan tersebut merupakan payung hukum penanganan Aset Kredit Non ATK eks BPPN.

After the liquidation of the Indonesian Bank Restructuring Agency (IBRA), all issues related to the remaining loan assets temporarily has been submitted to the Ministry of Finance of the Republic of Indonesia to be handled through the Team of IBRA, which is chaired by the Minister of Finance. In 2006, the Team of which was established by Presidential Decree has to be terminated and declared to be dissolved by Presidential Decree No. 8 Year 2006 regarding the termination of the Team of IBRA. Furthermore, the handling of the remaining loan assets, continued by the Ministry of Finance through the Directorate General of State Assets Management (DJKN) under The Ministry of Finance of Indonesia, while the state assets related to the mortgage foreclosure and other foreclosure, handled by the Committe of State Claims Management (PUPN). One of the remaining loan assets that have not been handled after the liquidation of IBRA is credit assets in the term of Non Asset Transfer Kit (Non-ATK). Credit assets Non ATK detected by the Supreme Auditor/BPK after the post-dissolution audit of IBRA. Until the end of work of IBRA in 2004 and the establishment of the Asset Management Company (PT PPA) and also the establishment of IBRA clearance team, credit assets Non ATK has not been handled and it is still managed by the origin Bank from which the assets exist. The handling policy of the remaining assets are then arranged in the Minister of Finance Decree No.213/KMK.01/2008 and subsequently related with the completion and management of the credit assets Non ATK before being handled over to the PUPN, Minister of Finance announces the Implementation Guidelines required for returning the state finance and considering that there are still amount of ex-IBRA assets / TP IBRA / Coordination Team in the form of credit assets and Non ATK that can not be well-managed by PT PPA and has no legal issues, then the government formulating the Minister of Finance Decree No.280/KMK.06/2009 about the Implementation Guidelines regarding the Directorate General of State Asset Management?s Standard Operating Procedures in Handling the remaining tasks of the Coordination Team of IBRA?s Settlement Team, Government Insurance Unit, and Government Guarantee on Bank Obligations. This Minister of Finance Decree is the legal consideration on the handling of the Credit Assets of Non ATK that previously handled by IBRA."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27457
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Eniyaty
"Krisis moneter di tahun 1997 mengakibatkan beberapa bank yang diniiai tidak sehat diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Negara, selaku badan yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan KeppresNomor 27 Tahun 1998, dibentuklah Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan. Tugas badan ini pada intinya adalah melakukan tindakan untuk melakukan penyelamatan perbankan nasional Indonesia akibat krisis moneter.
Krisis perbankan ini terjadi disebabkan berbagai hal, antara lain karena pada waktu memberikan kredit, sebagian besar bank tidak memperhatikan asas kehati-hatian dan menaati BMPK. Bank-bank memberikan kredit dengan jumlah yang besar kepada grop sendiri.
Aset kredit bank tidak sehat maupun bank likuidasi yang diambil alih oleh pemerintah melaui Badan Penyehatan Perbankan Negara kemudian dijual kepada investor, baik melalui sistem pelelangan atau sistem penawaran langsung. Cara peralihan hak tagih atas debitur eks. Badan Penyehatan Perbankan Negara adalah melalui cessie. Pengalihan cessie ini tercantum dalam pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Sebagai pembeli yang beritikad balk, kreditur baru perlu diberikan perlindungan hukum karena seringkali debitur berusaha melakukan perlawanan guna menghindari pembayaran hutang, yaitu dengan mengadakan perlawanan lewat pengadilan. Walaupun dalam teori tercantum jelas bahwa kreditur dapat melaksanakan eksekusi terhadap barang jaminan, namun dalam prakteknya masih ada saja debitur yang mengadakan perlawanan.
Pengadilan sebagai tempat untuk mencari keadilan sudah sepantasnya memberikan perlindungan hukum kepada kreditur baru sebagai pembeli yang beritikad baik.
Dalam penulisan ini, akan membahas mengenai perlindungan undangundang yang ada terhadap kreditur dan permasalahan hukum yang timbul dalam praktek."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T17298
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatma
"Polemik Hukum Pada Perjanjian Pengalihan Hak
Atas Piutang (Cessie) Dari Bank-Bank Kepada Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Tesis, 2002.
