Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Putri Ade Meuratana
"Menggigil selama anestesi spinal adalah salah satu komplikasi yang paling sering dihubungkan dengan penurunan suhu inti tubuh. Insiden menggigil paska anestesi cukup tinggi dan memberikan dampak perubahan fisiologis yang merugikan pada pasien sehingga perlu dicegah dan ditanggulangi secepatnya. Belum ada terapi gold standar untuk menggigil. Elektroakupunktur EA diketahui dapat mencegah menggigil dengan mempertahankan suhu inti tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh elektroakupunktur pada pencegahan menggigil pasien bedah urologi dengan anestesi spinal serta mengetahui pengaruh elektroakupunktur pada rerata penurunan suhu inti pasien bedah urologi dengan anestesi spinal. Uji klinis acak tersamar tunggal dengan pembanding dilakukan terhadap 36 subjek yang akan menjalani spinal anestesi pada pasien bedah urologi dialokasikan secara acak kedalam kelompok elektroakupunktur n=18 dilakukan penusukan titik LI4, PC6, ST36, dan SP6 bilateral sampai terjadi sensasi penjaruman, diberikan elektrostimulator frekuensi 2 Hz, gelombang continues pada kelompok eletroakupunktur sham n=18 dilakukan penusukan pada plester tanpa menembus kulit kemudian dihubungkan dengan elektrostimulator yang tidak dinyalakan. Elektroakupunktur dilakukan 1 kali selama 30 menit sebelum dilakukan anestesi spinal. Penilaian objektif menggigil menggunakan skala Crossley dan Mahajan serta penilaian suhu inti tubuh melalui suhu membran timpani menggunakan termometer infra red pada menit ke 5, 15, 30 dan 60. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan tidak bermakna angka kejadian menggigil pada kelompok elektroakupunktur dibandingkan kelompok elektroakupunktur sham p=0,22 namun secara klinis kejadian menggigil hanya ditemukan pada kelompok elektroakupunktur sham pada menit ke-60 16,7 dengan derajat menggigil 3 dan 4. Terdapat perbedaan bermakna suhu inti tubuh sebelum dan setelah dilakukan EA pada kelompok elektroakupunktur dibandingkan kelompok elektroakupunktur sham p=0,03 , menit ke-15 p=0,03 dan menit ke-60 p=0,03 setelah anestesi spinal. Terdapat perbedaan tidak bermakna suhu inti tubuh pada kelompok elektroakupunktur dibandingkan kelompok elektroakupunktur sham menit ke-5 p=0,11 dan menit ke-30 p=0,12. Kesimpulan penelitian ini penurunan suhu inti tubuh pada pasien dengan anestesi spinal dapat dicegah dengan menggunakan elektroakupunktur, namun tidak terdapat perbedaan bermakna pada kejadian menggigil.

Shivering during spinal anesthesia is one of complications which are mostly associated with the decrease of body core temperature. The shivering incidents post anesthesia is quite high and provides an adverse physiological impact to patients that need to be prevented and addressed as soon as possible. There are no gold standards for shivering. Electroacupuncture EA is known to prevent shivering by maintaining the body core temperature. The aim of this research is to learn the impact of electroacupuncture to prevent shivering on urology surgery patients with spinal anesthesia as well as to discover the impact of electro acupuncture on the average decrease of urology surgery patient rsquo;s body core temperature with spinal anesthesia. Single blinded randomized clinical trial with comparison was performed to 36 subjects that would undergo spinal anesthesia to urology surgery patients allocated randomly into electroacupuncture group n=18 by performing needling at points LI4, PC6, ST36, and SP6 bilateral until the sensation of needling occurred, electrostimulator of 2 Hz frequency was given, continues wave given while in sham n=18 electroacupuncture group was performed needling on plaster without penetrating the skin then connected to electrostimulator that was not turn on. Electroacupuncture was performed once for 30 minutes before spinal anesthesia was conducted. An objective assessment of shivering was performed by using Crossley and Mahajan scale and the assessment of body core temperature through temperature tympanic membrane was conducted by using infra red thermometer in the 5, 15, 30 and 60 minutes. The result of the research suggested that there are meaningless differences of number of shivering incidents in electro acupuncture group compared to sham p=0,22 electro acupuncture group however clinically shivering incident was only found at sham electro acupuncture group in the 60 minutes 16,7 with the degree of shivering was 3 and 4. There are meaningful differences of body core temperature before and after EA was performed to electroacupuncture group compared to sham p=0,03 electroacupuncture group in the 15 p=0,03 minutes and 60 p=0,03 minutes after spinal anesthesia. There are meaningless differences of body core temperature in electroacupuncture group compared to sham electroacupuncture group in 5 p=0,11 minutes and 30 p=0,12 minutes. The conclusion of this research is the decrease of body core temperature of patients with spinal anesthesia can be prevented by using electroacupuncture; however there are no meaningful differences on shivering incidents. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra
"Bahaya panas di lingkungan kerja merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan dan penyakit akibat kerja pada pekerja. PT. Pindad (Persero) yang salah satu proses produksinya dilakukan pada temperatur tinggi yaitu di bagian peleburan logam mempunyai potensi untuk terjadinya tekanan panas dan dampak kesehatan akibat pajanan panas pada pekerja. Penelitian ini berjudul "Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi pada pekerja yang terpajan panas (studi kasus di Departemen Cor Divisi Tampa dan Cor PT. Pindad (Persero) Bandung tahun 2003)".
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terjadi tekanan panas, peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi pada pekerja yang terpajan panas khususnya di bagian peleburan. Di samping itu penelitian ini juga melihat keluhan yang bersifat subjektif yang dirasakan oleh pekerja yang terpajan oleh panas.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh, denyut nadi, dan keluhan subjektif yang diteliti adalah tekanan panas yang diperoleh dari analisis hasil pengukuran temperatur lingkungan, beban kerja, dan pola kerja serta beberapa faktor yang berkaitan dengan individu yaitu umur, aklimatisasi, indeks massa tubuh, dan jenis pakaian kerja.
Penelitian ini menggunakan disain kuasi eksperimen untuk melihat fenomena sebab akibat antara faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi yaitu tekanan panas, beban kerja, umur, aklimatisasi, indeks massa tubuh, dan jenis pakaian kerja sebagai penyebab dengan kejadian peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi sebagai akibat.
Pengumpulan data dilakukan dengan mengukur temperatur lingkungan kerja, pengukuran kecepatan dan arah angin, pengukuran suhu tubuh dan denyut nadi pekerja sebelum dan sesudah bekerja di tempat panas, serta melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan untuk mendapatkan indeks massa tubuh (!MT). Untuk mendapatkan gambaran beban kerja dilakukan pengamatan terhadap aktivitas responden dan beban kerja dihitung berdasarkan estimasi kalori yang dikeluarkan. Sedangkan untuk mendapatkan informasi tentang keluhan subjektif digunakan kuesioner sebagai instrumen penelitian.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa di lingkungan kerja terdapat 2 area yang mempunyai suhu yang tinggi yaitu di area tungku peleburan dan di area penuangan ke cetakan. Lingkungan kerja tidak dilengkapi dengan sistem ventilasi yang memadai serta kecepatan aliran udara di dalam ruangan atau tempat kerja sangat rendah yaitu hanya berkisar 0,0 -- 0,4 meter per detik. Sebagian besar responden mempunyai beban kerja yang berat dan indeks massa tubuh normal. Semua responden termasuk dalam kategori umur yang sama yaitu 30 tahun dan teraklimatisasi.
Setelah dilakukan analisis data, ternyata tidak terjadi pajanan panas yang melebihi nilai ambang batas. Namun dari hasil pengukuran suhu tubuh dan denyut nadi antara sebelum bekerja dan setelah bekerja di area yang terpajan panas, ditemukan 17,6% responden mengalami peningkatan suhu tubuh dan 41,2% mengalami peningkatan denyut nadi. Peningkatan suhu tubuh yang terjadi ternyata tidak melebihi batas suhu tubuh normal yaitu 38°C. Peningkatan suhu tubuh hanya terjadi pada pekerja yang mempunyai beban kerja yang berat. Sedangkan pada kejadian peningkatan denyut nadi, ternyata dari 41,2% yang mengalami peningkatan denyut nadi ternyata ada 2 responden yang denyut nadinya setelah bekerja di tempat panas melebihi 110 denyut per menit. Sedangkan hasil penelitian tentang respon subjektif responden terhadap pajanan panas, ternyata 63,6% responden merasa terganggu oleh pajanan panas di tempat kerja. Keluhan subjektif yang umumnya dirasakan oleh seluruh responden adalah merasa haus, kulit terasa panas, dan banyak berkeringat. Sedangkan yang sedikit dikeluhkan oleh pekerja adala keram pada otot tangan dan kaki.