Untuk memulihkan kembali kondisi perbankan Indonesia
akibat krisis ekonomi tahun 1997 pemerintah membentuk
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang
didasarkan pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999
tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
beserta perubahannya. Salah satu kewenangan dari BPPN
tersebut adalah melakukan pengambil alihan tagihan atau
kredit macet para debitur dari bank-bank yang ditangani
BPPN melalui perjanjian pengalihan hak atas tagihan
(cessie). Ketentuan mengenai cessie ini terdapat dalam
pasal 613 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Permasalahan
yang timbul adalah para debitur dari bank-bank yang
diambil alih oleh BPPN sering menolak melakukan
pembayaran utang-utang mereka dengan alasan perjanjian
cessie tersebut tidak sah. Ketidak absahan cessie
tersebut diakibatkan oleh karena tidak adanya
pemberitahuan kepada debitur sebagaimana ditentukan oleh
pasal 613 KUH Perdata. Berbagai kekurangan dari cessie
ini penulis paparkan dengan jelas dalam tesis ini. Namun,
semua ini penulis berikan solusinya yaitu dengan
mengadakan revisi atas perjanjian pengalihan hak atas
tagihan, membuat perjanjian pokok pengalihan tagihan,
pemerintah (dalam hal ini Badan Penyehatan Perbankan
Nasional) harus bersikap pro aktif dengan membentuk tim
perumus yang khusus menangani masalah ini, untuk bisa
diperbaiki di masa yang akan datang. Dengan perbaikan itu
pula, penulis berharap, BPPN bisa lebih mudah dalam
melaksanakan tugasnya."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T36346
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heristika Nirwani
"Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi implementasi pengendalian internal dalam pengelolaan aset properti eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara adalah unit Eselon I di Kementerian Keuangan yang berperan sebagai manajer aset publik di Indonesia. Tugasnya meliputi merumusan dan melaksanaan kebijakan di bidang barang milik negara, kekayaan negara dipisahkan, kekayaan negara lain-lain, penilaian, piutang negara, dan lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Sejak tahun 2009 ketika PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PT PPA) menyerahkan aset kelolaannya kepada Kementerian Keuangan, maka aset eks kelolaan BPPN dan PT PPA yang sesuai dengan tugas dan fungsi DJKN, mulai dikelola oleh DJKN. Hanya saja, sejak tahun 2014, BPK menemukan masalah dalam pengelolaan aset properti eks BPPN/PT PPA. Bahkan, temuan dalam pengelolaan aset properti eks BPPN/PT PPA ini kembali muncul di laporan pemeriksaan BPK tahun 2015, 2016, 2019, dan 2020. Berdasarkan adanya temuan berulang atas pengelolaan aset properti tersebut, perlu dilakukan evaluasi atas pengendalian internal dalam pengelolaan aset properti eks BPPN/PT PPA. Tujuan dilakukannya evaluasi atas pengendalian unternal tersebut adalah untuk mengetahui implementasi pengendalian internal dalam pengelolaan aset yang dilakukan Kantor Pusat DJKN, sehingga dapat ditentukan perbaikan atas kelemahan dalam pengelolaan aset hingga akhirnya dapat menyelesaikan masalah yang ditemukan BPK. Evaluasi atas pengendalian internal dilakukan dengan kriteria yang ada dalam Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 dengan metode kualitatif atas data dan informasi yang didapatkan dari kajian literatur, analisis dokumen, kuesioner, dan wawancara. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa pengendalian internal yang dilakukan oleh DJKN memiliki kelemahan dalam rancangan pengendalian internal dan pelaksanaan pengendalian internal.

This research aims to evaluate the internal control in asset property management held by The Directorate General of State Assets Management. The Directorate General of State Assets Management is an Echelon I unit in the Ministry of Finance that acts as a public asset manager in Indonesia. Its duties include formulating and implementing policies in the field of state property, separated state assets, other state assets, valuation, state receivables, and auctions. Since PT Perusahaan Pengelola Aset handed over their managed assets to the Ministry of Finance in 2009, the assets managed by Indonesian Bank Restructuring Agency and PT Perusahaan Pengelola Aset, which are by the duties and functions of Directorate General of State Assets Management, began to be managed by Directorate General of State Assets Management. However, since 2014, The Audit Board of the Republic of Indonesia has found problems in managing these property assets. These findings re-emerged in 2016, 2019, and 2020 reports. Based on these repeated findings, it is necessary to evaluate the internal control in managing property assets. The purpose of the evaluation of the internal control is to assess the internal control in asset management so that improvements can be made to weaknesses in asset management and finally resolve the problems found by The Audit Board of the Republic of Indonesia. Evaluation of internal control is carried out using the criteria contained in the Government Internal Control System following Government Regulation No. 60 of 2008 with qualitative analysis of data and information obtained from literature review, document analysis, questionnaires, and interviews. The results show that the internal control carried out by the Directorate General of State Assets Management has weaknesses in the design and the implementation of internal controls."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library