Analisis hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi pekerja ternyata tidak terlihat adanya hubungan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain kondisi lingkungan yang memang tidak menimbulkan terjadinya tekanan panas pada pekerja, serta populasi pekerja yang kecil, sehingga dengan adanya replikasi pengukuran tidak memberikan variasi yang besar terhadap karakteristik individu.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dari hasil pengukuran temperatur lingkungan kerja diketahui bahwa indeks WBGT rata-rata lingkungan kerja belum melebihi nilai ambang batas yang diperbolehkan berdasarkan TLV-ACGIH karena pajanan yang terjadi dalam waktu yang singkat. Proses kerja yang ada ternyata memberikan perlindungan pada pekerja dan terhindar dari pajanan panas yang berlebihan sehingga hal ini harus tetap dipertahankan. Bagi peneliti lain yang ingin melihat faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi pada pekerja yang terpajan panas, perlu mempertimbangkan adanya populasi kontrol. Sedangkan bagi institusi pemerintah perlu adanya upaya untuk mempertimbangkan standar tekanan panas yang sesuai dengan fisiologis dan kondisi lingkungan kerja di Indonesia.

Heat hazard at the workplace is a factor that can cause health nuisance and occupational disease on workers. PT Pindad, which one of its production process i.e. melting unit is carried out under high temperature, has a potential chance to lead heat stress and escort the workers' health as the effect of heat exposure. The theme of this research is 'Factors that Affect The Increasing of Body Core Temperature and Heart Rate on Workers Exposed by Heat (Case Study at Cor Department, Temp and Cor Division PT Pindad (Persero), Bandung 2003).
The objectives of this research are to discover heat stress condition, increasing of body core and heart rate on the workers exposed by heat at the melting unit. Furthermore, this research is also trying to observe subjective sighs suffered by the workers.
Factors related to the increasing of body core temperature, heart rate, and subjective sighs are heat stress obtained from analysis of the environment temperature measurement, workload, and work rest regimen, along with some individual factors such as age, acclimatization, body mass index, and clothing.
The research design is a quasi experiment to examine cause-effect phenomena between factors that affect the increasing of body core temperature and heart rate such as heat stress, workload, age, acclimatization, body mass index, and clothing as the causes and the increasing of the body core temperature and heart rate as the effects. Moreover, respondents' response about the subjective sighs as the impact of heat exposure during working is observed as well.
The data was collected by measuring the working environment temperature, the wind direction and velocity, the workers' body temperature and heart rate before and after activities in hot environment, and the workers' height and weight to gain body mass index. Workload was calculated by observing the workers' activities based on NIOSH estimation table. Questioners were spread out in order to attain information of the subjective sighs.
The result of the research discovers that there are two areas, which have high temperature: melting and pouring areas. Working environment has poor ventilation system and the air velocity in the workplace is quite low, only 0.0 -- 0.4 meter per second. Most of the respondents have workload, and normal body mass index. All respondents are in the similar age i.e. > 30 years old and acclimatized.
After accomplishing data analysis, heat stress doesn't exist. However, 17:6% respondents have increasing body core temperature, and 41.2% have increasing heart rate. The increasing of the body core temperature is not more than 38° C. It seems to happen to the workers who have heavy workload. Only 2 respondents of the 41.2% whose heart rate are above 110 beat per minute. On the research of the respondents' subjective response toward heat exposure, 63.6% respondents are disturbed. In general, all respondents whine about thirst, burning skin, and sweat. Lesser sighs are concerning on arm and feet muscles cramp.
The research also reveals that there is no connection between factors, which affect the increasing of body core temperature and the worker's heart rate such as heat stress, workload, age, acclimatization, body mass index, and clothing. Several things cause this condition, for instance environment condition that doesn't encourage heat stress on the workers, and small worker population. These causes do not provide an assorted variation on individual characteristics when replicate measurement done.
The result of the environment temperature measurement notifies that the average of the workplace WBGT index is not over than threshold limit value permitted by TLVACGIH since the exposure happens in short time. Working process provides protection for the workers so that they are avoided from over heat exposure. This condition indeed needs to be sustained. For other researchers interested in factors that affect the increasing of the body core temperature and heart rate on workers exposed by heat should put control population into consideration. In addition, Government institution should have efforts to appraise heat exposure standard that is suitable with physiologic and workplace condition in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T11369
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library